5
Kini kami bertiga sudah di dalam ruang tamu yang ada di rumahku. Mama menyuruhku untuk membawa mereka berdua masuk dan mau tidak mau, Shagam dan Zian harus menurutinya. Aku sekarang sedang duduk di sofa panjang. Aku berada di tengah-tengah antara Shagam dan Zian.
Mereka berdua benar-benar cari masalah. Ketika aku ingin duduk di sebelah mama yang sofanya cukup buat dua orang, Shagam malah menarik tangan kananku. Sementara Zian menahan tangan kiriku. Daripada ada masalah, lebih baik aku membiarkan diriku untuk duduk di antara mereka. Dan sekarang mereka malah seenak jidatnya menahan tanganku di balik badan mereka. Maunya apa coba?
Saat ini mama sedang duduk di hadapan kami sambil menyilangkan kedua tangannya dengan kaki kiri yang menopang pada kaki kanan. Mama menatapku emosi.
"Apa maksudnya kalau kamu adalah pacar Marel?" tanya mama ketus padaku.
"Ya pacar, ma. Zian adalah pacar Marel saat ini."
Tatapan mama sangat tajam. "Mama nggak nanya kamu! Mama nanyanya dia!" ujar mama keras. Oh aku salah ternyata.
Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Mama memang sedikit menyeramkan kalau sudah marah. Aku benar-benar bingung sekarang. Mana tanganku sama sekali tidak bisa lepas dari mereka berdua. Shagam dan Zian sungguh menyebalkan.
"Ya saya memang pacar Marel, tante. Kekasih Marel," jelas Zian.
Aku terdiam tak tahu harus bagaimana menyikapi perkataan Zian. "Maksud saya sejak kapan? Selama ini Marel tidak pernah membicarakannya dengan saya, lalu kenapa tiba-tiba kamu muncul?" tanya mama makin ketus menggunakan nada bicara yang sangat tidak enak untuk didengar. Tatapan mama sangat menyeramkan.
Aku pun melihat wajah Zian. Tak ada ketakutan sedikitpun tampak dari wajahnya. Ia bahkan terlihat nyaman dengan perlakuan mama. Tiba-tiba saja tanganku yang tadi berada di balik tubuh Zian, kini malah ia tunjukkan dengan bangganya di depan mama. Mata mama makin melotot tak suka.
"Saya memang baru sebulan tante dalam menjalin hubungan ini. Saya juga tidak tahu mengapa Marel tidak pernah membicarakan saya. Tapi, mungkin penyebab Marel berbuat seperti itu karena dia belum begitu siap." Kini mata Zian beralih menatap mataku dalam. Aku tercekat melihatnya. "Dan sekarang, saya yakin bahwa Amarel sudah siap dengan saya dan saya siap untuk melangkah ke hal yang lebih serius."
What?! Ini tidak ada dalam perjanjian kami. Bagaimana bisa Zian mengatakan hal itu di depan mama. Pacar bukan berarti harus menikah! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mama pasti syok berat. Seperti yang aku duga, mata mama sekarang memerah saking marahnya. Ia menatapku seperti singa.
"Kamu tidak tahu kalau anak saya akan menikah? Sebaiknya kamu lepaskan anak saya."
Zian tersenyum miring. Kini ia menatap Shagam. Astaga Shagam. Karena saking paniknya aku sampai tidak menyadari bahwa Shagam hadir di sini dan tangannya masih menahan jariku kuat.
"Saya tahu tante bahkan saya tahu siapa calonnya. Tapi, maaf tante. Nggak semudah itu saya bisa melepaskan Marel."
Lagi-lagi aku terhenyak. Aku baru mengenal pria ini kemarin yang artinya baru dua hari. Bagaimana ia bisa begitu lancarnya mengatakan hal itu depan mama? Sinting! Tak terlihat sama sekali bahwa yang kami lakukan ini adalah hubungan palsu. Aku tertunduk lemas. Aku benar-benar bingung. Ini seperti sungguhan.
"Tante, tante tahu kan harus dengan siapa Marel hidup? Tante juga tahu harus percaya dengan siapa. Kita belum mengetahui identitas pria itu dengan jelas tante."
Ah! Gila! Shagam juga sama saja. Nadanya bicaranya benar-benar lantang dan tegas. Ia menatap mama serius dan aku bisa melihat bahwa mama sangat menyukai dan percaya dengan Shagam.
"Nanti saya bisa jelaskan pada tante semuanya tentang saya. Tentang keluarga saya. Bibit bebet bobot saya dengan sangat jelas. Tak ada yang akan saya sembunyikan. Satu hal yang perlu tante tahu. Mengenal bukan berarti mengetahui," jelas Zian dengan senyuman miring yang aku tahu ia pasti menyindir soal kelainan Shagam.
Shagam pun langsung menekan jemariku dengan sangat kuat. Aku hanya meringis kesakitan tanpa bisa memarahinya. Aku tahu hatinya pasti sangat panas. Ah Tuhan. Apa yang harus aku perbuat?
Zian, aktingmu bagus sekali. Kau mampu membuat semua orang di sini tertipu dengan kebohongan kita.
Mama kelihatannya menyerah. Urat-urat tegang yang ada di raut wajah mama memudar, mama menatapku nanar.
"Marel, mama tidak tahu apa yang terjadi dengan kamu dan mama tidak peduli siapa pria itu, tapi satu yang perlu kamu tahu. Hanya Shagam yang bisa menikahi kamu. Tidak ada yang lain. Lagipula mama tidak mengenal pacar kamu. Mama tidak bisa sembarangan menyerahkan kamu ke orang lain yang mama tidak ketahui asal usulnya. Mengerti?"
Mama pun langsung beranjak dari sofa. "Tapi, ma...."
Mama terus berjalan tanpa mau mendengar penjelasanku. Aku kini terduduk lemas. Shagam dan Zian pun menghela napas lega begitu mama benar-benar berlalu dari penglihatan kami. Mereka kini menyandarkan diri di sofa dengan posisi kepala menatap langit-langit. Aku pun segera melepaskan sekuat tenaga genggaman mereka berdua dari kedua tanganku dan berhasil.
"Zian! Kenapa kau berani sekali berbicara seperti itu di depan mama?!" bentakku kuat.
Zian pun menolehkan kepalanya menghadapku. "Entahlah. Aku juga tak tahu kenapa aku bisa seperti itu...."
"Kau juga Shagam. Bisakah kau menghentikan ini? Aku tidak mau menikah denganmu! Sudah berapa kali aku bilang?" tanyaku emosi pada Shagam. Shagam pun menolehkan kepalanya melihatku.
"Aku tak bisa membiarkanmu dengannya, Marel. Ia harus jauh-jauh darimu. Tak akan aku biarkan dirimu jatuh ke dalam genggamannya."
"Sebenarnya ada apa antara kau dan Zian? Kau kan baru mengenal Zian malam ini!"
Shagam menatapku nanar. Tatapannya kosong. "Amarel, aku tidak bisa memberitahumu...."
"Omong kosong! Kau selalu saja begitu. Kau aneh!" teriakku. Shagam hanya diam lalu ia pun beranjak dari sofa. Sebelum ia melangkah lebih lanjut lagi, "Kau mau kemana?" tanyaku.
Shagam berhenti, lalu ia menolehkan kepalanya melihatku. "Dodo menungguku. Tak mungkin aku membiarkannya lama di rumah sendirian." Shagam pun terus berjalan hingga berlalu dari pandanganku.
Aku terdiam. Oh pasangan gay-nya. Lagi-lagi hatiku sedikit sakit. Haruskah aku cemburu pada seorang pria?
"Marel...." Panggilan Zian membuatku tersadar.
Aku pun menatap bola mata pria ini. Padahal aku baru kenal dia kemarin, tapi kenapa dia bisa selugas itu akting di depan mama? Apakah pilihan Usya kali ini benar-benar tepat?
"Aktingmu bagus sekali, Zian..." pujiku lirih.
Dia tersenyum simpul. "Kan sudah aku bilang. Kau cukup percayakan saja padaku. Asal kau ingat saja dengan syarat itu."
Aku memutar bola mataku. "Ya. Baiklah."
Zian pun bangkit. "Yasudah. Aku pulang dulu. Besok kau kabari saja aku kalau kau mau memperkenalkan aku ke kakekmu."
Aku pun ikut bangkit. "Iya."
Kami berjalan beriringan keluar rumah hingga akhirnya sekarang aku dan Zian sudah berada di depan mobil. Zian sekarang berdiri di sampingku.
"Rel, aku belum punya nomormu."
Astaga. Aku lupa akan hal itu. Aku pun menengadahkan tanganku. "Sini ponselmu."
Tanpa basa-basi Zian langsung memberikan ponselnya. Aku pun mengetik nomor ponselku yang sudah berada di luar kepala. Lalu kukembalikan lagi ponsel itu ke tangannya. Ponsel yang berada di genggamanku berdering. Aku melihatnya. Ini nomor tak dikenal. Pasti nomor Zian.
"Save ya. Itu nomorku."
Detik itu juga aku langsung menyimpan nomor Zian ke kontakku. Zian pun masuk ke mobil. Aku kembali melihatnya. Ia tersenyum manis padaku.
"Aku pulang dulu. See you tomorrow, Amarel...," ujarnya sambil melambaikan tangannya padaku. Aku pun melakukan hal yang sama. Mobil pun melaju. Aku pandangi terus Zian hingga mobilnya tak tampak lagi dari pandanganku.
Aku masih bergeming di depan pagar. Bingung sekali. Aku takut kalau langkahku kali ini salah. Mama secara lantang melontarkan bahwa ia tak menyukai Zian. Ditambah sikap Shagam yang tetap kekeuh dengan perjodohan ini. Aku mengusap wajahku dengan kasar. Aku benar-benar pusing.
Tiba-tiba saja seseorang keluar dari rumah Shagam. Si Dodo! Pria kecil itu. Aku tak pernah berbicara padanya. Ini kesempatanku untuk mengetahui soal Shagam dengan kekasihnya lebih dalam.
Dodo terlihat celingak-celinguk. Aku rasa dia sedang mencari taksi karena beberapa kali ia bolak-balik melihat layar ponselnya.
"Dodo!" Aku teriak memanggil namanya. Dodo menoleh mencari asal suara. Tapi begitu ia tahu bahwa aku yang memanggilnya, ia malah memilih untuk pura-pura tuli. Menyebalkan juga. "Woy, Do! Kau dengar aku memanggilmu kan?" tanyaku lagi kuat.
Dodo kali ini sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Aku rasa aku harus menghampirinya. Begitu aku di dekatnya, aku baru menyadari bahwa pria ini memang sangat kecil. Bahkan lebih tinggi aku daripada pria ini.
Lalu kulihat Dodo dari ujung rambut sampai ujung kaki. Untuk standar pria, si Dodo ini jauh dari kata standar. Ia kecil, pendek, dan hitam. Rambutnya tegak-tegak lancip seperti landak. Ia mengenakan skinny jeans dan kaos putih disertai jas hitam yang menutupi setengah kaosnya itu. Tidak cocok sekali pria jelek seperti dia bergaya ala oppa-oppa korea. Dan maaf-maaf kata. Seharusnya orang yang cukup tampan dan modis seperti Shagam harus lebih jeli dalam memilih pasangan. Meskipun pasangannya juga seorang pria.
"Heh! Kau tidak mendengarkan panggilanku tadi?" tanyaku ketus sambil mendorong bahunya pelan.
Dodo malah menepis tanganku lalu diusapnya jijik bekas sentuhanku itu dari bahunya. "Kau siapa? Aku tak kenal ya padamu!" ujarnya ketus dengan nada bicaranya yang kemayu.
Aku pun mengangkat daguku sedikit sambil menyilangkan kedua tanganku. "Kau pasti tahu aku. Tak mungkin Shagam pernah menceritakan siapa aku."
Ia menatapku sinis. "Aku tahu siapa dirimu. Kau Amarel Brasta, tapi aku tak mengenalmu dan aku tak sudi untuk berkenalan denganmu."
Aku kaget. Banci satu ini kasar juga. Aku tak boleh kalah darinya. "Ya siapa juga yang mau berkenalan denganmu? Aku hanya ingin bertanya soal Shagam padamu," kataku angkuh. Eh, ia malah kembali fokus pada layar ponselnya dan mengabaikan diriku.
"Hey Dodo! Aku bertanya padamu!" teriakku kuat tepat di telinga kirinya.
Dodo langsung menutup telinga kirinya dan menatapku sangar. "Aku tak punya waktu meladenimu, bitch. Sudahlah. Kau pergi sana!"
Sialan! Si banci ini malah mengusirku. "Kau mengusirku?"
"Iya. Tolong ya jangan pernah berbicara denganku. Bos pasti tak akan suka kalau kau dekat-dekat denganku!" bentaknya kuat kini di telinga kananku. Aku terpekik kaget mendengar suaranya yang besar di telingaku.
Banci tak tahu sopan santun. Tunggu dulu. Dodo memanggil Shagam dengan sebutan bos.
"Bos? Kau itu bawahan Shagam atau pacarnya sih?" tanyaku lagi masih dengan nada angkuh.
Ia tersenyum centil lalu ditatapnya mataku ramah. "Tentu saja dia pacarku."
Aku menghela napas. Hati kecilku masih sulit menerima kenyataan ini. "Kalau dia pacarmu kenapa kau memanggilnya bos? Bukannya sayang atau beb? Kenapa bos?"
"Apa urusanmu? Bos itu panggilan sayangku pada mamas Shagam."
Aku mau muntah begitu mendengar kata mamas Shagam dari mulut banci ini. Tapi, aku harus terlihat kalem. Aku benar-benar harus mengorek tentang Shagam dari banci ini. Sepertinya aku tidak boleh sombong di depannya. Aku pun menurunkan kepalaku. Aku harus terlihat ramah.
"Oh mamas Shagam ya? Hmmm baiklah. Sejak kapan kau menjalin hubungan dengan Shagam?" tanyaku lagi ingin tahu dengan nada rendah.
"Apa urusanmu?" tanyanya ketus sambil menatap layar ponselnya dan sesekali melihat keadaan sekitar. Ia terlihat seperti menunggu jemputan. Soalnya taksi sudah beberapa kali melewati kami.
"Aku hanya ingin tahu."
Dodo kembali menatapku kesal sambil memanyunkan bibirnya. "Aku tidak mengenalmu, Marel."
Aku terbahak mendengar si banci ini. Ia bilang tidak mengenalku, tapi ia menyebut namaku. Dasar Banci. Ia kembali melihat ponselnya. Aku pun berusaha untuk menenangkan diriku. Sepertinya aku harus menjalin keakraban dengan si banci ini.
Aku pun mengulurkan tanganku. Ia kaget. "Baiklah. Ayo kita berkenalan. Namaku Marel dan kau Dodo kan?"
Ia memandangku ragu. Butuh beberapa detik menunggu sambutan tangannya. "Aku Dodo," jawabnya singkat.
Aku pun tersenyum puas. "Baiklah. Karena kita sudah saling berkenalan. Aku ingin bertanya soal Shagam padamu."
Dodo memutar bola matanya lalu dilihatnya mataku tajam. "Memangnya apa sih yang mau kau tanyakan?" tanyanya ketus.
"Kau sejak kapan kenal Shagam?"
"Aku?" Dia terlihat berpikir beberapa menit. "Sudah lama," jawabnya lagi.
"Seberapa lama?"
"Sudah sembilan tahun aku mengenalnya." Sembilan tahun? Aku jadi semakin penasaran.
"Sembilan tahun kapan?" tanyaku lagi.
"Kau tidak ingat dulu siapa yang menemani Shagam di kantor polisi ketika ia pertama kali menghilang? Kan aku pria yang bersamanya."
Sebentar. Aku kembali mencoba mengingat waktu itu. Sebenarnya tidak ada satupun keluarga kami yang mengetahui apa yang terjadi dengan Shagam. Tiba-tiba saja suatu hari dia benar-benar menghilang. Bahkan menghilangnya Shagam bukan sebentar. Ia menghilang tiga bulan lamanya. Shagam sempat menjadi salah satu daftar pencarian orang. Brosur disebarkan dimana-mana.
Keluargaku dan keluarga Shagam sangat kewalahan pada saat itu. Tante Lona terus menangis tiada henti sampai-sampai selama tiga bulan itu, Tante Lona disuruh kakek untuk tinggal di rumahku. Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba ketika polisi mengabarkan kepada Tante Lona bahwa Shagam sekarang sedang ada di kantor polisi.
Polisi menerangkan bahwa Shagam mengalami kecelakaan mobil. Hal yang semakin mengejutkan kami semua adalah ketika kami mengetahui bahwa Shagam tidak mengingat apa-apa alias hilang ingatan. Saat itu juga hatiku langsung hancur berkeping-keping. Itu artinya dia tidak mengingat sama sekali kejadian yang membuatku menjadi hina seumur hidup dan memberiku pilihan untuk menjadi pecandu seks seperti sekarang.
Dan itulah sebabnya Shagam tidak pulang-pulang. Itu sebabnya aku paling benci dengan kecelakaan dan lupa ingatan yang dialami Shagam. Dan betapa bodohnya aku yang baru menyadari bahwa yang membawa Shagam ke kantor polisi adalah seorang pria kecil hitam yang sekarang sedang berada di depanku ini. Astaga mengapa aku tak mengenalinya?
"Jjj...jadi...k..kau pria kecil itu?" tanyaku gagap syok.
Ia tersenyum miring. "Kau baru mengingatnya sekarang?"
"Apa gara-gara kau Shagam menjadi homo? HAH?!" teriakku kuat lagi. Aku langsung menuduhnya karena semenjak kembalinya Shagam, sosok Shagam yang selama ini aku kenal lenyap begitu saja dan ia tiba-tiba dengan bangganya mengaku padaku dan Usya bahwa ia tidak menyukai perempuan.
Tapi tiba-tiba sebuah mobil sedan dengan kap terbuka lebar datang menghampiri kami. Aku masih terpaku memikirkan apa benar pria ini yang menyebabkan perubahan Shagam. Pikiranku terbuyar karena ada beberapa lelaki kekar di dalam mobil tersebut. Mereka pun berhenti tepat di depan aku dan Dodo.
Pria-pria itu memiliki rupa yang cukup menarik, tapi jelas dari gaya mereka bahwa mereka adalah rombongan para gay. Aku juga masih mengingat salah satu dari mereka pernah duduk satu rombongan dengan gay di diskotik langgananku.
"Dodo sayang, ayok naik. Maafkan kami agak lama. Tadi Randy harus mengantarkan istrinya dulu ke rumah mertuanya," ujar salah satu gay berambut sebahu dengan badan yang hampir menyerupai Ade Rai.
Aku syok! Astaga bahkan salah satu gay di mobil itu sudah beristri? Kasihan sekali istrinya. Ah aku tak mau bernasib sama seperti istri dari seorang gay.
Dodo pun menghampiri mobil tersebut lalu memanjat naik masuk. Ada lima orang di dalam mobil itu termasuk si Dodo.
"Ah tak apa. Ayo berangkat. Untung saja kalian datang. Kalau tidak, aku akan terus diinterogasi oleh si bitch itu," ujar Dodo dengan nada menyebalkannya itu.
Aku menggeram dan menatap ia kesal, tapi itulah Dodo. Sepertinya ia punya keahlian dalam mengabaikan seseorang. Mereka semua kini menatapku dengan pandangan jijik. Aku benar-benar makin merasa dipojokkan. Bangsat kau Dodo! Lihat saja nanti apa yang akan aku perbuat padamu. Dendamku dalam hati.
Beberapa menit kemudian mobil pun melaju. Sempat kulihat Dodo memandangku dengan tatapan iba lalu ia tersenyum sangat manis padaku.
Aku tertegun. Apa maksud si banci itu?
***
Esoknya, aku memutuskan untuk ke rumah sakit. Maklum aku adalah pengangguran. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tak mungkin aku mengunjungi Usya karena ia pasti sedang bekerja. Sementara kalau aku di rumah aku bisa mati kebosanan. Yasudahlah keputusan terbaik saat ini ya mengunjungi kakek.
Sekarang aku sudah berada di dalam kamar tempat kakek dirawat. Kakek sibuk menggonta-ganti saluran televisi tanpa tahu apa yang sebenarnya mau ia tonton. Aku yang sedang sibuk memainkan ponselku pun hanya diam.
"Kamu nggak kemana-mana Marel?" tanya kakek. Pilihan kakek akhirnya berlabuh pada sebuah acara infotainment.
Aku melihat wajah kakek yang semakin hari semakin terlihat pucat. "Tidak, kek. Marel bingung kemana."
"Kenapa kamu tidak berniat untuk belajar tentang perusahaan kita Marel? Kamu betah seperti ini terus? Setidaknya kamu punya kegiatan dan bisa terjun ke masalah yang ada di perusahaan kita." Seperti biasa lagi-lagi kakek menceramahiku tentang masalah perusahaan.
"Kek, aku tidak tertarik soal perusahaan. Aku juga yakin banyak cucu kakek yang lebih baik daripada aku," tolakku untuk kesekian kalinya dengan alasan yang selalu sama.
"Kakek maunya kamu. Tidak ada cucu yang bisa kakek percaya selain kamu. Lagipula mereka semua itu saja juga jarang mengunjungi kakek. Mereka menghubungi kakek kalau ada maunya saja," gerutu kakek sedikit kesal.
Aku pun melihat mata kakek yang terlihat sedih. Aku bingung harus bagaimana. Aku benar-benar tidak tertarik kalau harus terjun dalam dunia perkantoran. Aku suka dengan duniaku yang sekarang. Tanpa beban dan hambatan. Bayangkan kalau bekerja, aku akan pusing sekali kalau harus menerima telpon dari sana-sini. Kolega kakek itu banyak sekali. Muka dua di kantor kakek juga bertebaran dimana-mana.
Aku bahkan pernah menjadi korban gosip mereka. Setiap aku ke kantor kakek saja, semua karyawan kakek selalu menggunjingku. Aku dibilang tak pantaslah sebagai seorang cucu Brasta Muhsin, bodohlah, hanya mementingkan gaya dibanding otaklah. Ah aku benci itu. Ditambah ada satu sepupuku yang paling menyebalkan kebetulan bekerja sebagai petinggi Brasta Land. Ia adalah seorang pria. Namanya Tauvan. Papanya adalah abangnya mama.
Ia lah kompor dari segala kompor yang ada di keluargaku. Dia yang secara terang-terangan membenciku dan selalu mempengaruhi kakek agar tidak memberiku uang lagi. Memangnya dia siapa? Ia lupa bahwa ia adalah anak haram? Alias hanya seorang anak selingkuhan dari papanya. Sayang saja istri Om Bargo -abang mama tidak bisa mempunyai anak. Mungkin itu penyebab Om Bargo mencari selingkuhan dan jadilah si Tauvan. Si anak haram yang selalu membenciku.
"Kek, Marel benci di kantor. Kakek tahu semua orang selalu menggosipi Marel yang tidak-tidak. Ditambah sikap Tauvan yang selalu mencari masalah pada Marel. Marel malas, kek," aduku sambil memanyunkan bibir.
"Ya kamu buktikan dong kalau itu tidak benar. Kakek tahu Amarel cucu kakek itu anak pintar."
"Aku benci pada Tauvan, kek! Dia selalu merusuhiku dan berkata aku tidak akan bisa menjadi pemimpin Brasta. Lah memangnya siapa yang mau jadi pemimpin Brasta?" tanyaku sambil mendengus sebal.
Kakek tertawa. "Makanya kamu belajar. Kakek punya sekretaris yang mampu mengajari kamu."
"Aku capek belajar kek di usia segini. Lagipula jujur ya kek. Kalau Tauvan memang harus menjadi penerus kakek, Marel tidak masalah kok."
Kakek menautkan alisnya menatapku tak yakin. "Benar? Kalau Tauvan jadi pemimpin Brasta, kamu nggak akan lagi bisa hidup enak seperti sekarang loh. Yang selalu dapat uang bulanan dan kartu kredit unlimited tanpa harus bekerja. Kamu bilang sendiri tadi bahwa Tauvan membenci kamu."
Aku terdiam beberapa saat mencoba untuk berpikir. Benar juga apa kata kakek, tapi aku kan mempunyai saham di Brasta Land. "Tapi kek. Marel kan punya saham di Brasta. Tidak mudah buat Tauvan menyingkirkan Marel."
Kakek kembali tertawa. "Marel sayang, ketika kamu menjadi presdir, apapun bisa terjadi dengan mudah. Bahkan menyingkirkanmu bukan hal yang sulit. Kakek sangat sayang sekali pada Marel. Kakek mau Marel yang meneruskan Brasta."
"Memangnya kakek tidak percaya pada Tauvan?"
Kakek terlihat merenung sebentar. Ia menatapku dengan tatapan kosong. "Susah sekali memberi kepercayaan padanya. Kakek tahu Tauvan adalah sosok yang bekerja keras. Tapi entah kenapa mengingat ibu kandungnya membuat kakek ragu. Kakek juga tidak mau posisi Tiyas menjadi lebih terjepit lagi."
Tiyas adalah istri sah dari Om Bargo. Benar juga sih. Selingkuhan Om Bargo itu sangat licik. Berapa kali Tante Tiyas ke rumahku dalam keadaan menangis karena perlakuan jahat selingkuhannya itu. Tante Tiyas selalu mengadu pada mama dan kakek, tapi mereka bisa apa. Kami tidak bisa mencampuri urusan rumah tangga mereka. Toh nyatanya Tante Tiyas juga seperti disudutkan oleh Om Bargo karena tidak menghasilkan anak dan sifat Tauvan juga menurun dari ibunya.
Tiba-tiba aku jadi mengingat Zian. Kenapa tidak Zian saja yang membantu kakek? Zian kan juga memintaku agar diberikan pekerjaan di Brasta.
"Kek, kalau Marel nawarin seseorang untuk menggantikan kakek bagaimana?" tanyaku hati-hati.
Kakek mengernyitkan dahinya. "Maksud kamu?"
Aku menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. "Marel punya teman. Dia pengacara. Nah kebetulan saat ini dia minta pertolongan Marel untuk dicarikan pekerjaan. Gimana kalau dia kerja di perusahaan kita?" tawarku pada kakek.
Kakek memandangku aneh. "Benar teman?"
"Iya hehe." Aku tidak berbohong kan? Zia memang adalah temanku.
"Memang, sudah sejauh mana perjalanan karir dia sebagai pengacara?"
Aku kembali memutar otakku. Aku kan tidak tahu sama sekali soal sepak terjang Zian dalam karirnya sebagai pengacara. Aku saja baru mengenalnya tiga hari. Aku tak bisa berbohong pada kakek. Yasudahlah aku jujur saja.
"Kalau perjalanan karir sih Marel kurang tahu, tapi dia berkarir sebagai pengacara mungkin sudah lima atau enam tahun, kek," jelasku jujur. Kemarin Zian sempat berbicara padaku bahwa ia menjadi pengacara sekitar lima enam tahun. Aku mengingatnya dengan jelas.
Kakek terlihat seperti berpikir. "Kalau kamu bilang dia harus menggantikan posisi kakek jelas tidak bisa. Lebih baik kakek mempercayakannya kepada sekretaris kakek. Tapi kalau hanya sekedar bekerja kakek rasa mungkin bisa."
Aku langsung bangun dan melompat riang. Lalu berlari ke arah kakek dan memeluk kakek erat. Kakek hanya tertawa.
"Jadi, kakek mau nerima teman Marel itu?" tanyaku lagi. Aku tak percaya semudah ini membujuk kakek. Aku kira kakek orang yang sulit.
Tersembul senyum manis dari wajah pucat tua kakek. "Tapi kakek nggak bisa asal terima dia. Kakek harus bertemu dulu dengannya. Dia pengacara kan? Nanti kakek tanya dulu apakah ada slot kosong buat dia."
"Kok kakek gampang sekali nerima permintaan Marel?"
Kakek menatapku. "Marel kan jarang-jarang minta bantuan kakek soal perusahaan. Ini suatu kemajuan menurut kakek."
Aku semakin memeluk kakek erat dan sesekali mencium imut pipi kakek. "Aaaa Marel sayang sama kakek. Nanti malam Marel bawa dia ke sini."
Kakek hanya mengangguk. Aku senang sekali.
***
"Pokoknya kau bicara yang sopan pada kakek. Sebisa mungkin kau harus membuat kakek terpana akan sikapmu. Jangan membuat kakek marah seperti apa yang kau lakukan pada mama semalam. Mengerti?!"
Zian mengangguk sambil membenarkan jas birunya. Kini kami sedang di depan lobi rumah sakit. Zian memakai celana panjang abu-abu dan kaos abu-abu dengan jas biru sebagai pelengkapnya. Ia memang tampan. Sementara aku memakai rok merah sebatas lutut dan baju berbahan sutra berwarna putih berlengan panjang. Rambutku aku gerai.
"Rel, aku degdegan...," adu Zian.
Aku menatapnya. "Tenang. Kakek orang baik. Ingat pesanku ya. Buat kakek terkesima padamu. Aku mengenalkanmu sebagai seorang teman. Kau jangan bilang bahwa kau adalah pacarku. Aku belum siap kalau harus memancing amarah orang lain lagi selain mama."
"Aku tak janji. Kau sudah mengenalkanku sebagai pacarmu di depan mamamu. Lalu kenapa di depan kakekmu aku harus mengenalkan diriku sebagai temanmu?" tanyanya tegas.
Aku memutar bola mataku. "Aku belum siap, Zian. Tolong mengerti. Kau mau apa tidak pekerjaan ini?" tanyaku lagi tak kalah tegasnya.
Ia terhenyak. "Baiklah. Lalu mamamu dimana? Aku takut ia malah tiba-tiba hadir nanti," cemas Zian.
"Mama hari ini tidak ada jadwal dan setahuku ia sedang pergi dengan tanteku. Yasudah ayo. Aku tak enak dipandang oleh orang-orang di sini."
Aku pun menarik jasnya. Zian mengikutiku. Kami berjalan beriringan menuju ruangan kakek. Jantungku tak henti-hentinya berdetak kencang. Kenapa aku jadi dagdigdug seperti ini ya? Aku pun menatap wajah Zian. Ia terlihat lebih tenang dan tak ada raut cemas dari wajah tampannya itu.
"Tenang, Marel. Aku tidak akan mengecewakanmu." Matanya masih lurus ke depan.
Aku pun kembali melihat ke depan. Tersungging senyum di sudut bibirku. Kini aku sudah di depan pintu kamar rawat inap kakek. Seperti biasa di sini banyak sekali para pengawal berjejer rapi dan tegap.
Dan Zian sepertinya terkejut melihat penjagaan kakek yang super ketat di sini. "Kakekmu luar biasa sekali. Ini semua para pengawalnya?"
Aku mengangguk. "Iya dan aku sudah terbiasa akan suasana seperti di sini. Tenang saja selama kau tidak macam-macam padaku dan kakek, kau akan aman-aman saja."
"Aku jadi takut Marel...."
Melihat ekspresi Zian yang mulai pucat membuatku terbahak. Aku pun memegang tangannya. Mata kami bertemu. "Tenang. Ada aku di sini."
Agak lama kami saling berpandangan seperti ini. "Marel, aku takut...," ujarnya lirih.
"Takut kenapa?" tanyaku lagi. Cemen sekali pria ini.
"Takut jatuh cinta padamu."
Aku terhenyak. Sialan kau Zian! Kau membuatku jadi mematung dan membisu seperti ini. Aku tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Zian benar-benar membuatku lupa daratan. Ah! Apa yang aku pikirkan? Ingat Marel. Jangan sampai kau jatuh cinta pada sembarang orang. Kau belum tahu siapa sebenarnya Zian. Batinku terus memberiku peringatan.
Aku pun melepaskan peganganku padanya. "Haha apa-apaan sih kau ini? Sudah. Ayo masuk!"
Zian pun tersadar dan aku mulai membuka pintu kamar perlahan. Dan lagi-lagi semuanya selalu saja di luar dugaanku. Rencanaku malam ini sepertinya gagal karena aku sedang melihat si gay itu asyik menyuapi kakek.
Fuck! Kenapa selalu saja ada kau Shagam bangsat?!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro