Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Kami benar-benar dikurung di kamar ini. Untung saja kamar ini sudah dalam keadaan bersih. Coba kalau tidak. Aku tidak sanggup kalau harus membayangkan kami berempat harus dikurung di kamar yang bau, jorok, dan seperti kapal pecah.

Kuperhatikan jam di tanganku yang menunjukkan pukul tujuh malam. Ini artinya aku sudah beberapa jam di kamar ini bersama Kiran, Rista, dan Anis. Aku memilih untuk duduk di salah satu sofa di kamar ini dan mereka bertiga asyik tiduran di atas tempat tidur sambil bercanda ria. Kuputuskan untuk membuka ponselku.

Wah ada WA grup ternyata. Melihat ini membuat mood-ku sedikit lebih baik.

Kak Citra : Heh! Gimana di sana? Sombong banget. Udah dua hari nggak ada kabar2an sama kita
Kak Melanie : Maklum dia sibuk, Cit. Udah punya teman baru banyak makanya lupa.
Kak Nyayu : Apa jangan-jangan karena sekarang dia udah dekat Tirga dan Jorda? Jadinya lupa sama remahan kayak kita.

Aku terbahak membaca pesan grup ini. Segera kubalas.

Mudya : Ya ampuuun, Maaf para kakakku tercinta. Sibuk. Nggak sempat lihat hp. Di sini lumayan sibuk sih, Kak.
Kak Citra : Capek nggak di sana? Ngapain aja, Mud?
Kak Nyayu : Lo udah ketemu Tirga? Gue cari info tentang mereka di internet, asli muka Tirga sama Jorda ganteng-ganteng banget, Mud. Ngiler gue.
Kak Melanie : Lo berdua sih nggak mau ikutan audisi. Yang beruntung cuma si Mudya doang.

Aku menghela napas. Soal Tirga lebih baik aku berbohong saja. Aku tak mau ada dampak misalkan aku bocor soal ini. Lagipula aku tahu tipe mulut mereka. Semua info bisa menyebar dalam hitungan detik ke seantero dunia mungkin. Oke. Aku berlebihan, tapi semua itu benar. Ditambah besok kemungkinan aku dan ketiga temanku akan melupakan kejadian hari ini. Bahaya kalau mereka tahu.

Mudya : Gue cuma baru ketemu Jorda doang, Kak. Dia kan emang ganteng. Gue udah bilang kan di awal gue sempat terpana lihat dia.
Kak Nyayu : Ah iya! Parah ganteng banget! Dia itu jomblo loh. Ah! Sayang banget gue nggak ikutan audisi. Nyesal kebangetan gue.
Kak Melanie : Emang dia mau sama lo? Haha nanti pas nikahan gue, gue undang Jorda sama Tirga ah kali aja mereka mau datang.
Kak Citra : Mereka orang keren, Mel. Mending lo coba undang Amet dulu. Dia mau datang nggak? Haha kalau dia mau datang, si Tirga sama Jorda kemungkinan mau. Ingat, mereka beda kasta sama kita hiks.

Lagi-lagi aku terbahak membaca celotehan mereka. Ada-ada saja pembahasan mereka. Hmmm Tirga dan Jorda tidak akan mungkin datang. Secara mereka sedang super duper luar biasa sibuk di sini mengatasi tentang penyakit Tirga. Menghadiri pernikahan seseorang hanya akan menambah kepuyengan di kepala mereka. Tapi ya sekali lagi, kata-kataku barusan hanya bisa terbenam di kepalaku saja. Tidak mungkin aku adukan kepada mereka.

Mudya : Coba aja undang, Kak. Nggak ada yang tahu kan. Siapa tahu mereka mau datang haha gitu-gitu kan laki Kak Melanie salah satu manajer di PT Rabatik.
Kak Citra : Hahahhaha coba aja, Mel. Tuh dapat wejangan positif. Nggak ada yang tahu emang.
Kak Nyayu : Kalau mereka datang, gue akan dekati mereka. Semoga aja nggak ada kisah kayak Amet lagi di mana gue ditolak mentah-mentah dari awal. Ah gue bosan jomblo! Tolong gue!
Mudya : Kak, gue juga jomblo. Lo nggak sendirian hahaha.
Kak Melanie : Dasar lo para jomblo! Gue jamin Amet bakal datang! Kan gue undang Toca.

Aku terkikik membaca pesan dari mereka.

Kak Citra : Mud, coba ceritain dong gimana di sana dari hari pertama.
Kak Nyayu : Iya. Gue penasaran. Lo ceritainnya detail ya.
Kak Melanie : Iya sama!

Aku pun mulai mengetik panjang lebar sesuai permintaan mereka. Kuceritakan semuanya secara detail tidak kurang tidak lebih. Bisa kukatakan jempolku kembali berolahraga karena menanggapi beragam macam pertanyaan mereka. Belum lagi dumelan mereka ketika aku menceritakan soal Tayana.

Kak Citra : Anjrit! Gue penasaran lihat muka si Tayana coba lo kirim sini!

Aku pun mengirim foto Tayana ke grup. Kebetulan kemarin-kemarin aku iseng penasaran melihat si Tayana melalui Instagramnya.

Kak Melanie : Ya ampun, Mud! Cantikan elo tahu nggak sih! Mereka itu nggak pernah lihat lo aslinya makanya ngomongnya kayak gitu! Lo pamerin, Mud, muka lo dulu!
Kak Nyayu : Asli gue ikutan kesal. Tampang segitu doang belagu. Si Tayana mah sebelas dua belas sama gue. Tapi gue nggak ada tuh hina-hina muka orang.
Mudya : Udah, Kak. Dia kicep kok kemarin gue lawan. Kalau dia kumat lagi awas aja. Gue lawan.
Kak Citra : Sabar-sabar ya, Mud, sekamar dengan si Tayana.
Mudya : Iya, Kak Cit.

Obrolan kami di grup pun terus berlanjut hingga akhirnya suara pintu berdecit terdengar. Ya Dodo dan para pelayan muncul sembari membawa beberapa piyama tidur dan alat-alat mandi. Ia memandang kami datar.

Aku pun segera meletakkan ponselku ke dalam saku.

"Ini baju dan alat mandi kalian. Kalian jangan ke luar dari sini sampai ada perintah. Oke. Selamat malam." Kemudian Dodo pamit setelah para pelayan meletakkan beberapa piyama dan alat mandi tersebut di atas sebuah kursi di kamar ini.

Pintu kembali tertutup. Kami berempat pun saling melihat satu sama lain dan menghela napas bersamaan. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain bergantian untuk mandi dan menanti hari esok. Selalu saja ada adegan di luar rencana. Huh. Aku mengembuskan napasku pasrah.

***

Alarm dari pengeras suara membangunkan kami di pagi hari. Ya semalam kami memutuskan tidur berempat di atas ranjang sempit-sempitan. Untungnya hanya Kiran yang bertubuh besar jadi masih muat tidur di atas ranjang untuk empat orang.

Kami pun berganti-gantian mandi dan memilih mengenakan pakaian kemarin. Tak ada acara dandan kali ini karena semua peralatan make up berada di kamar masing-masing. Sekarang kami duduk manis entah menunggu apa. Karena kelamaan duduk aku memutuskan untuk ke balkon. Kulirik sebentar ke arah jam dinding di mana jarum pendeknya mengarah ke angka enam. Hmm masih cukup pagi.

Bisa kulihat pemandangan di pagi hari yang mulai cerah. Tanaman-tanaman hijau di depanku serta beberapa pohon yang menjulang tinggi. Mansion ini benar-benar luas. Bahkan aku bisa melihat danau yang waktu itu aku datangi. Tapi mataku berhenti di suatu titik yang menunjukkan ada seorang pria sedang duduk di atas kursi roda di balkon sama seperti diriku. Pria itu adalah Adtirga.

Ya ia duduk di mansion seberangku. Ia seperti biasa memakai piyama tidurnya. Hanya saja kali ini warnanya biru muda. Kali ini ia tak mengenakan kacamatanya. Matanya lurus. Karena jarak antara mansion yang aku tempati sekarang dan mansion tempat Tirga berada agak jauh, sehingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Aku menghela napas. Tak kusangka pria yang pernah mengusirku dan berciuman di depanku sekarang adalah pria lemah yang sudah tak bisa berjalan dan melihat. Begitulah hidup. Kita tidak akan bisa tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku pun mengeluarkan kameraku. Ya kamera ini tak pernah lepas dari kantong baju atau celanaku. Kupotret satu per satu pemandangan yang menurutku bagus. Kameraku pun tak sengaja berhenti di tempat Tirga. Hmmm aku penasaran dengan wajahnya. Aku pun meng-zoom in sampai muka Tirga terlihat jelas. Dan aku kaget. Kok wajah dia berbeda dengan wajah yang biasanya lihat?

Tunggu, itu sungguhan Tirga kan?

Aku pun mengucek mataku berkali-kali untuk memastikan itu benarkah Tirga apa bukan. Tapi aku tahu karena aku hapal sama bentuk tubuhnya dan rambut panjang ikalnya itu. Ini benar-benar membuatku pusing. Kenapa wajahnya bisa berbeda dengan yang aku jumpai selama ini?

Aku pun memotretnya namun, tiba-tiba ....

"Mud ...." Panggilan Kiran menyadarkanku. Hampir saja kameraku terlepas dari tanganku. Untung tanganku satunya langsung sigap  menangkapnya.

"Iya, Ran!" jawabku kaget sembari memasukkan kameraku ke dalam saku bajuku kembali.

"Lo ngapain?" tanyanya dengan mata yang memandang ke arah kameraku.

"Nggak apa-apa. Gue foto pemandangan di sini. Indah banget kan?" tanyaku dibuat-buat. Ya semoga saja dengan cara ini Kiran tidak berniat untuk melihat apa yang aku foto.

Kiran pun memandang ke luar dan usahaku sepertinya berhasil karena sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Mata Kiran terperangah kagum melihat pemandangan mansion ini. Kami berdiri di tepi pagar.

"Keren banget, Mud. Nih mansion emang gila ya. Adtirga Adtirga. Sekaya apa sih lo?" decak Kiran kagum.

Syukur alhamdulilah Tirga sudah tidak berada di balkonnya itu lagi. Bahaya kalau sampai Kiran melihatnya apalagi misalkan dengan kondisi wajah Tirga yang sangat berbeda dengan wajah Tirga kemarin.

"Iya. Tajir banget ya, Ran," timpalku.

Kami berdua kembali diam. Kiran sibuk memandang ke area mansion ini dengan gumaman-gumaman takjub yang terus meluncur dari mulutnya. Sementara aku terdiam larut dalam pikiranku memikirkan kenapa wajah Tirga bisa sangat lain? Dia memakai topeng atau bagaimana? Lalu tujuannya apa?

Duh ... kenapa banyak sekali sih keanehan di audisi ini?

***

Kami masih menunggu di dalam kamar ini tanpa berbuat apa-apa padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tadi pagi jam delapan beberapa pelayan mendatangi kami untuk memberi sarapan dan sesudah itu mereka kembali ke luar. Tak ada Dodo atau pun Jorda yang menghampiri kami. Aku jadi bingung sendiri dengan kelanjutan nasib kami di sini.

Ya aku tahu, ingatan kami berempat akan dihilangkan terkait kejadian kemarin. Tapi menunggu tanpa kepastian seperti ini benar-benar membosankan. Anis, Kiran, dan Rista terus mengobrol sambil tiduran di atas ranjang sementara aku hanya duduk di sofa sambil memandangi langit di luar.

Tiba-tiba pintu terbuka. Terdengar beberapa suara orang mengobrol mendekati kamar ini. Ketiga temanku pun langsung bangun dan berdiri. Sama halnya dengan diriku. Akhirnya para sosok orang itu muncul juga.

Ada Jorda, Dodo, seorang pria berambut sedikit gondrong, dan seorang wanita yang aku akui sangat cantik. Pesona wanita ini benar-benar membuatku jadi minder. Bahkan auranya berbeda sekali dengan Prima waktu itu. Ya Prima juga cantik, tapi tidak semempesona wanita di depanku ini. Aku rasa mereka adalah sepasang kekasih karena tangan pria tampan dan wanita cantik itu terus bergenggaman.

"Ini orangnya, Gam," ujar Jorda.

Jorda seperti biasa tampil menawan dengan kemeja biru dongker, celana bahan abu-abu dan sepatu kets. Dodo memakai kaos polo hitam yang bagian bawahnya dimasukkan ke dalam skinny jeans serta sepatu kets. Dan pria tampan itu aku rasa adalah sepupu Jorda yang bernama Shagam dan wanita di sebelahnya adalah istrinya. Shagam mengenakan kemeja merah marun dan celana hitam sedangkan istrinya mengenakan gaun balon berlengan pendek berwarna hijau muda.

"Lo maunya gimana, Jor?" tanya Shagam.

Mereka berempat sekarang sedang berdiri dan berbicara seolah tidak ada kami di sini. Kami berempat hanya saling berpandangan dengan bibir terkatup.

"Mereka intinya nggak ingat kejadian kemarin sampai detik lo hipnotis mereka. Kemarin itu kira-kira jam sembilan. Lo bisa kan?" tanya Jorda.

"Wah, Shagam bisa hipnotis orang juga? Jangan-jangan selama ini Shagam hipnotis Marel makanya Marel bisa suka sama Shagam."

"Heh, oon! Kalau pun Mamas mau hipnotis orang, jelas orangnya bukan lo! Mending hipnotis cewek pintar daripada cewek oon kayak lo!" Malah Dodo yang menjawab.

Perempuan yang bernama Marel tersebut langsung memandang Dodo penuh amarah. "Heh Kecoak Buntung! Diam aja lo. Gue kan ngomong sama laki gue. Bukan lo!"

"Rel, sudah. Do, sudah. Kenapa sih kalian berantem terus?" Shagam berusaha menengahi.

Jorda hanya tersenyum miring melihat perdebatan antara Marel dan Dodo. Aku yakin pasti mereka berdua pernah bermasalah sehingga hubungan mereka seperti Tom & Jerry seperti ini.

"Dodo, Gam ...."

"Marel, Mas ...."

"Hey, sudahlah. Lalu bagaimana, Gam? Apa yang perlu aku sediakan?"

"Mungkin cukup sediakan cd atau dvd player sisanya ada di tas gue. Lalu nyalakan musik yang selow, Jor. Dodo pasti paham apa maksud gue. Dan gue harus melupakan ingatan mereka secara satu per satu karena setiap karakter beda-beda caranya."

Jorda menatap Dodo. "Do, sediakan sesuai permintaan Shagam ya."

"Siap, Mas Jor." Dodo pun segera berlalu.

Kini Jorda, Shagam, dan Marel menatap kami berempat. Mataku sempat bertemu Marel dan Marel cukup terkejut ketika melihat wajahku. Aku tahu pasti ia syok melihat muka abstrakku ini. Tapi setelahnya ia tersenyum manis padaku. Aku pun membalas senyumannya.

"Lalu siapa yang duluan, Jor?" tanya Shagam begitu melihat wajah kami berempat.

"Kamu ya, Mudya."

Hah? Aku?

"I-iya, Pak. Maksud saya Jor." Mata Jorda sudah melotot ketika aku menyebutnya pak dan langsung kuralat saat itu juga.

"Oke. Yang lainnya silakan ke luar ikuti saya. Lo juga ya, Rel."

Marel tidak terima. Tangannya masih menggenggam tangan Shagam erat. "Kok gue juga?"

"Marel, aku tidak bisa bekerja kalau ada dirimu. Sebaiknya kamu ikuti Jorda ya," ujar Shagam lembut.

Aku bisa melihat dengan jelas betapa Shagam ini tipe pria penyabar terhadap istrinya. Marel pun melepaskan tangannya dengan bibir yang mengerucut. Lalu ia hembuskan napasnya kasar.

"Yaudah deh."

Seulas senyum tercetak di wajah Shagam. "Gitu dong," katanya seraya mengacak-acak rambut Marel.

Hmmm ... kok aku iri ya melihatnya?

Suara pintu berdecit kembali terdengar. Dodo datang dengan membawa sebuah cd player. Ia menuruti permintaan Shagam untuk meletakkan cd player tersebut di atas sofa. Shagam juga menyuruh Dodo untuk menyediakan dua buah kursi saling berhadapan. Mungkin memang sudah terlampau akrab, Dodo mengiyakan semua perintah Shagam tanpa perlawanan.

"Oke. Kalian semua keluar ya. Dan mana yang namanya Mudya?" tanya Shagam lembut.

"Saya," jawabku sembari mengacungkan tangan kananku.

Shagam awalnya juga sempat terkejut melihatku namun, setelahnya ia kembali tersenyum. Tipe-tipe pria yang sangat ramah pada orang lain. Semua orang pun meninggalkan kami sehingga hanya kami berdua sekarang. Shagam memintaku untuk duduk di hadapannya. Aku pun duduk. Kemudian ia mengeluarkan sebuah liontin besar dan mulai mengayunkannya di hadapanku dengan santainya. Mau tak mau mataku jadi memperhatikan gerakan liontin itu.

"Kamu tarik napas dulu lalu keluarkan perlahan. Jangan tegang gitu. Biasa aja sama saya," pinta Shagam lembut sembari terkekeh.

Mungkin aku sangat terlihat tegang. Kuhembuskan napasku kasar. Lagi-lagi pria di depanku kembali terkekeh. Tak kupandangi lagi liontin tersebut.

"Nama kamu Pramudya Saqrina. Panggilannya Mudya. Umur kamu 24 tahun. Oke," katanya sambil membaca sebuah lembaran kertas yang ia pegang. Pasti itu data seputar diriku. Sekarang matanya beralih menatapku. "Nama saya Shagam Prasrari. Panggil saja saya Shagam. Saya sudah lama menjadi psikiater dan sekarang saya diminta Jorda untuk menghipnotis kamu. Tapi saya tidak bisa menghipnotis kamu, kalau kamu sendiri tidak berniat untuk melupakan kejadian kemarin. Karena semua perubahan berasal dari diri kamu sendiri. Saya hanya perantaranya, Mudya."

Aku meneguk ludahku. Aku bertanya pada hati kecilku, siapkah aku membuang semua kejadian kemarin dari pikiranku? Memang sih sebaiknya aku melupakan kejadian itu. Tapi kenapa hatiku berat ya?

"Kamu enggan ya melupakannya? Hal yang wajar sih memang. Tapi kalau kamu tidak mau melupakannya, itu akan berdampak buruk buat nasib kamu sendiri, Mudya. Ya saya memang tidak banyak tahu soal audisi ini, tapi yang saya tahu satu hal. Banyak yang keluarga ini pertaruhkan demi mendapatkan seorang sekretaris bagi seorang Adtirga. Kamu bayangkan, audisi ini termasuk salah satu audisi gila-gilaan di Indonesia. Dua tahun seorang Adtirga menghilang dan sepengetahuan saya, dia mau menggaji sekretarisnya 60 juta. Kamu pikirkan, pasti ada sesuatu kan dibalik 60 juta itu? We have no free lunch, Mudya."

Mungkin memang keahlian psikiater seperti ini. Semua yang Shagam katakan seolah benar di otakku.

"Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran kamu, tapi saya bisa menebaknya. Kamu ada masalah ya sama Adtirga? Wajah kamu menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam pada Adtirga. Dia ada salah sama kamu? Tenang, Mud. Saya bisa jaga rahasia. Itu wajib bagi saya dalam menjaga rahasia pasien saya."

Bola mata kami terus saling menatap satu sama lain. Tatapannya seolah mengajakku untuk mengutarakan apa yang kurasa namun, aku tak mau. Rahasia antara aku dan Adtirga cukup menjadi rahasiaku pribadi saja.

"Oke. Kamu nggak mau memberitahu saya ya. Tidak apa. Saya tidak memaksa. Tapi saya mohon, nggak ada untungnya kamu mengingat bahwa Adtirga itu tidak seperti dulu lagi. Ya dia saat ini belum bisa berjalan dan matanya juga tidak bisa melihat. Ketika hal ini terbongkar, tentunya itu akan merubah semua rencana yang sudah disiapkan matang-matang oleh keluarga ini dan kamu bisa dalam bahaya. Mungkin semua orang akan mundur karena tidak siap melayani Adtirga dengan kondisi fisiknya sekarang. Jadi saya minta dengan segala keikhlasan kamu, mau kah kamu melupakan kejadian kemarin? Semuanya."

Sebenarnya ada satu hal yang membuatku berat yaitu ketika Tirga bilang bahwa aku dilarang untuk menangis lagi. Tapi apa mau dikata. Baru kali itu ada orang yang melarangku menangis setelah kecelakaan dua tahun silam. Tapi semua ini memang harus dilupakan. Anggap saja kejadian kemarin cuma angin lewat.

Kutarik napasku perlahan dan kuhembuskan. Kupejamkan mataku sebentar lalu kubuka. Bisa kulihat mata Shagam yang menanti jawabanku.

"Oke, Pak. Saya mau."

Senyum di wajah Shagam langsung merekah. "Oke. Sekarang kamu pandang liontin ini dan ikuti apa kata saya. Kamu pejamkan mata kamu lalu masuk ke jiwa terdalam kamu. Bayangkan hanya ada diri kamu dan suara saya saja di dunia kamu. Jadilah diri kamu sendiri. Hilangkan semua beban kamu dan ...."

Aku tak bisa mengingat lagi kejadian setelah ini karena sisanya aku hanya mendengarkan suara Shagam yang mengatakan bahwa kejadian kemarin itu tidak penting. Sebaiknya dihilangkan dan masih banyak lagi. Aku tak bisa mengelak dan hanya mengatakan iya berkali-kali.

Waktu pun berjalan mundur secara perlahan dan sosok-sosok dalam ingatanku perlahan memudar. Semua pembicaraan lenyap. Suara-suara mereka sirna seketika dan terakhir dalam pandanganku aku hanya melihat Kiran, Rista, dan Anis yang sedang menunggu kehadiran Jorda untuk menilai hasil ujian bersih-bersih kami.

Mataku langsung terbuka dan membulat. Napasku tersengal-sengal. Air mataku tiba-tiba saja menetes dan tak kusangka di depanku ada seorang pria yang memandangiku dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.

Ia mengulurkan tangannya. "Kenalkan nama saya Shagam Prasrari. Saya sepupunya Jorda."

Aku mengerutkan dahiku seraya menerima ulurannya. "Lalu kenapa sepupu Jorda bisa di sini?" tanyaku heran.

Pria di hadapanku ini malah tersenyum. "Ya saya seorang psikiater. Saya diminta Jorda untuk menilai kepribadian kalian berempat dan saat ini saya sedang menilai kamu dan saya terbiasa menilai orang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Jadi kamu sejak kemarin tidak sadar dan baru sekarang kamu bangun," jelasnya.

Benarkah itu? Kenapa aku ragu ya? Aku pun mengedarkan pandanganku ke sekitar dan ternyata benar. Aku masih berada di kamar yang aku dan ketiga temanku bersihkan kemarin.

"Kamu tidak percaya sama saya? Nanti saya panggilkan Jorda untuk menjelaskannya kepada kamu."

"Kenapa saya merasa ada yang kosong ya?"

Shagam tersenyum. "Itu hanya perasaan kamu saja."

Aku menghela napas. Ya ini semua terasa aneh. Aku merasa ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu itu apa. Kupandangi mata Shagam kalut. Kenapa aku rasanya ingin menangis ya?

"Mudya ...."

"Iya ...."

"Saya ingin kamu kuat. Saya tahu kamu adalah wanita hebat. Masa lalu memang tidak bisa diubah, tapi kamu jangan terlalu larut dalam kesedihan kamu. Kamu itu cantik, Mud. Kalau kamu butuh teman cerita, saya akan selalu siap. Asal kamu tahu, saya menjadi seperti sekarang pun juga tidak mudah. Saya, kamu, dan kita semua masing-masing punya masalah di masa lampau, tapi kita sebagai manusia harus move."

Entah kenapa aku ingin menangis begitu mendengar kata per kata dari mulut Shagam. Seketika rasa sesak di dadaku muncul dan membuncah. Kurundukkan kepalaku untuk menyembunyikan air mata yang mulai mengalir dari sudut mataku.

"Saya memang tidak tahu apa yang kamu alami. Tapi saya bisa melihat itu semua jelas ketika kamu tidak dalam keadaan sadar. Betapa kamu terluka dan tidak percaya diri dengan wajah kamu. Saya yakin kamu itu orang baik dan kamu pasti punya alasan atas semua ini kan?"

Aku menganggukkan kepalaku. Air mataku terus turun tanpa mau berhenti.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku pun mengangkat kepalaku. Tak kusangka Shagam kini berdiri di sampingku. Dielusnya pundakku lembut.

"Kamu pasti bisa. Saya kasih tahu satu hal. Semua itu bisa berubah sesuai harapan kamu jika kamu memang mau berusaha dan saya yakin kamu bisa, Mudya."

"Sa-saya sedih, Pak. Mu-muka saya ...," ujarku sesegukan.

"Mudya, kan sudah saya bilang kamu itu cantik. Sudah. Kami di sini tidak menilai berdasarkan wajah seseorang. Tidak usah pedulikan mereka. Oke?" Mendadak suara pria yang sangat kuhapal suaranya bergabung dengan pembicaraan kami.

Langsung kuhapus air mataku buru-buru. Malu rasanya dilihat Jorda menangis. Di belakang Jorda ada seorang perempuan yang kecantikannya sangat aku kagumi. Siapa wanita itu?

"Gam, lama banget sih," keluhnya.

Shagam malah tersenyum genit. "Nih baru aja selesai." Lalu Shagam mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu. Mereka terlihat sangat akrab. Wanita tersebut pun memandangiku. Setelah Shagam membisikkan sesuatu ke telinga wanita itu, ia pun langsung menyodorkan tangannya di hadapanku.

Seulas senyuman tercetak di wajahnya. "Kenalin gue Amarel. Istrinya Shagam."

"Mudya," balasku sembari menerima sodoran tangannya.

"Mas, ini nasib mereka bertiga gimana?" Suara Dodo muncul dari balik pintu. Ia menampakkan kepalanya dari balik pintu.

"Ah iya astaga!" ujar Shagam sambil menepuk jidatnya.

"Sebaiknya kita keluar dari ruangan ini. Mud, kamu kembali ke kamar kamu aja ya. Acara hari ini akan diadakan malam hari, jadi kamu bisa tenang sejenak. Aku akan ngantar kamu ke kamar. Sekarang giliran ketiga teman kamu dulu. Oke."

Aku tak bisa melawan begitu mendengar lontaran kalimat Jorda. Aku pun bangkit berdiri. Shagam memandangku sendu. Begitu juga dengan Marel. Mendadak Jorda meraih tanganku lalu menarikku.

"Gue tinggal dulu," pamit Jorda pada sepasang suami istri tersebut.

"Mud!" panggil Marel sehingga membuat langkahku dan Jorda terhenti. Kutolehkan kepalaku menghadap mereka berdua yang sedang berdiri. Senyum mereka penuh arti.

"Iya," jawabku.

"Lo cantik, Mudya. Pokoknya lo cantik," puji Marel tulus.

"Hah? Kenapa, Rel?" tanyaku tak mengerti.

"Abaikan kata-kata istri saya barusan. Jor, panggilkan saja wanita selanjutnya," suruh Shagam. Marel ingin melanjutkan kata-katanya namun, terhenti karena Shagam langsung menatap tajam Marel. Terpaksa Marel mengurungkan niatnya.

Aku ingin bertanya lagi, tapi Jorda langsung menarikku. Tentu saja aku tidak bisa menolak karena genggaman Jorda cukup kuat. Begitu pintu terbuka, Dodo pun muncul bersama Kiran di belakangnya. Aku dan Kiran sempat bertatapan tapi terhalang karena pintu yang tertutup. Aku kembali menoleh ke depan. Tubuh tegap Jorda terlihat jelas.

Aku bingung. Kenapa sih semuanya serba membingungkan? Sudah tiga orang yang bilang aku cantik di mansion ini. Mereka kan tidak tahu wajah asliku ....

Aku menghela napas. Aku harus minta penjelasan Jorda soal ini!

***

Tanggapannya dooooong! Kalau ada yang ditanyakan, tanya aja yaaaaah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro