4
Tanpa basa-basi langsung kutimpuk berkali-kali kepala pria semalam yang menolak hubungan badanku menggunakan clutch-ku. Ia mengerang kesakitan sambil menahan seranganku menggunakan tangannya.
"Kau brengsek! Bagaimana bisa kau malah membuatku pingsan malam itu? Kau membuatku merasa terhina!"
"Maafkan aku. Dengarkan dulu penjelasanku, Amarel...," ujarnya sambil terus mencoba menangkis pukulanku, sayangnya pukulanku tak berhenti begitu saja. Aku benar-benar kesal pada pria ini.
Ditambah berani-beraninya dia menyebut namaku. Tak sudi aku membiarkan namaku disebut oleh pria brengsek seperti dia. Emosiku semakin memuncak. Ia mengetahui namaku pasti karena telah melihat isi dompetku malam itu. "Jangan sebut namaku! Kau sudah lancang! Berani-beraninya kau membuka dompetku. Tak sopan!" Aku semakin kuat menimpuk pria ini.
Usya sama sekali tak menghentikanku. Ia sangat memahami bahwa aku sangat murka. Sekarang ia malah asyik duduk manis di seberang kursi pria ini sambil memanggil pelayan untuk diambilkan menu. Pelayan pun datang dan melihat kami bertiga dengan pandangan bingung dan sedikit ketakutan.
Tiba-tiba pria itu menahan tanganku. "Sudah, Marel! Kepalaku sakit kau timpuk seperti itu!" katanya marah. Ia memandangku sebal.
"Heh! Ini tidak seberapa dengan pukulanmu semalam ke kepalaku bodoh!" kataku kuat.
Tanganku masih dalam pegangannya. "Ya maafkan aku. Aku tidak tahu bagaimana cara menghentikanmu malam itu. Kalau aku kabur disaat kau sadar, aku yakin kau pasti akan emosi dan tentu saja hal itu akan mengundang perhatian orang," jelasnya.
Aku terdiam beberapa menit mencoba untuk berpikir. Benar juga sih. Semalam saja aku berpikir aku akan berteriak sekencang mungkin kalau ia meninggalkanku dalam keadaan sadar, tapi tetap saja tak bisa diterima. Dia tega memukul aku yang notabenenya adalah perempuan.
"Tetap saja! Kau tega memukul perempuan!" pekikku kuat.
Aku tak peduli pada anggapan orang-orang di sekitar sini. Usya juga terlihat santai-santai saja. Ia sibuk memilah-milih menu apa yang akan ia pesan, lalu memberitahukannya ke pelayan yang sedang berdiri tegak di sampingnya. Raut muka pelayan itu terlihat takut.
"Rel, kau mau pesan apa?" tanyanya santai.
"Samakan saja pesananku sama sepertimu."
Usya pun berbicara kepada pelayan tersebut. Beberapa detik setelahnya, pelayan tersebut pun meninggalkan kami.
"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan malam itu Amarel! Itu pertama kalinya aku menghadapi perempuan sampai ke tahap itu!" adunya tegas. Perlahan ia pun melepaskan tanganku.
Tatapan matanya sendu berusaha memintaku mengerti. Aku hanya terus menatapnya kesal. Aku masih tak terima dengan perlakuannya malam itu. Ia membuatku tampak bodoh dan seolah-olah seperti pengemis. Dimana-mana pria yang selalu memaksa perempuan untuk melakukan hal itu, tapi kenapa pada malam itu malah sebaliknya?
Aku pun menatap kesal Usya. Ia masih terlihat santai menyaksikan perdebatan kami berdua. Benarkah Usya tidak tahu bahwa Zian yang di hadapanku sekarang dan Zian yang semalam adalah pria yang sama?
"Kau juga Usya!" bentakku kuat.
Mata Usya membesar. "Kenapa aku?"
"Bagaimana bisa kau mengenalkan aku pada pria ini? Kau kan sudah membaca note itu. Nama mereka sama."
"Amarel, kau pikir di dunia ini pria yang bernama Zian hanya dia seorang? Aku juga tidak tahu kalau Zian temanku adalah Zian yang semalam. Kalau aku tahu, aku juga ogah mengenalkanmu padanya," balas Usya tak mau kalah.
Raut wajah Usya tampak serius. Tak ada kebohongan di matanya. Jadi Usya benar-benar tak tahu. Karena lelah berdiri, aku pun mengambil kursi dan duduk di samping Usya. Pria itu juga menyusul duduk. Ia duduk di depanku.
Usya langsung memukul kepala pria itu kencang menggunakan tasnya. "Kau Zian brengsek! Mengapa kau tega melakukan hal itu pada sahabatku?"
Aku menekuk wajahku sebal. Aku tahu Usya tak akan membiarkan aku diperlakukan seperti semalam. Pria itu menatap Usya penuh rasa bersalah sambil mengelus-elus kepalanya yang kesakitan akibat dipukul Usya.
"Kau tahu sendiri tentangku, Sya. Aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku perjaka tulen. Coba kau pikir bagaimana cara menghadapi orang yang sedang mabuk dan gila ingin bercinta. Aku sudah bisa menebak karakternya. Ia pasti akan teriak-teriak dan membuat satu gedung tahu masalah kami. Kau pikir aku tidak berpikir matang-matang dalam melakukan hal itu?"
Usya kini gantian menatapku. Aku hanya menatapnya polos. "Benar juga sih. Amarel termasuk orang gila kalau sudah berurusan dengan hal itu," decak Usya. Pelayan pun kembali menghampiri kami sambil membawa makanan dan minuman pesananku dan Usya.
"Ya aku akui itu, tapi kau lupa Sya tentang perlakuan tidak sopan dia lainnya?" tanyaku pada Usya sambil menunjuk mukanya.
Usya kini beralih melihat Zian dengan mata melotot. Aku rasa Usya tahu apa yang kumaksud dan pria itu sepertinya sadar akan kesalahan dia yang lain.
"Ah soal itu? Ya aku minta maaf. Kebetulan kemarin dompetku ketinggalan di mobil. Aku baru menyadarinya pada saat check in. Aku bingung apa yang aku harus lakukan malam itu karena cukup melelahkan juga harus menggendong wanita dalam keadaan mabuk. Tak ada cara lain selain membuka isi dompetmu, Amarel. Ini uangmu aku kembalikan," jelas Zian panjang lebar lalu ia keluarkan dompetnya dan ia serahkan beberapa lembar uang di hadapanku.
Aku menatapnya tak percaya. Haruskah aku mempercayai pria ini? Usya kembali melihatku. Ia memainkan matanya seolah bertanya apa yang aku harus lakukan pada pria ini.
Aku pun menerima uangnya dan memasukkan uang itu ke dalam clutch-ku. "Baiklah. Terimakasih. Beruntungnya kau, penjelasanmu kali ini cukup bisa diterima akal sehat." Bukannya karena aku pelit ya tapi aku malas mengeluarkan uang untuk pria songong seperti dia.
Tersungging senyum manis di sudut bibir tebal seksinya itu. "Lalu, bagaimana dengan kesepakatan kita?" tanya Zian.
Aku jadi sadar. Tujuan pertemuanku kali ini kan untuk membahas soal kekasih pura-pura. Aku jadi berpikir dua kali, haruskah aku menyetujui saran gila dari Usya? Apalagi begitu aku tahu pria yang akan menjadi kekasih pura-puraku adalah pria yang telah menolak berhubungan badan denganku.
"Ya maafkan aku, Rel. Aku benar-benar tidak tahu bahwa Zian ini adalah orang yang sama, tapi sekarang jadi masuk akal kan kenapa dia tidak mau melakukan hubungan itu denganmu? Itu karena dia benar-benar tidak pernah melakukan itu."
Aku menatap bola mata mereka berdua bergantian. Jadi, pria di depanku ini benar-benar tidak pernah melakukan hal itu? Wajar sih. Aku masih ingat raut wajahnya yang ketakutan ketika aku memaksanya untuk melakukan hal senonoh itu. Aku jadi bimbang. Sebenarnya ada untungnya tidak ya untuk melakukan kepura-puraan ini dengannya?
"Kau benar-benar tak pernah melakukan hal itu?" tanyaku sekali lagi.
Ia mengangguk cepat. "Mungkin kalau hanya sekedar ciuman aku sering, tapi kalau sampai menyentuh bagian intim. Kau adalah yang pertama kalinya."
Usya langsung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha bagaimana Rel? Dia benar-benar polos kan? Aku jadi memaklumi perlakuannya padamu semalam hahaha."
Aku jadi ikut tertawa. "Tapi, bagaimana rasanya?" tanyaku nakal.
"Kau nikmat sekali, Marel..." ucapnya lirih.
Ah! Aku merinding mendengar pria ini bicara seperti itu. Sial! Benarkah aku bisa menghindari untuk berhubungan badan dengannya. Dia mengatakan aku nikmat! Jelas itu adalah suatu kebanggaan buatku. Aku jadi merasa bersalah karena semalam memaksanya. Ia pasti benar-benar syok.
Usya memukul bahuku pelan. "Lihat Marel! Hahaha pria bersih ini mengatakan kau nikmat." Usya terus tertawa. Pria ini benar-benar polos. Kutatap matanya lagi. Ternyata ia juga sedang menatapku. Aku jadi malu.
"Kau mengenalnya darimana sih, Sya? Bisa saja kau menemukan pria bersih seperti dia," desisku.
"Aku mengenalnya dari temanku dan temanku lagi. Aku hanya minta dicarikan perjaka tulen dan dia memberikan kontak nomor Zian padaku. Yasudah aku hubungi. Aku sudah menceritakan identitasmu padanya. Semua detail dan apa penyebab kau ingin melakukan kebohongan ini."
Wajah pria itu sangat datar. Rambutnya plontos rapi serta bulu-bulu halus di sekitar bibir, rahang, dan dagunya membuat pria ini semakin memikat. Wait, berarti ia sudah mengetahuiku sebelum pertemuan kami semalam?
"Berarti kau sudah mengetahuiku sebelum malam itu?" tanyaku pada Zian.
Ia mengangguk seraya menyeruput kopi pesanannya. Sial! Jadi sebenarnya malam itu dia mendekatiku karena ia sudah tahu aku siapa?
"Jadi pada saat malam itu kau mendekatiku karena kau sudah tahu aku siapa?"
"Iya. Seharusnya malam itu aku menghampiri Usya, tapi ia sedang asyik bersama pria dan aku tidak enak jika mengganggunya. Kebetulan Usya juga sudah menunjukkan fotomu. Jadi, aku tahu bahwa kau adalah Amarel Brasta."
Aku mendengus kesal. Aku kira dia tulus menolongku saat itu. Apa jangan-jangan ini maunya dia juga untuk membawaku ke hotel?
"Apa sebenarnya kau memang ada tujuan untuk membawaku ke hotel?"
"Kau tidak ingat? Kau yang memintaku untuk membawamu. Aku tidak mungkin membawamu ke rumahku. Satu-satunya cara adalah aku membawamu ke hotel terdekat dari club itu."
Ah! Alkohol sialan! Aku benar-benar tak bisa mengingat kejadian sebelum aku melakukan hal itu dengannya. Aku tak bisa mengelak karena waktu itu aku dalam keadaan tidak sadar. Aku terus memperhatikan wajahnya yang santai. Pria di depanku ini memang tampan. Bisakah aku tahan untuk tidak berhubungan dengannya? Harus bisa, Marel! Batinku menyemangati.
Akan kubuat dia menginginkanku dan ketika saat itu terjadi aku akan melakukan hal yang persis sama seperti semalam. Tunggu saja saat itu, Zian. Aku terbahak puas dalam hati membayangkan hal itu. Kau memang cerdas Amarel. Tak sia-sia kau menjadi cucu dari Brasta Muhsin.
"Lalu kau mau kan menjadi kekasih pura-pura Marel? Ya kerjamu hanya akting di depan keluarga Marel. Termasuk di depan Shagam. Pria yang akan dijodohkan dengan Marel. Bagaimana?" tanya Usya.
Zian terlihat sedang berpikir. Ia terus menggertakkan jari-jarinya ke meja. "Akting saja kan? Aku tidak mau lebih dari itu."
Aku memutar bola mataku kesal. Aku bisa membaca pikirannya. "Plis, Zian. Kau pikir aku cewek murahan? Aku tidak akan pernah mengajakmu melakukan hal itu lagi dan jangan harap itu terjadi."
Ia tersenyum meremehkan. "Oke. Aku setuju, tapi aku butuh syarat."
Aku dan Usya langsung saling memandang. "Bukankah kau kemarin bilang bahwa kau tidak akan meminta apa-apa?" tanya Usya geram pada Zian.
"Kau pikir di dunia ini ada yang gratis? Kalau kau bisa menemukan pria perjaka dan tampan seperti aku, coba saja cari."
Ia berani mengancamku? Aku memang membutuhkannya dalam waktu dekat ini. Intinya aku benar-benar tak mau kalau harus menghabiskan sisa umur hidupku bersama si homo sinting itu. Aku kembali menatap memelas pada Usya. Usya mengerti maksudku.
"Memangnya apa yang kau mau? Aku bisa menjamin kalau kau tidak gagal?" tanya Usya tegas.
Ia pun mendekatkan wajahnya pada kami berdua. Ditatapnya mataku lekat. Aku terhenyak. "Kau percayakan saja padaku."
"Kalau kau gagal bagaimana?" tanya Usya lagi. Aku masih diam karena urusan nego ini adalah ahlinya Usya.
"Aku tidak akan gagal."
Baiklah. Sepertinya pria ini bisa dipercaya. "Baiklah. Katakan syaratmu," kataku berusaha cool.
Wajahnya berubah sangat senang. Bola matanya bersinar. Ia pun kembali menyandarkan dirinya di kursi sambil menyilangkan kedua tangannya. "Aku mau bekerja sebagai salah satu pengacara di kantor kakekmu."
Aku kaget. Bagaimana bisa dia meminta permintaan seperti itu? Itu bukanlah hakku. Aku tak pernah ikut campur sama sekali dengan urusan perkantoran kakek. Pria ini memang gila.
"Kau gila?! Aku tidak punya hak andil dalam perusahaan kakek!" kataku kuat.
"Terserah." Fuck! Pria ini malah menyeringai lebar sekarang. Kenapa malah dia yang mengancamku?
Usya juga sama bingungnya denganku. Wajahnya juga menunjukkan ekspresi kesal. Kami telah dipermainkan oleh seorang pria sinting. Aku kembali berpikir. Bisakah aku melakukan hal itu? Apakah kakek akan mengizinkan aku? Memang sih ada beberapa persen sahamku di perusahaan kakek, tapi itu tidak bisa menjamin aku bisa memasukkan orang ini ke perusahaan.
Sementara di sisi lain, aku juga dikejar waktu. Kalau aku tidak mengenalkan kepada keluargaku bahwa aku mempunyai kekasih. Pasti pernikahanku dengan Shagam akan diadakan secepatnya. Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang. Ya Tuhan...
Aku menolehkan kepalaku ke Usya. "Sya, apakah kau bisa menemukan pria lain selain pria ini?" tanyaku sebal sambil melirik sadis pada Zian yang kembali fokus membaca bukunya. Judul buku itu adalah 10 pengacara terhebat di dunia.
Usya menggeleng. "Sulit, Rel. Apalagi waktumu mepet kan? Kau mau aku carikan pria di majelis-majelis keagamaan? Tapi, kau tahu sendiri mereka saat taat agama. Mana mau mereka berbohong."
Kata-kata Usya selalu benar. Pria-pria lewat majelis keagamaan adalah pria baik-baik. Mereka tidak akan mau diajak kerjsama. Terbalik dengan pria-pria yang bergaul di antara kami. Mungkin pria yang masih perjaka bisa dihitung dengan jari. Lagipula ada untungnya melakukan kepura-puraan ini pada Zian. Dia tidak mau berhubungan badan sebelum menikah. Itu artinya aku akan aman. Baiklah. Sepertinya dia bisa diharapkan.
"Oke. Aku akan coba bicara pada kakek." Senyum puasnya muncul lagi. Ia pun menutup bukunya dan memandang mataku.
"Rel, kau yakin?" tanya Usya.
"Aku yakin, Sya. Tenang saja. Selama aku tidak menikah dengan Shagam. Semua akan aku lakukan."
"Oke. Kira-kira apa yang bisa kulakukan?"
Aku menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. "Aku perlu kesepakatan dulu denganmu."
"Apa?" tanyanya seraya menopang kepalanya dengan tangannya.
"Jangan pernah meminta untuk ML denganku. Kau adalah pria bersih dan aku sudah berkomit tidak akan melakukan hal itu pada pria yang sering aku temui." ujarku serius. Ia terus menatapku intens.
Ia mengangguk. "Baik. Itu bukan masalah."
"Bagaimana kalau kau melanggarnya?"
"Kau adalah seorang cucu konglomerat, Amarel. Kau tahu apa yang harus kau lakukan buat pengacara biasa seperti aku."
Benar juga. Usya sempat berkata padaku bahwa pria ini adalah seorang pengacara. Seorang pengacara yang uangnya bahkan tidak sebanding dengan uang yang aku punya. Baiklah. Aku rasa pria ini akan berguna buatku.
"Bagaimana kalau akhirnya aku menyukaimu?" tanya pria ini di luar dugaanku.
Aku terhenyak. Apa maksud pria ini? Itu tidak bisa. Aku tidak akan membiarkan hatiku jatuh padanya. Ia hanya sebatas kekasih palsuku. Tidak akan menjadi nyata.
Karena di hatiku masih ada dia...
"Tidak. Kesepakatan tetaplah kesepakatan. Kau hanyalah orang yang akan berpura-pura menjadi kekasihku. Kita akan terus akting sampai perjodohanku dengan Shagam benar-benar berakhir. Setelah itu yasudah. Hubungan kita hanya sampai di situ."
"Ingat, Zian. Kau jangan macam-macam dan berharap lebih dari ini." Usya memberikan peringatan pada Zian.
Pria itu pun menghela napas pasrah. "Oke. Aku setuju. Tidak ada hubungan badan dan tidak ada namanya jatuh hati. Deal?"
Zian mengulurkan tangannya. Aku pun menerima ulurannya antusias. Kami berdua sama-sama tersenyum. Begitu juga Usya yang menjadi saksi dari kepura-puraan ini. Ya semoga ini semua berjalan lancar. Setan dalam hati kecilku berkata kau akan menerima pembalasan dendamku Zian.
"Deal!".
***
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah diantarkan oleh Zian menggunakan mobil Juke hitamnya. Kami sudah mengantarkan Usya terlebih dahulu. Ternyata Zian tidak seburuk yang aku kira. Selama mengobrol dengannya dalam perjalanan, aku bisa menangkap sesuatu bahwa dia adalah orang yang penuh dengan ambisi. Apalagi tiap kali membicarakan tentang pekerjaannya sebagai pengacara.
Umur Zian setahun lebih tua dariku. Ia sudah punya firma hukum sendiri di daerah dekat rumahnya. Hanya saja memang pekerjaannya sebagai pengacara tidak terlalu mendukungnya dalam hal finansial. Ia bercerita kadang dalam satu bulan saja ia bisa tidak mendapatkan klien satupun. Maka dari itu, ia sangat suka membaca buku soal pengacara karena ia mau menjadi pengacara sukses.
Ya aku tak begitu tahu soal pengacara. Ia bilang sih ia pengacara yang menangani masalah perdata dimana ia lebih ke arah hukum antar individu seperti ahli waris, tanah, kekayaan. Itu sebabnya ia menjadikan bekerja di tempat kakek sebagai syarat atas hubungan palsu ini.
Aku masih memandanginya yang sedang duduk menyetir di sampingku. Zian memakai kemeja putih dan celana pendek hitam selutut. Aku sangat nyaman dengan orang ini, tapi di sisi lain aku merasakan ada iblis yang bersarang di sana karena tiap kali kami membicarakan soal uang wajahnya langsung bersinar.
"Rumahku di sana yang pagarnya berwarna hitam," kataku seraya menunjuk rumah dengan pagar hitam. Zian pun mulai memelankan mobilnya lalu berhenti tepat di depan rumahku.
Begitu mobil benar-benar berhenti, Zian pun turun dari mobil. Ia membuka lebar pintu mobil di sampingku. Aku pun turun. Sedikit terenyuh diriku atas sikap sopannya ini. Kini ia berdiri tepat di depanku. Pria ini tinggi juga. Begitu melihat tingginya, aku jadi merasa pernah berjumpa dengan pria ini sebelumnya.
Kami pun bertatapan sebentar. "Oke. Terimakasih atas tumpangannya."
"Dengan senang hati, Amarel..."
"Yasudah. Kau pulang sana. Besok kau harus berpakaian rapi. Kau harus menemaniku ke rumah sakit tempat kakek dirawat. Nanti aku akan memperkenalkanmu sebagai kekasihku. Ingat! Aku mau semua ini berjalan dengan lancar."
Ia menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Percaya padaku Amarel. Yang jelas kau harus ingat dengan perjanjian kita. Aku mau kau memasukkanku sebagai salah satu pengacara di Brasta Land."
Pria ini matre juga. Kenapa sih dia ngotot sekali harus masuk ke perusahaan kakek. Mata duitan dan cara memaksanya mengingatkanku pada pria itu. Siapa lagi kalau bukan si gay.
Tiba-tiba sebuah mobil Mazda silver berhenti tepat di belakang mobil Zian. Aku sangat hapal dengan pemilik mobil itu. Dugaanku benar. Pria yang tidak kalah tinggi dengan Zian pun keluar dari mobil itu dengan angkuhnya. Aku pikir dia sendiri, tapi ternyata ia bersama seorang pria kecil. Ya pria yang waktu itu sempat duduk di pangkuannya pada saat di club. Astaga entah kenapa aku benci sekali melihatnya.
Shagam sekarang malah merangkul pria kecil itu dan tangan pria kecil itu melingkar pada pinggang Shagam. What?!
"Siapa dia?" tanya Shagam padaku di depan kami berdua. Zian menatapnya bingung.
Aku pun langsung menggaet mesra tangan Zian. Zian terlihat kaget awalnya, tapi ia sepertinya mengerti mengapa aku bertingkah seperti ini. Zian pun memulai aksi pertamanya sebagai kekasih pura-puraku.
"Ia pacarku. Mau apa kau?" tanyaku dengan nada sombong.
Shagam menatapku datar dan sekarang bola matanya berpindah melihat mata Zian. "Kau pacarnya? Benarkah?" tanyanya seraya menunjuk wajah Zian. Tak sopan sekali pria ini main tunjuk-tunjuk. Tangan kirinya masih merangkul mesra pria kecil itu.
Kini tangan Zian turun ke bawah dan menggenggam erat tanganku. Diangkatnya ke atas dan dipamerkannya pada Shagam. "Lihat saja. Kami sangat dekat."
Raut wajah Shagam berubah. Rahangnya mengeras. Ia pun melepas rangkulannya pada pria kecil itu. Pria kecil itu menatap sebal pada Shagam.
"Kau masuklah duluan ke rumahku, Dodo. Mamaku sedang tidak ada di rumah. Tunggu saja di ruang tamu. Mengerti?"
Pria kecil yang aku ketahui namanya Dodo hanya merengut kesal. Ia berusaha menolaknya. "Tapi, bos..."
"Do, dengarkan kata-kataku atau kau mau ku..."
Belum selesai Shagam berbicara, Dodo langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam rumah Shagam. Kami semua memandangi Dodo hingga Dodo benar-benar telah masuk ke rumah. Baru kali ini aku mendengar secara jelas pembicaraan Shagam dengan pasangan gay-nya. Bos? Pria kecil itu memanggilnya bos. Ah entahlah. Aku tak bisa berpikir banyak.
Mata Shagam kembali melihat kami tajam. "Kau pasti salah satu teman tidur si jalang ini..." desis Shagam.
Zian hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Shagam. "Ya dan kau tahu itu dengan sangat jelas bukan?"
Aktingmu bagus, Zian! Dan sekarang aku bisa menyaksikan ekspresi Shagam yang begitu geram. Ia mengepalkan tangannya. Pasti ia marah padaku haha.
"Kau memang pelacur Marel! Sudah berapa pria yang kau tiduri?!" teriak Shagam kuat. Matanya memerah marah.
Jleb! Baru kali ini aku mendengar pria yang secara terang-terangan mengatakan diriku adalah pelacur. Aku tahu aku memang pelacur. Aku sering memasukkan benda pribadi milik pria ke dalam tubuhku, tapi bukan berarti hatiku tak sakit ketika Shagam yang merupakan penyebab awal mula semua ini terjadi mengataiku dengan lantang seperti sekarang.
"Aku memang pelacur, Shagam! Dan kau tahu seharusnya penyebab aku begini adalah karena dirimu!" balasku tak kalah kencangnya. Shagam menatapku nanar.
Zian pun menenangkan diriku. Ia mengelus pundakku pelan. "Sudah, Marel. Abaikan saja dia."
"Lepaskan tanganmu dari calon istriku, bangsat!" marah Shagam kuat.
Zian malah semakin menggenggam tanganku erat. "Sudah kuduga kau adalah pria homo yang dimaksud Marel. Aneh. Kau adalah gay, tapi mengapa kau marah ketika aku dekat dengan Marel? Hah?!"
"Aku hanya tidak suka denganmu. Namamu siapa?" tanya Shagam ketus. Jelas aku terhenyak. Apa maksud Shagam?
Zian memandang Shagam aneh. "Buat apa? Ah aku lupa kalau kau adalah gay. Apa kau naksir padaku?"
Shagam tersenyum sinis. "Meskipun rupa dan tubuhmu bagus aku tetap tidak akan terpesona padamu."
Mereka berbicara apa sih? Astaga aku lupa bahwa Zian juga termasuk pria tampan. Badannya jauh lebih berotot dibanding Shagam walaupun memang pesona Shagam jauh lebih kuat bagiku. Aku jadi takut kalau Shagam malah naksir Zian. Jangan sampai.
"Lalu buat apa kau tahu namaku? Aku sangat menyayangkan. Pria yang cukup tampan sepertimu harus menjadi penyuka sesama jenis."
Shagam kembali menatap dalam mataku. Tatapannya penuh tanda tanya. "Siapa namanya, Marel? Aku perlu tahu...." Nada suara Shagam mulai melemah. Ia mengabaikan pertanyaan Zian.
"Buat apa, Gam?" tanyaku datar.
"Dia adalah pria pertama yang berani kau bawa ke depan rumah seperti ini. Aku perlu tahu karena kau adalah calon istriku," katanya pelan.
Aku jadi berpikir. Benar juga. Zian adalah pria pertama yang aku bawa sampai di depan pagar seperti ini. Selama ini aku selalu diantar Usya pulang atau meminta pengawal kakek untuk menjemputku. Aku jadi sedih melihat Shagam. Semenjak kisah perjodohan itu, ia makin intens untuk berbicara langsung di hadapanku.
"Shagam, aku tak mau menikah dengan gay sepertimu..." ujarku lirih. Tanganku masih erat dalam genggaman Zian.
Shagam mengembuskan napasnya kasar. Ia memutar bola matanya. "Aku tahu maka dari itu aku perlu nama pria ini. Kalau kau tidak mau menikah denganku setidaknya aku tahu dengan siapa kau akan bersanding!" pekiknya kuat.
Aku terdiam. Entah kenapa hatiku meringis mendengar perkataannya barusan. Kenapa ketika Shagam berbicara seperti ini, ia terkesan peduli padaku. Sosok Shagam yang sebenarnya adalah gay lenyap dari pikiranku.
"Namaku Zian Cardifal. Puas kau?!" Zian berbicara dengan nada tinggi.
Wajah Shagam langsung berubah syok. Ia sampai mundur beberapa langkah. Matanya membesar dan mulutnya menganga. Shagam kenapa? Hatiku bertanya bingung.
"Cardifal?" tanyanya lagi lirih. Shagam, ada apa denganmu?
Tiba-tiba saja Shagam menutup matanya lemas. Tangannya menekan kepalanya yang kelihatannya tidak pusing. Ia berubah menjadi lesuh. Ia juga menggertakkan giginya kuat. Aku dan Zian bertatapan bingung. Kami tak mengerti dengan Shagam. Shagam pun kembali menegakkan tubuhnya. Langsung ia tarik tanganku satunya dan memisahkan genggamanku dengan Zian. Shagam menarik kasar diriku ke belakangnya.
"Jangan pernah kau berhubungan dengan keluarga Cardifal, Marel!" bentaknya kuat padaku.
"Apa maksudmu bodoh? Jangan bicara sembarangan tentang keluargaku!" kata Zian tak kalah kuatnya. Mata Zian melebar marah.
Ada apa dengan keluarga Cardifal dan Shagam?
"Marel, aku mohon. Kalau kau mau memang menolak perjodohan ini dengan laki-laki selain si brengsek ini, aku akan mundur dengan senang hati. Tapi maaf, kalau kau tetap melanjutkan dengan pria ini. Maka jangan harap aku mundur. Lebih baik aku membunuhmu daripada kau harus menikah dengannya!" kata Shagam kuat tepat di telingaku.
Aku kaget. Bagaimana bisa ia mengancamku seperti itu? Homo ini memang psikopat akut. Dia pikir dia siapa?
Aku pun berusaha melepaskan pegangannya. Percuma saja karena tenagaku tak cukup kuat melawan kekuatan Shagam. Jujur, setelah sekian lama. Aku merasakan kerinduan yang mendalam pada pria ini. Shagam seandainya dirimu tak berubah haluan. Percayalah. Aku pasti akan menjadi wanita paling bahagia.
Zian pun mendekatiku, tapi langkahnya terhenti karena tangan Shagam yang melarang Zian untuk mendekatiku. "Jangan mendekatinya! Lebih baik kau urus keluargamu. Jangan pernah dekati Marel!"
Aku semakin bingung. Kau kenapa Shagam? Ada apa sebenarnya antara dirimu dan Zian?
"Aku tak mengerti maksudmu, bangsat! Aku tak akan melepaskan Marel!"
"Shagam! Maksudmu apa? Kenapa kau begini? Sakit, Shagam!" erangku kuat.
Shagam kembali melihat mataku. Ditatapnya aku nanar. Ia seperti meminta pertolongan. Pandangannya sendu.
"Ia lah penyebab semua ini, Marel..." ujarnya lirih.
"Apa maksudmu?!" pekikku kuat. Aku benci dengan ketidakjelasan. Zian juga sepertinya bingung tak mengerti mengapa Shagam menjadi menyeramkan seperti ini.
Aku dan Zian saling bertatapan. Ia bertanya padaku menggunakan matanya. Aku hanya mengendikkan bahuku tak mengerti. Shagam masih terdiam menunduk lesuh. Aku pun memandang tangannya yang sedang menggenggam erat tanganku. Tak dibiarkannya longgar sedikitpun. Ia seperti menahanku agar jangan pergi.
Tiba-tiba,
"Marel! Itu kamu sayang?" tanya mama yang muncul begitu saja dari balik pagar.
Ya Tuhan! Mama datang di saat yang tidak tepat. Mama pun menghampiri kami bertiga.
"Eh ada Shagam," ujar mama begitu melihat Shagam. Shagam pun merubah posisinya dan kembali tegap hormat melihat mama. Beruntung, genggaman tangan Shagam mengendur sehingga aku buru-buru melepaskan tanganku darinya. Shagam hanya memandangiku kesal, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena sekarang ada mama di antara kami.
"Iya tante," jawab Shagam sopan.
Kini mata mama beralih ke Zian. Matanya heran melihat Zian. Aku yakin mama pasti bertanya-tanya siapa pria ini. Mama pun memandangku.
"Siapa dia?" tanya mama agak ketus.
Zian pun mengulurkan tangannya pada mama. Mama menerimanya dengan ragu-ragu, tapi Zian meraihnya dan langsung menyalam mama penuh hormat.
"Saya Zian pacarnya Marel, tante."
Mama melotot. Aku yakin mama pasti kaget. Ini semua di luar rencana kami dan selalu saja si biang kerok itu adalah si Shagam sialan ini!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro