Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24

Boleh nggak minta vote dan komennya? 

Happy reading!

---------------------------------------------------------------------------------

Jangan tolak aku ... lagi ....

Astaga! Kepalaku rasanya mau pecah tiap kali memikirkan kata-kata yang tercetus dari mulut Jorda kala itu. Lagi? Maksudnya apa coba? Memangnya aku pernah menolaknya? Kenal Jorda saja baru dari audisi ini. Aku ingin bertanya lebih lanjut kemarin, tapi Jorda selalu saja seolah mengerti dan ia sengaja tidak mengacuhkanku. Kemarin seharian ia benar-benar hanya fokus bagaimana caranya untuk menghadapi hari ini. Alhasil niatku untuk bertanya jadi gagal.

"Mud, lo pakai baju ini. Disuruh sama Mas Jor," ucap Dodo sambil menyerahkan pakaian padaku. Dodo baru saja mengetuk pintu kamarku dan tanpa penolakan aku mempersilakannya masuk.

Kukernyitkan dahiku. "Do, gue pakai baju gue aja," tolakku lembut. 

Dodo bersikeras. Ia menggelengkan kepalanya. "Mud, lo ingat kan bakal berhadapan dengan siapa. Terima aja. Nanti setelah selesai berpakaian, gue akan panggilin pelayan yang lain untuk dandanin lo. Ini perintah, Mud."

Terpaksa aku menerimanya sembari mengerucutkan bibirku. "Terus Kiran di mana?" 

"Kiran lagi siapin makanan. Kan dia penanggung jawab untuk semua makanan yang ditujukan pada Mas Tir."

"Berarti Kiran nggak ikut aku ke Rabatik?"

Dodo tersenyum miring. "Ya nggaklah. Ngapain tukang masak ke Rabatik?"

Hmmm benar juga sih meskipun nada bicaranya itu cukup menyebalkan. Aku jadi ingin bertanya banyak hal pada Dodo. Selagi hanya kami berdua sekarang di kamarku. Ini kesempatan yang bagus.

"Do, gue boleh nanya?" tanyaku.

Dodo menyipitkan matanya padaku. "Nggak aneh-aneh kan pertanyaan lo?"

Aku terkekeh. "Nggak kok."

Dodo mengembuskan napas. Kemudian menyilangkan tangannya di depan dada. "Mau nanya apa? Gue nggak bisa lama-lama karena habis ini gue mau bantu Mas Tir pakaian."

Aku tidak tahu apakah Dodo adalah orang yang tepat untuk kutanyakan perkara Jorda. Tapi setidaknya mungkin aku bisa mengambil sedikit saja info darinya. Aku terlalu penasaran dengan teka-teki di sini. 

"Lo berapa lama udah kenal Jorda dan Tirga?" tanyaku. Kuputuskan untuk duduk di tepi ranjang sementara Dodo masih terus berdiri.

"Kenapa lo nanya itu, Mud?" tanyanya tak suka. 

Aku menghela napas. "Gue cuma penasaran. Ada beberapa hal yang aneh menurut gue dengan sikap Jorda ke gue dan gue butuh jawaban lo."

"Nggak ada yang aneh tuh sama sikap Mas Jor ke lo. Jangan ge-er deh, Mud," ucapnya sinis.

Sepertinya Dodo bukanlah orang yang gampang untuk dimintai informasi. Ia terus menatapku sinis. Ehm aku harus bagaimana ya?

"Lo ngerasa aneh dari sisi mana?" tanyanya lagi. Nada bicaranya kali ini cukup memelan. Aku tersenyum memandangnya.

"Audisi ini. Lo ngerasa nggak sih gue terlalu dianak-emaskan? Dari awal audisi sampai sekarang. Gue nggak ngerti alasan kenapa harus gue yang terpilih. Lo lihat sendiri muka gue. Muka gue nggak secantik para peserta audisi kemarin, Do. Dan kadang sikap Jorda yang lo bisa lihat sendiri ke gue. Dia suka pegang tangan gue. Lo lihat kan cara dia natap gue, Do? Kayaknya ada rahasia. Lalu Alysam. Gue tahu pasti ada sesuatu di antara Jorda dan Tirga terkait Alysam. Tapi kenapa seolah-olah Alysam ada hubungannya sama gue? Sori, Do. Gue emangnya pernah ketemu Jorda atau Tirga sebelumnya?" Aku bertanya banyak sekaligus pada Dodo dan Dodo memperhatikanku dengan seksama.

Kali ini tatapannya juga ikut berubah bingung. Sepertinya ia juga baru menyadari hal ini. Ia pun celingak celinguk kanan dan kiri kemudian mengeluarkan ponselnya. Lalu mengetik cepat-cepat.

"Mud, lo baca WA gue sekarang ya."

Segera kuambil ponselku yang berada di atas nakas. Ada pesan dari Dodo. Segera kubuka dan kubaca pesannya.

Dodo : Jangan bicarakan soal ini di sini. Lo tahu kan mansion sebesar itu aja banyak penyadap suara. Apalagi di rumah yang jauh lebih kecil dari mansion. Kalau lo mau bicarain hal itu, kita bisa ke luar dan cari waktu karena jujur gue sendiri juga bingung. Gue baru, Mud, di sini. Kalau lo nanya soal Mamas Shagam gue paham, tapi kalau Mas Jor atau pun Mas Tir gue juga kurang ngerti.

Aku langsung mendelik menatap Dodo. Kali ini sudah tak ada raut sinisnya. Kemudian Dodo mengetik lagi dan ponselku kembali bergetar.

Dodo : Kalau nanya masalah ini, lo WA aja. Gue nggak berani kalau kita harus bersuara. Mas Tir marahnya lebih seram daripada Mamas Shagam. Kalau Mas Jor, gue belum pernah lihat dia marah. Gue juga banyak penasarannya sama kisah di sini. 

Kembali aku bertatapan dengan Dodo. Tak kusangka ternyata Dodo sama halnya denganku. Ia juga menyimpan banyak rasa penasaran sama sepertiku. Mungkin karena selama ini aku jarang dekat dengan Dodo karena tak pernah punya waktu untuk mengobrol berdua. Langsung aku balas pesan Dodo detik itu juga.

Pramudya : Do, kapan kita bisa bicara? Banyak hal yang mau gue tanya, Do. Terutama soal Jorda dan Alysam. Maaf, Do. Gue nggak tahu lagi mesti nanya ke siapa selain lo.

Dodo : Sepulang lo kerja. Kali ini lo siap-siap dulu aja. Pertanyaan lo gue tampung dulu. Nanti gue sempatin tanya soal ini ke Mamas Shagam.

Aku pun melihat Dodo yang langsung memasukkan ponsel ke saku celana pensilnya. "Mud, lo pakai pakaian itu. Nanti gue suruh pelayan ke sini. Gue ke luar dulu," pamitnya.

Di saat Dodo ingin melangkah ke luar, kusempatkan untuk mengucapkan terimakasih padanya. Dodo hanya tersenyum dan ia pun menutup pintuku. Aku pun terduduk termenung di tepi ranjang sambil membaca pesan-pesan dari Dodo lagi. Kesimpulan yang kudapatkan adalah Dodo juga sama tak mengertinya seperti aku dan ia juga penasaran. Keberuntungan dari dirinya adalah ia dekat sekali dengan Shagam--suami Marel. Entah apa yang membuat mereka dekat, tapi dari kalimat yang ia ketik, ia sangat yakin bahwa Shagam bisa membeberkan rahasia Jorda. 

Aku menghela napas lega. Setidaknya ada orang yang bisa kuajak bekerjasama untuk mencari tahu keganjilan di mansion ini--sori maksudku di rumah ini. Ya semoga saja aku bisa mengetahuinya dan ah iya! Atan. Aku juga menunggu informasi darinya. Intinya Jorda adalah salah satu dokter bedah di rumah Brasta dua tahun silam meskipun bukan dirinya yang menanganiku. 

Ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Segera aku bangkit dan membukanya. Ada pelayan masuk menghampiriku. Ah itu pasti pelayan yang akan mendandaniku. Sebaiknya aku segera bersiap-siap. Jantungku pun berpacu cepat. Ya semoga hari ini lancar semuanya.

***

Pekerjaan pelayan di sini memang patut kuakui jempol. Aku rasa Tirga memang merekrut mereka berdasarkan pemilihan yang ketat karena tak kusangka bekas luka yang membekas di wajahku tak terlihat jelas kecuali dari dekat. Aku juga sudah mengenakan rok selutut berwarna merah dipadu kemeja putih yang dibalut dengan jas merah. Rambut hitam sebahuku dibiarkan tergerai. Kupandangi juga sepatu hak tinggi berwarna putih ini. Entah kenapa jantungku berdegup kencang. Aku terlihat ... cantik.

Dan wajah ini kenapa semakin terlihat mirip orang lain dibandingkan diriku sendiri? Dan wajah ini rasanya tak asing. Aku seperti melihat di mana gitu. Aku terus mengingat-ingat namun, terhenti karena ponselku bergetar. Ada WA dari Jorda.

Farjorda Prasrari : Mud, kamu ngapain? Ayo turun sarapan. Kita juga perlu membicarakan beberapa hal sebelum kamu dan Tirga di Rabatik.

Kutarik napaku sejenak dan kukeluarkan perlahan begitu membaca pesan dari Jorda. Oke. Bismilah! Doaku semangat. Aku pun melangkahkan kakiku ke luar. Pelayan juga telah menyediakan sebuah tas mewah untuk aku bawa kerja. Lagi-lagi aku tak bisa menolaknya.

Kamarku berada di lantai bawah tepat di depan kamar Tirga dan Jorda. Ya kamar Tirga dan Jorda bersebelahan. Kemarin Dodo menunjukkannya padaku. Sedangkan kamar Kiran dan Dodo berada di belakang. Kiran sama sekali tak mempermasalahkan lokasi kamarnya yang berbeda denganku. 

Aku terus berjalan menuju ruang makan dan sudah bisa kulihat ada Tirga dan Jorda yang sudah duduk manis di kursi meja makan. Mendengar hentakan kakiku, Jorda langsung menolehkan kepalanya. Mulutnya sedikit menganga. Apa bisa kubilang ia terpana dengan wajahku? Ah tapi tak mungkin. Namun tak lama karena secercah senyuman muncul dari wajahnya.

"Itu kamu, Mudya?" tanya Tirga.

"Iya," jawabku begitu sudah duduk di samping Tirga seberang Jorda. Ya Jorda mempersilakan aku untuk duduk di situ. 

"Yasudah. Kamu sarapan dulu, Mud. Makanan ini buatan Kiran loh," ujar Jorda.

Mataku berbinar begitu menyaksikan deretan makanan-makanan ini. Wah banyak sekali. Kiran memang luar biasa. Aku pun mengangkat kepalaku dan memandangi Kiran yang sejak awal berdiri di belakang Jorda. Ia tersenyum melihatku. Sementara Dodo juga berdiri di samping Tirga. Ia sibuk menyuapi Tirga. 

Jorda pun mengambilkan makanan ke atas piringku. Tadinya aku mau menolak, tapi Jorda bersikap sigap dan ya kini aku mulai melahap makanan ini. Suasana pun hening semua sibuk dengan acara mengunyahnya masing-masing sampai akhirnya ....

"Mud, kamu siap kan? Kamu sudah tahu kan apa yang akan kamu lakukan selama di Rabatik nanti?" tanya Jorda.

Kuanggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Jorda. "Oke. Tir, untuk hari ini gue nggak bisa ikut ke Rabatik. Mungkin bisa tapi nanti siang. Gue perlu ke rumah sakit Brasta dulu. Mendadak ada panggilan dari pasien VVIP yang selama ini gue rawat."

Tirga yang masih sibuk mengunyah berusaha membalas pernyataan Jorda. "Loh, kok bisa? Bukankah pasien lo cuma gue, Jor?" tanya Tirga.

"Ini pasien udah lama. Sebelum dua tahun yang lalu dia emang pasien tetap gue dan setahu gue dia udah sehat. Nggak tahu kenapa, tadi gue dapat telpon dari Tante Viza bahwa ia kembali ke rumah sakit. Dia maunya gue, Tir, yang nanganin. Cuma sebentar kok. Gue perlu ngecek keadaan jantung dia," terang Jorda. Ia sudah selesai makan.

Ah iya. Jorda adalah dokter bedah jantung. Tirga kelihatannya tak senang. Ia langsung menyingkirkan pelan sendok yang mau disuapkan Dodo ke mulutnya. "Do, aku sudah kenyang," lapornya. Dodo tanpa banyak bicara pun mundur perlahan. Sama sekali tak ada perlawanan pada Dodo. Dodo pun menaruh piring tersebut ke atas meja makan depan Tirga.

Aku sebenarnya sedikit salut pada Dodo. Kenapa dia bisa baik sekali melayani Dodo dan Jorda? Padahal dari yang aku tangkap dari pembicaraan kami tadi pagi. Ia juga sangat dekat dengan Marel. Orang-orang di sini semuanya penuh rahasia atau memang Dodo orangnya baik sehingga ia mau melakukan apa saja demi orang lain tanpa pamrih? Ia itu menurut sekali loh pada Jorda dan Tirga. Sama sekali aku tak pernah mendengar ia menolak atau marah pada perintah kedua lelaki itu.

"Terus? Lo cuma biarin gue sama Mudya doang hari ini ke Rabatik? Gue takut, Jor, kalau nggak ada lo," tampik Tirga kencang. 

Jorda memasang wajah tak enaknya. "Tir, ada kehidupan orang lain yang sekarang lagi butuh uluran tangan gue. Lo juga lagi sehat kan sekarang? Jantung lo nggak kenapa-napa kan? Tubuh lo lagi nggak sakit kan? Lagipula kan ntar gue ke Rabatik juga. Gue yakin lo pasti bisa kok."

"Jantung gue saat ini emang nggak kenapa-napa, Jor. Tapi lo tahu sendiri kan ada kalanya jantung ini berhenti bergerak ketika gue lagi dalam masa syok atau kaget. Kalau nggak ada lo gimana, Jor. Gue nggak mau semuanya berantakan."

Jorda mengembuskan napasnya lembut. "Adtirga ... ada Mudya. Lo lupa sama kehadiran Mudya? Dia yang akan buat lo tenang. Lo jangan panik. Lo pasti bisa. Lo ingat kan latihan kita kemarin? Lo dan Mudya tahu apa yang akan kalian lakukan untuk menghadapi Om Riko dan Tante Gia."

Tunggu tunggu. Ini maksudnya apa? Jantung? Jantung Tirga bisa berhenti bergerak ketika dalam kondisi syok atau kaget? Ini tak pernah ada dalam perbincangan kami selama ini. Yang aku tahu Tirga hanya bermasalah di kaki dan matanya. Tapi tidak dengan jantungnya! Oke. Aku jadi tahu sekarang. Sebelumnya aku sempat heran kenapa Jorda bisa merawat dan mengetahui kondisi kesehatan Tirga padahal dia adalah dokter bedah jantung. Dan alasannya adalah karena selain mata dan kaki, jantung Tirga juga tidak sehat.

"Jor, jantung apa maksudnya? Tirga punya penyakit lagi?" tanyaku bingung.

Raut Jorda berubah panik. Ia seperti kelepasan berbicara. "Hmmm ...." Jorda terlihat susah untuk menjelaskan. Aku melirik Kiran. Kiran mengendikkan bahunya tanda tak mengerti. Hal yang sama kulakukan pada Dodo. Ia menggelengkan kepalanya.

"Mudya, aku ini pria penyakitan." Nada bicara Tirga terdengar sarkas.

"Ya aku tahu, Tir. Tapi yang aku tahu dari awal kamu cuma bermasalah di mata dan kaki kamu," kataku. Selera makanku menghilang. Kuletakkan sendok dan garpu ini di atas piring.

"Mud, nanti aku bisa jelasin, tapi nggak sekarang. Karena sekarang kamu dan Tirga harus ke Rabatik." Jorda berusaha menenangkanku.

Aku mengerutkan wajahku tak suka. "Adtirga, Farjorda. Aku tahu aku memang cuma seorang sekretaris di sini. Tapi aku perlu tahu semuanya. Sebenarnya apa aja yang kalian tutupi dari aku? Kalian berdua tahu dari awal aku menolak keras untuk menjadi sekretaris Tirga. Begitu mendengar bahwa jantung Tirga bisa berhenti ketika dia dalam kondisi syok jelas aja buat aku takut. Kalian paham nggak sih? Aku yang akan jaga Tirga selama di Rabatik. Ini artinya tanggungjawab aku makin gede dan ...."

Kalimatku terhenti karena tangan Tirga menyentuh tanganku berusaha meredam ketakutanku. Ya seandainya saja mereka tahu bahwa di lubuk hatiku yang paling dalam aku ketakutan. Pertama karena aku akan menghadapi orang-orang kaya gila harta dan kedua aku harus menjaga seorang pria yang maaf sedang sakit. Kalau Tirga kenapa-kenapa. Pasti aku yang akan menjadi sasaran utama. 

"Mud, hanya setengah hari. Bahkan nggak sampai setengah hari. Aku usahakan secepatnya ke Rabatik. Kamu jangan takut. Aku yakin Tirga nggak akan baik-baik aja." Langsung kulepaskan tanganku dari sentuhan Jorda. Kusembunyikan di bawah meja. Tanganku bergetar ketakutan. "Tir, plis. Lo kontrol emosi lo. Jangan mudah panik, Tir. Oke. Gini. Solusi terbaik, anggap Mudya adalah Alysam. Siapa tahu keadaan hati lo membaik."

"Alysam ... nama itu ...." Lagi-lagi Jorda terlihat telah melakukan kesalahan. Ia pasti tak sengaja menyebut nama Alysam. "Gue nggak pernah dengar lo nyebut nama dia lagi, Jor ...," ujar Tirga sedih. Wajahnya berubah sendu. "Di mana Alysam, Jor? Tiap kali gue sebut nama Alysam lo cuma diam dan sekarang akhirnya lo sebut nama dia lagi. Terus kenapa gue mesti anggap Mudya adalah Alysam, Jor? Mudya adalah Mudya. Dia beda dengan Alysam ...," lanjutnya lirih.

Jorda menutup wajahnya kemudian ia rundukkan kepalanya sebentar. Lalu diremasnya kasar rambutnya. Ya sama halnya dengan Tirga. Aku juga penasaran soal Alysam. Di mana dia berada? Dan seberapa pentingnya Alysam buat kedua pria ini?

"Tir, jangan tanya Alysam di mana. Lo mending siap-siap. Bentar lagi jam setengah sembilan. Lo harus sampai sana. Lo harus buat Om Riko dan Tante Gia tercengang lihat kehadiran lo." Jorda memilih mengalihkan pembicaraan dan tentu saja ini membuatku heran.

Tirga menghela napasnya kesal. "Jor, gue udah mencoba sabar ya. Selama dua tahun ini tiap kali gue tanyain di mana keberadaan Prita dan Alysam lo nggak pernah kasih tahu. Bahkan kayak sekarang lo ngalihin semuanya. Mereka di mana, Jor? Oke. Gue nggak butuh Prita karena dia wanita busuk, tapi Alysam. Gue harus tahu dia di mana, Jor ...." Kelihatan sekali dari suaranya betapa Tirga merindukan sosok bernama Alysam itu.

Jorda berdecak sebal. "Tir, nanti lo akan tahu. Gue sayang lo, Tir. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Begitu gue pastikan kesehatan lo udah benar-benar pulih, gue akan kasih tahu semuanya. Untuk saat ini lo fokus aja sama Rabatik. Ada Mudya sekarang di dekat lo. Anggap aja Alysam atau Prita adalah Mudya. Tir, gue yakin lo pengen semua masalah ini cepat selesai kan? Begitu juga dengan gue. Jadi untuk sementara tolong jangan bahas Alysam mau pun Prita." 

Aku tidak mengerti dengan kejadian ini. Kenapa Jorda harus menutupi keberadaan Prita dan Alysam? Namun dari raut wajah Jorda tertera betapa dirinya sangat takut terjadi sesuatu dengan Tirga. Tirga juga terlihat begitu kesakitan. Hmmm ... kenapa harus ada adegan seperti ini padahal hari masih pagi? Apalagi nanti ketika di Rabatik ya. Aku harus banyak berdoa sepertinya dan aku rasa sebaiknya aku menghentikan perdebatan ini. Yang perlu kutahu adalah apa saja yang mereka sembunyikan terkait audisi ini dariku?

"Oke. Sori menyela. Aku nggak tahu apa masalah kalian berdua. Siapalah itu Alysam, Prita, atau siapa pun. Yang aku pedulikan adalah nasib aku. Aku di sini cuma sekretaris ya. Dan aku nggak mau masuk dalam masalah kalian. Tapi mau nggak mau rasanya aku harus terjebak bersama kalian. Aku cuma mau jaminan kalau hidup aku nggak akan kenapa-kenapa nantinya. Jadi aku butuh informasi apa aja yang kalian tutupi soal Tirga dari aku terkait pekerjaan aku sebagai sekretaris di sini."

Mereka berdua pun terdiam. Jorda menatapku kalut. Lama-lama aku bisa gila menghadapi dua pria ini. Aku tidak perlu tahu masalah mereka dan aku tidak mau terjebak masalah di antara mereka berdua. Nada dering pada ponsel berbunyi yang berasal dari Jorda. Jorda mengangkatnya. Wajahnya kembali panik dan kali ini ia langsung beranjak bangun.

"Siapa, Jor?" tanya Tirga. Nadanya sudah kembali ramah.

"Pasien gue, Tir. Sori, gue harus buru-buru ke rumah sakit. Gue yakin lo pasti bisa hadapi mereka tanpa gue. Tenang, secepatnya gue akan ke Rabatik. Mud, kamu ingat apa yang harus kamu lakukan nanti di Rabatik ya. Dodo, lo ikut Mudya. Lo pasti tahu apa yang harus lo lakukan kan?" Tirga berbicara sangat cepat dan tanpa pamit ia segera melesat pergi meninggalkan kami semua yang masih terpaku di sini.

Oke. Pertanyaanku untuk kesekian kalinya terabaikan kembali oleh Jorda. Aku menggeram kesal. Aku lelah sekali sebenarnya. Kemudian kutolehkan kepalaku menghadap Tirga. Ia tampak sedih sekali. Rambut panjang ikalnya ia ikat rapi. Kupandangi dirinya lama. Aku tahu suasana hatinya. Pasti ia lebih kesal daripada aku. Dodo dan Kiran juga hanya diam tanpa kata. 

"Pramudya ...." Panggilan dari Tirga sontak membuatku tersadar.

"Iya, Adtirga ...." Mendengar panggilan lembutnya jelas saja membuat kekesalanku pada keadaan ini sirna. 

Ia pun mengangkat tangannya. "Mana tangan kamu?" tanyanya dengan suara bergetar. Segera tangan kiriku meraih tangannya. Seketika Tirga langsung mengenggamnya erat. "Mud, boleh aku pinjam tangan kamu hari ini?"

"Iya boleh. Buat apa?" tanyaku. 

"Kata Jorda barusan, aku boleh anggap kamu Alysam. Hanya untuk hari ini kok."

Dadaku sesak rasanya. "Tapi aku itu Mudya, Tirga ...."

"Iya. Aku tahu kamu Mudya. Ini hanya untuk meredakan kepanikan aku. Hari ini aja kok," paksanya.

Aku menatapnya sinis. Tanganku malah ia genggam semakin erat. Aku ingin melepasnya, tapi aku tak tega. "Terus kalau kamu anggap aku Alysam berarti kamu bakal panggil aku Alysam dong," ujarku kesal.

Tirga menggelengkan kepalanya. "Nggak. Aku tetap panggil kamu Mudya. Aku kan cuma pinjam tangan kamu aja dan aku anggap yang aku genggam ini adalah tangan Alysam."

"Tapi ini kan tangan aku dan aku adalah Mudya."

Tirga mengembuskan napasnya kasar. "Iya aku tahu ini tangan kamu, Mudya. Tapi aku pinjam hari ini aja dan aku anggap tangan ini adalah Alysam." Ia tetap ngotot pada pendiriannya.

"Terus kalau tangan aku kamu pinjam, gimana aku dorong kursi roda kamu?" tanyaku ketus.

"Ada Dodo. Dodo kan ikut. Kamu cukup berdiri di samping aku dan tangan kamu aku pinjam untuk hari ini sebagai tangan Alysam."

"Tap ...."

"Dodo, ayo berangkat." Kalimatku dipotong olehnya. 

Dodo tanpa banyak bicara langsung menuruti Tirga. Mau tak mau aku ikut bangkit karena tanganku terus dipegang Tirga. Mataku dan Kiran bertemu. Kiran tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya memandangku bingung. Ya Kiran bingung apalagi aku.

Aku pun terus mengikuti ke mana arah kursi roda Tirga berjalan. Ya Allah, kenapa semuanya mesti seperti ini sih? Kulirik sebentar tangan kiriku. Hmmm sepertinya baru kali ini ada adegan di mana seseorang meminjam tangan orang lain untuk dianggap sebagai orang lain pula. Kenapa rasanya cukup menyedihkan ya? Hmmm.

***

Tanggapannya doooong gimana? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro