Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Kedua bola mataku masih menatap mata Shagam. Ia menatapku sangat tajam. Tangannya masih kuat menahan tangan kiriku. Shit! Apa maksud pria ini? Alasan pertamanya membuatku ingin segera meludahinya.

"Dua : Ketika aku menikah denganmu. Popularitasku akan naik dan makin bersinar. Semua orang akan semakin mengenal bahwa Shagam Prasrari adalah psikiater hebat di Indonesia. Tentunya itu akan menguntungkan diriku dan tempat praktikku. Kau sangat berguna buatku, Amarel..."

Plak! Aku menampar pipi di sisi satunya lagi. Gay ini memang sinting. Dia benar-benar memanfaatkanku dan kakek. Tak bisa kuterima. Senyuman sinisnya benar-benar membuatku muak. Fuck!

"Kau brengsek! Cuih! Tak akan kubiarkan kau memanfaatkan keluargaku!"

"Tiga : Hanya kau yang tahu identitas diriku sebenarnya. Kau lah perempuan satu-satunya di dunia ini yang mampu bersanding denganku dan aku yakin kau mampu menutupi kelemahanku."

Aku langsung meludahi wajah Shagam yang berada tepat di depanku. Aku muak sekali melihat wajah dan tingkahnya itu. Dia pikir dia siapa? Berani sekali dia berbicara seperti itu? Dia pikir aku akan mau hidup dengannya? Dasar gay tak tahu diri. Sudahlah gay, matre, biadab. Mati sajalah kau Shagam!

Ia malah menyeringai lebar di hadapanku sambil menghapus salivaku yang mengenai wajahnya. Aku juga merasakan tindihan tangan kanannya mulai longgar. Ini kesempatanku untuk kabur darinya. Aku pun melepaskan pegangannya, lalu kudorong tubuh besarnya itu. Ia mundur beberapa langkah. Aku tersenyum. Dasar pria lemah, tapi....

Hap! Belum sempat aku melangkah jauh, ia berhasil menangkap tanganku. Pegangannya sangat kuat. Tanganku sakit. Kutatap wajah Shagam penuh amarah.

"Maumu apa lagi sih homo?"

"Jangan menolakku..."

"Kau sinting!" pekikku kuat dan kuhempaskan tangannya dengan kasar. Aku pun membuka pintu di balik anak tangga ini.

"Kau akan menyesal Amarel!" teriaknya kuat sekali.

Ah aku tak peduli. Biarkan saja dia bicara sendiri. Benar-benar biadab. Dia secara terang-terangan memberitahu alasan mengapa ia harus menikahiku. Kau berubah Shagam. Sosokmu yang dulu kukenal tak seperti ini.

Tak kusangka, air mata ini kembali turun karena perbuatannya.

***

Aku sekarang sedang duduk di meja bar. Kuteguk terus vodka dengan alkohol paling tinggi di diskotik ini. Kepalaku rasanya mau pecah menghadapi kakek, mama, dan Shagam. Ini semua karena perjodohan tak masuk akal itu. Mereka kira aku tak laku apa sampai dijodohkan seperti itu? Seandainya saja aku memiliki keberanian untuk membeberkan jati diri Shagam yang sebenarnya ke mereka semua. Kira-kira apa yang akan terjadi?

"Hey, tambahkan lagi minumannya!" teriakku ke salah satu bartender. Ia adalah seorang pria. Dengan sigap, ia langsung memberiku sebotol vodka. Lagi-lagi kuteguk vodka ini. Aaaah setidaknya pikiranku sudah agak tenang sekarang. Thanks alcohol.

Tiba-tiba aku jadi teringat Usya. Apakah dia masih asyik bercumbu dengan Om Goldienya itu? Ketika aku menginjakkan kakiku di diskotik ini, aku melihat dari jauh Usya sedang duduk berhadapan di pangkuan Om Goldie dan mereka sedang asyik bercumbu ria. Sebenarnya aku benci dengan Om Goldie. Ia adalah seorang pria yang tak setia. Mengapa dia memilih untuk menikah kalau pada akhirnya dia memilih untuk berselingkuh? Usya juga bodoh. Mau saja dia menjadi wanita kedua. Berulang kali aku mengingatkannya, tapi hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

Aku tahu Om Goldie itu termasuk tampan untuk pria berumur 40 tahun. Badannya saja masih tegap. Tingginya 180, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, ditambah bulu-bulu halus di sekitar dagu dan rahangnya. Satu lagi dia tidak buncit seperti pria yang sudah menikah pada umumnya. Benar-benar mempesona. Pertama kali Usya mengenalkannya padaku saja, sebenarnya aku juga naksir dengannya. Aku merasa dia sangat hot di atas ranjang, tapi kuusir jauh-jauh perasaan itu. Sekali lagi aku tegaskan. Jika aku sudah berkomitmen, maka aku akan setia pada orang itu selamanya.

Dan sekarang aku stres berat. Aku dipaksa berkomitmen pada pria gay. Ya Tuhan. Mau aku lampiaskan kemana nafsuku? Kalau aku harus melakukan seks pada pria lain yang bukan suamiku itu akan melanggar prinsipku. Bangsat memang si Shagam.

Tiba-tiba ada yang menarik gelas kecilku yang berisi vodka. Sialan! Siapa yang menggangguku?

Aku pun memandang ke arah orang itu. Pandanganku kabur. Aku terus membuka-tutup mataku agar bisa melihat dengan jelas siapa orang menyebalkan itu. Kukucek mataku. Perlahan pandanganku semakin jelas.

Ah seorang pria. Dengan badanku yang sudah sangat lemah, aku berusaha untuk menyentuh wajah pria itu. Pria itu anehnya tidak menghindar. Ia membiarkan jariku menyentuh wajahnya. Bibirnya agak tebal membuatku ingin mengulumnya. Hidungnya mancung. Sial! Siapa pria ini? Wajah pria ini masih samar-samar.

"Kau siapa?" tanyaku parau.

"Aku Zian." Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menepisnya. Basi sekali cara berkenalannya.

"Apa maumu? Sini gelasku!" kataku kuat sambil meraih gelas yang ia ambil dariku.

Sekilas aku bisa melihat gigi putihnya. Dia pasti sedang tersenyum. Cih! Basi sekali caranya untuk mendekatiku. Aku tak ada waktu untuk meladeni pria seperti ini. Ia sungguh menggangguku. Sekarang, ia malah mengangkat tinggi tangannya sehingga aku tak bisa meraih gelas vodkaku. Siapa sih orang ini? Dia tidak tahu aku siapa?

"Sini gelasku bodoh!" teriakku kencang. Ia semakin mengangkat tangannya tinggi tak membiarkanku menyentuh gelas itu. Biadab.

"Kau sudah minum terlalu banyak. Sayang sekali untuk kesehatan wanita cantik sepertimu."

Aku tertawa lebar. Omong kosong. "Hahaha bullshit! Tak usah sok perhatian. Pergi kau. Jangan ganggu aku! Aku haus!"

Ia malah semakin menjadi-jadi. Kini ia malah melangkah mundur. Aku tak bisa membiarkannya. Aku pun mencoba bangkit dengan kekuatanku yang seadanya. Aku harus mengambil gelasku kembali, tapi sayang dugaanku salah. Kakiku ternyata tak mampu menopang tubuhku yang sangat lemas ini sehingga aku pun akhirnya terjatuh.

Untung pria ini sangat sigap. Ia berhasil menangkap tubuhku. Tiba-tiba pandanganku berubah menjadi sangat jelas. Wajahnya kini berjarak sangat denganku. Aku merasakan getaran yang lain pada pria ini. Ia benar-benar tampan.

Aku pun mencoba untuk mengembalikan kesadaranku. Dengan badan sempoyongan aku menepis tangannya pelan. Aku pin kini sudah berdiri. Kepalaku rasanya berputar-putar. Aku mencoba untuk memandang pria itu lagi. Kusipitkan mataku untuk melihatnya.

"Kau!" kataku kuat sambil menunjuk wajahnya.

"Kau masih belum sanggup untuk berdiri, cantik. Kau mau kuantarkan pulang?" tawarnya padaku.

Aku mencoba berpikir. Pertanyaannya membuatku jadi teringat akan semua masalah yang menghampiriku akhir-akhir ini. Aku malas pulang ke rumah. Aku ingin melupakan semua ini. Apakah pria ini bisa membantuku? Tapi, aku tidak mengenalnya.

"Aku tidak mengenalmu!" pekikku kuat.

"Tenang, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Kau bisa memberitahukan alamatmu. Kalau kau tidak percaya, aku akan mencarikan taksi buatmu."

Siapa sebenarnya pria ini? Mengapa dia baik padaku? Kenapa wajah itu kembali samar-samar? Aku ingin melihatnya lagi dengan jelas. Aku takut melupakan pria ini. Haruskah aku menghabiskan malam ini dengannya? Tapi, aku tidak mau melakukannya dalam keadaan mabuk. Aku harus merasakan sensasi ketika melakukan hal itu dengan pria ini.

Entah kenapa hati kecilku mengatakan ya kepada pria ini. "Jangan bawa aku pulang. Bawa aku bersamamu," ujarku pelan.

Dan tiba-tiba semua menjadi hitam.

***

Dalam bayanganku, aku merasa dibopong oleh sepasang tangan yang kuat. Aku benar-benar lemas. Kepalaku rasanya berputar-putar. Aku juga merasakan beberapa langkah kaki. Perlahan, kucoba untuk membuka mataku sedikit. Aku melihat bentuk bibir itu. Ah dia masih pria yang sembarangan mengambil gelasku tadi.

Setelah beberapa menit, ia pun melepaskanku dan meletakkanku lembut di atas sebuah ranjang yang empuk. Aku mau bibir itu. Aku tak akan membiarkan bibir itu pergi dengan mudahnya.

Dengan kekuatan seadanya, langsung aku tarik lehernya. Ia pun terjatuh dan bibir kami bertemu. Langsung kulumat bibirnya saat itu juga. Ia yang tadinya tak bereaksi langsung membalasnya kuat. Bibir tebalnya benar-benar membuat birahiku naik. Ia sangat enak. Ia juga sangat lihai. Aku bisa merasakan lidahnya yang memutari isi mulutku bahkan tenggorokanku.

Perlahan gerakan bibirnya mulai menjalar ke tempat lain. Ia terus menyerangku dengan ciumannya yang membabi buta. Terus menjalar mulai dari rahangku hingga kini ke leherku. Ah nikmat sekali.

Aku rasa kami sama-sama berpengalaman. Tanpa suara, ia pun membuka dress miniku. Dan hampir semua proses itu terjadi. Sial! Aku menginginkannya. Sekarang! Aku tak tahan!

Aku pun mengangkat kepalanya. Ia masih menggunakan celana panjangnya. Kami bertatapan sejenak. Sepertinya ia mengerti maksud tatapanku, tapi sesuatu terjadi padanya. Mendadak ia mundur. Hah?! Apa maksudnya?!

Aku memandangnya emosi. Aku rasa kesadaranku sudah naik sekitar 80%.

"kenapa kau mundur?" tanyaku emosi.

"Aku tidak bisa melanjutkan ini," katanya penuh ketakutan.

"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti. Aku pun menutup kakiku lalu kuambil selimut di ranjang ini untuk menutupi tubuhku yang sudah tak berpakaian apapun.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa."

"Kenapaaa?" tanyaku kuat. Fuck! Dia membuatku malu. Aku sekarang terlihat seperti pelacur.

"Aku hanya mau melakukan ini terhadap istriku. Kita belum menikah. Aku tidak bisa. Maafkan aku." Nada bicaranya terdengar gemetaran. Ia langsung terduduk lemas di lantai. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Wait, istri?

Shit! Bagaimana bisa ia mempermalukan aku seperti ini. Dia sudah beristri? Anjrit!

"Kau sampah! Kenapa kau melakukan hal ini padaku padahal kau sudah beristri!!" teriakku kencang.

"Aku belum menikah..." ujarnya lirih. Aku bingung.

"Lantas masalahnya dimana? Kita bisa melakukan hal ini lebih jauh lagi. Ini nanggung. Ayolah..." rengekku manja. Fiks! Aku benar-benar terdengar seperti jalang. Baru kali ini aku memohon pada seorang pria. Pria tak dikenal pula, tapi aku benar-benar tak kuat. Aku butuh dia.

Mendadak pria itu pun bangun. Ia mendekatiku. Ia merangkak ke arahku sehingga sekarang ia berada di atasku. Ia menahan tangannya sehingga ia tidak menimpaku. Ditatapnya mataku dalam. Sekarang aku benar-benar bisa melihat jelas wajahnya. Hidungnya, bibir tebal seksinya, jenggot halus di sekitar pipi dan dagunya. Astaga. Ia benar-benar menyihirku.

Bug!

Dan lagi-lagi semua menjadi hitam.

***

Bangsat! Pria bangsat! Ia memukulku kepalaku kuat sehingga aku menjadi pingsan tadi malam. Ini aku baru saja bangun. Kepalaku sangat sakit. Ia benar-benar tega. Bagaimana bisa ia memukulku hanya karena aku memaksanya untuk melakukan itu? Kenapa ia tidak kabur saja? Ya memang sih kalau dia asal kabur, aku akan berteriak sekencang mungkin. Biarkan satu gedung ini tahu masalah kami.

Aku jadi mengingat kejadian semalam. Ah aku sangat malu! Seorang Amarel Brasta ditolak pria mentah-mentah. Sialan. Bedebah! Ia telah melihat seluruh tubuhku dan ia telah menggerayangi tubuhku, tapi ia tiba-tiba saja meninggalkanku. Aku sangat malu. Aku benar-benar merasa seperti seorang pelacur. Harga diriku turun dan hancur mengingat kejadian semalam.

Aku pun melihat ke sekeliling ruangan ini. Ternyata aku dibawanya ke hotel. Wajah pria itu kembali terlintas di pikiranku. Wajah dan bibirnya itu benar-benar membuatku gila. Ia sangat nikmat. Rasa yang ia berikan padaku membuatku teringat ke masa lampau dengan pria itu. Pria yang pertama kali mengambil kesucianku. Ah sebal!

Tiba-tiba saja aku menjadi sangat haus. Aku pun mengambil segelas air putih yang berada di atas laci samping tempat tidur ini. Di bawahnya aku melihat secarik note. Aku pun membacanya.

'Panggil saja aku Zian. Maafkan aku yang lancang memukulmu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku harap kita bertemu lagi dan maafkan aku juga. Aku membuka isi dompetmu. Aku tidak membawa uang untuk menyewa kamar di hotel ini. Salam kenal Amarel Brasta. Sungguh kau memang benar-benar cantik dan aku tak menyesal menikmati tubuhmu yang indah itu.'

Kuremas note ini geram lalu kulempar sembarangan. Aku benar-benar merasa seperti pelacur. Tak kusangka air mata ini mengalir kembali. Aku berasa dimanfaatkan. Ya Tuhan. Bahkan ia juga mengambil uangku. Kenapa semua lelaki seperti itu? Ia tak ada bedanya dengan Shagam. Ah dua pria itu sangat brengsek!

Aku jadi merindukan Usya. Aku ambil ponselku yang berada di dalam clutch-ku. Aku sedih sekali mengingat hal ini. Teganya. Aku benar-benar merasa terhina. Kakek, cucumu dipermainkan oleh sembarang orang. Aku pun mencari kontak Usya dan kutekan tombol call.

"Yes bitch, what's wrong?" tanya Usya. Ia menjawab telponku dengan sangat cepat.

"Sya, jemput aku..." ucapku lirih. Suaraku serak.

"Ada apa denganmu, Marel? Suaramu seperti orang menangis." Terdengar suara Usya yang sedang panik.

"Huhu ada orang jahat padaku, Sya. Aku sedih sekali...." Pada akhirnya aku terisak-isak menangis begitu mendengar nada bicara Usya yang panik.

"Kau dimana sekarang?" tanya Usya panik.

"Aku di hotel di daerah Thamrin. Cepat jemput aku."

"Saat ini aku sedang bersama Om Goldie, Rel. Tak apakah kalau aku menjemputmu bersamanya?" tanya Usya was-was.

Aku jadi ingat, tadi malam aku tak menghampiri Usya karena ia sedang asyik bercumbu dengan suami orang itu. "Terserah. Aku benar-benar lemas kalau harus pulang sendiri. Aku malu kalau minta dijemput oleh pengawal kakek. Mereka pasti akan memandangku kotor."

"Baiklah. Kau jangan kemana-mana."

"Yes Latusya."

"Apa kau sekarang memakai baju?" tanya Latusya dari seberang.

Aku memandang diriku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tak ada sehelai benangpun menempel di tubuhku. "Tidak, Sya," jawabku jujur.

"Pakai pakaianmu bodoh. Nanti Om Goldie akan ikut denganku. Aku tak mau ia malah melihat tubuh bugilmu."

"Ya jalang."

"Yasudah. Tunggu aku." Telpon pun terputus. Aku pun berusaha bangun dari tempat tidur ini. Badanku masih sangat lemas. Kepalaku juga masih terasa pusing. Efek alkohol tadi malam benar-benar membuat badanku kacau pagi ini.

Aku pun memutuskan untuk mandi sambil menunggu kedatangan Latusya dan kekasihnya.

***

"Hai Marel, bagaimana kabarmu?" tanya Om Goldie begitu melihatku yang sedang duduk di tepi ranjang. Ia dan Usya sekarang sudah berada di dalam kamar hotelku.

Aku kembali memakai dress-ku yang semalam karena aku tidak membawa baju. Aku lupa meminta Usya untuk membawakan aku baju miliknya.

Aku tersenyum kecut. "Baik, om."

"Kau selalu cantik ya Marel," puji Om Goldie.

Usya memandang Om Goldie galak. "Om plis. Kau lupa dengan kehadiranku disini?"

Om Goldie tertawa lalu ditariknya pinggang Usya hingga kini mereka tak berjarak. Om Goldie memang tipe penggoda. "Tidak sayang. Kaulah yang paling cantik di sini."

Usya tersenyum malu mendengar kata-kata Om Goldie. Aku sebenarnya enek melihat adegan ini. Om-om tak setia.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Usya menghampiriku. Om Goldie pun memilih duduk di salah satu kursi yang berada di kamar ini. Aku jadi berpikir, apakah mereka berdua tidak bekerja?

"Sya, apakah kau dan om-mu tidak bekerja?" tanyaku.

Usya dan Om Goldie terkekeh bersamaan. "Ini Sabtu, Marel. Susah memang dengan orang pengangguran," ejek Usya.

Aku memukul lengannya pelan. "Tapi aku kan pengangguran kaya raya."

"Yayaya. Tak ada yang bisa mengalahkan kekayaanmu di antara kita bertiga sekarang, Marel," timpal Om Goldie. Kami pun tertawa serempak mendengarnya.

"Hey, aku bertanya padamu. Apa yang terjadi denganmu?"

Aku pun memberikan note yang sudah kusut itu terhadap Usya untuk dibaca. Ya beberapa menit setelah aku mandi, aku memutuskan untuk mengambilnya kembali. Entah kenapa aku ingin menyimpan note itu.

Wajah Usya menunjukkan reaksi syok sekaligus marah. "Siapa orang ini, Rel?"

Aku mengendikkan bahuku. "Aku tak tahu. Aku tak mengenalnya."

"What?! Dan kau hampir melakukan hal itu?"

"Aku mabuk, Latusya..." kataku lirih sambil meremas-remas rambutku yang basah. Tadi aku memilih untuk keramas karena mungkin kupikir diriku bisa kembali bersih. Ya yang biasa orang sebut. Mandi basah.

"Ini yang sudah berulang kali aku ingatkan. Kau kalau mabuk bisa merugikan dirimu sendiri, Rel. Nafsumu mendadak menjadi meningkat 100%. Dulu untung selalu ada aku, tapi sekarang?"

"Aku harus bagaimana?" tanyaku sedih menatap mata Usya yang terlihat sebal.

Aku lirik Om Goldie sedikit. Ia tak mendengarkan kami dan tetap fokus pada ponselnya. Om Goldie sudah mengerti kami berdua. Ia tak heran bila kami membicarakan hal yang sebenarnya sangat vulgar seperti ini.

"Tak ada yang bisa kau lakukan. Ya kau berharap saja semoga kau tak pernah berjumpa dengannya. Mana dia ambil uangmu lagi. Dia juga tega memukulmu hanya karena dia menolak permintaanmu itu. Bangsat sekali!" kata Usya penuh emosi.

"Tapi nikmat sekali melakukan hal itu dengannya Latusya. Aku tak pernah merasakan hal itu lagi selain dengannya. Kau tahu kan?"

Usya memandangku sedih. "Kau masih merindukan pria yang satu-satunya kau bilang nikmat itu?"

Aku merunduk sedih. "Aku selalu merindukannya, Sya...."

"Sebenarnya siapa pria itu sih, Rel?"

Aku menggeleng. "Aku tak bisa memberitahumu. Maafkan aku Latusya."

Tersungging senyum manis di wajahnya. Ia benar-benar sahabatku. Ia tak pernah memaksaku untuk menceritakan hal pribadiku. Ia selalu menunggu kapanpun aku siap untuk bercerita. Aku bangga mempunyai sahabat seperti Usya. Ketika semua orang di dunia menghujatku, hanya Usya yang setia menemaniku.

"Yasudah. Kau mau kemana sekarang?"

"Aku ingin membeli baju. Aku gerah memakai baju yang sama ini," ujarku sambil menyentuh jijik dress mini ini.

Usya tertawa. Ia pun melingkarkan tangannya pada lenganku lalu ditariknya tanganku. "Yuk, om. Kita belanja. Sahabatku yang satu ini masih memakai baju semalam. Iyuh."

"Mau dibayarinkah Marel?" goda Om Goldie sambil beranjak dari kursinya. Aku pun bangkit menuruti ujukan Usya. Aku hanya tersenyum sinis mendengar rayuan Om Goldie. Om Goldie memang suka sekali menggodaku. Usya juga tidak pernah ambil pusing bila Om Goldie merayuku seperti ini.

"Om, ada aku di sini. Jangan godain Marel terus..." manja Usya. Om Goldie hanya mengelus lembut kepala Usya. Terkadang melihat hubungan mereka, membuatku iri. Mata Om Goldie tak bisa bohong. Ia sangat menyayangi Usya. Begitu juga sebaliknya.

Kami pun mulai melangkah keluar dari kamar ini. Kupandangi sebentar seluruh sudut kamar ini. Kamar kenangan bersama pria asing itu. Pria yang bernama Zian yang aku berharap jangan sampai ada adegan dimana kami harus bertatap muka lagi. Ia lah satu-satunya pria yang menolakku dan membuatku seolah tampak seperti pelacur.

Hatiku sedih. Benar-benar sedih.

Kini aku sudah di luar kamar. Usya terus menuntunku. Aku lihat nomor di kamar ini. 8339. Mungkin angka itulah yang akan sering aku ingat mulai detik ini.

***

Mama 11.23 : Marel sayang, kamu nggak pulang? Ini sudah malam. kenapa sayang? Marah ya sama mama?

Mama 00.30 : Mama sampai sms Usya. Katanya kamu nggak lagi sama Usya. Kamu dimana sayang? Masalah perjodohan nanti kita bicarakan lagi ya. Marel jangan pergi gini. Mama kan sedih.

Mama 07.26 : Anak mama dimana? Mama cemas sayang. Kakek nggak tahu kalau kamu nggak pulang. Nanti pulang ya. Nanti kita bicara. Okey. Jangan lupa makan, honey :*

Tante Lona 10.29 : Marel, maafin tante ya kalau tante punya salah sama Marel. Maafin Shagam juga. Tante serahkan semua sama Marel. Kalau Marel nggak suka sama Shagam tante bisa apa? Meskipun tante senang banget kalau Marel mau nerima Shagam :)

Shagam Prasrari 09.50 : Kau tidak bisa menolak perjodohan ini Amarel dan aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Coba saja kau lari, akan aku potong kakimu!

Aku mengernyit heran begitu membaca sms dari Shagam. Potong kakiku? Coba saja kalau bisa! Dasar psikiater sinting! Aku juga membaca sms dari mama yang sangat mencemaskanku. Ah mama sabar ya ma. Nanti Marel pulang. Sekarang ke Tante Lona. Agak sedih aku membaca sms darinya. Seandainya anak tante normal pasti aku mau tante sama anak tante. Sayang beribu sayang. Anak tante adalah penyuka sesama jenis.

Kini aku sedang di dalam mobil bersama Usya dan Om Goldie. Aku duduk di belakang mereka. Usya mengenakan hot pants dan kaos longgar tanpa lengan berwarna merah. Om Goldie memakai kaos polo hijau dan celana jeans panjang abu-abu. Kami baru saja balik dari mal. Aku akhirnya memilih rok hijau merekah sebatas lutut dan baju putih.

Sekarang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Usya. Ia sejak di mobil selalu asyik bercanda dengan Om Goldie sementara aku sibuk dalam pikiranku yang semakin lama semakin membuatku gila.

"Rel, ayo turun! Om aku balik dulu ya. Salam buat anak om si Cica," ujar Usya centil sambil mencium pipi Om Goldie. Om Goldie hanya tersenyum. Sementara aku hanya menatap mereka bingung. Cica? Cica kan anak Om Goldie. Usya kenal anak Om Goldie?

Aku pun turun. Usya terus melambaikan tangannya mesra pada Om Goldie sampai Om Goldie hilang dari pandangan kami. Setelah mobil Om Goldie berlalu, Usya menggaet tanganku mesra lagi dan membawaku masuk ke rumahnya.

Rumah Usya cukup besar. Bagaimana tidak? Ia adalah anak seorang anggota DPR RI. Uangnya pasti banyak. Hanya saja papa Usya memang rada galak dengan Usya dan cukup pelit. Entah kenapa. Maka dari itu Usya akan stres kalau ia kehilangan pekerjaannya. Untung ada Om Goldie yang selalu menampung kebutuhan Usya bila Usya memiliki masalah keuangan dan ada aku dimana uangku tak akan pernah ada habisnya. Terimakasih kakek. Ucapku dalam hati.

Rumah Usya dominan warna coklat muda. Seluruh gordennya berwarna kuning gading. Usya memiliki dua lantai pada rumahnya. Kini kami pun sedang naik ke atas dan sekarang aku sudah merebahkan tubuhku yang lelah di atas ranjang milik Usya. Usya pun menyusul di sampingku. Kami menatap langit-langit.

"Sya, kau sudah kenal dengan Cica anak Om Goldie?"

"Sudah, Rel..."

"Gimana ceritanya? Apa Cica tidak marah padamu?"

"Kau tahulah anak kelas empat SD. Mana ngerti dia kalau aku adalah selingkuhan papanya."

Aku menolehkan kepalaku menghadapnya. "Kau sampai kapan akan begini?"

"Aku tak tahu, Sya. Aku sangat mencintai Om Goldie, tapi ia sendiri sampai sekarang tidak memberikan kejelasan padaku..." ujar Usya lirih. Intonasi bicaranya rendah tanda sedih.

"Kau tidak berusaha mencari penggantikah?" tanyaku pelan. Aku tahu pertanyaan ini sangat sensitif bagi Usya.

Usya menatapku nanar. "Rel, aku telah mencobanya. Berapa kali aku mencoba untuk jalan dengan pria lain, tapi kau lihat. Tidak ada yang mampu menggantikan Om Goldie di hatiku. Aku saja sedih tiap memikirkan kisah kami."

"Aku banyak kenalan. Kau mau aku cari kenalan dari rekan kakek? Banyak om-om single di perusahaan kakek."

Usya menepuk pundakku pelan sambil terkikik. "Kau sinting, Amarel. Kau doakan saja yang terbaik buatku. Aku juga selalu berdoa pada Tuhan agar aku diberikan pria yang bisa menerimaku apa adanya meskipun aku juga tidak tahu. Apakah Tuhan akan mengabulkan permintaan jalang sepertiku atau tidak haha."

Aku bisa menangkap mata Usya yang berkaca-kaca. Aku tahu apa yang kau rasa Latusya. Kita mempunyai masalah masing-masing yang sama rumitnya. Semoga kita bisa melewati semua ini. Aku yakin Tuhan pun akan selalu menyayangi umatnya. Apapun bentuk umat itu.

***

"Rel, kali ini kau akan aku kenalkan pada seorang pengacara. Duitnya memang tidak sebanyak dirimu, tapi ia tampan. Aku mau saja dengannya sayang saja hatiku sudah kepincut dengan Om Goldie. Satu hal yang perlu kau tahu, ia perjaka tulen. Kali ini aku yakin, kau akan suka dengan pilihanku," jelas Usya panjang lebar.

Kini kami sedang berjalan menuju sebuah kafe. Aku memakai sebuah dress tanpa lengan berwarna hitam dengan kalung mutiara besar sebagai pemanisnya. Aku memakai sepatu hak tinggi merah. Semua yang kupakai adalah pakaian milik Usya. Maklum seharian ini aku bermain di rumahnya.

Sedangkan Usya memakai rok mini hitam dan kemeja merah dengan sepatu hak tinggi yang warnanya sama denganku. Ia bilang bahwa pria ini sudah menunggu kami. Rambutku aku kucir satu sedangkan Usya membiarkannya tergerai.

Kami sudah berada di dalam kafe. Usya terlihat celingak-celinguk. Ia pasti mencari pria itu. Aku terus berdoa semoga ini menjadi salah satu solusi agar aku terhindar dari si homo sinting itu.

"Zian!" teriak kencang Usya sambil melambai ke salah satu pria yang sedang duduk sembari membaca buku.

Aku terdiam beberapa saat. Rasanya nama itu tak asing.

Kami pun melangkah menghampiri pria itu. Dekat dan semakin dekat hingga sekarang aku bisa melihat wajah pria ini dengan jelas. Aku tak bisa melupakan wajah itu. Bibirnya lah yang membuat diriku semakin yakin. Ya. Dia orang yang sama.

"Perkenalkan sahabatku namanya Amarel Brasta. Ia adalah cucu perempuan satu-satunya pendiri Brasta Land," bisik Usya pada pria yang bernama Zian itu.

Sementara kami di sini saling berpandangan tak percaya. Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Ah Usya sepertinya kali ini kau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

"Hey, kenapa kalian melamun. Rel, dia teman yang aku maksud. Dia sudah setuju dengan permintaanmu."

Aku tertegun. Langsung kutatap wajah Usya yang polos.

"Latusya! Dia pria yang sudah membuatku seperti pelacur semalam!"

Usya pun hanya terdiam melongo tak menyangka bahwa kali ini ia salah lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro