13
Update lama yah hehe maaf yaa mood lagi kurang bagus. Komen yang banyak doong hehehe dan votenya :D
Oiya putar lagunya ya biar baper. Nanti lagu ini di mainin Zafrin aka Tirga.
Happy reading :*
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku terus mendorong kencang kursi roda Zafrin kencang karena suara berisik dan hentakan kaki makin terdengar jelas.
"Ayo, Mudya. Cepat hahaha cepat." Tawa Zafrin terdengar begitu bahagia. Mau tak mau aku juga ikut tersenyum dan semakin semangat untuk terus berlari.
"Kenapa kamu terdengar begitu bahagia?" tanyaku disela adegan lari-lari ini.
"Sudah lama aku tidak merasakan hal ini, Mudya. Kamu tahu rasanya dikurung, berobat, terapi dalam waktu yang sangat lama?"
Aku mengernyitkan dahiku. "Dikurung?"
Tawa Zafrin mendadak hilang. "Iya," jawabnya lesuh. "Sudah! Cepat dorong, Mudya! Hahaha," suruhnya lagi riang dengan tawa besarnya. Entah mengapa, mendengar tawa Zafrin seperti ini aku seolah ikut larut dalam kebahagiaannya. Padahal ini cuma adegan dikejar loh.
Aku pun terus berlari menuruti permintaannya dan entah kenapa aku merasa ujung lorong ini terasa sangat jauh. Kepalaku terus bolak balik melihat depan belakang. Napasku tersengal-sengal.
"Mudya, di situ ya. Di ujung," ujar Zafrin sambil menunjuk ke ujung lorong.
Aku pun mengikuti arah jarinya. Dan beberapa menit kemudian kami tiba juga di ujung lorong ini. Anehnya, aku tidak melihat pintu sama sekali di sini.
"Mud, tolong kamu cari dinding yang tidak rata. Kamu akan menemukan sebuah jejak tangan. Bantu aku untuk meletakkan tanganku di dinding itu."
Zafrin terus berbicara dengan kepala lurus ke depan. Ehm ... memangnya dia tidak bisa melakukannya sendiri?
"Kamu nggak bisa melakukannya sendiri?"
"Selagi ada orang yang bisa aku minta bantuan, kenapa aku harus melakukannya sendiri?"
Kuhembuskan napasku. Sepertinya dia ini tipe seseorang yang suka memerintah seenaknya. Daripada perdebatan ini semakin panjang, sebaiknya aku turuti saja permintaannya. "Oke. Tunggu sebentar."
"Cepat, Mudya. Nanti mereka mengetahui keberadaan kita."
"Iya." Aku pun mulai meraba-raba dinding ini. Tak kutemukan sama sekali ada permukaan yang berbeda karena menurutku sama semua. "Nggak ada, Zaf," aduku.
"Tidak mungkin. Aku hapal betul tempat ini. Tempat ini hanya aku yang tahu. Pokoknya kamu cari dinding yang tidak rata. Aku tidak bisa meli ... maksudku, aku sedang malas mencarinya. Ketika kamu merasakan dinding itu tidak rata. Ketuk tiga kali, maka akan muncul sebuah jejak tangan."
Aku menghela napas. Banyak sekali sih mau pria ini.
"Mud, jawab."
"Iya. Aku sedang mencarinya. Sabar dooong," keluhku sembari meraba-raba dinding ini.
"Perasaan mudah deh. Nggak sesulit itu menemukannya," dumel Zafrin lagi.
"Kalau gitu kamu aja yang cari."
Aku bisa mendengar helaan napasnya meskipun wajahnya tersembunyi di balik topeng ultramannya itu. Aku pun terus meraba-raba. Dan ya aku merasakan ada yang tidak rata di dinding ini.
"Maksud kamu itu tidak rata itu berupa jendulan ya?" tanyaku lagi.
"Iya iya benar. Kamu ketuk saja tiga kali," ucapnya riang.
Aku melakukan sesuai permintaannya. Kuketuk dinding tidak rata ini tiga kali dan benar. Sebuah jejak tangan muncul. Ini adalah sebuah finger print. Wow. Aku cukup takjub melihatnya.
"Sudah keluarkah tangannya?" tanya Zafrin lagi. Ia masih menatap lurus ke depan padahal aku berdiri di sampingnya.
"Sudah," jawabku singkat.
Zafrin pun mengangkat tangannya. "Letakkan tangan saya di jejak itu, Mud." Ia kembali memberi perintah seenak jidatnya. Dia pikir dia siapa? "Mud! Kamu masih di sana kan?" Aku memilih diam. "Ya Tuhan, Mudya! Kamu jangan pergi meninggalkan aku begitu aja. Mudya!"
Orang ini benar-benar agak lain. Aku masih di sini kali tepat di sampingnya. Tangannya pun kali ini bergerak-gerak mencari keberadaanku.
"Mudya sialan! Gue ditinggalin gitu aja. Bangke!"
Aku terus memperhatikannya dan bergeming di sini. Sori, apakah dia tidak bisa melihat? Aku tidak bisa melihat wajahnya karena topeng ultraman yang hinggap di wajahnya.
"Ah! Harusnya tadi gue nggak minta bantuan dia. Gue kan nggak tahu jejaknya di mana. Sialan!" Zafrin kembali mengomel. "Udah deh. Gue cari sendiri aja. Moga aja si Jema dkk nggak nemuin gue."
Zafrin pun menurunkan tangannya. Kursi roda Zafrin adalah kursi roda elektrik yang kuyakin harganya sangat mahal. Ia pun menggerakkan pengendali arah kursi roda tersebut. Aku memilih untuk menyingkir agar ia tak mengetahui bahwa aku masih berada di sini. Ia pun menggerakkan kursi rodanya lurus sehingga brug! Kursi rodanya menabrak dinding.
"Ah! Gue nggak bawa tongkat gue lagi. Susah kan kalau gini."
Zafrin memundurkan kursi rodanya. Kini tangan kirinya terangkat dan ia mulai meraba-raba keadaan sekitarnya. Sementara tangan kanannya terus menggerakkan harus ke mana ia berjalan. Aku terus berdiam diri di sini melihatnya. Ia sibuk berputar ke kanan lalu ke kiri maju mundur. Aku rasa aku benar. Pria ini tidak bisa melihat.
Sampai akhirnya ia pun tepat berdiri di depan dinding yang ia maksud tadi. "Alhamdulilah. Akhirnya ...."
Aku tersenyum menyaksikannya. Sekarang Zafrin pun memajukan duduknya. Ia melakukan hal itu karena berusaha menggapai jejak tangan tersebut. Astaga. Aku takut ia terjatuh dan ....
"Aaaaaa!" teriaknya kuat.
Tubuhku dengan sigap bergerak menolongnya. Ya Tuhan. Hampir saja Zafrin terjatuh dari kursi rodanya. Napasku ngos-ngosan. Aku juga bisa merasakan tubuh Zafrin yang naik turun. Untung saja Zafrin memakai topeng sehingga dengan jarak wajah kami yang sedekat ini, aku tidak begitu mempedulikannya. Namun, secara tak sengaja mataku bertemu dengan matanya.
Duh, apa-apaan ini? Aku pun membantunya untuk duduk kembali di atas kursi rodanya.
"Kamu jahat, Mudya. Ternyata kamu masih di sini. Kamu menipu aku," tuduhnya begitu Zafrin sudah duduk dalam posisi nyaman.
Ya aku akui, aku memang salah tadi karena tidak menjawab pertanyaannya. Sekarang aku sudah berdiri tegap. "Karena kamu seenaknya memerintah aku."
"Aku hanya meminta bantuan kamu," kilahnya.
"Kamu tahu kan cara meminta bantuan yang benar?"
Zafrin mendengkus. "Mengucapkan tolong?" Aku mengangguk. "Iya kan? Kamu bisa tidak sih selalu menjawab pertanyaan saya. Jangan menggerakkan anggota tubuh kamu. Hanya jawab saja."
"Kenapa harus seperti itu?" tanyaku balik.
"Tidak apa. Yasudah, tolong ya, Mudya. Bantu aku untuk menyentuh jejak tangan itu. Kumohon ...," pintanya memelas.
Yasudah. Lebih baik aku menolongnya. Kasihan juga pada pria ini. Aku pun menyentuh tangannya sekaligus mendorong pelan kursi rodanya. Agak kuangkat sedikit tubuhnya agar bisa mencapai jejak tangan tersebut. Mesin dari jejak tangan itu secara otomatis langsung melakukan identifikasi dan aku agak terkejut karena dinding datar ini tiba-tiba terbagi dua dan dari balik dinding tersebut muncul sebuah pintu yang terbuka secara otomatis.
Wow. Baru kali ini aku melihat hal canggih seperti ini.
"Mud, apakah pintunya sudah terbuka?" tanyanya.
Sontak adegan takjubku langsung buyar. "I--iya sudah."
"Maaf. Apakah kamu bisa mengantarkan aku ke dalam?"
Aku mengerutkan dahiku. "Lagi?"
"Sekalian, Mudya. Kamu dari tadi menolongku. Kenapa nggak sekalian tolong sampai akhir?"
Pria ini melunjak. Aku enggan sebenarnya namun tiba-tiba ....
"Ya ampun, Tuan di mana sih? Lo sih begok. Jaga orang aja nggak bisa!" Dumelan seseorang makin terdengar jelas. Astaga. Aku harus cepat-cepat membawa Zafrin masuk agar dirinya tak ketahuan.
Tanpa banyak bicara aku langsung memegang gagang kursi roda Zafrin dan mendorongnya cepat untuk masuk ke dalam. Sempat kulihat sekilas ada bayangan yang hampir mendekati kami.
"Mudya, langsung ketuk dinding tiga kali. Cepat!" perintah Zafrin begitu kami sudah berada di dalam ruangan ini. Aku menurutinya tanpa banyak protes dan benar. Begitu aku ketuk tiga kali, secara otomatis pintu tertutup. "Udah belum?" tanya Zafrin panik.
"Udah," jawabku ketus.
Zafrin mengembuskan napasnya lega. "Untung aja kita udah di dalam ...," ucap Zafrin.
Aku hanya diam tak menanggapi kata-katanya dan masih berusaha memastikan bahwa pintu ini benar-benar sudah tertutup rapat.
"Mud, kamu dengar aku bicarakan?" tanya Zafrin lagi.
Pria ini bawel sekali. Aku pun memutar tubuhku dan lagi-lagi aku terpana begitu melihat ruangan ini. Wow! Banyak sekali bergantung lukisan-lukisan di ruangan ini dan semuanya sangat indah. Ruangan ini cukup besar dengan dominan warna putih di tiap sudutnya. Lalu di tengah-tengah ruangan terdapat papan, kursi dan kain kanfas untuk tempat melukis. Lalu di depannya terdapat sebuah panggung kecil dengan sebuah kursi kecil di tengahnya. Kemudian di pojok kanan terdapat sebuah tempat tidur king size dan sebuah tempat untuk olahraga golf. Ruangan ini benar-benar membuatku kagum. Di atasnya terdapat lampu-lampu kristal dengan pencahayaan berwarna kuning yang membuat ruangan ini benar-benar sangat nyaman.
"Mudya ...." Panggilan Zafrin membuyarkan lamunanku.
"Iya ...," jawabku.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya lembut.
"Aku sedang melihat ruangan ini."
Zafrin menghela napas. "Berarti sudah ada tiga orang perempuan yang ke sini dan salah satunya kamu. Beruntung kamu, Mud."
"Maksudnya?" tanyaku bingung. Nada bicaranya terkesan menyesal telah membawaku ke sini.
"Ya kamu ke ruangan ini. Ini ruangan khususku. Hanya dua wanita yang pernah kubawa ke sini dan aku memang sengaja membawa mereka karena mereka penting buatku. Sedangkan kamu ...."
Posisiku masih di belakang kursi roda Zafrin dan seperti biasa kepalanya hanya lurus memandang ke depan. "Kan tadi kamu yang maksa aku untuk bawa kamu ke sini. Kenapa sekarang malah kesannya nyalahin aku?"
Pria itu pun memutar kursi rodanya menghadapku. Kepalanya agak sedikit mendongak melihatku. Topeng ultraman masih menutupi wajahnya.
"Aku nggak nyalahin. Aku cuma heran aja. Momen seperti ini di luar kemauanku. Aku tidak pernah membawa sembarang wanita ke ruangan ini."
Aku mulai kesal. "Yasudah kalau begitu aku ke luar aja sekarang."
"Kamu mau ke luar? Ya kalau kamu bisa ke luar dari sini ya coba aja," ujarnya meremehkan.
Aku menatap pria ini sinis. Aku kembali berbalik. Masuk ke sini pakai ketuk tiga kali. Tutup pintu ketuk tiga kali juga. Pasti untuk ke luar ketuk tiga kali juga. Aku pun mulai meraba bagian dinding di sekitar pintu yang tidak rata. Tapi anehnya dinding di sini rata semua. Tapi sebisa mungkin aku berusaha mencari. Sial tidak ada. Yasudahlah. Kuketuk sembarangan saja sejumlah tiga kali. Tapi anehnya tak ada pergerakan sama sekali. Aku coba lagi deh. Sekarang aku ketuk pintu ini berkali-kali namun, tetap pintu ini tidak bergerak. Aku pun mencoba untuk menggeser pintu ini dengan kekuatanku namun, sia-sia.
"Kamu ngapain sih, Mud? Kamu nggak akan bisa keluar dari sini. Pintu ini hanya bisa terbuka dengan tanganku. Sama seperti ketika kita tadi membuka pintu."
Aku memutar tubuhku lagi dan kutatap topengnya kesal. "Yasudah. Bukakan pintunya."
Aku ingin sekali melihat reaksinya, sayangnya topengnya itu masih bertahan menutupi wajahnya.
"Nanti saja. Kebetulan aku udah terlalu lama sendirian berada di kamar ini. Kangen juga berduaan dengan wanita."
Hah? Nada pria ini bicara terkesan mesum. "Kamu nggak mau macam-macam kan?" tanyaku curiga sembari menutup tubuhku.
Zafrin terbahak. "Kalau pun aku mau macam-macam sama kamu, memangnya aku bisa apa? Kamu tidak lihat aku berada di mana? Aku di atas kursi roda, Mudya," jelasnya.
Ehm ... iya juga sih.
"Ya nggak ada yang tahu. Duduk di atas kursi roda bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa. Bisa saja kamu mendadak bangun dan berjalan lalu ...."
Kali ini Zafrin tertawa keras. "Hey, Mudya. Kalau aku bisa memilih untuk bisa lepas dari kursi roda ini tentu aku akan menyingkirkannya. Hanya orang bodoh yang mau menipu orang lain dengan dalih sakit dan duduk di kursi roda." Ia merundukkan kepalanya.
"Kamu sakit?" tanyaku.
"Menurutku aku sehat."
"Lalu kenapa kamu bisa duduk di atas kursi roda itu?"
"Sekarang aku balik tanya. Kenapa orang duduk di atas kursi roda?"
"Karena tidak bisa berjalan," jawabku lugas.
"Yasudah. Ya sebenarnya kalau aku paksakan, bisa sih. Tapi begitulah. Sudah tak ada alasan bagiku untuk bisa berjalan kembali," ujarnya sedih. Ia kembali mengangkat kepalanya menatapku.
Aku tidak tahu apa yang kurasa sekarang namun, pria ini sepertinya punya kisah pilu yang mendalam. Semua itu tampak dari nada bicaranya yang menyimpan banyak maksud. Daripada membuat obrolan kami ini tidak asyik, sepertinya kami tidak perlu membahas ini lagi dan kesimpulan yang kudapat adalah pria ini memang tidak bisa berjalan.
"Yasudah oke. Aku akan menemani kamu di sini, tapi sampai jam berapa?" tanyaku.
"Sampai aku membolehkanmu kembali. Lagipula para pengawalku pasti masih di sekitar sini. Jika kamu keluar, maka itu akan memicu rasa penasaran mereka dan kemungkinan posisiku akan diketahui."
Ehm ... benar juga apa yang ia bilang. Kalau aku ke luar sekarang, usaha kami berlari sepanjang lorong tadi tentu saja sia-sia. "Oke."
Zafrin pun memutar kursinya ke belakang. Kali ini ia tidak membutuhkan bantuanku karena ia bisa menjalankan kursi rodanya sendiri. Aku masih berdiri di tempat.
"Mud, kenapa kamu diam saja? Ayo sini."
Mau tak mau aku mengikutinya. Aku berjalan di belakangnya. Kini ia berhenti tepat di depan sebuah papan beralaskan kanvas untuk melukis. Aku berdiri di belakangnya sembari melihat lukisan-lukisan ini lebih dalam. Lukisan ini adalah lukisan wajah-wajah perempuan dengan berbagai gaya. Dan dari semua gambar yang kulihat hanya ada dua wanita di gambar ini.
Aku ingat sekali salah satunya adalah wanita bernama Prita--sekretaris Tirga waktu itu. Aku jadi semakin curiga bahwa pria ini adalah Tirga. Sementara perempuan satunya lagi aku tak mengetahuinya.
Apa sebaiknya aku pura-pura bodoh saja? Tapi diam-diam memastikan bahwa pria ini adalah Adtirga.
"Kamu pasti sedang melihat lukisan-lukisan ini kan?" tanyanya.
"Iya," jawabku.
"Ada dua orang wanita yang berada dalam lukisan itu. Itu artinya mereka berdua lah yang pernah masuk ke ruangan ini."
Oh sudah bisa kuduga.
"Dan aku itu termasuk tipe pemilih. Hanya beberapa wanita saja yang mau aku lukis dan itu artinya dia punya tempat spesial dan dua wanita itu yang beruntung."
"Bolehkah aku bertanya?" tanyaku.
"Mau tanya apa?"
"Salah satu wanita di lukisan ini adalah Prita. Aku tahu wajah Prita dan setahuku Prita adalah sekretaris Tirga sekaligus pacarnya dulu. Apa kamu Tirga?"
Zafrin terbahak keras lagi. Aku menatapnya heran. "Mudya, kamu perlu ingat beberapa hal. Di mansion ini pasti kamu sudah pernah bertemu dengan pria yang duduk di atas kursi roda dan ciri-cirinya seperti aku. Yang perlu kamu ingat adalah pria yang kamu temui ketika di taman adalah Adtir. Aku si topeng ultraman adalah Zafrin. Tidak ada Tirga ketika kamu melihat wajah kami seperti ini."
"Kamu tidak menjawab pertanyaanku terkait Prita."
"Sekarang aku tanya balik. Apa ada salahnya kalau aku dan Tirga dua orang yang berbeda sama-sama menganggap Prita istimewa? Tidak ada yang salah dengan itu, Mudya."
Aku bingung. Kenapa Zafrin menyerupai Jorda yang selalu bertanya balik padaku dan menyuruhku untuk berpikir dan lagi-lagi apa yang diucapkannya membuatku berpikir benar dengan semua yang mereka ucapkan. Berarti ada yang cinta bertepuk sebelah tangan dong. Aku ingat sekali dengan ciuman antara Tirga dan Prita waktu itu.
"Tirga tinggal di mansion ini juga kan?" tanyaku. Mendadak aku mulai merasakan betisku yang kecapekan karena dari tadi berdiri. Aku pun memijat betisku dan sesekali mengeluh "duuh."
Dan sepertinya Zafrin menyadariku yang mulai kecapekan karena lama berdiri. "Mud, Kamu dari tadi berdiri ya? kamu duduk saja," perintahnya. Aku pun menurutinya dan memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di ruangan ini.
"Iya. Makasih. Terus Tirga benar tinggal di mansion ini?" tanyaku lagi.
"Iya. Tirga ada di sini."
Mataku membesar. "Kamu kembaran ya dengan Tirga?" tanyaku polos.
Zafrin tertawa keras lagi. "Kalau dengan jawaban iya tidak membuat kamu bingung. Maka aku akan jawab iya."
Aku mengerutkan dahi tak terima dengan jawaban ini. "Kenapa harus menurut aku? Kamu beneran kembaran Tirga?"
"Mudya, kenapa kamu peduli segitunya sama Tirga? Sudahlah. Kan dia tidak ada di sini. Sekarang yang ada itu hanya Zafrin. Oke? Aku malas membicarakan Tirga."
Aku terdiam. Tapi aku penasaran sekali dengan sosok Tirga dan Zafrin ini. Kenapa mereka bisa menganggap prita adalah wanita istimewa buat mereka?
"Lalu kenapa kamu bisa keluar malam-malam jam sebelas begini?" tanyanya sembari memegang jam tangan di tangan kirinya.
Aku menghela napas. "Tadi aku mimpi buruk dan aku terbangun. Jadi aku ke luar untuk menenangkan diri."
"Wah, kalau begitu aku berterimakasih pada mimpimu itu."
"Kenapa gitu?"
"Kalau bukan karena mimpi itu, pasti kamu tidak akan terbangun dan kamu tidak akan membantuku tadi dan aku pasti sudah akan tertangkap para pengawal itu. Kan menyebalkan."
Berbicara dengan lawan yang menggunakan topeng itu rasanya aneh. Aku tidak bisa mengetahui ekspresinya dan jujur rasa penasaranku akan tampangnya sangat besar. Hati kecilku masih mengatakan dia adalah Tirga ....
"Kenapa mereka mengejar kamu?"
"Karena aku harus di dalam kamar terus. Aku bosan. Mereka takut aku buat masalah lagi."
"Masalah?"
"Ya baru saja kemarin dan kamu ... astaga. Hampir saja aku keceplosan. Intinya aku dilarang untuk membuat masalah sampai audisi sekretaris ini benar-benar selesai."
"Aku kenapa?" tanyaku ingin tahu.
"Nggak apa-apa. Tadi aku ngelantur. Intinya ya kamu beruntung karena kamu bisa masuk ke sini tanpa harus menggunakan status dan makin beruntung lagi karena sekarang aku ingin memamerkan kepada kamu sesuatu. Aku sudah lama tidak menunjukkan keahlianku sebagai pemain piano."
"Piano? Aku tidak melihat piano di sini."
"Ada, Mudya. Kamu lihat di pojokan ruangan dekat tempat golf. Lampunya pasti masih mati. Tolong nyalakan dong. Nanti akan aku tunjukkan kemampuanku memainkan piano. Lagi-lagi kamu di urutan ketiga yang melihat aku bermain piano, Mud. Kamu harus bersyukur."
Aku terkekeh. Selama dia ruangan ini, nada pria ini sangat lembut. Tidak semenyebalkan ketika aku bertemu dengannya di taman. Aku pun bangkit lalu mengikuti perintahnya. Kunyalakan lampu di sudut ruangan ini dan benar. Ada sebuah grand piano berwarna hitam. Wow!
"Sudah kamu buka kah? Setelah itu bisa antarkan aku ke sana dan singkirkan kursi pianonya." Aku memasang muka datarku. Benar-benar seenaknya memerintah orang. "Tolong ...." Kata-kata tolongnya membuatku luluh. Aku pun membuka piano ini dan ....
"Uhuk uhuk!" Aku terbatuk-batuk karena begitu banyaknya debu yang menyapu hidungku begitu aku membuka piano ini.
"Maaf. Aku sudah tidak pernah membuka piano itu setelah dua tahun lamanya. Pasti debunya banyak sekali."
Aku pun mengambil tisu dari atas nakas dan mengelap debu-debu di tuts serta badan pianonya sesembari menutup hidung.
"Kamu lagi apa, Mudya?" tanyanya. Aku melihatnya. Kini ia sudah memutar kursi rodanya menghadapku meskipun ia masih di tempat yang sama.
"Terlalu banyak debu. Kamu kan sedang sakit. Jadi aku bersihkan piano ini."
Suara kursi roda bergerak pun menghampiri telingaku. Zafrin menghampiriku. Aku yang sedang dalam posisi sedikit merunduk jelas bingung melihat sikapnya. Ia pun berhenti tepat di sampingku. Kemudian tangannya ia angkat menyentuh pakaianku.
"Nama lengkap kamu siapa?" tanya Zafrin lembut.
"Pramudya."
"Lengkap."
"Pramudya Sasqrina."
"Oke. Terimakasih Pramudya Sasqrina."
"Iya." Entah kenapa suasana jadi canggung. "Bisa dilepas nggak ya tangannya? Aku mau menyingkirkan kursi pianonya. Kamu mau main piano ini kan?"
Zafrin mengangguk seraya melepaskan pegangannya dari bajuku. Aku pun mengangkat kursi ini ke sisi kosong di sekitar piano ini. Tanpa Zafrin minta aku pun mendorong pelan kursi roda Zafrin mengarah ke piano.
"Mud ... ini pertama kalinya setelah dua tahun aku bermain piano lagi ...." Nada bicaranya sedikit bergetar.
"Kamu mau main atau nggak?"
Zafrin menoleh melihatku. "Aku mau, tapi aku takut ...."
"Takut kenapa?"
"Mudya ... aku merasa bersalah. Hanya lagu ini yang aku ingat karena ini lagu yang terakhir kali aku mainkan di hadapan mereka ...," ujar Zafrin dengan suara tertahan.
"Zaf, kalau kamu nggak sanggup nggak usah. Aku juga nggak masalah jika tidak mendengarkan kamu memainkan piano ini ...."
"Mudya, aku mencintai mereka ...." Zafrin menundukkan kepalanya. Aku bisa melihat air matanya yang mengalir dari bawah topengnya. Astaga ....
"Zaf ...."
Ingin aku menyentuh pundaknya namun, kuurungkan karena Zafrin mulai mengangkat kedua tangannya dan satu nada berdenting dari tuts piano yang ia tekan.
Tapi terhenti lagi. "Mud, aku menyayangi Jorda. Hanya dia sahabat aku. Aku menyayangi mereka termasuk Jorda ...." Pria ini terisak-isak dan terus membiarkan air matanya jatuh begitu saja tanpa ia usap sama sekali.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Zafrin. Dia mengenal Jorda juga ternyata. Ya wajar saja karena ia dan Jorda satu atap.
"Zaf ... kalau nggak bisa bermain piano nggak apa-apa kok. Kamu jangan memaksakan."
"Mudya, aku tidak tahu mereka berdua di mana. Jorda bungkam. Semua bungkam. Aku tidak bisa melakukan apa-apa dengan kondisi seperti ini. Prita ... Lysam ...." Kali ini tangisan Zafrin pecah.
Ia menangis hebat. Aku benar-benar bingung sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Ya Tuhan. Aku menoleh ke belakang melihat bingkai-bingkai lukisan itu. Satunya prita. Itu artinya wanita yang satunya lagi adalah Lysam.
Mungkin dengan sebuah pelukan bisa meredam tangis Zafrin. Aku pun membuka tanganku lebar dan kupeluk tubuhnya. Kupikir Zafrin akan menolak, tapi nyatanya Zafrin malah membalas dekapanku. Kini aku bisa merasakan air mata itu benar-benar mengalir deras membasahi pundakku.
"Aku jahat, Mudya. Aku jahat. Aku menyesal ...."
Entah kenapa, kesedihan yang Zafrin rasakan menular kepadaku. Air mataku juga ikut menetes, tapi buru-buru kuhapus. Aku pun mengelus punggung Zafrin. Ia masih terus menangis. Beberapa menit kemudian, ia pun melepaskan pelukannya. Kemudian Zafrin mundur. Otomatis aku mengikuti gerakannya. Aku pun menyingkir sedikit dan melihatnya yang kini sudah menyentuhkan ujung jarinya ke tuts piano.
Secara perlahan, musik pun mengalun. Zafrin memainkannya penuh perasaan dan tiap dentingan nada yang terdengar sungguh mampu membuatku juga larut akan perasaan yang ingin disampaikan Zafrin. Jemari Zafrin memang sangat lihai menekan tiap balok nada pada tuts piano.
Bisa kusaksikan kembali air mata mengalir deras dari balik topengnya. Aku jadi berulang kali menghapus air mataku. Kenapa ini sangat menyedihkan?
Sampai akhirnya ....
Ting tung! Sebuah bel berbunyi. Zafrin masih terus memainkan musiknya. Ting tung! Bel sekali lagi berbunyi.
"Zaf ...," panggilku.
"Iya. Aku mendengarnya, Mud. Biarkan saja. Aku tahu itu siapa."
Aku pun diam dan terus mendengarkan alunan lagu yang dihasilkan dari jari Zafrin, tapi tetap saja keindahan musiknya kurang maksimal karena ada bunyi bel yang mengganggu. Di saat aku ingin melangkahkan kakiku untuk mencari siapa pemencet bel itu.
"Kumohon jangan pergi. Biarkan aku menyelesaikan satu lagu ini dulu. Please, Mudya ...," pintanya lembut sekali.
Kuurungkan niatku. Kudengarkan terus denting piano ini. Sudah tak ada lagi air mata menetes dari wajah Zafrin. Segitu terlukanya kah ia? Sampai akhirnya aku mendengar nada terakhir dari permainan piano Zafrin yang menandakan pertunjukan ini usai.
Aku secara otomatis bertepuk tangan kagum dengan kelihaian Zafrin. Tapi Zafrin malah ....
"Hentikan, Mudya. Jangan tepuk tangan seperti itu. Tadi itu permainan terburuk." ia berkata sangat ketus dan langsung memutar kursi rodanya lalu menjalankannya ke pintu. Aku bisa menyaksikan Zafrin yang menempelkan tangannya pada jejak tangan yang ada di pintu. Seketika sosok Jorda muncul dengan wajah paniknya. Aku masih berdiri di tempat yang sama.
Jorda makin syok ketika melihatku. Matanya memerah panik. Jorda pun mendekatkan bibirnya ke Zafrin. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan namun ....
"Apa yang kamu lakukan di sini bersama Zafrin, Mudya?!" tanya Jorda dengan nada tinggi.
Aku kaget. Astaga, kenapa Jorda bisa seseram ini? Apa ada yang salah dengan kehadiranku di sini?
***
tanggapan dooooooong gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro