Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

Ternyata pengetahuan Usya tentang Zian hanya sebatas itu saja. Ia baru mengetahui soal keluarga Zian. Belum ke soal yang lebih terperinci lagi seperti penyebab ayahnya meninggal, penyebab ibunya mengirim ke panti asuhan, kekayaan keluarga Zian, dan masih banyak hal lainnya.

Usya pun berjanji padaku bahwa ia akan mencari tahu soal Zian lebih banyak lagi karena tak dipungkiri bahwa kami juga penasaran tentang siapa keluarga Cardifal itu. Kemampuan Usya dalam mengorek sesuatu patut untuk diacungi jempol. Maklum pergaulannya jauh lebih luas daripada aku.

Akhirnya, Aku dan Usya memutuskan untuk menginap di hotel. Baru saja Usya menelpon Om Goldie untuk mengambil cuti selama tiga hari. Om Goldie pun menyetujuinya. Kami juga sudah memesan tiket pulang pergi untuk ke Jepang. Besok kami akan berangkat pukul tujuh pagi. Dan sekarang aku bersama Usya sedang rebahan di atas kasur sambil menatap langit-langit.

"Rel, nanti Om Goldie mau ke sini," lapor Usya.

Aku pun terbangun. "Hah? Mau ke sini? Ngapain?" tanyaku kaget.

"Hehe dia mau memberikanku izin cuti dengan syarat aku bersamanya malam ini."

Aku langsung menatap wajah Usya kesal. Wanita ini labil sekali. Baru saja tadi ia mengeluhkan soal Om Goldie, dan sekarang ia malah kembali memberi peluang pada Om Goldie. "Kan ada aku malam ini di sini. Kau labil sekali sih, Sya. Baru saja tadi kau mengatakan ingin menjauh darinya, tapi sekarang dengan mudahnya kau malah menerima permintaan dia," decakku sebal.

"Om Goldie memaksaku, Rel. Aku bisa apa? Sekarang kau pilih, kau pergi ke Jepang sendirian atau membiarkanku berduaan dengan Om Goldie malam ini?"

Entah kenapa aku sedikit kesal pada Usya. Ya aku tahu aku membutuhkannya, tapi mengapa ia masih peduli pada om ganjen itu? Meskipun aku selalu mempersilakan segala jenis pedang cowok ke dalam miss v-ku, tapi aku benci namanya perselingkuhan.

"Lalu nasibku bagaimana? Kau mau berdua malam ini dengannya? Di kamar ini ada aku juga ya. Aku takut nanti kita malah melakukan threesome lagi," ujarku sambil menekuk wajahku.

Usya langsung menimpukku dengan bantal. "Kau gila haha. Aku geli membayangkannya."

Aku jadi ikut tertawa. "Siapa juga yang mau, tapi punya Om Goldie besar tidak sih? Haha siapa tahu kita memang bisa melakukan threesome hahaha. Sepertinya menarik." Aku malah berpikir nakal.

Mata Usya melotot. "Tidak, Marel. Kau gila. Aku geli serius haha." Aku hanya terbahak-bahak membayangkannya. Menggelikan juga sih.

"Lalu maksudmu Om Goldie akan menginap juga malam ini di sini?" tanyaku lagi.

"Jelas tidak, Amarel. Om Goldie baru saja memesan kamar di sebelah kita persis. Malam ini kau sendiri ya. Aku di sebelah dengan Om Goldie. Ayolah, Marel. Kan besok selama tiga hari kita akan puas bersama. Please..."

Aku menghela napas mendengarkan permintaannya. Haruskah aku menurutinya? Padahal aku masih belum puas mengeluarkan seluruh unek-unekku.

Aku menghela napas kasar sambil melirik Usya sinis. "Yasudah. Asal kau besok beneran janji menemaniku ke Jepang ya. Jangan sampai Om Goldie menarik ucapannya. Akan kucincang dia!" ancamku.

Usya terbahak. "Iya Marelku sayang. Yasudah, aku mandi dulu ya. Nanti aku pinjam bajumu ya. Btw kau bawa celana dalam dan bra baru tidak?"

Mataku membesar mendengar pertanyaan Usya. "Heh! Kau ingin ML dengan Om Goldie?"

Usya mengangguk. "Sudah lama, Rel. Lagipula aku harus tampil cantik dengan daleman terbaru hehe."

Aku pun menimpuknya dengan bantal. "Dasar mesum! Nanti ambil saja di koperku. Ingat kecilkan desahanmu nanti. Jangan membuatku jadi pengen juga. Mengerti?!"

Usya pun menangkis seranganku. "Haha apa perlu aku carikan seorang pria malam ini untuk menemanimu Amarel?" tanya Usya nakal dengan seringai iblisnya.

Aku tersenyum miring. "Aku sedang tidak punya gairah malam ini. Yasudah sana cepat mandi. Nanti om-mu datang lagi."

Usya pun tertawa, lalu beranjak bangun dari tempat tidur. Sementara aku kembali merebahkan diriku. Iseng aku buka ponselku. Kosong. Tak ada satupun telpon atau sms dari siapapun. Hmmm apa tidak ada orang yang kehilanganku malam ini?

Sudahlah. Lupakan saja. Aku malas memikirkan mereka semua.

***

Aku pun memutuskan untuk mandi. Badanku sangat gerah. Sekarang aku sudah keluar dari kamar mandi dan hanya dibalut bathrobe saja tanpa mengenakan pakaian dalam sehelaipun di tubuhku.

Aku pun duduk di pinggir ranjang mengambil ponselku. Aku geram. Benar-benar tidak ada yang mencariku. Minimal ada gitu orang yang menanyakan keberadaanku. Ya biar aku tahu saja bahwa aku sedang dicari. Kan aku senang kalau kakek atau mama kewalahan dan panik. Setidaknya aku bisa memberikan ancaman pada mereka kalau aku akan pulang jika mereka menghentikan pernikahanku dengan si gay sinting itu.

Huft! Apa mereka belum mengecek kamarku ya? Bisa jadi sih karena biasanya mama yang paling heboh kalau aku tidak ada di rumah jam segini. Aku lirik jam dinding di kamar ini. Jarum pendek mengarah ke angka sepuluh. Meskipun aku sudah 28 tahun, tapi aku tetaplah putri kecil bagi mama. Entah kenapa aku jadi kesal. Kulempar ponsel ini serampangan ke tempat tidur. Aku pun bangun lalu berjalan ke meja rias untuk mengeringkan rambutku.

"Dasar wanita biadab! Jalang kau! Brengsek!" teriak seorang perempuan sangat kuat dari luar kamar.

Aku yang sedang sibuk mengeringkan rambutku yang basah, langsung berhenti sejenak. Berusaha mencerna apakah pendengaranku benar bahwa ada seorang perempuan berteriak.

"Huaaa sakit sialan! Salahmu sendiri membiarkan suamimu bersamaku!" teriak suara perempuan lagi yang suaranya tak asing di telingaku.

Kali ini aku benar-benar memasang kuping. Firasatku mulai buruk.

"Kau! Mulutmu itu tidak bisa dijaga. Dasar jalang! Rasakan ini! Pengganggu rumah tangga orang!"

"Bukan pengganggu rumah tangga orang. Itu karena rupamu sudah jelek saja. Lihat badanmu banyak lemak seperti itu. Om Goldie hanya mau denganku tolol!"

"Dasar pelacur! Kuhabisi kau!"

"Aaaaaaa...!"

Fiks! Ini teriakan Usya. Aku tak salah lagi. Ia pasti sedang berada di kamar sebelah. Om Goldie pasti sedang bersamanya dan perempuan yang sedang berdebat dengan Usya jangan-jangan adalah.... Ah! Aku benar-benar mempunyai perasaan yang tidak enak.

Aku pun langsung meletakkan hairdryer-ku ke atas meja rias. Aku berlari kencang ke kamar sebelah dan betapa terkejutnya aku begitu melihat Usya sedang dijambak oleh seorang wanita berumur 30 tahunan. Wanita itu sangat garang dan Usya terus mengerang kesakitan dengan umpatan kasar yang terus terlontar dari mulutnya.

Aku sekarang sedang berdiri di ambang pintu sambil menutup mulutku tak percaya. Usya hanya memakai celana dalam dan bra terbaru milikku. Sementara tangan wanita itu terus menjambak dan menarik rambut Usya kasar. Usya tak bisa meraih wanita itu karena posisi Usya yang sedikit membungkuk. Sementara Om Goldie sibuk memohon kepada wanita itu untuk menghentikan aksi kasarnya. Lelaki bodoh. Dia kan pria. Seharusnya ia menarik tubuh wanita itu dari Latusya.

"Aku mohon Lila lepaskan Usya. Aku mohon!" pinta Om Goldie seperti pengemis. Aku tahu wanita ini adalah istrinya karena beberapa kali aku pernah menemuinya di kantor polisi ketika berurusan dengan Usya.

"Tidak! Akan kuhabiskan dia karena dia berani-beraninya tidur denganmu!"

"Marel, tolong aku!" pekik Usya.

Aku pun tersadar. Bagaimana bisa aku hanya menyaksikan kejadian ini? Aku tak akan membiarkan satu-satunya sahabatku dianiaya seperti ini oleh wanita tua seperti dia. Aku pun langsung mendorong wanita itu dengan kasar hingga dia tersungkur ke lantai. Rambut Usya pun lepas dari tarikannya. Sementara Om Goldie dengan tampang penakutnya, malah menolong istrinya.

"Seharusnya kau tanya pada dirimu! Apa yang membuat priamu berpaling. Itu artinya bahwa kau tidak pernah memuaskan dia. Ya bagaimana dia bisa puas? Kau saja tidak bisa merawat tubuhmu. Lihat tuh lemakmu di mana-mana. Aku yakin miss V-mu pasti penuh lemak juga. Cih!" kataku kasar pada wanita itu.

"K...k...kau! W...w...anita itu lagi...," ujar wanita tua itu terbata-bata. Ya ini adalah kesekian kalinya aku bertemu dengan istri Om Goldie. Dan untuk kesekian kalinya juga aku menghina tubuh gendutnya.

"Rel..." panggil lirih Usya sambil menggelengkan kepalanya seolah mengatakan jangan.

Aku melihatnya sekejap, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Aku sedih. Aku tahu Usya salah. Tapi melihatnya menangis seperti ini membuat diriku terluka juga. Apalagi melihat perlakuan Om Goldie yang membiarkan Usya dijambak dalam tubuh yang setengah telanjang. Bangsat kau! Dasar tua-tua keladi!

"Dan kau om! Jangan pernah ganggu Usya lagi. Aku jadi jijik sekali melihatmu. Dari dulu kau tidak berubah. Setiap di depan istrimu, kau hanyalah seonggok manusia bodoh yang tidak bisa apa-apa. Suami-suami takut istri tapi sok melakukan perselingkuhan. Fuck!" teriakku kencang.

Om Goldie dan istrinya hanya meringkuk ketakutan. Aku pun menarik tangan Usya yang bergetar ketakutan. Sekilas aku lihat Usya menatap mata Om Goldie penuh harap, tapi ia kembali membuang wajahnya. Aku tahu Usya adalah wanita kuat karena ia masih sanggup membela dirinya di hadapan istri Om Goldie, tapi aku juga tahu bahwa Usya tetaplah wanita biasa yang mempunyai hati dan menangis jika disakiti.

Aku pun membawanya ke kamar. Langsung kumasukkan semua barang-barangku ke dalam koper sembarangan. Tak lupa kumasukkan ponsel kami berdua ke dalam koper. Kebetulan ponsel Usya juga tertinggal di kamar ini. Tapi tiba-tiba saja....

"Wanita itu ada di sebelah. Cepat tangkap mereka!" teriak istri dari si tua keladi itu.

Sial. Aku pun mendengar langkah kaki terburu-buru. Langsung saja aku menutup koper ini dengan cepat. Aku juga langsung menarik tubuh Usya yang masih lemas syok dengan tangan kiriku . Tangan kananku menenteng koper. Sayang, begitu kami di depan pintu ada dua preman berbadan besar yang menghalangi kami. Ah! Seharusnya aku berpikir tidak mungkin wanita itu berani datang ke hotel ini sendirian.

Dua preman itu tersenyum miring melihat kami. Ia juga memandang kami penuh napsu. Bagaimana tidak. Tubuhku hanya dibalut bathrobe saja dan Usya hanya memakai pakaian dalam. Jangan sampai bathrobe ini tersingkap. Keenakan sekali pria tak berkelas seperti mereka melihat tubuh molekku. Brengsek. Mereka pasti sedang membayangkan tubuh seksi kami berada di atas tubuh mereka. Hwek!

"Sya, bisakah kau jangan lemah kali ini?" bisikku tepat di telinga Usya. Usya mengerjap lalu menatapku sendu. Aku bisa merasakan kesedihanmu Usya, tapi saat ini bukan waktu yang tepat.

"Cepat tangkap mereka! Jangan biarkan mereka kabur!" teriak wanita berlemak itu. Sial. Aku harus bagaimana?

"Ayo sini cantik," rayu preman hitam dengan anting besar di tengah hidungnya. Cih! Seperti kerbau.

Prang!

Usya melemparkan vas bunga tepat di kepala preman tersebut. Preman tersebut pun terjatuh. Kau pintar Usya. Kau memang selalu lebih pintar dari aku!

Preman satunya pun sibuk menolong si preman yang terjatuh. Ini saatnya aku lari. "Ayo, Sya!" ajakku kuat.

Aku dan Usya langsung berlari sekencang mungkin. Kami harus segera keluar dari hotel ini. Jangan sampai aku dan Usya tertangkap mereka. "Kejar mereka!" teriak istri Om Goldie kencang.

Jelas saja teriakan wanita berlemak itu makin membuatku dan Usya lari terbirit-birit. Aku sempatkan untuk melirik ke belakang, kini dua preman itu sedang mengejarku dan Usya. Menyebalkan. Kenapa mesti ada adegan seperti ini sih?

"Rel, sini aku pegang kopernya. Bathrobe-mu terbang-terbang. Kelihatan apem-mu," jelas Usya. Aku pun melihat ke bawah. Benar. Bathrobe ini melayang ke sana kemari. Maklum aku tidak mengenakan pakaian dalam satupun. Ini karena istri si Om Goldie sialan itu. Argh!

Aku pun menyerahkan koperku pada Usya. Saat ini kami sedang berada di depan lift menunggu pintu lift terbuka. Ah waktu rasanya lambat sekali. Jarak preman bodoh itu semakin dekat. Usya sedang menumpukan tubuhnya pada lutut dengan tersengal-sengal. Astaga untung Usya memakai bra dan celana dalam Victoria's secret milikku, jadi meski ia terlihat binal. Ia tetap terlihat berkelas.

Ting!

Pintu lift terbuka. Alhamdulilah. Hah? Baru saja aku menyebutkan satu kata arab tanda bersyukur itu. Wah apakah ini pertanda aku harus segera bertaubat? Usya pun mendorong tubuhku. Ah aku melamun. Bisa-bisanya. Segera Usya dan aku menekan tombol tutup pada sisi kanan dan kiri lift.

Sayang, sebuah tangan menahan pintu lift ini. Shit! Kedua preman itu berhasil mengejar kami. Apa yang harus kami lakukan? Aku dan Usya saling bertatapan bergidik takut.

"Kepalaku sakit sekali karena pecahan vas tadi. Kau perempuan gila," decak sebal preman yang mirip kerbau itu pada Usya.

Meskipun mata Usya bengkak akibat menangis, tapi ia masih bisa menatap wajah preman itu tajam. "Pergi kalian. Urus sana bosmu dan majikan berlemakmu itu!" perintah Usya.

Dua preman itu tertawa. "Haha siapa kalian? Yang perlu aku turuti itu perintah mereka bukan kalian," ujar preman satunya yang tak kalah menyeramkannya. Ia menurutku lebih mirip kambing karena jenggot tipisnya itu tak pantas ada di wajahnya. Mereka berdua pun melirik tubuhku dan Usya dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Kalian berdua benar-benar menggoda. Hanya dengan mencopot salah satu pakaian di tubuh kalian saja, kami sudah bisa mendapatkan pemandangan indah."

Fuck!

Aku sudah tak tahan lagi. Langsung saja aku tendang junior si preman yang mirip kambing itu menggunakan kakiku. Matanya langsung membesar menahan sakit. Lalu kudorong tubuh besarnya. Usya juga mendorong si preman satunya yang mirip kerbau. Cepat-cepat kutekan tombol tutup dan betapa bersyukurnya aku karena sekarang lift sudah turun ke bawah. Aku tekan BG sebagai tanda ke basement.

Kini aku dan Usya sama-sama bersender di dinding lift. Lemas sekali rasanya. Aku pandangi wajah Usya. Ia terus termenung sambil sesekali mengusap air matanya. Astaga Usya.

"Sya, sudahlah. Aku tahu apa yang kau rasa," ujarku sambil mengelus pundaknya. Usya hanya diam tidak menanggapi pernyataanku.

Usya pun menangis sesegukan. Ah Usya sahabatku. Aku pun memeluknya. Aku bisa merasakan air matanya yang jatuh membasahi pundakku. Pasti Usya sedih sekali mengetahui fakta bahwa Om Goldie yang masih takut pada istrinya. Usya Usya.

Ting!

Pintu lift terbuka. Segerombolan bapak-bapak dan ibu memasuki lift. Mereka memandangi kami aneh. Terutama Usya karena dirinya hanya memakai celana dalam dan bra. Pintu lift pun tertutup.

"Anak-anak jaman sekarang aneh ya. Pakai pakaian seenak udelnya. Ini kan negara timur bukan negara barat," sindir salah satu ibu yang ada di lift. Pasti dia menyindir Usya. Memang sih ini salah. Tak pantas Usya hanya dibalut bra dan celana dalam.

"Iya. Apalagi sampai pacaran sesama jenis dan peluk-pelukan di tempat sempit. Wah itu melanggar norma sekali ya," timpal seorang bapak-bapak.

Peluk-pelukan di tempat sempit? Kedua orang ini menyindirku dan Usya? Biadab! Dan kami dikatakan pacaran sesama jenis? Ya aku tahu, Usya memang salah karena ia dalam keadaan setengah telanjang saat ini, tapi mereka jangan berbicara seperti itu. Memangnya mereka tahu apa yang terjadi pada kami?

"Heran ya sama orang jaman sekarang. Sukanya ngomongin orang padahal nggak tahu masalah sebenarnya apa. Patut dididik tuh mulutnya," balasku menyindir mereka dengan keras.

Usya terus menenggelamkan wajahnya di pundakku. Aku tahu ia pasti malu untuk menunjukkan wajahnya. "Rel, jangan cari masalah lagi. Biarkan saja mereka," bisik Usya.

Sepasang orangtua itu pun menatap wajahku sinis. Aku pun membalas tatapan sinis mereka. Mereka pikir aku takut? Aku tidak akan pernah rela sahabatku hina di mata mereka.

"Kamu bicara sama saya?" tanya bapak itu yang sekarang wajahnya terlihat jelas. Ia memakai kacamata. Rambutnya putih. Padahal ia sudah tua. Seharusnya ia mampu menjaga mulutnya. Aku doakan keluar dari sini ia terjatuh dan mulutnya robek. Mungkin terlalu sadis. Aku doakan saja dia sariawan seumur hidupnya sampai menjelang ajal kematiannya.

"Hah? Saya ngomong sama teman saya kok, pak," jawabku ngeles.

Sepasang orangtua itu pun membalikkan tubuhnya lagi. Ya aku dan Usya berada di dalam pojokan lift. "Namanya anak muda. Lebih baik tidak kita ladeni pak." Perempuan tua yang berada di samping pak tua itu lagi-lagi menyindir kami.

Di saat aku mau menghantam kepala mereka dengan kepalanku, Usya menahannya. "Sudah, Rel. Aku tidak mau cari masalah. Kumohon tahan emosimu," bisik Usya serak.

Aku pun menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Benar kata Usya. Aku harus bisa menahan emosiku. Sekarang kami dalam kondisi di mana tidak bisa bertingkah macam-macam. Aku sedang dalam kondisi kabur dari rumah dan Usya sedang dalam posisi dikejar oleh dua preman dari istri sah kekasihnya.

Ting!

Pintu lift terbuka. Aku melirik ke angka pada nomor lift. Ah belum ke BG. Ini masih di lantai G alias ground. Orang-orang di lift pun berhamburan keluar dari lift ini. Dari sini aku bisa melihat dua preman itu sedang mencari-cari kami berdua. Fuck. Aku pun dengan sigap langsung menekan tombol tutup pada lift.

"Woy! Itu mereka!" teriak preman yang mirip kerbau.

Untungnya sekarang lift sudah dalam kondisi tertutup. Sepertinya si Lila istri Om Goldie benar-benar sudah merencanakan hal ini. Biasanya dia selalu sendiri atau bersama seorang perempuan yang ukuran badannya tak kalah besar. Baru kali ini dia membawa preman. Dua pula.

"Gila ya, Sya. Ini pertama kalinya kan si Lila berlemak itu bawa preman."

Usya mengangguk. "Iya biasanya dia bawa si Noni adiknya. Aku sampai hapal coba nama adiknya."

Ting!

Pintu lift terbuka. Kami sudah tiba ground. Tapi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak pada kami. Sekarang dua preman berwajah binatang itu sedang menunggu tepat di depan pintu lift dengan seringai lebarnya. Menjijikkan. Aku dan Usya saling bertatapan panik. Ya Tuhan apa yang harus kami lakukan?

Usya pun langsung menekan tombol tutup dan aku langsung mengangkat koperku lalu kudorong kepala salah satu preman itu menggunakan badan koperku. Badannya pun terpelanting ke belakang. Sementara preman satunya terus berusaha menahan dua sisi pintu lift menggunakan kedua tangannya. Tangan Usya dan aku pun langsung bergerak untuk melepaskan tangan preman tersebut dari pintu lift.

Tapi, preman ini kuat juga. Aku harus membuat mereka lemas. Tak ada cara lain. Otakku mulai berpikir. Haruskah aku memakai cara kotor ini? Biadab! Ya Tuhan maafkan kebodohan hambamu ini. Tak ada cara lain lagi. Aku pun berdiri tepat di tengah preman itu. Usya memandangiku bingung, tapi ia tiba-tiba melotot. Aku rasa Usya tahu hal nekat apa yang mau aku lakukan.

Aku pun menarik napas dalam-dalam. Aku pegang kedua sisi pada bathrobe-ku lalu kubuka lebar-lebar tepat di depan mata si preman berwajah kambing itu. Mata preman itu terbelalak lebar dan bola matanya serasa ingin menggelinding keluar begitu melihat tubuhku yang utuh tanpa sehelai benangpun. Jujur, baru kali ini aku merasa seperti seorang pelacur.

Usya yang syok sebentar pun tersadar. Ia langsung mendorong tubuh preman yang sedang terpelongo lemas menyaksikan tubuh elokku. Preman itu mundur dengan pasrah tanpa penolakan. Dan pintu lift kemudian tertutup.

Usya pun mengikatkan kembali bathrobe-ku. Aku dan Usya sama-sama diam. Kami berdua benar-benar tak menyangka bahwa ada adegan seperti barusan. Tak ada yang mengeluarkan suara satupun. Usya masih sibuk menata hatinya yang berantakan gara-gara perlakuan Om Goldie, istri beserta dua anak buahnya. Sedangkan aku lemas karena harus memperlihatkan tubuh indahku kepada dua manusia berwajah binatang itu. Mama....

Ting!

Kami berdua pun keluar dari lift dengan langkah gontai. Orang-orang yang sedang menunggu lift pun terperangah dan syok melihat dua perempuan yang satunya setengah telanjang dan satunya hanya memakai bathrobe keluar dari lift. Tapi, kami tidak mempedulikan hal itu. Usya yang membawa koperku. Kami pun terus berjalan menuju pintu keluar. Ya aku sadar bahwa kami sedang melewati lobi hotel dan semua mata tertuju pada kami. Tapi, sekali lagi. Aku dan Usya sudah bodo amat dengan pandangan orang-orang.

Dan sekarang kami sudah di teras hotel. Kami berdiri terpaku beberapa menit dan masih merenungi kejadian barusan. Aku yakin kedua preman itu sudah tidak mengejar kami lagi. Aku yakin salah satu dari mereka sudah terduduk lemas membayangkan tubuhku. Argh!

"Mbak, mau naik taksi?" tawar seorang sopir taksi padaku.

Aku pun tersadar. Ah iya sampai kapan aku dan Usya akan berdiri seperti ini terus? Sopir taksi tersebut pun memandang Usya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia menenggak salivanya syok melihat tubuh seksi Usya. Ya pria mana sih yang tidak tergoda melihat tubuh wanita setengah telanjang. Sopir taksi ini sudah tua terlihat dari rambutnya yang mulai memutih.

"Pak, tolong koper saya ya." Sopir taksi itu pun keluar dari taksi lalu mengambil koper yang ada di pegangan Usya. Usya tak bisa berbuat apa-apa.

Aku pun menarik tubuh Usya untuk masuk ke taksi. Usya hanya pasrah menurutiku. Taksi pun mulai melaju. Kami berdua tak ada yang berbicara sedikitpun. Semua sibuk pada pikiran masing-masing.

"Maaf neng neng cantik. Kita mau ke mana ya?" tanya pak sopir tersebut membuyarkan lamunan kami.

Aku dan Usya pun saling bertatapan bingung. Lalu aku melihat jam pada dashboard taksi ini. Waktu menunjukkan pukul 23.49. Besok aku berangkat pagi ke bandara. Apa ke hotel bandara saja? Usya sepertinya menyerahkan urusan ini padaku. Ia hanya terus diam.

"Ke Soetta ya pak. Cari hotel terdekat untuk penerbangan internasional," jawabku.

"Siap neng cantik."

Kami berdua pun kembali melihat sisi jalanan. Benar-benar tidak ada niat untuk mengobrol.

"Neng yang rambut pendek nggak kedinginan?" tanya pak sopir tersebut pada Usya.

Ah iya aku sampai melupakan bahwa Usya saat ini hanya memakai pakaian dalam. Usya pun tersadar. Aku rasa ia pasti malu berat dilihat dalam keadaan seperti ini. "Hehe maaf ya pak pakaian saya begini. Ini benar-benar bukan mau saya," ujar Usya pelan.

Pak sopir tersebut terlihat ramah. "Hehe iya neng. Saya cuma kasian aja sama neng. Ini kan udah malam dan neng pakai pakaian begitu. Emang neng nggak kedinginan?" tanya pak sopir itu hati-hati.

"Hehe kedinginan sih pak," jawab Usya.

"Kalau neng yang pakai handuk nggak kedinginan juga? Duh neng berdua kok aneh-aneh sih? Nanti dianggap orang perempuan nakal loh."

Aku langsung naik pitam. "Jadi bapak anggap kita berdua orang nakal?"

"Oh nggak neng. Bapak bilang anggapan orang dan bapak kasian sama neng berdua. Serius. Bapak nggak anggap neng neng yang cantik ini nakal." Aku pun menyilangkan kedua tanganku sambil merengutkan wajahku. "Cuma menurut bapak. Alangkah lebih baik kalau neng jangan berpakaian seperti itu. Neng berdua itu cantik loh. Jujur. Mending neng berdua ganti pakaian. Saya melihat neng neng berdua jadi ingat sama anak saya."

Aku dan Usya pun menghela napas bersamaan. "Yasudah pak. Nanti ke pom bensin terdekat ya. Saya dan teman saya akan ganti baju."

Aku bisa melihat senyum lebar pak sopir tersebut lewat kaca spion. "Siap neng cantik."

Aku dan Usya kembali berpandangan. Kami terbahak bersama. Benar-benar konyol sekali hari ini.

***

Untungnya hari sudah malam. Jadi suasana pom bensin tidak begitu ramai. Pak sopir tersebut pun mengambilkan koperku yang ada di bagasi taksinya. Sekarang kami berdua sudah di dalam kamar mandi.

"Sya, kau pasti tahu apa yang kurasa kan...," aduku manja.

"Dan kau tahu juga kan apa yang kurasa," timpal Usya.

Sekarang kami sudah berpakaian utuh. Untung ukuran tubuhku dan Usya sama, jadi Usya tak perlu repot-repot untuk membeli pakaian baru. Aku memakai celana panjang dan kaos oblong berwarna hitam. Sedangkan Usya memakai celana sepertiga dan kaos oblong berwarna hijau army. Aku memang selalu membawa stok kaos banyak setiap kali akan bepergian.

Sayang, sepatu Usya tadi tertinggal di hotel. Untungnya aku tadi tidak lupa memasukkan sepatu boot-ku. Lebih untungnya lagi aku membawa dua sepatu, jadi Usya lagi-lagi kini meminjam barangku.

"Maafkan aku, Rel. Aku pinjam barang-barangmu dulu. Nanti pas di Jepang akan aku belikan yang baru."

"Santai saja. Kau ini seperti sama siapa saja."

Tak lupa kami menyepuhkan bedak ke wajah kami lalu memakai lisptik. "Oiya, Rel. Kacamataku juga ketinggalan di hotel. Besok pas di Jepang beli kacamata juga ya."

Aku mengangguk. Ya Usya memang sulit lepas dari kacamatanya. Setelah kami selesai berdandan di kamar mandi pun, kami keluar. Pak sopir itu menunggu dengan sabar dan begitu melihat kami, wajahnya langsung berbinar. Melihat pak sopir ini membuatku teringat pada kakek.

Aku pun menyerahkan koperku padanya. Ia meletakkannya ke bagasi. Kami semua masuk ke dalam taksi dan taksi pun kembali melaju. Sebelum itu, aku menyempatkan untuk mengecek ponselku. Pasti kakek dan mama sekarang sangat cemas dan pasti banyak sekali pesan masuk atau missed call dari mereka. Membayangkannya saja sudah membuatku serasa ke langit ketujuh.

Tapi apa?! Tidak satupun panggilan masuk atau pesan baru! Hell! Mereka sama sekali tak mencariku?! Tapi aku berusaha berpikir positif saja. Siapa tahu mereka masih belum mengecek keberadaanku di kamar.

***

Semua aman. Akhirnya kami bisa tidur nyenyak tadi malam dan betapa beruntungnya aku. Aku termasuk orang yang tidak akan pernah kekurangan uang kemanapun aku pergi. Terimakasih master Brasta Muhsin. Karena dirimu aku menjadi cucu terenak sedunia.

Sekarang aku sudah bersama Usya di bandara. Usya terus memakai bajuku. Kami masih memakai baju semalam karena pasokan bajuku yang saat ini sedang menipis. Yang penting kami sudah mandi dan tampil wangi. Aku juga sudah mengambil uang di debitku yang berkisar 15 juta dan aku juga sudah menukar mata uangnya ke Yen. Usya juga sudah melakukan hal yang sama. Ia menukarkan uangnya sekitar 20 juta lebih. Ini adalah kebiasaanku. Aku selalu menaruh uang sedikit di debit card-ku. Aku sudah terbiasa menggunakan credit card.

Kini kami pun sudah di pesawat. Kami akan mendarat di bandara Narita, Tokyo. Butuh waktu sekitar enam jam lebih untuk tiba di Tokyo. Selama di pesawat, kami berdua menghabiskannya dengan tidur. Maklum aksi tadi malam membuat tubuh ini remuk dan benar-benar lemah.

Dan akhirnya, here we are! Welcome Jepang! Lupakan masalah di Jakarta. Saatnya liburan!

Kami pun naik taksi bandara menuju hotel. Untungnya untuk urusan hotel, Usya juga telah memesannya. Jadi kami tidak harus melakukan banyak prosedur lagi. Nah saatnya belanja! Karena cuaca di sini masih terang, kami memutuskan untuk berbelanja. Aku dan Usya tidak membawa baju banyak. Apalagi Usya. Ia bahkan tidak membawa baju sehelaipun! Ia juga langsung berencana untuk membeli kacamata minusnya.

Kami pun mulai berbelanja di salah satu tempat belanja ternama di Jepang yaitu Shinjuku. Ya kami masih menggunakan uang tunai karena sayang juga menyimpan uang tunai sebanyak ini di tas. Uangku dan uang Usya bahkan sudah hampir habis akibat berbelanja.

Nah di sinilah masalah di mulai. Ketika uang tunai kami menipis artinya kami harus menggunakan kartu kredit dan tahu apa yang terjadi ketika aku menggunakan kartu kreditku? Mereka menolaknya dengan alasan diblokir! Usya dan aku langsung and syok.

What? Kakek tega! Jadi ini cara dia agar menyuruhku pulang?! Bagaimana nasib cucumu di negeri orang kek?!

***

note : maaf kalo chapt ini membosankan yah karena ga ada babang Shagam dan babang Zian 😚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro