Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6

Dengan langkah ragu, aku pun menghampiri kakek dan Shagam. Shagam memandangku dengan tatapan mengejek. Terpancar seringainya yang puas begitu melihat reaksi kagetku.

"Hei Marel," sapa kakek polos. Shagam masih menyuapi kakek. Ya aku tahu Shagam memang akrab sekali dengan kakek. Tapi aku bingung, kenapa dia mesti datang malam ini? Menyebalkan.

Aku pun berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan kakek. Zian menyusul di belakangku. Begitu melihat Zian, rahang Shagam kembali mengeras. Ia benar-benar tidak menyukai Zian.

"Kek, ini teman yang Marel maksud," ujarku.

Kemudian Zian menghampiri kakek, lalu disalamnya kakek dengan sopan. Kakek melihat Zian tanpa ekspresi. Zian pun berusaha untuk terlihat sebaik mungkin di hadapan kakek.

"Saya Zian, kek. Temannya Marel."

Kakek beralih melihatku. "Ini teman kamu yang pengacara itu?" tanya kakek lembut.

Aku mengangguk. "Iya kek hehe."

Kakek pun memperhatikan detail sosok Zian dari ujung kaki sampai ujung rambut sambil mengelus-elus dagunya. Begitulah kakek. Ia bukan orang yang dengan mudah menyukai orang lain. Aku berdiri di samping Zian sementara Shagam duduk di tepi ranjang dekat kakek.

"Shagam, menurut kamu bagaimana orangnya?" tanya kakek pada Shagam.

Aku tentu terkejut dan tak terima. Bagaimana bisa kakek malah meminta Shagam menilai Zian. Ini bukan haknya.

"Kek, kenapa harus bertanya pada Shagam? Zian teman Marel. Dia orang baik kok."

Kakek menatap bola mataku tajam. "Marel, Shagam adalah seorang psikiater. Dia bisa membaca karakter orang. Jelas kakek perlu bantuan dia. Kakek tidak mudah menerima sembarang orang, Marel."

Aku terkesiap. Aku lupa fakta bahwa Shagam adalah seorang psikiater. Berarti kedatangan Shagam kesini karena diundang kakek.

Dan dugaanku tepat. Tidak akan mungkin kakek menerima orang lain begitu saja masuk dalam perusahaannya. Aku tahu kakek itu adalah sosok yang sangat detail dan selalu melakukan keputusan dengan tepat.

Aku hanya bisa menatap sinis Shagam yang sedang menyeringai puas karena lagi-lagi aku kalah darinya. Ia memang memegang kendali yang cukup besar pada keluargaku dan aku benci itu.

"Kalau saya membaca dari wajahnya, dia adalah sosok yang pekerja keras dan ambisi, kek," jawab Shagam.

"Apakah dia orang baik dan bisa dipercaya? Karena tidak sembarang pengacara bisa masuk ke Brasta Land," timpal kakek lagi.

Shagam terus memperhatikan raut Zian dengan seksama. Mangkuk tempat bubur kakek sudah ia letakkan di atas laci yang berada di samping ranjang kakek. Yang aku takutkan, Shagam malah berkata sesuatu yang buruk tentang Zian dan kakek pada akhirnya malah tidak jadi merekrut Zian.

"Untuk ukuran orang baik sepertinya tidak, kek."

What? Aku sudah mengira si gay bangsat itu akan mengatakan hal yang buruk tentang Zian. Tahu apa sih dia? Sepertinya dia punya dendam pada Zian. Aku terus menatapnya penuh kebencian.

"Benarkah? Lalu pantaskah kita rekrut dia sebagai pengacara Brasta?" tanya kakek lagi pada Shagam.

Kenapa sih kakek harus menjadikan jawaban Shagam sebagai tolak ukur apakah Zian pantas diterima atau tidak? Shagam bukan orang HRD kantor!

"Kek, kenapa harus mendengarkan jawaban Shagam sih? Kenapa Zian tidak diwawancara saja oleh orang HRD di kantor kakek?"

Kakek lagi-lagi menatapku tajam. "Marel, dia adalah orang permintaan kamu. Pertama kalinya kamu meminta bantuan kakek untuk memasukkan teman kamu ke dalam Brasta. Maka dari itu kakek harus menghadapinya langsung. Kalau kamu mau menggunakan orang HRD kantor, suruh saja dia apply cv-nya lewat website Brasta dan lakukan semuanya melalui proses resmi dan kamu tidak perlu sampai membawa dia ke rumah sakit seperti sekarang."

Lagi-lagi ucapan kakek membuat bibirku terkatup. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Zian pun menyentuh jemariku untuk membuatku lebih tenang. Aku menatapnya. Zian hanya tersenyum. Ia menunjukkan padaku bahwa ia baik-baik saja.

"Kenapa kamu bisa bilang dia tidak baik, Shagam?" tanya kakek lagi. Aku yakin si gay sinting itu pasti senang melihatku diomeli seperti ini oleh kakek.

"Saya melihat di wajahnya menyimpan sesuatu, kek. Ada yang dia sembunyikan dan saya tidak tahu apa dan saya amat sangat yakin orang seperti dia tidak akan pantas untuk bersanding dengan cucu kakek."

Mata kakek membulat. Ia syok. Shagam bangsat. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu!

"Apa maksud kamu?"

Shagam menyeringai puas sekali dan aku sangat ingin menonjok muka menyebalkannya itu detik ini juga. Tapi aku tahu, jika aku melakukannya. Akan habis diriku dan Zian. Bisa-bisa kakek mengusirku dari sini.

Semua karena Shagam!

Shagam sempat menatapku sekilas. "Dia kan sebenarnya pacar Marel, kek."

Aku dan Zian langsung terbelalak. Kami sama-sama terkejut. Hancur sudah semua rencanaku malam ini. Brengsek kau gay!

Kakek menatapku penuh amarah. "Marel! Benarkah itu?" Aku terus menatap Shagam dengan emosi yang sudah meluap-luap. "Marel! Jawab kakek!" bentak kakek.

"Benar, kek. Saya kekasihnya Marel." Malah Zian yang menjawab pertanyaan kakek. Sementara aku masih terus menatap Shagam kesal. Mataku berkaca-kaca. Shagam terus melihatku dengan senyuman bak iblis yang terukir di wajahnya.

"Saya bertanya pada Marel. Bukan sama kamu."

Zian pun menunduk. Pasti ia stres berat sekarang karena baru kemarin mama menolaknya dengan keras dan sekarang kakek pun melakukan hal yang sama. Aku pun memalingkan wajahku dari Shagam. Ia pasti sangat bahagia sekarang karena telah menyaksikan dua orang yang paling dekat denganku menolak secara terang-terangan seperti ini.

"Iya, kek. Zian pacar Marel. Maka dari itu Marel minta ke kakek untuk menerima dia kerja di perusahaan kita."

Kakek mengernyitkan dahinya. Lalu ia menatap Zian penuh ketidaksukaan. Sekarang, kakek beralih melihat Shagam. "Shagam, apa pantas dia bersanding dengan Marel?"

Kenapa kakek malah bertanya pada Shagam sih? Shagam bukan siapa-siapa aku!

Shagam menggeleng dengan entengnya. "Tidak kek. Jelas masih bagus aku dibanding dia." Cih! Aku sudah mengira pasti dia akan membanggakan dirinya di depan kakek. Fuck!

Aku mendengus kesal pasrah. Sudahlah. Suka-suka mereka saja. Aku bisa merasakan apa yang Zian alami sekarang. Aku benar-benar membenci Shagam!

"Ah atau begini saja." Mata kakek berbinar seolah menemukan ide baru. Aku dan Zian hanya menatap kakek datar. "Sekarang, kamu pilih Zian. Kamu mau bekerja di perusahaan saya dan memutuskan hubungan kamu dengan Marel atau silahkan kamu berhubungan dengan Marel dan kamu saya tolak untuk bekerja di perusahaan saya. Tapi maaf. Meskipun kamu melanjutkan hubungan kalian, pernikahan Marel dan Shagam akan tetap terjadi."

Astaga kakek. Kenapa semuanya jadi ribet seperti ini sih? Aku pun kembali melihat reaksi Zian. Mukanya berubah tegas sambil terus menatap kakek. Mereka berpandangan. Kakek dengan senyuman miringnya dan Zian dengan bibir terkatup. Ia terlihat berpikir.

Jantungku berpacu cepat. Tak kukira kisah kebohonganku ini mampu membuat diriku cemas seperti ini. Hati kecilku yang terdalam mulai bertanya-tanya. Meskipun ini hanya hubungan palsu. Zian akan memilihku atau pekerjaan di Brasta?

Sepertinya aku tahu jawaban Zian. Ia pun melepaskan perlahan pegangan tangannya dariku. Aku tercengang. Entah kenapa hatiku rasanya seperti teriris pisau. Sepele tapi ini cukup membuatku hatiku sakit.

"Saya lebih memilih...." Kami bertiga terus menatap Zian sambil menunggu jawaban Zian. "Bekerja di Brasta."

Kakek dan Shagam langsung menunjukkan senyuman lebarnya puas. Sementara aku, hanya terdiam tak percaya dengan apa yang kudengar barusan? Segitu tak pentingkah diriku di matamu Zian? Ya memang aku tahu aku hanyalah seseorang yang menyewamu menjadi kekasih pura-puraku. Tapi, tak kusangka kau benar-benar brengsek. Cowok matre!

Kakek pun tertawa. "Haha oke. Bagaimana Shagam, bisakah dia bekerja di Brasta?"

"Saya rasa bisa kek. Ya aku tidak tahu apakah perusahaan membutuhkannya, tapi melihat pilihannya bahwa dia lebih memilih bekerja di Brasta daripada melanjutkan hubungannya dengan Marel. Itu patut untuk diapresiasi."

Aku muak! Benar-benar muak!

"Lalu bagaimana Marel? Kamu masih mau bertahan dengan orang seperti dia?" tanya kakek sok lembut. Entah kenapa aku juga jadi kesal pada kakek.

Aku masih membisu. Kutatap wajah kakek dan Shagam penuh kebencian. Hatiku berapi-api menyaksikan kejadian ini. Benar-benar murka. Semuanya tak berjalan lancar sesuai ekspektasiku.

"Dan kamu Zian, karena keputusanmu untuk bekerja di Brasta. Tunggu saja kabar dari saya selanjutnya. Yang jelas kamu akan bekerja di perusahaan saya. Saya akan coba bicara dengan cucu saya yang satunya. Tauvan. Mungkin kamu akan banyak bekerja dengannya."

Kakek berbicara sangat lugas tanpa mempedulikan diriku yang tercabik-cabik di sini.

"Baik, kek. Terimakasih," ujar Zian datar sambil menyalam tangan kakek. Aku masih terdiam mematung. Bangsat kau Zian! Kau sama brengseknya seperti Shagam. Kau benar-benar membuatku malu.

Tidak mungkin kubeberkan sekarang pada kakek bahwa Zian sebenarnya adalah pacar pura-puraku. Posisiku pasti akan makin terpojokkan dan mereka semua, mulai dari mama, kakek, dan Shagam akan tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah konyolku yang malah berakibat fatal seperti sekarang. Senjata makan tuan. Itu istilah tepatnya.

Kupandangi lagi Zian. Raut wajahnya sama sekali tak mencerminkan rasa bersalah. Ia malah tersenyum puas sekarang. Seketika saat itu juga aku langsung melihat dirinya seperti serigala berbulu domba. Penuh tipu muslihat. Licik.

"Marel benci kalian!" teriakku kencang.

Aku langsung berlari meninggalkan kamar kakek. Tak kupedulikan dua pria iblis itu. Untuk kedua kalinya aku merasa hina di mata Zian. Apa emang awalnya Zian menerima tawaranku karena tujuannya memang hanya untuk bekerja di kantor kakek? Tak kusangka air mataku turun lagi.

Aku pun meminta pada salah satu pengawal kakek untuk mengantarkanku pulang dan sekarang aku sudah berada di mobil sambil terus menyeka air mataku yang tak kunjung henti.

***

Aku memutuskan untuk mandi dan keramas begitu tiba di rumah. Aku ingin melupakan hari ini untuk sejenak. Kini aku sedang duduk di sofa yang ada di dekat tempat tidurku sambil memakai bathrobe yang terbalut di tubuhku.

Berkali-kali nada dering pada ponselku berbunyi. Panggilan dari Zian tak berhenti sejak aku meninggalkan rumah sakit. Tapi tak satupun panggilannya aku jawab. Siapa suruh dia menyakitiku seperti ini? Baru kenal tiga hari saja dia sudah kurang ajar seperti ini. Sekarang aku tahu bahwa ia memang hanya memanfaatkanku. Aku saja yang terlalu gampang untuk dibodohi.

Titut! Sms dari Zian. Aku pun membukanya.

Zian Cardifal 21.30 : Maafkan aku, Marel. Bukan maksudku seperti itu. Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan itu. Kau pikir aku akan membuangmu begitu saja? TIDAK MAREL! TOLONG ANGKAT TELPONKU!

Alisku bertautan begitu membaca sms dari Zian. Punya nyali juga dia menggunakan huruf kapital dalam pesannya. Bodo amat! Aku tak peduli. Aku pun melemparkan ponselku sembarangan ke sofa tempat aku duduk.

Ponselku kembali berdering. Masih dengan orang yang sama. Si Zian brengsek itu. Mau apa sih dia? Untuk kesekian kalinya aku memilih untuk mengabaikannya. Hingga akhirnya bunyi nada deringku tak terdengar lagi.

Titut! Zian sms lagi.

Zian Cardifal 21.40 : Tolong Marel angkat. Aku menerima tawaran kakekmu karena aku benar-benar ingin menjadi salah satu staf di Brasta. Aku masih ingat dengan kesepakatan kita kok dan aku akan tetap berperan sebagai kekasihmu hingga detik ini. TOLONG ANGKAT! KALAU TIDAK AKU AKAN MENDATANGI RUMAHMU SEKARANG!

Hahaha aku terbahak mendengarnya. Mana berani dia ke rumah. Di sini ada mama yang selalu siap sedia menghajar pria selain Shagam. Ya hanya Shagam yang diperbolehkan keluar masuk rumah ini dan entah siapa yang membuat peraturan itu. Dan sekali lagi aku memilih untuk tidak mempedulikan sms dari Zian.

Satu menit dua menit hingga sepuluh menit ponselku tak berbunyi lagi. Itu artinya Zian sudah menyerah. Haha dasar cowok cemen.

Usya! Aku harus segera memberitahu Usya soal kejadian hari ini. Aku pun menelpon Usya. Tidak butuh waktu lama karena Usya langsung menerima telponku.

"Hai my jalang. Ada apa?" Aku sudah terbiasa akan panggilan kasarnya itu padaku.

"Zian benar-benar brengsek. Aku benci padanya, Sya!" Emosiku langsung meledak-ledak.

"Kenapa kenapa? Ayo ceritakan padaku!" Usya tak kalah emosinya denganku.

Aku pun menceritakan semuanya detail tidak kurang tidak lebih kejadian barusan pada Usya. Termasuk kejadian semalam. Usya menyimak dengan seksama dan sesekali ada nada geraman dan umpatannya di sela percakapan kami.

"Zian sinting ya! Aku benar-benar tak habis pikir! Brengsek!" umpat Usya geram.

"Kau mengertikan posisiku, Sya? Ia lebih memilih bekerja di bawah kakek dan melepaskan aku. Ya aku tahu sih memang aku hanya pacar pura-puranya, tapi seharusnya ia tidak mempermalukan aku seperti itu."

"Makin senang dong si gay kampret itu."

"Bukan senang lagi. Sepanjang kejadian tadi ia terus tersenyum. Pengen kulempar rasanya sepatuku ke mukanya."

"Sudahlah kemarin mamamu mendukungnya dan sekarang kakekmu. Bahagia sekali pasti dirinya. Aku jadi jijik pada Shagam."

"Lalu apa tanggapanmu tentang Zian, Sya? Aku harus bagaimana padanya? Dia sejak tadi terus menelponku dan meng-sms-ku," tanyaku pada Usya.

"Aku juga bingung, Rel. Aku jadi menyesal telah mengenalkanmu padanya. Aku takutnya dia hanya memanfaatkanmu. Buktinya ketika diberi pilihan itu dia malah memilih bekerja dibanding dirimu. Ya aku tahu kalian memang hanya pura-pura, tapi dia terlalu tega. Aku saja kalau jadi dirimu pasti kesal sekali."

Aku mendengus kesal. "Ya kau ingat saja dengan syarat yang dia ajukan. Dia sangat ngotot untuk masuk ke perusahaan kakek."

"Rel, aku rasa kau harus hati-hati dengan Zian. Aku takut terjadi sesuatu denganmu. Salahku juga tidak mengecek latar belakangnya. Aku tidak tahu kalau semuanya akan jadi seperti ini."

"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Latusya?" tanyaku sambil mengusap rambutku. Aku benar-benar bingung dengan kondisi sekarang.

"Jauhi Zian. Lagipula percuma juga kau dekat dengannya toh kau tidak bisa menikmati tubuhnya."

Aku langsung tertawa mendengar ucapan Usya. "Haha iya juga. Lalu bagaimana aku bisa jauh dari Shagam? Kakek dan mama sangat kekeuh untuk menikahkan aku dengannya."

"Kau beritahu saja lah pada mereka semua bahwa Shagam itu adalah gay. Aku yakin mereka tidak akan rela melihat anak perempuan dan cucu perempuan satu-satunya harus menikah dengan gay. Lagipula kau tidak ingat bahwa kakekmu meminta cicit. Bagaimana coba kau bisa menghasilkan cicit kalau suamimu juga enggan berhubungan badan denganmu haha."

Aku mampu mendengar tawa Usya yang terbahak-bahak. Aku jadi tertular tawanya. Semua yang dikatakan Usya benar. Haruskah aku memberitahu ke mereka semua bahwa Shagam adalah seorang penyuka sesama jenis? Tapi aku takut menyakiti hati Tante Lona.

"Baiklah. Nanti kupikirkan lagi, Sya. Thanks ya sudah mau meladeni curhatanku yang konyol ini."

"Kau ini apa sih. Aku kan juga sering curhat padamu. Tak usah berterimakasih seperti itu."

Aku jadi ingin mengganti topik pembicaraan kami. "Bagaimana kisahmu dengan Om Goldie?"

"Entahlah, Rel. Masih baik-baik saja kok, tapi entah kenapa aku lelah dengan semua ini."

"Kenapa lagi?"

"Aku kemarin meminta Om Goldie untuk menceraikan istrinya."

Aku terkejut. Posisiku yang tadi santai sekarang berubah menjadi duduk tegap. "Sya, kau jangan gila."

"Aku bingung, Rel. Aku hanya meminta kepastian kok, tapi dia selalu saja bilang nanti nanti. Sabar ya. Apa coba. Aku wanita dan aku lelah disuruh menunggu terus. Ditambah usiaku yang semakin hari semakin tua."

"Haha apa bedanya dirimu dan diriku, Sya? Aku juga sudah tua. Bayangkan biasanya wanita seusia kita sudah menikah dan hidup bahagia dengan suaminya. Sementara kita?"

Lagi-lagi kami tertawa bersama. "Lalu sampai kapan kau akan seperti ini, Sya?"

"Tak tahu, Amarel. Aku mohon buatlah aku bisa menemukan pria lain yang lebih baik dan mampu menerimaku apa adanya. Aku janji, kalau aku menemukan pria yang benar-benar bisa menggantikan Om Goldie di hatiku, aku akan benar-benar melepaskan Om Goldie."

"Haha iya. Doakan aku juga menemukan pria selain Shagam si homo dan Zian si pria mata duitan."

Tawa lagi-lagi meledak dari mulut kami. Benar-benar hanya dengan Usyalah aku mampu tertawa terpingkal-pingkal seperti ini. Malam pun semakin larut dan tak terasa omongan kami malah ngelantur kesana kemari. Tanpa terasa dua jam sudah berlalu dan kami memutuskan untuk menghentikan percakapan kami.

Aku pun menekan tombol merah pada layar ponselku. Ternyata ada satu pesan. Aku pun membukanya.

Shagam Prasrari 22.45 : See? Kau tidak akan mudah menyingkirkanku dari hidupmu, Marel. HAHAHA

Sial! Dasar gay brengsek.

***

Aku kesal sekali pagi ini. Aku dipaksa bangun oleh para pembantu di rumah. Pembantu di rumahku ini cukup banyak. Mungkin sekitar dua puluh orang. Ya bagaimana lagi. Rumahku memang sangat besar dan aku juga enggan untuk membersihkannya dengan tenagaku sendiri. Hanya satu pembantu yang paling dekat denganku. Aku memanggilnya Inop.

Inop berusia lebih muda dua tahun dariku. Usianya adalah 26 tahun. Kakek yang merekrutnya. Ia berasal dari Purworejo. Kenapa dia paling dekat denganku? Karena dialah yang paling bisa diajak kerjasama di rumah ini.

Sekarang ia sedang sibuk mencarikan pakaian yang cocok buatku. Saat ini aku hanya memakai bra dan celana dalam. Pintu dalam keadaan tertutup sehingga tidak akan ada yang melihatku. Para pembantu yang lain juga sudah aku suruh keluar. Sekarang di kamar ini hanya ada aku dan Inop.

"Sebenarnya aku mau diapakan sih, Nop?" tanyaku kesal.

Aku sedang duduk di tepi ranjangku. "Tadi pagi tuan menyampaikan pada kami semua bahwa Non Marel harus tampil cantik pagi ini," ujar Inop sambil mencarikan setelan yang pantas kupakai.

Tuan di sini adalah kakek. "Memangnya ada apa?" tanyaku sembari melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Ini sangat pagi. Aku masih mengantuk.

"Saya juga tidak tahu, non. Tapi, nanti katanya bakal ramai. Tuan dan nyonya ikut hadir juga."

Aku semakin bingung dan tak mengerti. Nyonya yang dimaksud Inop adalah mama. Inop pun menghampiriku seraya membawa sebuah terusan berwarna merah tanpa lengan dengan bunga putih pada bagian bawah yang semakin membuat terusan ini terlihat menawan.

Aku pun mulai memakai terusan ini dibantu oleh Inop. "Kakek bukannya di rumah sakit ya? Kamu tahu Nop acara apa? Aku benar-benar tidak diberitahu oleh kakek dan mama soalnya."

Inop berada di belakangku sambil membenarkan pakaianku. "Ehm Inop susah bilangnya. Konf apa gitu non. Terus Inop dikasih tahu suruh bangunin non. Terus buat non cantik. Pesan tuan sih gitu non."

Aku menghela napas lesuh. "Konf apa sih? Coba ingat lagi. Aku masih mengantuk tahu, Nop," keluhku sebal.

Inop hanya terkekeh sambil mendorongku pelan untuk duduk di kursi pada meja rias. Lalu Inop mulai membubuhkan beberapa alat make up ke mukaku. "Aduh Inop lupa non konf apa hehe. nanti kalau sudah selesai acaranya Non Marel kan bisa pulang terus tidur."

Aku pun diam tidak meladeni Inop lagi. Susah menghadapi sifat pelupa Inop. Aku pandangi diriku melalui cermin. Benarkah aku harus menikah dengan Shagam? Masa wanita secantik aku harus menghabiskan sisa umurnya dengan pria yang tidak tertarik melakukan hubungan badan dengan perempuan? Apa jadinya aku nanti ya?

"Nop, kamu percaya dengan kehidupan asmara antara laki-laki dengan laki-laki?"

Inop kini menaruh krim dari foundation ke seluruh wajahku. "Maksud Non Marel homo ya?"

"Iya. Kamu percaya?"

"Percaya sih non."

"Menurutmu apa penyebabnya seseorang menjadi homo?"

"Mungkin trauma non. Bisa jadi dia kurang kasih sayang dari seorang ayah atau dia trauma terhadap perempuan," jelas Inop seraya membubuhkan bedak padat ke mukaku.

Aku berpikir. Memang sih Shagam tidak pernah merasakan kasih sayangnya dari ayahnya. Secara ayahnya sudah meninggal sejak ia lahir. Lalu trauma dari perempuan? Bukankah selama ini ia tidak pernah dekat dengan perempuan selain aku? Terus dia trauma dengan aku gitu?

"Memangnya kenapa non?" tanya Inop membuyarkan lamunanku.

"Menurutmu Shagam orangnya seperti apa, Nop?"

"Dia baik kok, non. Saya senang dengan Tuan Shagam. Sopan, ramah. Dia juga suka memberitahu saya bahwa saya jangan stres-stres hehe. Emangnya kenapa non?"

"Kamu tahu kan kalau aku akan menikah dengannya?"

"Siapa yang tidak tahu, non. Kami semua sangat senang kalau Tuan Shagam yang jadi suami Non Marel."

"Kenapa gitu? Aku kan tidak menyukai Shagam," gerutuku kesal.

"Karena dari awal setahu saya. Memang harus Tuan Shagam yang harus menjadi suami, non."

Aku mendelik menatap Inop. Ia yang sedang memakaikanku maskara pun berhenti sebentar. "Maksudnya?"

"Ini semua ada hubungannya sama papa non setahu Inop." Inop termasuk up to date soal gosip di rumah ini.

"Aku tak mengerti," kataku sambil menatap mata Inop tajam.

Disaat Inop mau menjawab lagi, tiba-tiba para pengawal kakek datang. Mereka membuka pintu dan langsung tunduk hormat begitu melihatku.

"Non Marel, Tuan dan nyonya sudah menunggu anda," ujar salah satu pengawal kakek. Badannya sangat tegap dan besar.

Aku langsung melihat mereka sinis. Inop pun makin mempercepat gerakannya untuk mendandaniku. Sehingga beberapa menit kemudian, wajahku sudah terlihat menawan. Lalu Inop mulai mempermak rambutku. Ia cepol rambutku dengan menyisakan beberapa helai rambut pada sisi kiri dan kanan.

"Non Amarel sudah selesai," ujar Inop sambil mengamati mukaku detail. Senyumnya menggambarkan bahwa ia sangat puas melihat hasil riasannya. Kemampuan Inop dalam memoles wajah seseorang memang patut untuk diacungi jempol.

Inop pun mengambil sepasang sepatu high heels putih lalu dipakaikannya padaku. Ia pun bangkit.

"Nona Amarel memang cantik sekali," pujinya.

"Walaupun aku cantik, tapi aku masih kalah darimu Inop."

Inop melihatku dengan pandangan heran. "Si Non bisa aja. Nggak non."

"Ya buktinya kau lebih dulu menikah daripada aku," bisikku tepat di telinganya. Inop hanya tertawa kecil sambil memukul bahuku pelan. Aku juga ikut terlarut dalam tawanya.

"Nona ayo," panggil pengawal kakek yang bernama Jemi. Aku pun melangkahkan kakiku dan berjalan melewati mereka semua.

Hingga akhirnya sekarang aku sudah duduk di mobil bagian belakang. Entah kenapa aku selalu merasa kejadian ini berulang-ulang.

***

Ternyata aku diantarkan ke kantor pusat Brasta. Hmm ada apa ini? Tumben sekali. Ditambah adanya kehadiran mama. Mama kan seorang dokter dan seorang dokter tidak dibutuhkan untuk Brasta. Ini aneh sekali. Batinku terus bertanya-tanya. Aku rasa akan ada sesuatu yang buruk terjadi.

Aku pun ditemani Jemi. Ia menuntunku memasuki gedung lewat pintu yang berada di samping kantor. Kenapa tidak lewat lobi utama saja? Aku ingin bertanya, tapi wajah tegas Jemi membuatku agak sedikit ciut. Dia adalah pengawal kesayangan kakek.

Kini kami memasuki sebuah lift. Jemi berada di depanku. Aku pun menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Jantungku berdetak kencang. Kenapa aku jadi takut. Feeling-ku tidak enak.

Ting! Pintu lift terbuka.

Aku tertegun. Ramai sekali di sini. Banyak orang berlalu lalang. Ini bukanlah orang biasa melainkan kumpulan wartawan. Aku terus melihat sekeliling. Ya sebagian dari mereka ada yang sambil membawa mic dan kamera. Ada juga yang sambil mencatat sesuatu. Oh ada apa ini?

Aku terus dibimbing oleh Jemi menuju suatu tempat yang aku tidak tahu mau kemana. Wartawan-wartawan di sini juga sibuk semua sehingga tidak ada yang menyadari kehadiranku. Seharusnya mereka tahu bahwa ada Amarel Brasta di antara mereka.

Dan sekarang aku dan Jemi sudah memasuki sebuah ruangan kecil seperti tempat dandan artis. Akhirnya aku bisa menemukan kakek dan mama di sini. Aku pun langsung berlari kecil ke arah mama yang sedang duduk manis di atas sofa. Sementara kakek duduk manis di atas kursi rodanya.

"Eh anak mama udah datang," ujar mama langsung menyambutku dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Aku pun tanpa basa-basi langsung menggaet tangan mama manja.

Aku mengerutkan bibirku. "Ma, Marel kenapa disuruh ke sini pagi-pagi sih? Marel masih ngantuk tahu," keluhku pada mama.

"Hehe ini penting sayang soalnya."

Aku heran. Sebenarnya ada apa sih? Ini benar-benar mencurigakan. Mulai dari aku yang dipaksa bangun dan disuruh untuk tampil cantik. Lalu para wartawan di luar sana dan sekarang di ruang make up.

"Kek, kenapa Marel disuruh ke sini? Sebenarnya ada apa?"

"Loh kamu nggak tahu? Memangnya Inop tidak memberitahu kamu?" tanya kakek balik padaku.

Aku menggeleng cepat lalu memutar otakku ke pembicaraanku dengan Inop tadi pagi. Inop tidak memberitahuku. Ah waktu itu dia hampir saja bilang padaku, tapi sifat lupanya itu kambuh. Jadilah aku tidak mengetahui apa-apa sekarang.

"Hai, maaf semuanya saya terlambat." Suara seorang pria panik mengejutkanku.

Pria ini lagi? Si Shagam gila ini lagi?

Aku langsung menatap kakek garang. "Kek, sebenarnya ada apa sih?" tanyaku dengan nada cukup tinggi. Aku benar-benar kesal. Muak sekali dimana-mana harus bertemu Shagam.

Kakek menarik napasnya.

"Kita akan konferensi pers untuk mengumumkan hari pernikahan kamu dengan Shagam, sayang," jawab kakek enteng.

"APA?!"

Dan saat itu juga rasanya langit runtuh tengah menimpaku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro