Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7

Aku mematung beberapa saat. Napasku tercekat karena tak tahu lagi harus berkata apa. Aku benar-benar lemas. Bagaimana mereka semua bisa merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku? Kakek, Marel, dan Shagam bekerjasama dengan sangat apik. Aku tidak bisa berkutik lagi ataupun kabur dari sini. Ya Tuhan aku lelah sekali. Sebenarnya kenapa sih mesti Shagam?

Aku perhatikan wajah mereka semua. Kakek, mama, dan Shagam tertawa dengan begitu bahagianya tanpa mempedulikan perasaanku sedikitpun. Aku benar-benar sakit melihat semua ini. Haruskah aku menerima Shagam sebagai suamiku?

Shagam memang sebenarnya tampan. Setelan jas dan celana berwarna biru dongker sangat cocok di tubuhnya yang tinggi. Ya meskipun ia sedikit kurus tetapi itu tidak mengurangi pesonanya. Ditambah rambutnya yang sedikit gondrong terjuntai lurus ke bawah. Bibirnya yang tipis serta bulu-bulu manis di sekitar dagu dan rahangnya yang mampu membuat wanita jatuh hati. Sayang, ia bukanlah pria normal. Ia tak ada rasa terhadap wanita.

Pikiranku jadi terputar ke masa itu lagi. Di mana Shagam secara gamblang menyatakan bahwa ia benar-benar sudah tak menyukai wanita manapun lagi. Aku dan Usya jelas saja syok. Terutama aku. Sudahlah dia melupakan kenangan kami karena hilang ingatannya itu. Eh setelah itu malah mengaku tidak suka pada wanita. Tak kusangka air mataku menetes lagi.

"Marel, ayo," ajakan kakek membuatku tersadar.

Aku tak bisa berbohong. Wajah mama dan kakek benar-benar menampakkan kebahagiaan yang nyata. Senyum lebar mereka terus merekah sepanjang pagi ini. Haruskah aku menghancurkan kebahagiaan mereka atau memilih kabur demi kebahagiaan diriku sendiri?

Tiba-tiba Shagam mengulurkan tangannya padaku. Aku jelas kaget. Aku tatap wajahnya kesal. "Mau ngapain?" tanyaku ketus.

Ia tersenyum. "Para wartawan udah nunggu dari tadi dan ini saatnya buat kita untuk menunjukkan ke mereka bahwa kita adalah pasangan yang serasi."

Aku pun beranjak dan memilih untuk mengabaikan uluran tangannya. "Dengar ya, Gam. Aku tidak akan pernah sudi menikah denganmu!" bisikku tepat di telinganya.

Shagam langsung mendelik dan lagi-lagi ia memasang seringai menjijikkannya itu di hadapanku. "Marel, sudahlah. Menyerah saja. Apapun caramu itu tak akan berguna. Percaya padaku. Kakekmu dan mamamu sudah benar-benar menyerahkan dirimu padaku," balasnya pelan.

Kakek dan mama jauh dari kami sehingga mereka tidak akan mendengar perdebatan kecil kami. Para pelayan kakek sibuk merapikan jas kakek serta gaun yang dipakai mama agar mereka terlihat bagus di depan kamera. "Kenapa kau sangat ingin menikahiku Shagam? Kau tidak menyukaiku dan kau tidak akan pernah menyukaiku. Kau adalah gay, Shagam Prasrari."

Jarak kami benar-benar dekat. Aku bisa merasakan desiran napasnya yang menyapu kulit wajahku. "Bukankah kau yang membuat persepsi itu Amarel? Silakan kau menilaiku dengan pikiranmu."

"Kau mengatakan dengan jelas padaku saat itu bahwa kau tidak akan menyukai wanita manapun lagi!" Aku sedikit membentaknya.

Shagam terus menatap mataku dalam. Jujur, hatiku kembali berdebar. "Kau seharusnya berpikir. Apa yang membuatku seperti ini!"

Aku terhenyak. "Apa maksudmu?"

Ia pun perlahan menjauh dariku. Lalu ditariknya tanganku dengan paksa dan digenggamnya erat. "Dengar! Selamanya aku akan terus membencimu, Amarel."

Jeb! Aku lagi-lagi terdiam tak tahu harus mengatakan apa. Membenci? Memangnya apa yang aku perbuat sehingga dengan lantangnya Shagam mengatakan bahwa ia membenciku. Apa salahku? Shagam, seandainya dirimu tahu. Aku tak pernah melupakanmu. Di sudut hatiku yang terdalam masih ada namamu tertera di sana. Bahkan mengharapkanmu untuk kembali normal, tapi pernyataanmu malam ini benar-benar membuat pertahananku hancur.

Salahkah diriku begini? Aku menolak pernikahan ini karena aku takut sakit. Aku akan hidup dengan dirinya yang jelas-jelas tidak akan pernah mencintaiku. Kelainan Shagam itu benar-benar membuat dadaku sesak. Lagi-lagi air mataku turun. Langsung saja tanganku satunya bergerak cepat untuk menghapus air mata ini.

"Ayo, sayang," ajak mama. Aku pun berusaha untuk menstabilkan perasaan ini. Aku tidak mau terlihat lemah di depan siapapun. Bangsat kau Shagam!

Kakek pun mulai melangkah sebagai orang pertama yang akan berjalan ke luar. Disusul mama, lalu aku dan Shagam. Sejenak, aku pandangi pria homo ini. Kembali hatiku sakit. Aku pun menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan.

"Rel, aku mohon. Tunjukkan wajah bahagiamu kali ini." Pria ini kembali berbisik. Aku hanya diam tak menanggapinya. Kadang aku capek menghadapinya.

Kini kami semua sudah berada di dalam sebuah aula. Aku, Shagam, kakek, dan mama sudah duduk manis di sebuah meja panjang yang berada di posisi paling depan. Sementara di hadapan kami berjejer para wartawan yang sedang duduk sambil mengotak-atik laptop mereka. Di atas meja di depanku sudah banyak mic dari berbagai stasiun tv dan radio yang tersusun rapi. Aku kembali menarik napas. Benarkah pernikahan ini akan terjadi?

Tangan Shagam tak pernah lepas dari tanganku. "Marel, senyum dong. Malu. Kamu akan dilihat semua orang di Indonesia loh." Kakek berbisik pelan. Kebetulan kakek duduk di samping kananku. Shagam di sebelah kiri dan mama di sebelah Shagam.

Aku pun mencoba untuk tersenyum. Mungkin untuk kali ini aku harus mengikuti permainan mereka semua.

"Selamat pagi semuanya. Terimakasih kepada kalian yang telah meluangkan waktunya untuk hadir di konferensi pers ini. Saya Brasta Muhsin pimpinan tertinggi dari Brasta Land ingin mengumumkan bahwa cucu perempuan satu-satunya saya akan segera menikah. Saya akan mengadakan pesta besar-besaran dan pesta ini terbuka bagi siapa saja yang berkenan untuk menghadirinya. Pesta terbuka untuk umum."

Aku terhenyak mendengar kata-kata kakek. Kakek sepertinya memang sudah niat sekali dari jauh-jauh hari untuk mengadakan pesta pernikahanku. Pesta umum? Terbuka bagi siapa saja? Bukankah itu terlalu ekstrim? Kakek tidak perlu menghamburkan uangnya hanya untuk pernikahan cucunya yang akan menderita sepanjang hidupnya!

"Lalu apakah cucu anda akan menikah dengan seorang Shagam Prasrari yang hanya seorang psikiater?" tanya salah satu wartawan pria berkacamata itu agak menohok. Aku tersenyum kecil. Benar juga. Shagam hanya seorang psikiater dan kebetulan dia psikiater ternama. Mana pantas dia bersanding dengan aku yang merupakan cucu seorang konglomerat.

Aku melirik sedikit ke Shagam. Rahangnya mengeras. Tangan satunya mengepal dengan keras. Pasti dia sedikit kesal dengan pertanyaan wartawan tersebut.

"Shagam merupakan teman kecil Amarel cucu saya. Kebetulan saya bukanlah seseorang yang melihat orang lain dari hartanya. Saya juga yakin hanya Shagam yang mampu menemani Marel sepanjang hidupnya. Kepercayaan. Hal itu yang membuat saya yakin bahwa Shagam pantas buat cucu saya."

"Sudah berapa lama Shagam dan Marel menjalin hubungan pak?" tanya salah satu wartawati yang duduk di pojokan. Aku memilih untuk diam. Biarkan kakek yang menjawab pertanyaan mereka semua.

Shagam pun beranjak. Aku terkejut. Apa coba yang mau dia katakan? "Biarkan saya yang menjawab kali ini, kek." Ia melihat kakek dan kakek mengangguk sambil tersenyum bangga. "Saya memang tidak pernah menjalin hubungan dengan Marel. Selama ini hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tetangga."

Riuh suara mereka mendadak menggema begitu mendengar pernyataan Shagam. Aku rasa mereka baru mengetahui bahwa Shagam adalah tetanggaku. Tangan Shagam semakin erat menggenggam jemariku. Aku bisa merasakan kepanikan melalui sentuhan tangannya.

"Memang kami hanya sebatas teman dan tetangga, tapi itu tidak menampik rasa sayang saya selama ini terhadapnya. Tidak ada pria di dunia ini yang mengetahui detail Marel seperti apa selain saya. Saya juga yakin hanya saya yang mampu membuat Marel bahagia." Shagam berkata dengan sangat lantang dan tegas.

Jantungku kembali berpacu cepat. Benarkah itu dirimu Shagam? Aku tahu kau hanya akting agar dirimu terlihat keren di depan mereka semua, tapi aku tidak bisa berbohong. Diriku yang lain sedang terenyuh bahagia melihat dirimu yang begitu percaya diri mengatakan hal itu.

Shagam tiba-tiba menundukkan kepalanya seraya memberikan hormat kepada mereka semua. "Kepada kalian semua, saya mohon doakan agar pernikahan kami bahagia."

Lagi-lagi aku tertegun. Entah kenapa detik itu juga aku muak pada Shagam. Simpatiku hilang. Aku tak akan tertipu lagi denganmu Shagam! Kini ia sudah menunjukkan wajahnya di hadapan mereka semua. Lalu ia tiba-tiba menarik paksa diriku agar berdiri juga. Aku pun terpaksa berdiri. Kemudian diangkatnya tanganku dengan bangga di hadapan mereka semua. Mata para wartawan dan wartawati tersebut berubah menjadi wajah haru dan iri menyaksikan tingkah Shagam yang okelah bisa dikatakan sweet.

"Saya sangat mencintai wanita ini. Saya benar-benar berharap kalian semua memberikan restu buat kami berdua. Terimakasih semuanya."

Tepuk tangan langsung bergemuruh saat itu juga. Semua orang langsung terharu penuh kebahagiaan. Kakek dan mama bahkan menunjukkan raut wajah yang begitu senang. Kalian semua tertipu! Benar-benar tertipu dengan si gay licik ini. Kenapa sih aku harus selalu bertemu dengan pria licik?

Tiba-tiba saja mataku tertuju ke pintu ujung aula. Aku melihat seorang pria. Ia memakai jaket hitam dan topi hitam. Ia berdiri tegap di pinggir pintu. Aku tahu ia sedang melihatku. Begitu ia tahu bahwa aku melihatnya, pria itu pun perlahan menaikkan topinya sedikit. Sehingga akhirnya mata kami bertemu. Pria itu....

Zian....

Aku mematung. Aku tahu Zian adalah pria brengsek karena ia lebih memilih Brasta dibanding aku. Tapi melihat sikapnya sekarang yang menyaksikan diriku seperti ini bersama Shagam, aku jadi sedikit melunak. Aku pun menundukkan wajahku. Tak berani aku melihat raut wajah sendu Zian. Ia menatapku pilu.

Ajakan Shagam untuk duduk pun membuatku sadar. Kembali aku melihat pintu aula tersebut, tapi sosok Zian sudah tak terlihat lagi. Aku melemas. Kenapa akhir-akhir ini kisahku seperti ini?

"Dr. Viza, apa tanggapan anda soal sosok Shagam?" tanya wartawati berambut pendek bop pada mama. Viza adalah nama mama.

Aku pun memandangi mama. Sudah kutebak pasti mama akan memuji-muji sosok Shagam setinggi langit. "Sosok Shagam adalah sosok yang baik, pintar, menarik, dan ganteng tentunya. Saya sangat menyukai Shagam dan saya sangat percaya bahwa Shagam mampu membuat Marel bahagia. Kalian doakan ya!" seru mama dan langsung memancing tawa seluruh orang di aula ini.

Aku hanya mendengus kesal dan pasrah. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Semua orang berperan dengan sangat baik.

"Lalu apakah Marel mencintai Shagam selama ini?" Pertanyaan ini tiba-tiba membuat tenggorokanku sakit. Mengapa harus ada pertanyaan tak penting seperti ini? Dasar wartawan bodoh.

Suasana hening mendadak hingga akhirnya cubitan kakek membuatku tersadar. Shagam juga meremas tanganku kuat. Haruskah aku jujur di depan mereka semua? Sepertinya ini satu-satunya cara agar pernikahan ini dihentikan.

Aku pun membasahi bibirku, lalu membuka mulutku perlahan. "Saya tidak menc...."

Cup!

Bibir Shagam mendarat manis di pipiku. Aku langsung terdiam saat itu juga. Shagam... bagaimana bisa kau melakukan ini padaku di depan semua orang seperti ini? Kau brengsek Shagam! Meskipun aku tak menampik bahwa hatiku sedikit tersentuh dengan adegan barusan. Lagi-lagi tingkah Shagam mampu membangkitkan rasa ini. Rasa yang telah aku kubur lama-lama.

"Lihat? Aku sangat mencintai Amarel bukan?"

Suasana riuh tak terbendung lagi. Aku benar-benar terjebak sekarang. Niatku untuk mengatakan yang sejujurnya gagal sudah. Semua orang memandangi kami penuh rasa iri. Pasti mereka menganggap bahwa Shagam benar-benar tulus mencintaiku. Kalian semua tidak tahu kan pria ini sebenarnya apa? Dia homo! Penyuka sesama jenis!

Aku pun menatap Shagam penuh amarah dan Shagam hanya memandangku datar. Setelah sembilan tahun lebih akhirnya aku merasakan bibirnya lagi, meskipun itu hanya di pipi. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku segera menunduk dan menyeka air mata ini sebelum terjatuh. Shagam selalu saja kau membuatku bingung dan tampak bodoh seperti ini.

"Lalu kira-kira kapan akan diadakan pernikahannya Pak Brasta?" Pertanyaan dari wartawan yang lain membuatku kembali menampakkan wajahku.

Kakek pun menepuk jidatnya. "Astaga. Saya lupa bilang." Aku deg-degan lagi. Apa kakek sudah menentukan tanggal pernikahanku dan Shagam? "Dua minggu dari sekarang. Tepatnya tanggal 1 April. Untuk info lanjut kalian bisa lihat dari website Brasta dan terimakasih buat kalian semua atas waktunya."

Astaga! Dua minggu dari sekarang?! Gila apa. Ya Tuhan. Kakek tidak pernah membicarakan hal ini padaku!

Kakek pun beranjak bangun. Mama dan Shagam melakukan hal yang sama. Aku pun mengikuti mereka. Mereka semua berjalan keluar dari aula ini menuju ruang make up.

Aku harus bicara dengan Shagam pokoknya. Aku pun menarik Shagam dan membawanya ke tempat yang sepi. Shagam terlihat bingung, tapi ia tetap mengikuti ajakanku. Sekarang kami sudah berhenti di sebuah ruang kerja yang kosong.

Aku pun memperhatikan keadaan sekitar untuk memastikan bahwa ruangan ini benar-benar aman. Aku memandang ke tanganku yang masih dipegang erat oleh Shagam. Tanpa basa-basi aku hempaskan tangannya dan akhirnya tanganku bisa lepas juga darinya.

Plak!

Langsung kutampar dengan kuat pipinya. "Brengsek kau Shagam! Bagaimana bisa kau melakukan itu di depan semua orang?!" pekikku kuat.

"Kau pikir aku tidak tahu cara busukmu untuk menghentikan pernikahan ini?!" pekik Shagam tak kalah kuatnya.

"Kau menciumku bodoh!" teriakku kuat sambil mengusap-ngusap pipiku jijik bekas ciumannya tadi.

Ia menyeringai. "Aku baru mencium pipimu saja, kau sudah berlebihan seperti ini. Kau lupa dengan para pria yang lebih dari sekedar menikmati pipimu? Hah?!"

Tatapan mata Shagam menyeramkan. Ia benar-benar membuatku bergidik takut. Perkataannya lagi-lagi menyakitkan. Aku tahu bahwa sudah banyak pria yang menikmati diriku lebih dari perlakuannya padaku, tapi tak seharusnya ia membentakku seperti ini.

"Bagaimana bisa dirimu menjadi menyeramkan seperti ini Shagam? Setidaknya para pria itu normal! Dan aku rela kalau harus ditiduri oleh pria normal. Tapi kau! Kau adalah homo! Tak pantas kau menciumku seperti tadi!"

"Lalu kalau aku adalah pria normal kau mau aku sentuh lebih dari sekedar ciuman di pipi? Hah?!"

Aku terdiam. Aku selalu kalah kalau harus berperang dengannya. Ia mampu membungkam mulutku. Pria bangsat!

"Kau bilang kau membenciku..." gumamku lirih.

Shagam pun memalingkan wajahnya dariku, lalu diremasnya rambutnya kasar. Ia memejamkan matanya beberapa detik. Lalu dipegangnya lenganku kuat. Ditatapnya mataku tajam. Aku terhenyak.

"Iya. Aku membencimu. Sangat membencimu, Marel...." Shagam berkata sangat pelan. Matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba, Bug!

Tubuh Shagam terjungkal ke lantai. Ada yang meninju Shagam. Aku pun langsung menoleh ke peninju itu. Dia Zian! Shagam yang tak terima pun langsung bangkit dan membalas pukulan Zian. Kini gantian Zian yang tersungkur. Sekarang posisi Shagam ada di atas Zian dan Shagam sibuk meninju wajah Zian berulang kali.

Aku pun dengan sigap langsung menarik tubuh Shagam. "Sudah, Shagam!" teriakku kuat.

Beruntungnya aku membawa Shagam ke tempat yang jauh dari keramaian sehingga sekeras apapun kami berdebat, tidak akan ada yang mengetahui. Kini giliran Zian yang bangun dan terus berusaha untuk melayangkan kepalannya ke wajah Shagam.

"Zian sudah!" teriakku lagi. Zian pun menghentikan aksinya.

"Kau brengsek Shagam!" pekik Zian.

"Aku brengsek kenapa? Hah?!" balas Shagam tak kalah kuat.

"Kau kasar sekali pada Marel, homo bangsat!" teriak Zian keras.

"Zian, sudah. Aku tidak kenapa-napa," ujarku lembut sambil menatap wajah Zian. Zian pun menenangkan dirinya. Ruas-ruas tegang pada wajahnya berangsur menghilang.

Zian langsung menyentuh tanganku. Ditatapnya aku sendu. "Marel, maafkan aku. Aku bukan lebih mementingkan pekerjaan di Brasta dibanding dirimu. Tapi, hal itu memang wajib aku lakukan. Tolong mengertilah. Aku akan menceritakannya padamu nanti."

Aku mengembuskan napasku kasar. Perlahan aku lepaskan sentuhan tangannya. "Maaf, Zian. Aku sudah kecewa padamu. Aku rasa semuanya memang cukup sampai di sini."

Aku jadi mengingat kata-kata Usya untuk menjauh darinya. Aku tak tahu juga sebenarnya siapa Zian. Walaupun hati kecilku berkata bahwa aku akan lebih aman jika bersama Zian dibanding Shagam.

"Tidak, Marel. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja," ujar Zian tegas.

Aku tertawa getir. "Zian, kau lupa kalau kita hanyalah...." Zian membekap mulutku menggunakan tangannya.

"Hey, apa yang kau lakukan dengan calon istriku, bangsat!" Shagam langsung menarikku dengan paksa. Ternyata sejak tadi ia terus menghentikan darah yang mengalir dari sudut bibirnya.

Zian tertawa. "Calon istri? Tak akan kubiarkan, gay sinting!"

"Haha coba saja kalau kau bisa mengambilnya dariku. Sudahlah. Pria yang menjadikan Marel sebagai pilihan kedua tak pantas bersamanya. Ditambah dengan nama belakangmu yang membuatku berpikir berpuluh-puluh kali lipat untuk merelakan Marel. Jangan harap!"

"Aku jadi bingung padamu. Coba kau jelaskan ada apa sebenarnya dengan nama belakangku? Ada apa dengan nama Cardifal?!"

Kini aku dan Zian sama-sama menatap Shagam penuh amarah. Aku juga penasaran. Memangnya ada apa dengan nama belakang Zian? Aku jadi teringat ketika Shagam mendadak lemas kemarin begitu mendengar nama Cardifal dari mulut Zian.

Wajah Shagam kembali memucat. Tiba-tiba tangannya bergetar. Shagam kembali runtuh dan mendadak badannya terjatuh lunglai ke bawah. Ia pingsan!

Zian dan aku langsung panik. Ya Tuhan kau kenapa Shagam? "Zian bagaimana ini?" tanyaku panik.

"Kenapa dia bisa pingsan, Marel?" tanya Zian yang juga panik.

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu juga. Astaga Shagam...."

Zian langsung merendahkan dirinya dan jongkok membelakangiku. "Angkat dia ke sini, Rel."

Dengan kepanikan luar biasa, aku pun mulai menyentuh tubuh Shagam. Di saat aku mau mengangkat tubuh Shagam yang sedang terkulai lemas, tiba-tiba saja. "Shagam, Marel, dimana kalian?" Suara mama menggema hingga terdengar sampai ke sini.

Aku semakin panik lagi. Apa yang harus aku lakukan? Jangan sampai mama bertemu Zian. Bisa gawat ceritanya dan masalah ini akan makin runyam. Zian terlihat santai. Ia tidak mempedulikan suara mama yang semakin lama semakin terdengar jelas.

"Zian, kau pergi saja. Jangan sampai kau bertemu dengan mama. Pergilah...," suruhku lembut. Zian pun membalik posisinya melihatku.

Ia menggeleng. "Tidak, Marel. Bagaimana dengan Shagam?"

Kenapa pria ini baik sekali? Perlakuan dia yang lebih memilih Brasta mendadak lenyap. Aku rasa aku harus mengerti mengapa Zian lebih memilih Brasta dibanding aku. Mungkin benar demi kemajuan karirnya. Toh sepengetahuanku, Zian memang sangat berambisi sekali untuk menjadi pengacara sukses.

Senyum manis tersembul dari ujung bibirku. Aku menyentuh tangannya lembut. Posisiku sekarang sama rendah dengan dirinya. "Tidak, Zian. Pergilah. Aku tidak mau ada masalah lagi. Shagam akan aku urus. Aku tidak mau kau harus kehilangan pekerjaanmu di Brasta nantinya."

Zian menatapku nanar. Ia dilema apakah harus meninggalkan aku dan Shagam atau tidak. "Kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa. Percayalah padaku."

"Tapi, aku memohon satu permintaan padamu dan aku mau kau mengabulkannya. Kalau tidak, aku akan tetap di sini," ancamnya.

Aku memutar kedua bola mataku. "Iya. Aku akan mengabulkannya. Cepat. Apa Zian?" tanyaku mulai geram.

"Kau harus memaafkanku dan jangan pernah mengabaikan telpon dan sms-ku lagi."

Astaga Zian. Ternyata dia mau meminta itu. Konyol sekali. Aku pun tertawa kecil. "Iya. Aku maafkan dirimu dan tidak akan aku abaikan lagi panggilan dan sms-mu itu. Yasudah, sana pergi."

"Kemarin malam sebenarnya aku sudah di depan rumahmu, tapi aku tak berani menemuimu. Kau juga tidak merespon panggilan telpon dan sms-ku. Maafkan aku, Marel. Aku memang pengecut."

Aku tertegun. Jadi, kemarin dia tidak berbohong bahwa dia akan ke rumahku? Ya ampun Zian. Aku jadi bingung sebenarnya ada apa di antara kita? Kenapa kepura-puraan ini malah berakhir seperti kenyataan?

"Benarkah? Aku kesal sekali padamu waktu itu...," gumamku pelan.

Zian tersenyum. "Maka dari itu, jangan pernah abaikan aku lagi. Oke?"

Aku mengangguk dan membalas senyuman Zian. "Iya. Yasudah sana pergi. Jangan sampai mama melihatmu."

Zian pun menyentuh tanganku, lalu dikecupnya punggung tanganku. Kecupannya mampu menggetarkan hatiku. Ya Tuhan Zian. Zian pun langsung melesat pergi keluar dari ruangan ini. Aku masih mencoba untuk menenangkan perasaan ini. Kenapa jantungku bisa degdegan pada dua pria seperti ini?

"Mareeeel! Shagam!" Teriakan mama sudah semakin jelas.

"Ma! Marel di sini!" jawabku.

Hentakan beberapa langkah kaki cepat pun terdengar semakin jelas. Hingga akhirnya....

"Ya ampun. Shagam kenapa, Marel?" tanya mama panik.

Aku membisu. Tak mungkin aku ceritakan kronologi kejadian barusan. Aku tak menggubris pertanyaan mama. Pengawal kakek yang berada di belakang mama pun dengan cepat langsung mengangkat tubuh lunglai Shagam.

Dan aku mulai berpikir. Saatnya aku mencari tahu siapa sebenarnya Zian.

***

Kami semua beserta para pengawal kakek sekarang sedang berada di dalam kamar Shagam. Ya mereka semua panik karena kondisi Shagam yang tiba-tiba saja ambruk. Begitu tiba di rumah Shagam, mama langsung meminta para pengawal kakek untuk mengambilkan peralatan dokternya. Tante Lona jelas panik karena kedatangan kami yang cukup ramai dan ia harus melihat keadaan Shagam yang terkulai lemas.

Aku bisa melihat raut wajah mereka semua yang berharap-harap cemas. Mama saat ini sedang memeriksa keadaan Shagam menggunakan stetoskopnya.

"Sebenarnya Shagam kenapa, Marel? Setahu kakek tadi dia baik-baik saja."

Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya kepada kakek. Bisa makin runyam nanti urusannya. Apalagi jika kakek tahu bahwa tadi Zian sempat menemuiku. Aku tak mau menambah masalah. Terpaksa aku berbohong. "Marel tidak tahu, kek. Shagam tiba-tiba aja terjatuh. Marel juga bingung."

"Keadaan tubuhnya baik-baik saja. Jantung semuanya tidak ada masalah. Sepertinya ini ada hubungannya dengan psikis Shagam, tapi Viza tidak tahu kenapa pa," jelas mama pada kakek seraya melepaskan stetoskp tersebut dari telinganya.

"Psikis?" tanya Tante Lona ragu. Ya Tante Lona saat ini sedang bersama kami. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang luar biasa.

Mama mengangguk. "Iya, Lon. Keadaan tubuhnya sehat-sehat saja. Aku tidak menemukan ada sesuatu yang aneh di dalamnya."

"Marel, kamu yakin tidak tahu penyebab Shagam pingsan? Karena ini sangat aneh. Shagam tidak pernah pingsan lagi seperti ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Shagam menjadi seperti ini."

Tanganku bergetar. Haruskah aku jujur? Tapi aku takut terjadi sesuatu pada Zian karena ini ada hubungannya dengan Zian. Ya Shagam terjatuh ke lantai begitu Zian menanyakan soal keluarganya pada Shagam.

Shagam sebenarnya apa yang kau simpan itu? Aku pun melihat wajah Shagam yang memucat. Bibirnya terkatup rapat. Melihat wajahnya seperti ini mengingatkanku pada sembilan tahun lalu.

Di mana Shagam sering pingsan mendadak ketika kami menanyakan perihal keberadaannya yang menghilang selama tiga bulan lamanya. Semenjak saat itu tak ada yang pernah menanyakannya lagi. Shagam menjadi sosok yang tertutup hingga detik ini. Wait, apa ini ada hubungannya dengan Keluarga Cardifal? Kalau ada, mengapa Zian tak mengenal Shagam? Aneh bukan?

"Marel, jawab pertanyaan Lona," tegur kakek.

Tidak bisa. Aku tidak bisa memberitahukan ini kepada mereka semua. "Serius, tante. Marel juga tidak tahu kenapa. Tadi kami hanya mengobrol dan tiba-tiba Shagam jatuh pingsan."

"Yasudah. Bagaimana kalau kita biarkan saja dulu Shagam istirahat? Kita bisa menunggu Shagam di luar," ajak mama.

Mama pun beranjak bangun lalu merangkul Tante Lona sembari mengajak Tante Lona meninggalkan kamar. Salah satu pengawal kakek pun mendorong kursi roda kakek keluar dari kamar Shagam hingga akhirnya sekarang tinggal aku berdua saja di kamar bersama si gay ini. Aku pun duduk di tepi ranjangnya.

Kusentuh ranjang ini. Ini adalah ranjang yang pernah aku tiduri dulunya. Ranjang ini adalah saksi kami berdua. Ya dulu sebelum Shagam mengalami kecelakaan itu. Sebelum Shagam menghilang dan melupakan kisah kami untuk selamanya. Shagam Shagam. Seandainya saja kecelakaan itu tidak pernah ada dan seandainya kita tidak melakukan hal itu, aku yakin kita berdua akan baik-baik saja sekarang.

Tak sadar air mataku kembali menetes lagi. Kulihat bibir tipisnya yang pucat itu. Benar-benar menyedihkan. Wajar Tante Lona cemas. Pingsannya Shagam saat ini sama persis dengan kondisinya ketika sembilan tahun yang lalu itu.

Aku pun bangkit berdiri, tapi langkahku terhenti karena melihat sebuah bingkai foto yang terletak di salah satu rak miniatur pahlawan-pahlawan Marvell dan DC milik Shagam. Aku tersenyum melihat foto tersebut. Itu adalah foto ketika kami sedang bermain pasir di pantai bersama papa. Di foto itu Shagam sangat lucu. Pada waktu itu aku kelas enam SD dan Shagam sudah kelas satu SMP.

Aku jadi kangen papa. Aku masih ingat sekali ketika papa harus pergi dari dunia ini. Semua orang menangis. Aku yang masih di sekolah langsung dijemput oleh pengawal kakek dan begitu hampir sampai di rumah, aku melihat ada bendera kuning yang terpasang tegak di pagar rumah. Tak kusangka ternyata Papa dipanggil yang maha kuasa dan yang menenangkanku saat itu adalah pria ini. Si homo ini. Mungkin sejak detik itu aku mulai ada rasa terhadap Shagam.

Kembali air mataku turun membasahi pipi. Seandainya saja ada papa di sini. Aku pasti akan menceritakan kisahku padanya dan papa pasti mendukungku untuk menghentikan perjodohan ini. Mama dan kakek sangat berbeda dengan papa. Aku lebih nyaman bercerita dengan papa dibanding mereka. Dan aku pasti lebih leluasa untuk memberitahukan keadaan Shagam yang sebenarnya. Shagam tetanggaku yang tidak akan pernah menyukai wanita lagi.

"Marel...." Panggilan lirih Shagam membuatku tersadar. Langsung kuhapus buru-buru air mata ini dan kuletakkan bingkai foto itu kembali di tempatnya.

Aku pun menghampiri Shagam. Ya Tuhan wajahnya sangat lemas. Sosok menyebalkannya itu tak tampak lagi. "Iya Gam," sahutku lembut.

"Tolong aku...," ucapnya lirih. Aku pun mendekatkan telingaku ke bibirnya karena aku tak begitu jelas mendengar perkataannya.

Dan lagi-lagi duniaku runtuh ketika ia mengatakan, "Panggilkan Dodo..."

Fuck! Memang ya yang namanya homo tetaplah homo.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro