Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32

Haloooo mohon maaf lahir batin semuanyaaaa.

Maaf baru bisa update karena baru kelar liburan dan kemarin minggu awal masuk kerja hhe jadi baru sempat nulis.

Happy reading! 

------------------------------------------------------------


Cukup lama aku membiarkan Jorda memelukku dari belakang. Bahkan pelukannya sangat erat sekali dan jantungku tak berhenti berdetak kencang. Perasaanku tak karuan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Aku tak berani menatap wajahnya dan belum sanggup melihat ekspresinya.

"Mud, kamu tahu nggak?" tanyanya. Sekarang ia malah menempelkan kepalanya ke punggungku. Kuteguk ludahku saking kagetnya.

Tapi aku berusaha agar terlihat kalem. "A--apa, Jor?"

"Mungkin orang banyak berpikir bahwa aku adalah pria yang beruntung. Terlahir dari keluarga Prasrari. Pengusaha batu bara terkenal. Wajah yang tampan. Ya semua wanita rata-rata ngejar aku karena mereka lihat prospek yang tinggi dari seorang Jorda. Tapi semua itu hanya terlihat dari luarnya saja, Mudya. Aku hanya pria yang selalu memilih pada pilihan yang salah dan selalu saja mengalah. Segala yang aku lakukan kupikir benar, ternyata tidak ada benarnya sama sekali. Aku bingung .... Aku benar-benar bukan pria yang beruntung ...."

Entah kenapa secara refleks aku memutar tubuhku. Tangan Jorda pun mengendur, namun tetap dalam posisi memelukku. Ia merundukkan kepalanya. 

"Jor ...," panggilku lirih. Jorda secara perlahan mengangkat kepalanya. Mata kami bertemu. Ya Tuhan, matanya berair. Jelas saja hatiku terenyuh melihat keadaannya. "Kenapa nangis?" tanyaku lembut.

"Aku bukan pria beruntung. Aku jahat, Mudya ...." 

Nada bicaranya terdengar sangat tertekan. Bahkan ada sedikit isakan menyertai omongannya barusan. Tanganku ingin sekali menghapus air matanya namun, keraguan menyelimuti hatiku. Diriku bahkan rasanya membatu menyaksikan wajah Jorda yang seperti ini.

"Aku yang membunuh ibu aku. Menghancurkan kebahagiaan ayah aku. Sampai aku nggak bisa apa-apa ketika ayah aku memutuskan untuk menikah lagi. Menikah dengan wanita yang merupakan ibu dari perempuan yang aku cintai untuk pertama kalinya. Mudya, aku bisa gila. Kenapa hidupku harus seperti ini? Aku--aku nggak rela, Mudya .... Aku harus kehilangan segalanya demi kebahagiaan mereka karena aku merasa bersalah ...."

Hatiku tahu mana yang benar dan jujur. Itu terasa sekali dari setiap lontaran kata yang meluncur dari mulut Jorda. Tapi apa? Jorda membunuh ibunya? Kalimat itu lebih terdengar seperti pengakuan, tapi bukanlah kebenaran. Ya aku tahu berdasarkan cerita dari Dodo bahwa wanita yang dicintai Jorda adalah Alysam dan Ibu Alysam menikah dengan Ayah Jorda. Ini sebenarnya ada apa? Begitu aku mengetahui sebuah rahasia ternyata masih ada rahasia lagi dibalik itu semua.

"Ditambah untuk pertama kalinya aku merasa dianggap oleh orang lain dan lagi-lagi demi mendapatkan kepercayaan dari seorang teman, aku merelakan wanitaku untuknya. Ya agar mereka semua bahagia dan ini sebagai tebusan anak durhaka aku mengalah untuk semuanya. Tapi ternyata ini semua salah, Mudya .... Aku malah menanggung semua beban ini sendirian. Ini melelahkan, Mudya ...."

Aku bingung harus bagaimana menanggapi pernyataan panjang lebar Jorda. Ya aku berusaha percaya, tapi aku merasa itu tidak sepenuhnya benar. Sakit yang dirasakan Jorda benar-benar menyentuh sampai ke relung hatiku. Air mata terus mengalir dari pelupuk matanya. Dengan keberanian yang mulai tumbuh, secara perlahan jemariku bergerak menyentuh matanya.  Kemudian kuhapus air matanya lembut. Jorda semakin menatapku dalam. Bahkan tak ada kedipan di matanya. 

Ya aku paham apa yang dibicarakan Jorda meskipun ia tak menyebut nama sama sekali. Teman itu adalah Tirga. Kupikir selama ini Tirga yang membutuhkan Jorda namun, ternyata sebaliknya. Dari kata-kata Jorda, ia lah yang butuh Tirga. Jadi benar bahwa Jorda merelakan Alysam buat Tirga? Berarti Dodo benar. Tapi Dodo tak menyebut sedikit pun bahwa Jorda membunuh ibunya. Ini pasti salah. Ini hanya praduga Jorda semata.

"Jor, sudah ...," ucapku. Kutahan sekuat tenaga agar air mataku tak ikut turun.

Bukannya mereda, tangis Jorda malah semakin hebat. Air matanya mengalir makin deras. Wajahnya menampakkan kesedihan yang nyata. Tangannya kini malah menyentuh wajahku. Dielusnya perlahan bekas luka pada wajahku.

"Dan nggak cuma mereka semua yang tersakiti karena sikapku, Mud. Kamu juga termasuk di dalamnya. Wanita yang sebenarnya nggak ada sangkut pautnya dengan semua ini tapi menanggung luka yang cukup dalam. Ibu, Ayah, Alysam, Tirga, dan ... kamu. Ya Tuhan, dosa apa aku ini? Aku nggak tahu apakah neraka sanggup nerima aku saking besarnya dosa aku pada kalian semua ...." 

Jorda memejamkan matanya dan menangis terisak-isak di depanku. Tangannya sudah tak memelukku lagi dan kini ia menutup wajah dengan lengan tangannya. Ia juga sudah merubah posisinya menghadap langit-langit. Lagi-lagi aku selalu saja dibuat bingung dengan segala kalimat yang tercetus dari bibirnya. 

"Jor, sebenarnya ada apa? Kenapa aku bisa ikut masuk ke dalam masalah kamu?" Kuberanikan diriku untuk bertanya padanya.

"Semua serba di luar dugaan, Mudya. Karena ketakutan dan rasa bersalah aku pada mereka semua pada akhirnya kamu yang jadi korban. Dan aku nggak pernah nyangka kalau akhirnya rasa itu kembali muncul. Berusaha aku tahan sejak awal bertemu kamu. Aku tampik. Aku berpikir pasti ini semua hanya karena kerinduan aku pada sosok wanita itu, tapi ternyata nggak benar. Pramudya adalah Pramudya ...."

"Jor, aku nggak paham ...."

Jorda mengangkat tangannya dan menoleh menatapku. Jantungku yang sejak awal berdetak kencang kini makin kencang. Napasku bahkan rasanya tercekat. Matanya menatapku dalam penuh arti. Ia pun menghapus air matanya. Kemudian ia memutar tubuhnya sehingga tubuh kami saling berhadapan. Mendadak seulas senyuman tercetak di wajahnya yang mana tentu saja membuat hatiku berdesir. Kenapa pria ini dalam sekejap bisa berubah secepat ini?

Tangannya kembali menyentuh bekas lukaku. Anehnya tubuhku tak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya bisa diam melihat tingkahnya. Tangannya terus menyusuri lukaku hingga akhirnya ke seluruh wajahku dan tiba-tiba berhenti di bibir. Ya Tuhan, apa yang mau dilakukan Jorda sekarang? Dan jantungku rasanya mau copot ketika ....

Bibir Jorda mendarat dan menempel di bibirku. Mataku membesar seolah ingin ke luar dari tempatnya. Ini ... ini apaaaa?

Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Bibirku tidak pernah disentuh oleh pria mana pun. Jorda cukup lama membiarkan bibirnya menempel di bibirku. Ia juga memejamkan matanya. Astaga. Ini tidak benar. Aku harus bergerak dan di saat aku ingin mendorong tubuhnya pelan, Jorda langsung menjauhkan bibirnya. Ya aku benci keadaan ini karena tubuhku masih membeku.

"Nanti kamu akan paham, Mudya. Kamu pasti mampu menyimpulkan ada apa dengan semua ini. Aku tahu kamu juga punya orang lain sebagai sumber dan aku nggak menyalahkan itu. Aku hanya minta kamu tahu satu hal. Kamu tetaplah kamu bukan yang lain. Dan aku semakin yakin bahwa orang yang barusan aku cium juga adalah orang yang berbeda."

Jorda pun perlahan mundur dan tanganku langsung bergerak sigap menahan kemejanya. Jorda pun berhenti. Ia tampak kaget. Tanganku dengan tangkas langsung menampar pipinya. 

Plak! 

Mata Jorda membulat tak percaya. Ia segera memegang pipinya. "Mudya, apa yang kamu lakukan?!" 

"Aku butuh jawaban, Farjorda. Bukan ciuman seperti barusan. Aku bukan cewek murahan!" ungkapku. Tak akan kubiarkan diriku terus membeku seperti tadi. Aku pun segera bangkit. Jorda menyusulku.

Ia terus mengelus pipinya yang terkena tamparanku. "Maaf. Terbawa suasana dan aku nggak pernah anggap kamu cewek murahan."

"Yaudah, sekarang jawab. Apa hubungannya aku dengan semua masalah di sini? Dari tadi kamu hanya bilang wanita itu tanpa menyebut nama. Wanita itu pasti Alysam kan?"

Jorda tersenyum sinis. "Iya dan tidak akan ada lagi namanya mengalah dalam hidup aku, Mudya. Ya tamparan barusan aku anggap sebagai kesalahan aku karena belum bisa memberitahu semuanya. Tapi semua selalu ada alasan, Mudya. Terima kasih karena kamu akhirnya kembali. Setelah sekian lama, akhirnya ada lagi hal yang membuat aku senang yaitu adanya kamu di sini."

Jorda benar-benar menyebalkan. Jarinya langsung bergerak sigap di saat aku ingin membuka mulutku. Ia malah mendekatkan bibirnya ke telingaku sekarang.

"Aku membiarkan Dodo menceritakan apa yang dia tahu soal aku dan semua masalah di sini. Tapi semuanya tetap percuma, Mudya, karena kunci jawaban ini semua hanyalah aku seorang. Jangan bergerak atau membalas perkataanku. Kamu di sini dan besok semuanya akan kembali seperti di awal. Kamu bertanggungjawab sepenuhnya pada Tirga. Aku tinggal. Kamu tidur dan mimpi indah karena hari esok pasti lebih sulit dari hari ini. Aku ... atas nama Tirga minta maaf. Dan aku atas nama diriku juga minta maaf. Makasih banyak, Mudya ...."

Oke. Aku benar-benar serasa dihipnotis karena di momen-momen tertentu tubuhku kembali kaku. Jorda pun menghilang dari pandanganku. Ia segera melesat pergi begitu selesai membisikiku kalimat sepanjang barusan. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa selalu saja membuatku bingung. Kusentuh bibirku. Ternyata pria pencuri ciuman pertamaku adalah Farjorda ....

***

Aku terus termenung memikirkan kejadian semalam. Aku berusaha untuk menyatukan semua informasi yang kudapat baik dari Dodo mau pun dari Jorda, tapi aku tak menemukan jawaban apa-apa dari keterkaitanku di Rabatik ini. Kepalaku rasanya mau pecah. Apalagi begitu memikirkan sikap Jorda yang seenaknya menciumku. Menyebalkan. 

Para pelayan Tirga pagi-pagi buta sudah membangunkanku. Kemudian menyiapkan aku pakaian seperti yang kukenakan saat ini yaitu rok span hitam dan kaos satin merah merona. Rambut pendekku dibiarkan tergerai. Aku juga didandani dan lagi-lagi aku bisa melihat wajah Alysam di sana. Hmmmm dan aku hanya bisa menghela napas sebal.

"Mudya ...." Panggilan seseorang menyentak lamunanku. Ya itu adalah suara ....

"Iya, Tir," sahutku.

"Kenapa kamu diam? Mana makanannya? Suapi aku cepat." 

Astaga iya. Bagaimana bisa aku tiba-tiba berhenti menyuapi pria ini? Ya saat ini aku sedang berada di meja makan sedang melayani bosku. Ya kegiatanku sebagai seorang sekretaris kembali berlaku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menjalankan perintahnya dan sesendok makanan kembali mendarat ke mulut Tirga. Ia mengunyah dengan lahap.

Sementara Jorda duduk di seberangku. Ia terus menyantap makanannya tanpa menatapku sama sekali. Hmmm dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa soal kami semalam. Oke. Mood-ku kembali buruk.

"Kamu masih marah sama aku, Mud?" tanya Tirga.

"Hah? Kalau masih marah juga nggak pengaruh apa-apa buat kamu kan?" tanyaku balik sinis.

"Mulai detik ini kamu akan bersama aku 24 jam, Mudya. Nggak ada gunanya kamu marah sama orang yang akan terus bersama kamu kayak gini," ujar Tirga sambil terus mengunyah makanannya.

"Daripada kamu ngoceh terus mending kamu makan cepat deh. Bentar lagi kan kita harus brangkat," omelku.

Tirga menyengir. "Iya-iya. Jorda nggak ikut aku, Mud. Jadi kayaknya kita harus menghadapi Om Riko dan Tante Gia bersama. Tenang aja, aku udah nggak sebego kayak hari pertama. Aku udah tahu gimana caranya hadapi mereka. Selama beberapa hari kemarin nggak ada kamu, aku dan Jorda udah sering hadapi mereka."

Kulirik Jorda. Ia manggut-manggut setuju dengan perkataan Tirga. "Dan kali ini gantian kamu, Mud," tambah Jorda.

Aku bingung pada Jorda. Sikapnya sangat berbeda ketika hanya berdua denganku dan di depan orang banyak. Apalagi di depan Tirga. Entah sebenarnya ada rahasia apa dibalik persahabatan mereka. Aku jadi teringat kata-kata Jorda. Karena ingin mendapatkan kepercayaan dari seorang teman, dia sampai merelakan Alysam pada Tirga. Sedangkan dari cerita Dodo Alysamlah yang memohon pada Jorda agar merelakan orangtua mereka menikah. Apakah sebenarnya persahabatan mereka hanya indah dari luarnya saja?

"Apa alasan kamu nggak bisa sama aku dan Tirga kali ini, Jor?" tanyaku.

"Aku punya pasien yang butuh perhatian penting dari aku dan nggak bisa aku tinggalkan," jawab Jorda sembari memasukkan makanan ke mulutnya.

"Pasien itu lebih penting dari Tirga?"

Jorda menghentikan dan menatapku tajam. "Kan dari awal sudah kubilang, Mudya. Kenapa kami butuh kamu kembali karena aku punya sumpah besar sebagai seorang dokter. Ya aku harus memperhatikan pada setiap kondisi semua pasien aku. Dan semua pasien sama semua di mata aku. Nggak ada yang lebih penting atau kurang penting. Semua penting. Termasuk Tirga. Hanya saja Tirga sekarang sudah memiliki kamu. Ketidakhadiranku sudah digantikan oleh kamu."

"Iya, Mud. Dan kamu harusnya paham bahwa nomor satu bagi seorang dokter adalah kesehatan pasien. Sekarang kondisi aku sudah lumayan membaik. Waktu dua tahun udah amat sangat cukup bagi Jorda untuk sepenuhnya fokus pada kesehatan aku. Dan sekarang aku akan mulai membebaskan Jorda pada kehidupannya sebagai dokter yang pasiennya nggak cuma aku. Lagipula kan ada kamu," tambah Tirga.

Aku tak mampu berkata lagi. Kuhela napasku. Ya meskipun menurutku ini masih aneh. Pasien mana yang mampu membuat Jorda berpaling sedikit dari Tirga? Dan benarkah ini murni karena aku sudah kembali ke sini? Entahlah. Terlalu banyak rahasia. Kepalaku bisa pecah memikirkannya. Tirga dan Jorda itu sama. Sama-sama buat pusing.

"Yaudah lanjutkan lagi suapnya. Kamu juga udah makan kan? Jadi kamu pasti punya tenaga untuk nyuapi aku sampai kenyang."

Kuhembuskan napasku kasar. "Iya Tuan Adtirga," ucapku dibuat-buat dan Tirga pun tertawa lebar mendengarnya. Kulirik Jorda ia hanya tersenyum dan aku semakin bingung bagaimana nasibku ke depannya di antara dua pria menyebalkan ini.

***

Jelas perasaanku tak berhenti ketar-ketir selama berjalan melewati lobi. Beragam jenis pandangan yang kulihat sungguh membuat kinerja jantungku bekerja ekstra. Sebenarnya yang paling aku takutkan adalah jika bertemu dengan rombongan Tante Gia dan Om Riko. Aku tak yakin apa bisa menghadapi mereka namun, untungnya selama di mobil tadi berkali-kali Tirga bilang bahwa tak perlu cemas pada mereka. Tirga dan Jorda sudah sering kali membuat mereka kicep. Tapi itu kan mereka. Tidak denganku.

"Mudya, dorong kursi rodanya pelan-pelan saja. Kamu kelihatan sekali kalau takut. Jangan cemas. Ada aku," tegur Tirga. Kuhela napasku berusaha membuat diriku tenang. Benar juga. Aku pun memelankan langkahku. "Nah gitu dong."

Sampai akhirnya kami tiba juga di depan ruangan Tirga. Ya Tuhan, aku leganya bukan main. Tak bertemu dengan pasukan keluarga Tirga di tengah Rabatik. Tak sanggup kubayangkan kalau kejadian dulu itu terulang kembali. Namun, sepertinya kelegaanku hanya berlangsung sebentar karena tak berapa lama rombongan yang tak kuharapkan ini datang menghampiriku.

"Wow, orang yang menemani kamu sudah bukan Jorda lagi, Tir?" tanya Tante Gia sambil memandangiku sinis.

Secara otomatis aku memutar kursi roda Tirga menghadap mereka semua. Tenang, Mudya. Lo pasti bisa lawan mereka. Batinku memberi semangat. Akan kutunjukkan profesionalitas kerjaku pada mereka semua.

"Memangnya kenapa? Jorda itu dokter, Tante. Kasihan juga kalau dia menemani saya terus. Lagipula saya sudah punya sekretaris," jawab Tirga santai.

Kembali mataku bertemu dengan Tante Gia. Om Riko juga ikut melihatku penuh rasa ketidaksukaan. "Sekretaris yang hanya bekerja sehari setelah itu menghilang selama dua bulan dan tiba-tiba kembali lagi? Bukannya itu aneh ya, Tir?" Pertanyaan Tante Gia memang cukup menohok. Hmmm aku tak bisa menampik kata-katanya karena itu benar.

"Lalu urusan Tante apa? Yang punya sekretaris kan aku. Aku nggak masalah dengan ketidakhadiran Mudya, lalu kenapa Tante yang peduli?"

Tante Gia mengembuskan napasnya kasar. Seperti biasa Tante Gia berpenampilan elegan dengan dress selutut berwarna hitam berlengan panjang dan rambut yang disanggul rapi serta dandanan yang cukup mencolok. Sedangkan Om Riko tampil dengan pakaian kerja pada umumnya berupa kemeja kotak-kotak hitam dan celana bahan hitam.

"Ya Tante kamu peduli karena ini aneh. Buat apa wanita yang menyerupai Alysam itu kembali ada sama kamu? Kamu yakin dia nggak punya niat buruk? Sudah cukup ya Alysam dulu menghancurkan kehidupan kamu. Lalu buat apa lagi ada wanita itu? Tadinya Om sudah cukup senang karena Om pikir dia akan mundur dari statusnya sebagai sekretaris, ternyata nggak."

Hah? Aku punya niat buruk? Niat buruk apa coba? Mulut orang tua di depanku ini memang tak berdasar sama sekali. Kekeselanku mulai tumbuh. Aku edarkan pandanganku ke sekitar. Ya suasana tak begitu ramai. Orang-orang pun sok sibuk dengan pekerjaannya masing-masing padahal kutahu bahwa mereka memasang telinga mereka dengan jelas. Aku bingung kenapa pasukan Om Riko dan Tante Gia tidak ada rasa malu sama sekali? Mereka berani mengumbar masalah kantor tanpa peduli dengan orang lain. 

Aku jadi teringat lagi. Pantas saja Kak Melani tahu sekali soal masalah yang ada pada Rabatik dari kekasihnya karena ya orang-orang di sini memang tak peduli jika masalah mereka diketahui publik.

"Kenapa Om dan Tante bisa bilang Mudya punya niat buruk? Lalu apa barusan? Alysam menghancurkan kehidupan aku? Nggak sadar kalau sebenarnya kalian lah penghancur kehidupan aku dengan mengirimkan Prita ke sini? Sudahlah. Kenapa sih kalian nggak pernah berhenti ganggu aku? Selalu saja berantem di tengah banyak orang seperti ini? Maunya Tante dan Om itu sebenarnya apa?" 

Aku selalu tak bisa melihat ekspresi Tirga karena posisinya yang membelakangiku. Aku setia berdiri di belakangnya dengan tanganku yang tak lepas memegang gagang kursi rodanya. Kulihat ekspresi Om Riko dan Tante Gia yang sedikit berubah. Mereka berdua terlihat salah tingkah.

"Ekspresi mereka mulai berubah, Tir," laporku secara berbisik pada Tirga.

"Udahlah. Aku nggak akan tertipu oleh kalian berdua lagi. Segala jabatan penting yang terkait dengan Rabatik sekarang kalian nggak akan bisa campur tangan lagi. Aku balik kerja dulu. Dan satu lagi. Alysam adalah Alysam. Mudya adalah Mudya. Dengar?! Dan jangan seenaknya kalian tuduh Mudya seperti barusan. Kali ini aku bisa maklum. Lain kali jangan harap! Dan nasib kalian berdua itu sepenuhnya ada di tanganku. Jangan macam-macam kalau nggak mau apes," marah Tirga lantang. Wajah mereka berdua kini memucat. Mereka berdua sempat saling berpandangan bingung. Termasuk para pasukan di belakang mereka.

"Bagus, Tir. Sekarang kita bisa balik ke ruangan kamu," bisikku lagi sangat pelan. Ya seperti yang kita sudah tahu, aku dan Tirga terhubung akan speaker kecil sehingga suara kami bisa terdengar satu sama lain.

Aku pun memutar kursi roda Tirga. Para mata yang sibuk mengintip kami kembali berubah fokus pada layar komputer mereka masing-masing. Di saat aku ingin melangkah, langkahku terhenti karena ....

"Kami nggak mau punya pemimpin cacat yang tidak bisa berjalan seperti kamu, Tirga. Kredibilitas Rabatik akan dipertanyakan! Masih banyak orang nggak cacat di Rabatik ini!" seru Om Riko tak terima.

Aku kaget mendengarnya. Terang-terangan sekali Om Riko menghina Tirga. Apalagi kalau dia tahu bahwa Tirga tidak bisa melihat ya? Benar. Keluarga ini menakutkan. Untung saja ada kacamata canggih yang Tirga kenakan itu.

"Apa orang nggak cacat di Rabatik ini yang Om maksud adalah Om dan Tante Gia? Haha ya memang aku cacat secara fisik, Om. Tapi setidaknya aku nggak cacat otak kayak kalian berdua."

Jleb! Kata-kata Tirga luar biasa.

"Mudya, ayo jalan. Abaikan dua orang tua tidak berguna itu."

Tanpa banyak berpikir aku langsung menuruti kata-kata Tirga. Kudorong kursi roda Tirga tanpa mau melirik sedikit pun rombongan Om Riko dan Tante Gia. Begitu sudah di dalam, langsung kututup pintu. Saat itu juga kuhela napasku sebanyak-banyaknya. Ya ampun, lega sekali rasanya terhindar dari mereka.

"Gimana? Aman kan?" tanya Tirga.

"Iya," jawabku singkat.

"Kamu nggak perlu cemas sama mereka. Semua data kejahatan mereka udah aku kumpulkan. Mereka nggak akan berani macam-macam. Rahasia mereka yang mengirim Prita ke sini untuk menghancurkan aku juga buktinya udah di tangan."

"Syukurlah," kataku sembari berjalan ke arah botol yang ada di meja tengah ruangan Tirga dan meneguknya sampai tandas. Setelah aku minum, aku pun mengambil segelas air dari meja Tirga dan memberikan padanya. Tirga menerimanya. Ia juga meneguknya sampai habis.

"Mud ...," panggilnya kemudian.

"Iya ...."

"Kamu dengarkan apa kata dua orang tua itu tadi?" 

Aku memutuskan duduk di sofa. Kali ini aku bisa melihat wajah Tirga. Matanya mengarah padaku. 

"Yang mana?"

"Mereka nggak mau punya pemimpin cacat ...."

Aku tersenyum. "Tapi kan tadi kata kamu kalau kamu lebih baik karena fisik kamu aja yang cacat, tapi otak kamu nggak."

"Mud, itu hanya cara aku supaya mereka kalah. Tapi sebenarnya dalam hati aku juga merasa ucapan mereka benar."

Kuhembuskan napasku. "Tirga, kamu buktikan aja bahwa ucapan mereka salah. Walaupun kamu nggak bisa jalan, tapi kamu bisa pimpin Rabatik. Aku yakin kamu bisa kok."

"Kamu yakin aku bisa?" tanyanya lembut.

Aku menganggukkan kepalaku cepat. "Yakin dong!" seruku kencang.

"Kalau gitu aku butuh bantuan kamu."

Kukerutkan dahiku bingung. "Kenapa aku?"

"Karena kamu yang buat aku yakin. Kamu yakin aku bisa kan?"

"Iya sih, tapi kenapa mesti aku?"

"Kamu pengen nggak aku bisa jalan? Sampai detik ini aku masih mencari pendonor mata yang cocok kok."

Aku menatapnya bingung. "Pengen sih, Tir ...."

"Sih?"

"Ya aku pengen, tapi kenapa kamu nanya hal itu sama aku?"

"Kamu pengen nggak kita bisa berdiri bersama sampai semua ini selesai? Selama ini kamu pasti terus lihat punggung aku kan karena kerja kamu terus dorong kursi roda aku. Aku juga mau kita bisa berjalan beriringan ketika berjalan memasuki Rabatik ...."

Haruskah aku terenyuh mendengar kata-kata Tirga? Berdiri bersama? Berjalan beriringan? Rasanya baru kali ini ada pria yang mengatakan hal itu padaku ....

"Lagipula aku lelah. Jujur, kehilangan kamu selama dua bulan ini hanya aku pendam sendirian. Aku nggak tahu caranya gimana biar bisa nemuin kamu. Mata nggak bisa lihat. Kaki nggak bisa jalan dan ya yang cuma aku bisa harapkan adalah Jorda. Dan aku ngerasa nggak selamanya aku bisa harapin Jorda. Aku harus punya kekuatan sendiri untuk menemukan kamu. Dan saat ini kamu udah ada di hadapan aku. Dengan aku yang nggak ada apa-apanya ini, bagaimana bisa aku ngejar kamu lagi kalau misalkan kamu kabur?"

"Aku nggak akan kabur kok ...."

"Nggak ada yang tahu, Mudya. Aku cuma butuh kamu. Satu-satunya orang yang bisa aku percaya adalah kamu."

"Bukan Jorda?"

"Aku percaya Jorda, tapi ...."

Astaga, aku jadi teringat kata-kata Jorda semalam. Demi mendapatkan rasa kepercayaan dari seorang teman, aku merelakan wanitaku untuknya. Tapi nyatanya ....

"Tapi Jorda percaya banget sama kamu, Tir ...."

Tirga tersenyum getir. "Iya aku tahu. Aku juga percaya padanya. Sangat mempercayainya, tapi aku merasa banyak sekali hal yang Jorda tutupi dari aku. Dan sekali lagi aku nggak bisa apa-apa karena kecacatan sialan ini."

Aku benar-benar bingung sekarang. Kupikir persahabatan mereka patut kuacungi jempol namun, ternyata semua itu hanya dari luarnya saja ....

"Dan aku mau kamu .... Aku mau kamu yang membantu aku. Aku mau belajar berjalan sama kamu. Semua serba kamu, Mudya .... Detik ini cuma aku."

"Lalu Jorda bagaimana?"

Aku sendiri bingung kenapa aku mesti menanyakan Jorda.

"Entahlah. Rasanya sulit berbagi dengan dirinya lagi, Pramudya ...."

Apa? Berbagi dengan dirinya lagi? Astaga ini kenapa lagi sih? Membingungkan sekali sih dua pria ini? Kuhembuskan napasku kasar. Tak sanggup aku mengiyakan permintaan Tirga. Dua pria itu selalu meminta hal yang aneh-aneh padaku. 

***

Plis tanggapan yaaaaaaa. Kalau ada yang kurang nyambung atau membingungkan bilang hehehe. Makasih yang masih setiaaa :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro