Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Sial! Bisa-bisanya di saat seperti ini dia malah mengingat Dodo. Entah kenapa aku merasa gagal dibanding si banci kaleng itu. Aku itu Amarel Brasta. Seorang cucu konglomerat dan bisa-bisanya aku kalah saing oleh banci seperti si Dodo? Hell!

Di mana-mana orang itu cemburu terhadap sesama jenisnya, tapi kenapa aku malah  cemburu pada lawan jenis? Mending yang aku cemburui adalah pria tampan. Ini bahkan jauh dari kata tampan. Fuck! Langsung saja aku menjauh dari si gay ini. Entah kenapa hatiku miris mendengar permintaan tolongnya.

Bukankah seharusnya ia membutuhkanku dibanding kekasih gaynya itu?

"Cih! Tak sudi aku menolongmu. Panggil saja dia sendiri!" kataku kuat.

Shagam malah memandangiku nanar. Ia benar-benar terlihat putus asa. "Amarel, tolong aku. Hanya kau yang bisa memanggilkan Dodo saat ini," ujarnya dengan suara parau.

"Kenapa mesti Dodo sih, Gam? Bukankah aku juga bisa menolongmu saat ini? Kau memerlukan apa? Biar kubantu. Asal jangan menyuruhku memanggil si banci kaleng itu!" ujarku ketus.

Ia memejamkan matanya beberapa detik. "Marel, tolong. Panggilkan Dodo. Kau tak akan bisa menyembuhkanku. Percayalah."

Aku terdiam beberapa saat. Apakah sebenci itu Shagam terhadap aku? Sampai-sampai niatku untuk menolongnya malah ditolak mentah-mentah? Ya Tuhan. Bagaimana bisa aku menjalani sisa hidupku nanti bersama pria gay ini?

"Sebenarnya apa sih Gam yang membuatmu begini? Memangnya aku tak bisa menyembuhkanmu?" suaraku sekarang sudah pelan. Aku lelah dan tak tega juga kalau harus berbicara dengan nada tinggi pada orang yang sedang lemah seperti dia.

Shagam kembali menatapku. Pandangannya benar-benar tulus kali ini. "Percaya padaku, Marel. Kalau kau bisa menyembuhkanku sekarang, aku tak akan memerlukan bantuan Dodo. Saat ini aku benar-benar butuh Dodo."

Aku mendengus kesal. Baiklah. Aku menyerah. "Yasudah. Bagaimana caranya agar Dodo ke sini?" tanyaku ketus.

"Ambilkan ponselku di saku jasku tadi."

Aku pun mengambil jas Shagam yang tergeletak di kursi belajarnya. Ya di kamar Shagam masih ada meja dan kursi belajar. Lalu kucari ponselnya dan aku menemukannya. Ponselnya dalam keadaan non active. Kemudian aku tekan tombol power pada sisi kanan ponselnya. Begitu hidup, ponsel Shagam menggunakan password dan aku tidak tahu apa password-nya.

Aku kembali menghampirinya yang sedang terkulai lemah di atas ranjangnya. "Aku tidak tahu apa password-mu. Cepat beritahukan aku, atau kau mau mengetiknya sendiri?"

Ia menggeleng. "Aku terlalu lemah untuk mengetiknya."

"Yasudah jadi apa kata kuncinya?" tanyaku lagi masih dengan nada yang sama.

"Tanggal lahir..." jawabnya parau.

Aku pun langsung menyentuh layar ponsel Shagam dan kusentuhkan jariku ke angka lahir Shagam, tapi failed. Bukan tanggal lahir Shagam. Aku ingat persis tanggal lahirnya dan aku tidak mungkin melupakn tanggal itu. Tanggal lahir si Dodo jangan-jangan. Huh!

Aku kembali menatapnya kesal. Malas sekali sebenarnya harus menanyakan tanggal lahir Dodo pada si gay sialan ini. "Tanggal lahir Dodo kapan?"

Ia mengernyitkan dahinya bingung. "Buat apa?" tanyanya lembut.

"Katamu tanggal lahir kan? Tanggal lahirmu tidak bisa, bodoh!"

Ia terbahak. "Marel Marel. Tanggal lahirmu, stupid."

Aku mendadak terdiam. Tanggal lahirku Kenapa bisa? Bukankah baru saja tadi pagi ia mengatakan dengan jelas bahwa ia membenciku? Bahkan saat ini saja dia malah lebih membutuhkan Dodo dibanding aku. Tapi kenapa malah tanggal lahirku yang dijadikan kata kunci pada ponselnya?

"Marel, cepat. Aku sudah tidak kuat. Cepat hubungi Dodo...," pintanya pelan.

Aku jadi tersadar dan menepis pertanyaan-pertanyaan bodohku. Mungkin karena tanggal lahirku gampang diingat atau karena apa gitu. Lebih baik aku buang pikiran konyolku daripada nantinya aku malah kepedean. Benarkan?

Aku pun langsung menekan nomor pada layar ponsel Shagam dan benar. Benar-benar tanggal lahirku yang menjadi password-nya. Entah kenapa hatiku terenyuh sedikit. Ya Tuhan. Ingat Marel, Shagam itu homo. Shagam itu gay dan dia tidak akan pernah menyukaimu. Batinku berkali-kali mengingatkan.

Langsung aku cari kontak Dodo saat itu juga dan sekarang aku sedang menunggu jawaban dari seberang sana. Gila! Belum ada semenit si Dodo langsung menjawabnya.

"Ya bos sayang. Ada apa?"

Asli. Aku jijik sekali mendengarnya. "Bos sayang mukamu! Aku Marel!"

Ia terlihat syok sepertinya. "Hah? Kau kan pelacur itu? Mengapa ponsel Mamas Shagam ada padamu?!" pekiknya kuat dari seberang sana sampai aku menjauhkan sedikit ponsel ini dari telingaku.

Sialan si banci ini. Suaranya nyaring sekali. Mana dia bilang mamas Shagam lagi. "Bisakah kau tidak mengatakan Mamas Shagam? Aku geli mendengarnya!"

"Ah peduli setan. Ada apa kau menelponku dan kenapa ponsel bosku bisa ada padamu?"

Aku pun menarik lalu mengembuskan napasku kasar. "Shagam pingsan. Ia membutuhkanmu saat ini."

"Bos Shagam pingsan?" tanyanya cemas.

"Iya dan dia bilang dia sangat membutuhkanmu karena hanya kau yang bisa menyembuhkannya."

"Astaga. Mamas Shagam tidak sakit kan?" Kali ini nada bicara Dodo benar-benar terdengar cemas.

"Tidak. Dia tiba-tiba saja jatuh pingsan. Kata mama kondisi tubuhnya sehat dan mama bilang ini mungkin ada hubungannya dengan psikis Shagam," aduku. Entah kenapa aku malah membeberkan hal ini dengan entengnya pada Dodo.

"Psikis?!" tanya Dodo syok.

"Iya, Do. Shagam membutuhkanmu." Berat sekali aku mengatakan hal ini sebenarnya.

Hembusan napasnya yang kasar dari seberang sana terdengar jelas di telingaku. "Sebenarnya apa yang terjadi, Amarel? Tolong jelaskan padaku!" bentak Dodo keras dengan suara kemayunya.

"Cardifal. Begitu dia mendengar nama Cardifal dia langsung pingsan."

"Apa?! Cardifal katamu?" Dodo memekik sangat kencang. Ia sepertinya benar-benar syok.

"Baik. Aku akan ke sana sekarang. Tolong jaga mamas-ku. Jangan kau apa-apakan dia. Paham?!"

Telpon pun terputus. Aku mematung sejenak. Lalu kupandangi Shagam yang masih terkulai lemah. Matanya terpejam. Sepertinya ia tertidur kembali. Aku menarik napas. Haruskah aku memberitahukan Tante Lona, mama, dan kakek bahwa Shagam sudah sadar?

"Jangan beritahu mama kalau aku sudah sadar. Tunggu saja Dodo di sini," pintanya dengan suara serak.

"Tante Lona kenal Dodo?" tanyaku ketus. Aku masih berdiri di sampingnya. Shagam masih menutupi mata dengan lengan tangannya.

Ia mengangguk. Bodoh juga sih aku menanyakan hal itu. Jelas-jelas berkat Dodo Shagam bisa kembali ke keluarga ini. Kalau tidak ada Dodo yang membawanya ke kantor polisi waktu itu pasti Shagam tak akan berada di depanku seperti sekarang.

"Emang Dodo boleh masuk ke sini oleh Tante Lona? Di luar ada mama dan kakek. Mereka menunggumu untuk sadar. Haruskah aku beritahu mereka?" tanyaku lagi.

Shagam menggeleng. "Jangan. Pokoknya tunggu Dodo sampai datang," titahnya.

Aku pun melemas, lalu memilih untuk duduk di tepi ranjangnya. Shagam masih terus menutup mukanya. Kenapa dia? Malu? Sambil menunggu, mataku pun menelusuri ke sekitar area kamar Shagam. Kamarnya masih sama seperti dulu. Kamar yang cukup luas dengan dominan warna abu-abu dan hitam. Terdapat banyak rak berjejer rapi dengan koleksi miniaturnya yang tersusun rapi. Meja belajar terletak di samping jendelanya. Sementara ranjangnya berada di sudut kamar ini. Kamarnya benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah pria sejati.

"Amareeeel!" teriak Tante Lona dari luar kamar.

Aku terlonjak. Teriakan Tante Lona mengejutkanku. Aku pun segera keluar dari kamar Shagam. Aku hampiri mama, kakek, dan Tante Lona yang sedang berkumpul di ruang tamu. Tidak hanya mereka, ada Dodo di antara mereka. Aku menggeleng. Cepat sekali Dodo tiba di rumah Shagam. Hanya dalam 15 menit, aku sudah melihat batang hidungnya.

"Marel, bawa Dodo ke kamar ya. Dia mau menemui Shagam," suruh Tante Lona lembut. Aku lihat reaksi Tante Lona sangat ikhlas. Ia benar-benar memintaku untuk mengantarkan Dodo. Tahukah tante bahwa Dodo adalah pasangan gay anak tante?

Aku pun melirik Dodo sinis. Ia juga menatapku tak kalah sinisnya. Meskipun aku bisa melihat guratan cemas dari wajah jeleknya itu. Ia memakai kemeja kotak-kotak hijau dan celana panjang abu-abu.

"Dia siapa, Lona?" tanya mama.

"Kamu ingat kan cowok yang bawa dia ke kantor polisi pas Shagam menghilang waktu itu?" tanya Tante Lona pada mama.

Mama pun melihat wajah Dodo dengan jeli. Mama menutup mulutnya tak percaya. "Astaga. Kamu pria itu? Maafkan saya yang melupakan kamu. Sudah lama loh saya nggak lihat kamu."

Dodo pun segera menyalam tangan mama dan kakek dengan sopan. Sepertinya ia juga tak menyangka akan bertemu dengan keluargaku  di sini.

"Kalau nggak ada kamu, pasti kami semua tak akan pernah berjumpa sama kamu. Makasih ya. Siapa nama kamu tadi?" tanya kakek.

Dodo tersenyum. "Surodo, kek. Panggil saja Dodo," ucap Dodo.

"Kamu datang ke sini mau menemui Shagam? Tapi dia masih tidak sadarkan diri, Do," terang mama.

"Viza, dulu tiap kali Shagam pingsan. Selalu Dodo yang membuatnya tenang. Mungkin kamu nggak tahu ini, tapi aku tahu. Karena tiap kali Shagam sadar, dia juga selalu minta dipanggilkan Dodo. Saya rasa Shagam juga sudah sadar dan kamu kan yang menelpon Dodo, Marel?" tanya Tante Lona padaku.

Aku menenggak ludah. Jadi, Tante Lona memang sudah kenal dekat dengan Dodo? Aku merasa malu. Kemana saja aku selama ini? Pikiranku selalu dipenuhi prasangka buruk terhadap Shagam. Bahkan aku tidak tahu bahwa selama ini yang menyembuhkan Shagam adalah Dodo. Aku merunduk. Aku rasa aku memang kalah banyak dari Dodo. Hanya Dodo yang dibutuhkan Shagam dan bukan aku.

"Berarti sekarang Shagam sudah sadar, Rel?" tanya kakek.

Aku kembali mendongakkan kepalaku lalu mengangguk. "Iya kek dan Marel yang telpon Dodo untuk segera ke sini."

Kakek pun menghampiri Dodo sambil menggerakkan roda pada kursi rodanya. Ia mengusap lengan Dodo. "Terimakasih ya, Dodo. Saya benar-benar nggak tahu mesti gimana kalau nggak ada kamu. Sudah kamu yang mengantarkan Shagam sembilan tahun yang lalu dan sekarang kamu yang bisa menenangkan Shagam. Terimakasih ya."

Hancur. Lagi-lagi hatiku hancur melihat reaksi kakek dan mama. Mereka sangat menyukai Dodo. Selamat kalian berdua wahai pasangan gay. Semua orang sepertinya akan merestui kalian.

"Marel, ayo antar Dodo ke kamar Shagam," perintah mama.

Aku kembali menatap Dodo kesal. "Ayo!" ajakku ketus. Dodo pun menghampiriku dan ia berjalan di belakangku.

Kini kami sudah di depan pintu Shagam. Kami berpandangan sejenak. Aku ingin bertanya banyak hal pada pria ini, tapi entah kenapa rasanya sangat malas sekali. Lagi-lagi aku menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Kupegang knop pintu dan kubuka pintu ini.

Begitu pintu terbuka, Dodo langsung berlari kencang menghampiri Shagam. "Booos!" pekiknya kuat. Untung aku langsung menutup pintu. Apa kata mereka semua di luar nanti begitu mendengar pekikan si banci ini.

Dodo pun langsung menarik tubuh lemas Shagam ke dalam dekapannya. Shagam dengan lemas hanya pasrah mengikuti tarikan Dodo. Shagam menyandarkan dagunya di pundah Dodo. Matanya terpejam. Ya Tuhan Shagam menyedihkan sekali melihat kondisimu yang seperti ini.

Mamas bobo oh mamas bobo
Kalau tidak bobo digigit nyamuk

Astaga. Apa yang kudengar barusan? Dodo menyanyikan lagu nina bobo dengan nina yang digantikan menjadi sebutan mamas. Apa-apaan ini? Haruskah mereka semesra ini di hadapanku? Rasanya lututku melemas, tapi aku tak boleh jatuh. Aku malu kalau terlihat lemah. Aku terus memperhatikan mereka sambil berdiri dekat pintu.

Dodo pun mengelus rambut Shagam lembut sambil terus menyanyikan lagu tersebut berulang kali. Meskipun hatiku sakit, tapi aku penasaran dengan mereka berdua. Aku pun mendekatkan diriku ke mereka. Wajah panik Shagam sekarang telah berubah menjadi wajah penuh ketenangan. Air matanya pun terus turun dari sudut matanya dan Dodo terus bernyanyi tanpa henti.

Dodo sama sekali tidak mempedulikan diriku yang berdiri menyaksikan tingkah mereka. Ya Tuhan kenapa rasanya sakit sekali? Shagam, mengapa kau bisa tenang seperti itu di-ninabobo-kan oleh Dodo? Apa kau tahu betapa aku mencemaskanmu dan berharap kau mau bersandar di pelukanku seperti yang kau lakukan pada Dodo saat ini?

Tanganku pun perlahan ingin menyentuh wajah Shagam. Aku ingin menghapus air matanya, tapi Dodo menepisnya dengan sangat kasar. Dodo langsung menatapku sangar. "Biarkan bos tenang!" bisiknya dengan sedikit bentakan. Aku benar-benar tersinggung. Banci keparat!

Aku tak tahan lagi. Air mataku mengalir dengan derasnya sekarang. Aku benci melihat ini. Sekarang, benar-benar di depan mataku mereka menunjukkan ikatan mereka. Sakit sekali ya Tuhan. Aku pun berlari keluar kamar.

Air mata ini benar-benar tak terbendung lagi. Aku hampiri keluargaku dan Tante Lona yang masih di ruang tamu. Mereka pun jelas bingung melihat aku menangis.

"Pokoknya Marel nggak mau nikah sama Shagam!" pekikku kuat lalu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan mereka semua.

Hatiku benar-benar seperti tertancap beratus-ratus pisau.

***

Aku tak kuat lagi. Aku rasa memang tidak ada yang menyayangiku. Semuanya pro ke Shagam tanpa memikirkan hatiku sedikit saja. Pertama: aku dijodohkan dengan Shagam dan itu tanpa membutuhkan persetujuanku. Kedua: kabar pernikahanku yang akan diadakan dua minggu mulai dari sekarang. Gila apa? Memangnya aku boneka yang seenaknya diatur begitu saja?

Aku pun langsung mengambil koper berukuran 24cm yang berada di dalam ruang lemari di kamar ini. Aku ambil sebagian pakaianku lalu aku taruh secara sembarang ke dalam koper. Tak lupa pakaian dalam, tas kecilku, sepatu, alat make up. Aku harus pergi dari rumah ini. Aku harus berlari sejauh-jauhnya dimana kakek dan mama tidak akan pernah menemukan aku.

Air mataku tak henti-hentinya mengalir dari pelupuk mataku. Aku tak sanggup kalau harus tinggal dengan Shagam yang tak akan pernah mencintaiku. Ikatan dirinya dengan Dodo sangat dalam. Aku tak bisa memisahkan mereka. Bahkan hanya sekedar berharap saja tidak bisa. Aku juga gengsi harus bersaing dengan banci jelek seperti dia. Mana Dodo berhasil mengambil simpati mama dan kakek pula. Pupus sudah semua.

Aku pun mengganti pakaianku dengan celana kulit hitam, kaos oblong merah, dan jaket kulit warna hitam. Lalu aku keluar dari lemari ini sambil menggeret koper. Kemudian, aku ambil topi hitam, dan kacamata hitam. Aku harus menyamar agar mereka tak menyadari kepergianku. Tapi aku bingung. Aku harus kabur dari mana ya?

Aku tidak mungkin kabur lewat pintu utama. Itu bukan kabur namanya. Aku butuh pertolongan. Ah Latusya! Aku pun langsung menyalakan ponselku. Kucari kontak Usya. Usya pasti tahu apa yang aku alami hari ini. Tak butuh waktu lama untuk menunggu jawaban Usya dari seberang sana.

"Marel! Aku sungguh cemas padamu. Aku daritadi mau menelponmu, tapi aku takutnya kau sedang sibuk dengan keluargamu."

"Usya! Tolong aku, Sya...," rengekku.

"Apa? Aku kaget melihatmu di tv. Benarkah kau dua minggu lagi akan menikah? Aku benar-benar kepikiran denganmu. Untung saja kau menelponku."

Aku mendengus kesal. "Aku juga baru tahu saat itu juga, Sya. Kakek tidak pernah sama sekali membicarakan hal itu padaku. Aku stres, Sya. Tolong aku." Tiba-tiba saja aku jadi ingat dengan adegan antara Shagam dan Dodo tadi. "Aku juga ingin bercerita soal Shagam, Sya. Aku benar-benar tidak bisa menikah dengannya. Aku tidak akan mampu, Sya...." Kembali air mata ini menetes.

"Ya ampun, Rel. Kau mau kah kita bertemu? Aku rasa kau membutuhkanku."

"Kau sedang di mana sekarang, Sya? Aku ingin pergi dari rumah ini. Bagaimanapun caranya aku tidak boleh menikah dengan Shagam."

"Maksudmu kabur?"

"Iya. Aku sudah benar-benar tak tahan. Aku tak tahu lagi caranya. Menggunakan Zian sama sekali tidak mempan. Ah iya aku juga ingin menceritakanmu soal Zian."

"Kenapa lagi dia?"

"Ini aneh, Sya. Pokoknya aku benar-benar membutuhkanmu. Bawa aku pergi dari rumah ini segera."

Usya diam sejenak. Pasti ia sedang berpikir. "Rel, aku juga sedang stres. Sepertinya aku harus jauh-jauh dari Om Goldie. Aku lelah sekali."

"Kenapa lagi?"

"Orangtuaku menuntutku untuk segera menikah! Lalu aku minta Om Goldie untuk menikahiku, tapi ia tak memberikan jawaban apa-apa. Aku pusing."

Aku kadang bingung harus menanggapi curhatan Usya seperti apa. Masalahnya Usya hanyalah selingkuhan. Hati Om Goldie pasti buat istrinya dan aku tak tega harus menyakiti Usya. Ia pasti juga sangat pusing dengan semuanya. "Astaga, Sya. Kenapa hidup kita banyak masalahnya sih?" Hanya itu yang bisa aku ucapkan pada Usya.

"Entahlah. Aku juga bingung. Btw kau mau kabur kemana? Kau tahu kan pengawal kakekmu di mana-mana. Kemanapun kau kabur, mereka pasti akan menemukanmu."

Otakku kembali berputar. Harus kemana ya aku? Benar juga kata Usya. Bagaimana kalau ke luar negri? Usya mau tidak ya menemaniku? Dia kan seorang pekerja.

"Sya, kau mau tidak ke luar negeri denganku? Ya sampai pesta pernikahan berlangsung baru kita pulang ke Indonesia. Aku yakin kakek tidak akan bisa menemukanku."

"Keluar negri? Aku bekerja, Amarel. Kau gila? Apalagi kau bilang sampai dua minggu. Bisa-bisa aku dipecat."

Aku pun merengut. Usya kan sangat mencintai pekerjaannya. "Iya juga sih. Yasudah. Bagaimana kalau tiga hari saja? Bosmu kan Om Goldie. Aku yakin dia akan mengizinkanmu. Aku benar-benar stres, Latusya."

"Lalu setelah tiga hari itu kau mau kemana? Kembali ke rumahmu? Sama saja dong berarti. Kau akan tetap menikah dengan Shagam juga."

Iya juga sih. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku hanya ingin pergi jauh sementara dari mereka semua. Aku menghela napas. "Itu nanti urusanku. Yang jelas aku sedang muak berada di rumah ini."

"Baiklah. Aku akan berbicara dengan Om Goldie nanti soal pengajuan cutiku. Lalu rencananya kau mau bagaimana? Kapan kau mau bertemu denganku?"

"Bisakah kau menjemputku di gang dekat rumahku? Di depan warung kopi perempatan komplek. Aku tak boleh ketahuan kakek atau mama untuk kabur dari sini."

Aku bisa mendengar helaan napas Usya. "Baiklah. Kau tunggu aku ya. Nanti kutelpon begitu sudah sampai."

Telpon pun tertutup. Ah semoga saja hari ini lancar dan aku bisa pergi dari rumah ini untuk sejenak. Aku pun beranjak lalu memutuskan untuk memandang pemandangan luar melalui jendelaku.

Sepertinya aku telah membuat kesalahan besar. Maksud diri untuk menenangkan hati malah membuat hatiku kembali sakit. Aku bisa melihat dengan jelas posisi Shagam yang masih berada dalam pelukan Dodo. Dagunya masih bersandar manis pada pundak Dodo. Ya Tuhan Shagam. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi nanti ketika aku sudah berstatus sebagai istrimu.

Aku tahu perasaan ini benar-benar hancur, tapi mengapa aku bisa betah untuk menyaksikan dua pria yang berpelukan mesra ya? Tapi hal ini lebih baik daripada harus mendengarkan Dodo bernyanyi dan menyebut Shagam dengan sebutan mamas.

Cukup lama aku terdiam dan memperhatikan sepasang gay itu. Hingga akhirnya Dodo pun melepaskan perlahan Shagam dari pelukannya. Ia kembali meletakkan tubuh lunglai Shagam ke atas ranjang dengan lembut.

Aku masih terus menyaksikan kejadian ini. Sepertinya Dodo menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memantau mereka. Dodo pun berjalan sangat cepat menghampiri jendela. Lalu dipandangnya mataku penuh amarah dari balik jendela. Aku tergelak. Mengapa wajah si banci kaleng itu menjadi menakutkan?

Ia mengerutkan wajahnya dan tiba-tiba ia mengacungkan jari tengahnya padaku. What? Fuck! Aku jelas tidak terima. Tapi, banci ini benar-benar cerdas. Begitu aku ingin membalasnya, ia langsung menutup tirai jendela Shagam.

Argh! Aku kesal sekali. Usya cepatlah datang. Aku benar-benar kesal dan tak kuat. Untuk kesekian kalinya aku menangisi pria yang tak pantas untuk aku tangisi.

***

"Huaaaaa" tangisku meledak begitu aku sudah berada di dalam mobil Livina Usya.

Aku berhasil keluar rumah melalui jendela kamar. Ada untungnya juga si Dodo menutup tirai jendela pada kamar Shagam, jadi ia tidak mengetahui bahwa aku akan kabur malam ini. Ditambah pakaianku yang serba hitam mulai dari ujung kiki sampai ujung rambut. Aku juga melihat sekilas ke rumah Shagam, lampu pada ruang tamunya menyala itu artinya keluargaku masih di rumah Shagam bersama Tante Lona.

Aku juga melihat pengawal kakek masih berdiri tegap di depan rumah Shagam. Bahkan ada yang sedang ngopi cantik di teras depan rumah Shagam. Aku juga melihat Jemi-- satu-satunya nama pengawal kakek yang aku tahu-- sedang mengobrol dengan sesama rekannya. Aku kembali memakai kacamata hitamku dan berjalan dengan santainya melewati mereka semua. Aku berusaha untuk tidak terlihat gugup sambil menenteng koper pink tua ini. Aku tidak berani jika harus menggeretnya. Suaranya akan memancing perhatian para pengawal kakek.

Untungnya warung yang kumaksud pada Usya tidak perlu melewati depan rumah Shagam. Itu artinya aku bisa aman dari pengawal kakek. Dengan terseok-seok, akhirnya aku melihat Livina abu-abu muda milik Usya. Dan sekarang, aku sudah bersama Usya. Langsung saja tangisku pecah saat itu juga. Aku buka kacamataku.

"Kenapa, Rel?" tanya Usya panik. Mobil sekarang sudah melaju. Sekilas mataku melihat ke spion untuk memastikan apakah ada yang mengikuti kami atau tidak. Oh ternyata tidak ada.

"Shagam, Sya...."

"Shagam kenapa?" tanya Usya panik.

"Ia berpelukan dengan pria di hadapanku. Huaaa...."

Usya syok. "Di hadapanmu? Langsung?" tanyanya heboh sambil menunjuk matanya dengan jari telunjuk dan tengahnya.

Aku mengangguk. "Astaga. Selalu saja Shagam yang berhasil membuatmu menangis, Rel." Nada bicara Usya melemah.

"Lalu aku harus bagaimana? Lelah sekali rasanya Latusya. Ya aku tahu ia adalah gay, tapi aku tak menyangka bahwa ia akan benar-benar melakukan hal ini."

"Bagaimana memang ceritanya? Shagam memang tak waras."

"Bagaimana kalau aku menjelaskannya sambil makan? Aku belum makan sejak tadi siang," aduku pada Usya seraya menghapus air mataku.

"Mau makan di mana? Kalau bisa jangan tempat yang ramai. Ya aku tahu keluargamu belum menyadari kepergianmu. Tapi, saranku jangan makan di tempat ramai."

Aku menatap Usya bingung. "Lalu kita makan di mana?"

"Warteg. Aman kan? Kakekmu dan pengawalnya tidak akan mungkin mencarimu sampai ke warteg haha."

Aku jadi tertawa mendengar Usya mengatakan hal itu. Ah Usya memang selalu cerdas. Aku bangga memiliki satu-satunya sahabat seperti Latusya Barbara.

Warteg? Yeah, this is my first time. Selama hidupku, aku tak pernah merasakan masakan warteg. Tak kusangka di umurku yang ke-28 tahun kakiku berhasil menginjak tempat makan terkecil seperti ini.

Tiba juga kami di warteg pinggir jalan ibu kota. Lalu aku masuk. Mataku langsung melihat ke sekitar. Warna dominan pada warteg ini adalah biru muda. Di tengah-tengah terdapat etalase beralaskan meja kayu yang cukup tinggi dan dibentuk menjadi sebuah kotak. Di dalam etalase tersebut terdapat beberapa jenis makanan rumahan. Hmm kelihatannya nikmat.

Aku pun melirik ke bawah melihat sepatu boot Gucci-ku mendarat ke tempat seperti ini, tapi tak apalah. Hanya sesekali ini. Kini aku dan Usya sudah duduk di depan etalase yang berisi makanan tersebut.

"Hey, kau mau makan apa?" tanya Usya.

Aku pun tersadar. Mbak-mbak warteg tersebut sudah berdiri tegak dibalik etalase sambil memegang piring yang sudah terisi nasi. Aku pun menunjuk beberapa makanan dari luar etalase tersebut. Setelah yakin dengan lauk pilihanku, mbak-mbak tersebut pun memberikan makanan tersebut padaku.

"Mau minum apa neng?" tanyanya.

"Adanya apa?"

"Banyak sih. Ada es teh manis, jus jeruk, milo,"

"Yaudah, jus jeruk aja."

Dan kini giliran Usya yang memesan makanan. Setelah makanan Usya berada di hadapannya, kami pun mulai menyantap makanan ini. Hmm enak juga ternyata.

"Bagaimana rasanya makanan warteg? Enak bukan?" tanya Usya iseng.

"Haha lumayan. Kau sejak kapan makan di warteg?"

"Marel, di kantorku banyak sekali warteg. Jadi, kalau aku malas pergi keluar aku minta tolong OB untuk membelikanku makanan di warteg. Awalnya sih ogah, tapi Om Goldie mengatakan bahwa makanan warteg tak kalah enak dengan makanan bintang lima. Eh ternyata beneran haha."

"Om Goldie banyak sekali ya mengajarkanmu sesuatu yang baru."

"Hahaha sayang, dia pria beristri!"

Kami pun terbahak bersama. Mbak-mbak warteg pun menghampiri kami sembari membawa minuman pesanan kami. Usya memesan es teh manis.

"Sekarang cepat ceritakan semuanya. Apa saja yang terjadi padamu hari ini sampai kau menangis seperti tadi," perintah Usya.

Aku pun menceritakan kronologi kejadian hari ini secara rinci pada Usya. Mulai dari konferensi pers, sikap Shagam yang mengatakan dengan jelas bahwa ia membenciku, Shagam yang mencium pipiku untuk menggagalkan niatku yang ingin mengatakan bahwa diriku tidak mencintainya, kehadiran Zian, pertengkaran antara Shagam dan Zian, Shagam yang pingsan begitu mendengar nama keluaga Zian-- Cardifal--, sikap mama dan kakek yang sangat menyukai Dodo, dan terakhir adalah tingkah Dodo yang mampu membuat Shagam tenang padahal waktu itu ada aku di sisinya. Usya mendengarkan ceritaku dengan seksama.

"Makanya aku kabur, Sya. Aku sedih. Mereka semua jahat padaku. Aku ingin pergi jauh," aduku sambil menyuapkan sesendok makanan ke mulutku.

Usya terdiam beberapa menit. "Kau memang tidak pernah bercerita padaku tentang rahasia kalian berdua. Tapi aku bisa merasakan bahwa kau sangat menyukai Shagam, Marel," kata Usya.

Aku menghela napas lesuh. "Kau tahu kalau aku menyukai Shagam?"

"Aku sahabatmu, Amarel. Meskipun kau tidak pernah berkata bahwa kau menyukai Shagam, tapi tingkahmu, emosimu, dan raut wajahmu ketika membicarakan Shagam selalu berbeda. Aku bisa merasakannya. Aku juga tahu kali rasanya suka pada seseorang."

Aku merunduk. Ternyata Usya bisa membaca hatiku selama ini.

"Aku juga tahu kenapa kau selalu ML dengan para pria. Itu semua karena kau tahu, kau tidak akan pernah bisa memuaskan nafsumu pada Shagam. Ya kan?"

Aku menatap bola mata Usya. Ia menatapku sendu. Mataku berkaca-kaca. "Dan kau tahu kan kenapa aku sangat takut menikah dengan Shagam? Aku takut rasa ini makin besar. Kau tahu kan aku akan bertobat kalau sudah menikah? Bayangkan kalau aku menikah dengan Shagam. Itu artinya selamanya aku tidak akan melampiaskan nafsuku. Aku sedih, Latusya."

Air mataku menetes lagi. Tanganku dengan cepat bergerak menghapus air mata ini. Usya menarik napas, lalu dilepaskannya perlahan.

"Baiklah. Malam ini kita akan memesan tiket pesawat. Aku akan menemanimu kemanapun kau akan pergi."

Wajahku langsung berseri. "Benarkah?"

Usya mengangguk pasti. "Lalu kau mau kemana?" tanya Usya.

Aku berpikir. Aku sudah bosan jalan-jalan ke Eropa. Amerika kejauhan. Bagaimana kalau yang dekat-dekat saja. "Jepang."

Usya mengernyitkan dahinya. "Bukankah kau sudah kesana puluhan kali?"

"Tidak tahu. Aku sedang ingin saja. Sekarang juga sedang winter. Ayolah, Latusya."

"Yasudah oke," jawab Usya santai sambil kembali melahap makanannya. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Oiya, Rel. Aku sudah mengetahui sedikit tentang siapa Zian."

Aku hampir saja tersedak mendengar ucapan Usya. Ini yang aku tunggu karena kehidupan Zian juga penuh teka-teki buatku.

"Ia adalah anak kedua dari Rega Cardifal dan Naiya Cardifal. Zian anak kedua. Dia punya abang namanya Ogas Cardifal. Ayahnya sudah meninggal ketika Zian kelas satu SMP. Ibunya masih hidup bersama abangnya sampai sekarang."

"Ayahnya sudah meninggal? Berarti Zian sekarang bersama ibu dan abangnya?"

"Ini yang aneh. Zian tidak pernah tinggal bersama ibu, dan abangnya lagi."

"Lalu maksudmu Zian hidup sendirian setelah kematian ayahnya?" Usya mengangguk. "Astaga. Lalu Zian tinggal di mana? Satu SMP itu kan masih kecil sekali."

"Ini akan membuatmu makin syok," ujar Usya sambil menyeruput jus jeruknya.

Aku pun tiba juga di suapan terakhir. "Apa?"

"Dia dikirim ibunya ke panti asuhan. Gila kan?"

Aku tercengang. Pasti hal itu sangat berat buat Zian. Di saat kematian ayahnya, ia malah tidak mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Apakah ini yang membuat dirimu sangat berambisi Zian?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro