Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

Di pagi harinya jantungku dagdigdug. Aku takut melihat wajah Jorda. Pasti tampangnya akan sangat kesal padaku. Ya Tuhan. Kenapa sih Jorda bisa ada bersama Zafrin semalam? Entah mengapa aku merasa kehidupanku di mansion ini sepertinya tidak aman. Semuanya serba aneh dan membingungkan. Ia juga tidak menghubungiku sama sekali. Untung saja semalam aku bisa tidur dan tidak ambil pusing karena malam harinya aku memilih menghampiri kamar Kiran untuk menikmati ayam semurnya. Kamar Kiran sama besarnya dengan kamarku.

Kali ini kami semua sedang berada di aula. Sosok Dodo dan Jorda belum kelihatan batang hidungnya. Kiran berada di sebelahku sekarang. Kami membicarakan apa saja sampai akhirnya beberapa menit kemudian sosok yang kutunggu muncul juga. Jorda mengenakan kemeja biru dongker dan celana panjang bahan berwarna hitam. Sedangkan Dodo memakai skinny jeans dipadu dengan kaos hijau muda.

Kami pun langsung berbaris rapi. Dodo dan Jorda sekarang duduk di depan seperti biasanya. Mataku terus tertuju melihat Jorda namun, anehnya Jorda sama sekali tak mau memandangku. Tiap kali mata kami hampir bertemu, ia segera membuang bola matanya. Apa karena gara-gara kejadian aku telponan dengan Zafrin kemarin makanya ia jadi kesal?

Hmm ... namanya ditelpon juga bisa apa.

"Oke. Selamat pagi. Saya nggak akan basa-basi lagi. Peserta sekarang berjumlah 14. Akan ada pengurangan peserta tergantung dengan nilai masing-masing peserta nanti. Ujian yang kita lakukan kali ini adalah mencuci dan menyetrika." Suara keluhan kembali memenuhi aula ini. "Kalian nggak suka? Kalau nggak suka kalian bisa mundur sekarang dan otomatis kalian akan tereliminasi. Kalau misal ada yang bertanya kenapa ujiannya seperti ini, jawabannya masih seperti kemarin. Silakan kalian ingat sendiri. Untuk nilai yang tidak memuaskan maka akan dikurangi 50 dan jika menang maka akan ditambah 50. Selanjutkan akan dijelaskan Dodo."

Jorda benar-benar tak melirikku sama sekali. Apa ia kesal karena aku kemarin sempat bertanya kenapa ia suka memandangku diam-diam? Hmmm ....

"Nanti seperti biasa para pengawal akan membimbing kalian ke tempat yang dituju. Jurinya kali ini adalah Bunda Tere dan Pak Rewa. Mereka berdua yang akan menentukan nilai yang pas buat kalian berapa. Jadi gue harap kalian berhasil dan sungguh-sungguh. Semoga berhasil."

Jorda pun bangkit dan berjalan meninggalkan kami semua. Dodo menyusul di belakangnya. Jorda benar-benar lain. Ia tak menatapku sedetik pun. Astaga. Kenapa jadi aneh ya rasanya? Beberapa menit setelahnya ada Jema--satu-satunya nama pengawal yang kuhapal di mansion ini-- menuntun kami ber-empat belas ke tempat untuk menyuci baju.

Aku dan Kiran diam tak mengeluarkan sepatah kata. Kami semua terus berjalan mengikuti arahan Jema. Hingga akhirnya kami sampai juga di sebuah ruangan yang sangat besar. Ini memang adalah tempat menyuci. Banyak sekali alat menyuci di sini dan berjumlah empat belas sesuai dengan total peserta yang tersisa. Di sekitarnya terdapat setumpuk kain kotor dan itu cukup banyak. Gila. Kami mencuci tangan! Tidak dengan mesin cuci! Gila. Disangka kami kuli apa?

Entah suara dari mana, "Kalian pasti sudah berada di ruangan. Oke gue akan jelasin. Jadi, kalian akan diberi waktu mencuci sekitar enam jam. Sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Itu artinya kalian harus bisa menyelesaikan sampai jam tiga sore dan baju yang kalian cuci harus sudah dalam keadaan kering dan rapi. Nanti akan ada bel yang menandakan kapan kalian berhenti melakukan ujian ini. Oke. Semangat, guys!" Suara Dodo terdengar dari speaker di ruangan ini.

Aku dan Kiran bertatapan sejenak. "Mud, lo semangat ya. Poin lo terkecil loh di antara kita semua. Gue nggak mau kehilangan lo di mansion ini. Gue kan cuma punya lo yang akrab sama gue," ucapnya murung.

Aku tersenyum kecil. "Iya, Ran. Tenang aja," kataku yang tentu saja bohong.

Justru ini kesempatan emas buatku agar aku bisa keluar dari mansion ini. Aku amat sangat tidak betah berada di sini. Semua serba membingungkan dan aneh. Terutama menghadapi sikap Jorda terhadap Zafrin. Lagipula aku kan tidak pernah berniat menjadi sekretaris Tirga si Pria Sombong itu. Aku malas kalau harus dimarahi terus-terusan olehnya nanti. Lagipula keluar dari sini secara hormat tidak akan membuat diriku di-blacklist.

Jema pun menyuruh kami semua berjalan ke salah satu area mencuci tersebut dan kini kami sudah berdiri di masing-masing area mencuci kami. Kulirik Kiran. Ia mengepalkan tangannya memberikan semangat padaku. Aku tersenyum lagi. Tak sengaja mataku bertemu dengan mata Tayana. Ia menatapku sinis. Dasar.

Teng!

Bel berbunyi. Kami semua pun langsung bergerak cepat. Bisa kusaksikan bahwa mereka semua sangat semangat. Hmmm aku mencuci ala kadarnya saja ah. Tidak perlu repot-repot. Yang membuatku semakin berdecak adalah tumpukan ini ternyata beragam macam dan amat sangat jorok serta bau. Tumpukan kain di bajuku terdiri dari kemeja putih, jas hitam, celana hitam, seragam-seragam pelayan karena aku bisa ingat dari model dan warnanya. Astaga. Orang yang mengadakan audisi ini benar-benar mengerjai kami.

Aku pun melirik ke para peserta lain. Tampang mereka juga terlihat jijik dan tangan mereka sibuk menutup hidung mereka. Yasudah. Ingat, Mud. Cuci sekedarnya saja. Jangan dipaksakan. Dan aku makin syok karena tumpukan baju ini banyak sekali. Audisi tidak berkeprimanusiaan.

Aku pun mulai melakukan aksiku. Aku rendam kain-kain kotor ini secara bergantian. Maklum ember yang disediakan oleh mereka hanya tiga ember. Itu artinya aku harus bergantian merendamnya. Ya merendam lima belas menit itu cukup kok. Sambil menunggu, aku memilih untuk membuka ponselku. Ada WA dari Atan!

Alatan Kanyuswara : Mud, gue udah cari tahu soal Jorda. Ternyata ketika kecelakaan dua tahun silam, dia termasuk salah satu dokter yang nanganin soal kematian keluarga lo!

Aku terlonjak begitu membaca pesan WA dari Atan. Hah? Jorda yang menangani kematian keluargaku? Itu artinya dia tahu aku dong!

Pramudya Sasqrina : Sori baru balas. Sumpah lo, Tan?! Jadi pantas aja dong Jorda tahu muka gue dulu. Apa jangan-jangan dia tahu kasus operasi muka gue?

Alatan Kanyuswara : Masih gue selidiki, Mud, soal itu. Yang jelas benar kalau Jorda termasuk salah satu dokter yang bertanggungjawab soal keluarga lo. Dia dokter bedah jantung si emang dan gue juga masih bingung apa hubungannya dokter bedah dengan kematian keluarga lo.

Pramudya Sasqrina : Dokter bedah jantung? Gue baru tahu soal itu, Tan. Yang gue tahu dia cuma dokter bedah. Dan setahu gue, keluarga gue sehat. Nggak ada yang punya penyakit jantung.

Alatan Kanyuswara : Makanya ini masih dalam penyelidikan, Mud. Lo tunggu kabar gue selanjutnya aja. Nanti gue kasih tahu kalau ada apa-apa.

Pramudya Sasqrina : Oke, Tan. Makasih banget ya....

Aku pun memasukkan ponselku ke dalam saku bajuku. Diriku termenung sejenak memikirkan pesan dari Atan barusan. Apa karena itu Jorda jadi memperlakukanku seperti itu? Ia tahu soal keluargaku. Aku merasa dibodohi selama ini. Tapi seingatku waktu itu, aku tidak pernah bertatap muka dengan Jorda sekali pun. Ya ini termasuk kesalahanku juga sih tidak mencari tahu siapa dokter yang benar-benar menangani soal kematian keluargaku. Aku hanya ingat dengan wajah satu dokter yang membantuku melepas perban. Sayang, aku tidak tahu nama dokter tersebut.

Lain kali aku akan ke rumah sakit itu lagi. Akan kupastikan sendiri semuanya. Benarkah Jorda yang menangani? Ah atau nanti saja aku coba hubungi Jorda. Pantas saja aku merasa aneh sekali dengan perlakuan Jorda padaku.

"Mudya ... kamu nggak nyuci?" Sebuah suara mengejutkanku.

Aku langsung menoleh ke suara tersebut. Itu suara Jema. "Ah iya. Lagi direndam bajunya."

Jema mengerutkan dahinya. "Berapa lama? Yang lain sudah mulai menyuci loh, Mud. Cucian kamu juga banyak. Jangan lihat ponsel terus. Nanti kecemplung bahaya loh," ujar Jema.

Aku menyengir. "Hehe iya, Jem. Nih bakal mulai nyuci kok."

Jema hanya mengangguk lalu ia berjalan ke kanan dan ke kiri mengawasi kami semua satu per satu. Kutarik napasku sejenak berusaha meredam rasa penasaranku atas Jorda. Mataku pun berkeliling mencari di mana keberadaan cctv dan aku menemukannya di sudut kiri. Kutatap tajam cctv tersebut. Sengaja kupasang wajah kesalku ke kamera karena aku tahu pasti Jorda sedang mengawasiku dari sana.

Oke. Besar kepala sekali ya aku. Tapi kalau dia tidak melihatnya juga tidak apa. Aku pun melanjutkan acara menyuciku. Hal ini semakin membuatku ingin agar segera pergi dari tempat ini. Aku melakukan semuanya secara lambat. Tidak seperti para peserta lain yang sangat cekatan.

Kulirik ke arah Tayana yang berada di sebelah kananku. Wanita itu benar-benar mempunyai sisi lain yang patut kupuji. Selain cantik dan bisa memasak, ternyata ia juga jago mencuci baju. Wow.

Waktu pun terus berjalan. Ya sudah ada sebagian baju yang kucuci dan kujemur. Aku mengerjakannya malas-malasan. Pokoknya aku harus pulang secepatnya. Biar bisa kucari tahu soal kematian keluargaku. Kebetulan aku masih ingat rumah sakitnya. Namanya adalah rumah sakit Brasta.

Astaga! Rumah sakit Brasta? Itu kan rumah sakit milik keluarga Marel. Jangan-jangan Marel juga tahu soal kematianku makanya ia bisa bilang aku cantik waktu itu? Ya Tuhan. Kenapa ini semua terasa ganjil?

Karena memang jumlah pakaian ini sangat banyak dan kami tak dikasih waktu untuk makan di ruang makan, para pelayan pun datang menghampiri seraya membawa beberapa makanan untuk mengisi perut kami yang mulai kelaparan. Dan saat ini aku kembali dalam posisi merendam sambil menyetrika pakaian yang sudah kering. Sesekali tanganku menyambar roti yang diberikan pelayan ke mulutku.

Ya selain menyuci, area ini juga tersedia untuk menyetrika. Sementara di belakang area menyuci ini terdapat jemuran dengan beberapa kipas berukuran sangat besar yang mampu membuat pakaian yang basah cepat kering. Benar-benar menakjubkan segala benda yang ada di mansion ini. Semua serba canggih.

Menit demi menit berlalu hingga akhirnya sekarang sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Waktuku tinggal sejam lagi untuk menyelesaikan semua ini. Ya baguslah. Itu artinya aku akan pulang hari ini dan ....

Teng!

Bel berbunyi menandakan bahwa waktu ujian telah berakhir. Aku lega karena tumpukan kain kotorku masih lumayan banyak. Saat itu Jema langsung menyuruh kami berhenti melakukan aktivitas kami. Bisa kulihat ke kanan dan ke kiri, peserta lain sedikit sekali tersisa tumpukan kainnya. Bahkan Kiran dan Tayana bersih. Astaga. Mereka memang wanita-wanita super. Seberapa kuat coba tenaga mereka untuk menyuci menggunakan tangan dan menyetrika sekaligus?

Kami pun diminta Jema untuk maju ke depan meninggalkan area menyuci ini. Tiba-tiba ponsel Jema berdering tepat di saat Jema ingin membuka mulutnya. Ia pun mengambil ponsel dari saku celananya. Entah perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa mendadak Jema menatapku. Namun begitu aku tegaskan, ia segera membuang wajahnya.

Jema menutup telponnya. "Diharapkan kepada semua peserta ke luar dari ruangan ini. Penilaian akan dilakukan secara tertutup. Nanti nilainya akan diumumkan sekaligus peserta mana yang kali ini akan dipulangkan. Silakan semuanya ikuti saya," ujar Jema.

Kami semua langsung berpandangan bingung. Tapi ya kami bisa berbuat apa. Mau tak mau kami menurut pada Jema selaku orang yang bertanggungjawab pada ujian kali ini. Aku dan Kiran berjalan beriringan.

"Tumben ya begini, Mud. Biasanya kalau penilaian kan transparan. Ini tertutup banget," kata Kiran.

Aku mengendikkan bahuku. "Iya. Aneh banget."

"Lo tadi kok banyak banget sih tumpukan nyuci lo? Nggak biasa nyuci pakai tangan lo ya?" tanya Kiran.

Aku tersenyum paksa. "Iya. Gue biasa laundry. Lagipula kalau nyuci, gue pakai mesin cuci, Ran."

"Untung emak aye suka hemat listrik. Jadi kadang pakai mesin cuci. Kadang nyuci tangan dan aye udah terbiasa dengan cucian sebanyak tadi," jelas Kiran.

Aku hanya ber-O ria mendengar kata-kata Kiran. Dan kini kami kembali berjalan ke ruang makan. Aku yakin pasti kami disuruh makan. Tak sengaja mataku bertemu lagi dengan mata Tayana. Lagi-lagi ia menatapku sinis. Ah bodo amatlah.

"Kalian silakan makan siang dulu. Maaf kalian harus telat makan kali ini. Nanti setelah kalian selesai makan, akan ada speaker seperti biasa yang memanggil kalian dan hasil dari uji tadi akan diumumkan. Selamat makan," ucap Jema yang langsung membalikkan dirinya dan meninggalkan kami semua.

Aku dan Kiran pun langsung berjalan mengambil piring dan menikmati makanan yang tersedia. Sambil makan kami berdua terus mengoceh membahas apa saja. Dan tak kusangka tiba-tiba Tayana menghampiri meja kami dengan tangan yang membawa makanan.

"Boleh kan gue duduk di sini?" tanyanya.

"Boleh aje. Kagak ada yang larang," jawab Kiran ketus.

Tayana pun duduk di sampingku. Ia mulai menyantap makanannya sementara kami berdua jadi terdiam kaku.

"Lo berdua ngobrol mah ngobrol aja. Santai aja kali ada gue," ujar Tayana tanpa melihat kami.

"Terus, Ran? Lo berarti pernah juga gitu ketemu cowok pakai kursi roda di mansion ini?" tanyaku.

Ya pembahasan kami kali ini adalah seorang pria yang pernah aku jumpai di taman. Tak kusangka ternyata Kiran juga pernah melihat pria yang bernama Adtir itu. Aku pikir hanya aku seorang. Kenapa aku bisa tahu itu adalah orang yang sama? Karena Kiran sempat memotret wajahnya secara diam-diam lalu menunjukkannya padaku. Aku ingat dia Adtir karena Zafrin pernah menjelaskan bahwa pria di taman itu bernama Adtir.

Tunggu tunggu. Aku jadi sadar sekarang. Ketika aku bertemu dengan Zafrin pertama kali. Ia bilang bahwa ia kaget karena tempat yang ia kunjungi didatangi orang lain yaitu taman itu. Lalu selanjutnya ia malah menjelaskan bahwa pria di taman adalah Adtir dan dirinya adalah Zafrin. Jadi mana yang benar pernyataan pertama atau kedua? Ehm ... jangan-jangan Adtir dan Zafrin adalah orang yang sama dan Zafrin membohongiku. Toh wajah Zafrin tertutup dengan topeng ultramannya. Sedangkan Adtir tidak. Membingungkan.

Sepertinya hal ini harus kutanyakan jika bertemu dengan Zafrin atau nanti akan kucoba kirim pesan padanya menanyakan hal ini. Sudahlah. Lebih baik aku fokus lagi dengan pembicaraan ini.

"Aye baru kemarin lihatnya, Mud. Itu pun kagak sengaja pas aye abis dari dapur. Aye kan nganterin ayam semur ya ke Dodo di aula. Nah perjalanan dari dapur ke aula noh nggak sengaja aye lihat cowok pakai kursi roda lagi ngobrol sama Jorda. Aye kagak dengar mereka bicarain apa. Tapi ya gitu aye sempat foto dia. Abis itu aye langsung ngacir kabur."

"Cowok pakai kursi roda?" timpal Tayana.

Sontak kami berdua menoleh ke Tayana. "Iya. Jangan bilang lo pernah ketemu juga."

"Hah? Nggak kok." Tayana melanjutkan makannya.

"Serius lo? Muka lo nggak bilang gitu, Tay. Lo tahu nggak namanya siapa? Si Mudya sih bilang dia pernah ketemu di taman pas aye tunjukin mukanye."

Tayana pun menghentikan makannya sementara. "Gue beneran nggak tahu, Ran, siapa yang lo maksud dan jelas aja Mudya tahu siapa pria itu." Tayana kini menatapku dalam.

Aku mengerutkan dahiku. "Maksud lo?"

"Selain soal pria kursi roda itu. Gue juga mau nanya soal Jorda."

"Lo kenapa sih, Tay?" tanya Kiran mulai kesal.

Tayana menatap Kiran tak suka. "Lo nyimak aja ya, Ran. Ini urusan gue sama Mudya." Dan kali ini beralih menatapku. Ia meletakkan sendok dan garpu yang ia pegang ke atas meja. "Lo itu ada apa sih sama Jorda? Gue ngerasa aneh sama sikap Jorda ke elo."

Oke. Sepertinya Tayana mulai membuka taringnya. "Gue nggak ngerti maksud lo." Lebih baik aku pura-pura bodoh.

"Bohong. Lo pikir gue nggak curiga ketika Jorda meluk lo kemarin pas lomba masak? Semua orang curiga, Mud! Gue juga sering nangkap Jorda mandang lo diam-diam. Lo pikir gue nggak ngeh?"

Aku terdiam. Kiran juga ikut diam.

"Dan asal lo tahu. Malam itu ketika lo ke luar dari kamar kita pas kita masih sekamar bertiga. Gue lihat lo lari dorong-dorong pria pakai kursi roda. Itu siapa? Lo bohong kan kalau nggak tahu namanya?" tanya Tayana dengan nada tertahan. Ya Tayana sengaja tidak membesarkan volume suaranya kurasa karena ia tak mau orang lain mendengar percakapan kami.

Napasku tercekat mendengar hal ini. Jadi malam itu Tayana sempat melihatku dengan Zafrin atau ... Adtir maybe?

"Hah?" Kiran ikut kaget mendengar pernyataan Tayana.

"Ran, banyak yang Mudya ini tutupin dari lo. Lo coba buka mata deh. Sikap Jorda itu aneh ke Mudya. Dia sampai peluk-peluk Mudya waktu itu!"

"Ya wajar Jorda meluk Mudya waktu lomba masak itu. Makanannya dibuang Tirga. Jorda nenangin. Nggak ada yang aneh, Tay," sanggah Kiran.

Tayana menghela napas sembari memutar bola matanya ke atas. "Plis deh. Dan gue lihat Mudya dorong pria kursi roda yang lo bilang barusan. Mudya kenal dia. Gue sempat ngikutin, tapi berhenti di tengah jalan karena ada pengawal ketemu sama gue dan gue disuruh balik ke kamar."

Aku cukup lega mendengarnya. Untung saja Tayana tidak mengetahui ruang rahasia Zafrin.

"Gue juga nggak tahu, Tay, kenapa Jorda begitu sama gue. Sumpah! Gue juga sering nanya, tapi Jorda nggak pernah jawab. Lalu soal pria kursi roda itu. Iya. Gue kenal dia dan kenalnya juga saat itu. Tapi gue masih bingung apakah dia pria yang sama dengan pria yang gue temui di taman apa nggak," terangku.

"Lo pasti lihat wajahnya kan? Masa lo nggak bisa bedain?" Tayana bertanya lagi.

Kiran memandangku dengan ekspresi tanda tanya.

"Waktu ketemu malam itu, dia pakai topeng, Tay. Jadi gue nggak tahu apakah itu pria yang sama dengan yang di taman apa nggak."

"Topeng?" tanya Kiran dan Tayana serempak. Gara-gara hal ini kami jadi berhenti makan.

Aku mengangguk. "Iya. Topeng ultraman dan namanya Zafrin."

Mata Tayana melotot. "Zafrin topeng ultraman? Ya Tuhan!" seru Tayana sambil menutup mulutnya tak percaya.

"Kenapa, Tay? Lo tahu?" tanya Kiran.

Tayana meneguk salivanya. "Zafrin itu pianis. Gue pernah dengar hal ini dari Tirga. Jadi, Zafrin tinggal di sini juga?"

"Lo kenal Zafrin?" tanyaku.

Tayana menggeleng. "Nggak. Gue cuma dengar dari Tirga. Dia bilang dia punya sisi lain bernama Zafrin ...."

"Sisi lain? Bukan kembaran?" Kali ini aku juga ikutan bingung.

Tayana memejamkan matanya sejenak. "Bisa juga kembaran. Gue nggak ngerti, Mud!"

Tiba-tiba ....

"Untuk seluruh peserta diharapkan ke aula. Akan segera dilakukan pengumuman peserta yang lolos dalam ujian kali ini." Itu suara Dodo.

Tayana pun bangkit. "Lupain ucapan gue barusan. Anggap aja gue nggak pernah ngomong sama lo berdua," ujarnya ketus dan Tayana kembali bergabung dengan anggotanya.

Aku dan Kiran bertatapan bingung. "Sebenarnya ada apa sih, Mud?"

Kugelengkan kepalaku tak mengerti. "Nggak tahu gue, Ran. Gue juga bingung ...."

"Banyak yang aneh ya," decak Kiran.

Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa meladeni ucapan Kiran barusan. Kiran pun bangkit dan mengajakku ke aula. Aku mengikutinya. Selama perjalanan menuju aula, aku sibuk dalam pikiranku sendiri memikirkan fakta baru yaitu siapa sebenarnya Adtir, Tirga, dan Zafrin? Aku tahu Tayana mengenal Tirga dan ia baru saja bilang Tirga pernah menyebut bahwa Zafrin adalah sisi lainnya. Tapi juga bisa kembaran. Aku jadi penasaran sudah sejauh mana pengetahuan Tayana terkait Tirga dan Zafrin? Astaga ....

***

"Untuk Anis, Rista, Ara, Nisa, Nidia, Firza, dan Lala. Maaf. Usaha kalian berhenti sampai di sini untuk menjadi sekretaris Tirga. Terimakasih atas kerja keras kalian selama di sini. Silakan susun barang kalian. Nanti sore kalian akan dibimbing pengawal untuk pulang. Keputusan sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat," terang Dodo begitu kami semua sudah berkumpul di aula.

Wajah-wajah para wanita yang disebutkan langsung syok tak menyangka.

"Do, kita butuh nilainya. Biasanya transparan. Ini kenapa tertutup? Dan perasaan gue nyucinya udah bersih deh. Sisa kain kotor gue juga nggak banyak!" seru salah satu wanita yang tidak terima dengan keputusan ini.

Dodo menatap ke wanita itu. "Yang menilai adalah Bunda Tere dan Pak Rewa. Lo nggak bisa protes ke gue. Oke deh. Bye semuanya ...."

Dodo pun langsung membalikkan badannya meninggalkan kami semua di ruangan ini. Suasana mendadak mencekam. Para peserta menatapku garang dan berjalan mendekatiku. Tubuhku rasanya membatu tak bisa bergerak. Saat itu juga tiba-tiba tubuhku didorong kuat entah dari sudut mana sehingga mengakibatkan aku terjungkal.

"Heh! Gimana bisa gue itu nggak lolos? Gue tadi lihat sisa baju kotor lo masih banyak ya, Mud! Sialan lo! Gue udah ngerasa kalau audisi ini tuh nggak adil tahu nggak!"

"Sama! Gue tadi udah mati-matian ya nyuci dan si Mudya ini tadi kelihatan banget nggak niatnya. Lo main curang kan? Lo manfaatin muka jelek lo itu kan?!"

Astaga ... kata-kata mereka kenapa sungguh menyakitkan? Sejujurnya bukan mereka saja yang kaget. Aku juga terkejut luar biasa mendengar kata-kata Dodo tadi. Mana tadi Dodo sendirian tanpa Jorda yang menemani seperti biasanya. Aku juga tidak mau lolos kalau saja mereka tahu. Kenapa lagi-lagi aku diperlakukan hina ya sampai-sampai mereka menghina wajahku untuk kesekian kalinya ....

"Gue nggak tahu sumpah! Gue nggak pernah manfaatin wajah gue kok. Gue tahu gue jelek, tapi gue nggak selicik itu. Gue juga nggak ngerti kenapa gue lolos. Serius!" Air mataku tak sengaja mengalir dari sudut mataku. Ya Allah. Kenapa aku pakai nangis segala? Segera aku usap air mataku.

Salah satu dari mereka terkekeh. "Haha pakai acara nangis lagi lo. Basi tahu nggak! Tahu gitu gue ubah ya wajah gue jadi jelek. Siapa tahu gue dapat belas kasihan dari mereka supaya bisa jadi sekretaris Tirga!"

"Heh! Pantas aja ya lo kalah semua. Mulut lo nggak pernah disekolahin emang! Mudya nggak tahu apa-apa dan Mudya juga nggak ngerti kenapa dia lolos kali ini. Kenapa lo pada kagak tanyain aja sama Dodo atau Jorda? Jangan nyerang Mudya kayak gini!" Kiran membelaku.

Sebisa mungkin aku menahan air mataku agar tak tertumpah. Mudya itu kuat. Mudya itu kuat.

"Lo juga sama aja gendut!" balas peserta yang lain.

Aku masih terduduk di lantai. Mungkin saking emosinya Kiran, ia mengangkat tangannya untuk menampar peserta yang mengatai dirinya gendut namun, terhenti karena ....

"Ran, udah." Dodo menahan tangan Kiran. Kiran pun mengurungkan niatnya. "Kalian semua terekam cctv dan kalian yang menyerang Mudya secara otomatis akan tetap dipulangkan karena etika kalian yang minus sekali. Untuk yang lolos, itu telah melalui beberapa pertimbangan. Jadi jangan bertingkah memalukan seperti barusan," marah Dodo dengan nada tegas.

Wajah mereka seketika memerah malu.

Aku makin kaget lagi ketika ....

"Jangan ada yang menghina wajah Mudya lagi. Siapa pun yang menghina wajahnya, kalian akan langsung di-cut secara otomatis."

Dan Jorda langsung menarik tanganku sehingga aku pun bangun dan terpaksa mengikuti dirinya. Kupandangi ke belakang, semua wanita kali ini benar-benar menatapku garang. Terkecuali Kiran yang ia terlihat benar-benar bingung. Aku juga merasa aku seperti anak emas di sini. Tapi aku bisa apa?!

Ya Tuhan ... Ayah ... Ibu ... Nerta ... Arta ... tolong, Mudya ....

***

Seperti biasa minta tanggapannya. Gimana? Mueheheheh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro