2
Begitu sampai kamar, aku langsung membuka parkaku dan kulempar serampangan. High heels kubuka di sembarang tempat. Setelah itu kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Kuremas-remas rambutku geram memikirkan pembicaraanku tadi di rumah sakit dengan kakek dan mama.
Sampah! Benar-benar sampah pemikiran mama dan kakek. Apa coba maksudnya menjodohkanku dengan si homo gila itu? Tidak ada pria lain memangnya yang lebih pantas? Lagipula dia hanyalah seorang psikiater dimana kemampuannya dalam memimpin perusahaan masih perlu dipertanyakan. Itu bukan bidangnya! Ya kalau memang alasan mereka menjodohkanku begitu.
Aku bingung bagaimana cara menolak permintaan mereka. Apa aku harus kabur dari rumah ini? Tapi percuma saja, pengawal kakek ada dimana-mana. Mudah buat mereka dalam menemukanku dan kuakui mata-mata kakek sangat cekatan dalam bekerja. Untung saja kakek mempercayakan seluruh kehidupanku padaku, jadi ia tidak pernah memerintahkan para pengawalnya untuk selalu berada di sekitarku.
Kalau kakek tahu cucu tercintanya adalah pecandu seks, aku yakin kakek pasti marah besar. Ia pasti akan mengurungku di dalam rumah dan uang jajanku akan ditarik hingga limit. Argh!
Ya! Satu hal yang paling aku syukuri dalam hidup ini adalah aku terlahir sebagai satu-satunya cucu perempuan di keluarga Brasta. Bayangkan dari semua lima anak kakek, hanya mamalah yang melahirkan anak perempuan yaitu aku. Amarel Brasta Zakiri. Sehingga, aku tidak perlu bekerja lagi karena kakek selalu memberikanku uang sebanyak yang aku mau. Kakek juga tidak pernah menyuruhku bekerja dan kakek sangat menyayangiku.
Kerjaku sehari-hari hanyalah makan, tidur, main, jalan, dan seks!
Aku pun bangun, lalu kuambil baju tidur di lemari. Aku ganti pakaianku. Kemudian aku melangkah ke meja riasku untuk duduk. Kupandangi wajah yang penuh make up ini. Aku sentuh pipiku mendekati kaca untuk melihat apakah noda-noda hitam atau kerutan sudah mulai tampak? Hmmm rasanya tidak. Wajahku masih kencang dan bersih. Ya bagaimana tidak. Seminggu sekali aku selalu ke salon untuk mempercantik wajah dan tubuhku. Itu harus karena hanya inilah aset yang aku punya agar para pria mau tidur denganku.
Kemudian, aku ambil kapas dan cairan pembersih muka. Dengan lembut kuhapus semua sisa bedak, eyeliner, maskara, dan lipstik yang tertempel di wajahku. Sekarang wajah ini bersih tanpa noda, lalu aku pangku wajah menggunakan kedua telapak tanganku. Aku tatap mataku lebih dalam.
"Ini semua karena kau Shagam. Kau yang membuatku hancur..." gumamku pada diri sendiri.
Seandainya saja si bangsat itu tidak pernah kecelakaan dan lupa ingatan, pasti aku dan dia tidak akan menjadi melenceng seperti sekarang. Ia menjadi homo dan aku menjadi pecandu seks. Sinting. Aku pun bangkit lalu berjalan ke arah jendela. Dari sini aku bisa melihat kamar Shagam dan segala aktivitasnya. Aku jadi ingat sekitar sembilan atau delapan tahun yang lalu aku masih bermain-main di kamar itu.
Tiba-tiba sosok itu muncul dari balik jendela di kamarnya. Shagam baru saja pulang. Aku masih terus berdiri memandangi dirinya dari balik jendela kamarku sambil menyilangkan kedua tanganku. Ia membuka baju yang ia pakai sehingga aku bisa melihat jelas dada bidang si homo itu. Kemudian ia buka celananya. Sial aku jadi melihat barang pribadi miliknya. Apa ia tak sadar bahwa aku memperhatikannya dari sini?
Entah sengaja atau tidak, dengan tubuh telanjang Shagam berjalan ke arah jendelanya. Mata kami bertemu dan kali ini semuanya tampak sangat jelas. Lekukan tubuhnya tampil secara sempurna melalui kedua bola mataku. Bangsat. Apa dia mau main-main denganku?
Mata kami terus bertatapan. Tak ada rasa takut.
Titut! Nada sms-ku berbunyi. Ponsel yang sejak awal aku pegang pun, aku buka. Ada sms dari pria itu.
Shagam Prasrari 23.20 : Bagaimana menurutmu punyaku?
Fuck! Bagaimana bisa ia menanyakan hal konyol seperti ini padaku. Aku memandanginya sinis dari kamarku. Ia tersenyum miring menatapku.
Amarel Brasta 23.22 : Masih kalah besar dengan semua pria yang pernah aku temui. Kau memang lebih pantas menjadi homo.
Shagam Prasrari 23.24 : Aku tidak peduli. Toh punyaku juga bukan buatmu. Bisakah kau berhenti menatap kamarku? Aku risih.
Aku berdecak sebal membaca sms darinya. Aku juga tidak mau menatap kamarnya, tapi hanya itu pemandangan yang ada. Ya sejak ingatannya hilang dan ia yang tiba-tiba menjauh dariku, hanya sms lah yang menjadi sarana komunikasi kami. Ia sangat pelit mengeluarkan suaranya padaku. Entah penyebabnya apa.
Amarel Brasta 23.27 : Hey bodoh! Hanya kamarmu yang terlihat dari kamarku. Lagipula bisakah kau memakai celanamu? Aku juga risih melihat gay telanjang di depan mukaku.
Aku bisa melihat lagi-lagi si homo itu tersenyum meremehkan. Ia kembali menatapku, tapi tiba-tiba ia enyah dari pandanganku. Tak terlihat lagi wajah tampan itu dari balik jendela yang ada di seberang. Aku pun pergi dan kini berjalan ke tempat tidurku. Kembali aku rebahkan tubuh ini. Aku pandangi langit-langit.
Nada sms-ku berbunyi lagi. Sms dari si gay tak tahu malu itu.
Shagam Prasrari 23.32 : Aku sudah memakai celanaku. Terimakasih perhatiannya calon istriku.
Aku tergelak begitu membaca sms darinya. Calon istri? Kepalaku kembali berdenyut-denyut begitu membaca kata calon istri dari si homo gila ini.
Amarel Brasta 23.33 : Apa maksudmu calon istriku? Jangan sinting!
Shagam Prasrari 23.35 : Aku sudah menerima tawaran kakekmu, Marel. Tak ada yang bisa kau perbuat. Aku akan menjadi menantu dari salah satu keluarga terkaya di Indonesia hahaha
Emosiku naik. Benar-benar bermimpi orang ini. Ah Tuhan!
Amarel Brasta 23.37 : Jangan mimpi, Shagam! Tak akan kubiarkan kau menjadi salah satu keluarga kakek!!
Aku yakin si homo itu pasti tertawa-tawa di sana.
Shagam Prasrari 23.40 : Sampai jumpa besok. Ini bukan mimpi, Marel. Sebentar lagi kau akan hidup dengan gay seumur hidupmu. HAHAHA.
Aku kesal. Jadi dia benar-benar menerima tawaran kakek? Mereka semua benar-benar merencanakan hal ini? Benarkah aku akan menjadi istrinya? Astaga. Sepertinya esok aku harus bertemu dengan Usya. Aku benar-benar membutuhkan sarannya. Pikiran Usya biasanya jauh lebih pintar daripada aku. Ia bisa menemukan seribu satu cara yang benar-benar di luar perkiraanku.
Aku pun mematikan ponselku. Aku abaikan saja sms dari si homo saraf itu lalu kupejamkan mataku dan sekarang perlahan semuanya menjadi hitam.
***
"Sya! Aku di kafe sebelah kantormu. Cepat kau keluar sekarang," kataku pada Usya yang berada di seberang telponku.
"Kerjaanku banyak, Rel. Kenapa kau mendadak sekali? Biasanya kau mengabariku pada malam harinya. Ini tiba-tiba saja kau menelponku dan tanpa basa-basi memintaku turun," keluh Usya. Terdengar dari suaranya bahwa ia benar-benar tak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Tapi, aku tidak peduli itu. "Sya, memang pekerjaanmu seberapa banyak? Kalau kau memang harus lembur malam ini, aku akan meminta pengawal kakek menemanimu malam ini. Tolonglah, aku benar-benar butuh saranmu kali ini," pintaku.
Kini aku sedang berada di kafe tepat sebelah kantor Usya. Jus jeruk sudah terletak manis di atas meja. Seperti biasa, semua orang memandangiku aneh. Apakah ada yang salah denganku? Aku hanya mengenakan celana jeans biru panjang dan kaos merah tanpa lengan ditambah high heels berwarna hitam. Apa jangan-jangan ada yang salah dengan mukaku? Aku pun mengambil cermin kecil dari dalam tas hermes-ku. Aku masih cantik seperti biasanya. Kacamata hitamku bertengger manis di atas kepalaku. Rambutku kubiarkan tergerai. Ah mungkin mereka tidak pernah melihat wanita cantik seperti aku.
"Kau enak, Rel. Kau tidak perlu bekerja karena kakekmu yang kaya raya itu. Sedangkan aku, aku perlu uang. Bisa habis aku dimarahi papaku karena pengangguran. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku karena dirimu."
Aku sudah hapal dengan tabiat Usya yang aku akui ia memang ulet dan rajin dalam bekerja. Mungkin hal itu yang membuat Om Goldie juga menjadi tergila-gila padanya. Aku pun mengembuskan napas kesal.
"Sya, bukan itu maksudku tapi, aku benar-benar membutuhkan saranmu kali ini. Ayolah turun. Apa perlu aku telpon Om Goldie dan memintamu untuk menemuiku sekarang? Kau tahu kan aku bisa saja mengancam Om Goldie tentang hubunganmu dengannya pada istrinya," ancamku sambil terkekeh membayangkan hal itu terjadi.
Usya pasti akan langsung menurutiku kali ini. "Kau memang jalang, Rel. Baiklah. Aku akan turun. Tunggu sekitar 10 menit."
"Kau memang sahabatku, Latusya! Baiklah. Aku tunggu ya. Aku lelah dipandangi oleh pria-pria mesum di sini."
"Iya." Usya pun mematikan telpon dariku.
Aku pun kembali duduk manis sambil melihat-lihat keadaan sekitar. Banyak orang berlalu lalang. Aku kembali menyeruput jus jeruk di hadapanku. Sambil menunggu kehadiran Usya, iseng aku buka-buka situs portal berita menggunakan ponselku. Jelas saja, hal yang aku buka adalah berita tentang Brasta Land. Brasta Land adalah nama induk perusahaan yang dimiliki kakek.
Tidak ada berita negatif sejauh yang aku baca tapi ada satu berita yang membuatku naik darah dimana judul utamanya adalah Rencana Pernikahan Mewah ala Amarel Brasta dan Shagam Prasrari!
What?! Apa-apaan ini? Langsung saja aku klik dan aku baca.
Jakarta- Kabar mengejutkan datang dari cucu perempuan satu-satunya pendiri Brasta Land -Amarel Brasta. Dikabarkan ia akan menikah dengan salah satu psikiater ternama- Shagam Prasrari. Tentunya hal ini mengundang perhatian publik dimana ini akan menjadi pernikahan termewah abad ini.
Diperkirakan pernikahan mereka akan diselenggarakan di sebuah hotel ternama bintang lima. Tentunya kita tidak menampik bahwa kekayaan Brasta Land sangat di luar perkiraan kita. Sebuah induk perusahaan yang memiliki cabang dimana-mana. Malnya tersebar rata di seluruh Indonesia. Ditambah kekayaan Shagam Prasrari dan popularitasnya yang tidak bisa ditampik lagi.
Shagam merupakan psikiater yang jam terbangnya sangat tinggi. Ia banyak hadir di stasiun televisi, tempat prakteknya selalu ramai, artis-artis banyak berkonsultasi dengannya. Apalagi dia sangat tampan. Tak dimungkiri pernikahan antara Amarel dan Shagam akan membuat khalayak iri. Selain karena wajah mereka yang cantik dan tampan juga kekayaan kedua orang ini yang nilainya tak terhitung.
Argh! Bangsat! Langsung aku pukul meja ini kuat. Aku benar-benar emosi. Siapa yang berani-beraninya membuat berita tak berasas seperti ini. Mereka saja tidak pernah mewawancaraiku. Sialan. Aku benar-benar murka.
"Hey, kau kenapa?" tanya Usya yang tiba-tiba datang. Ia langsung mengambil kursi dan duduk di depanku. Wajahnya penuh tanda tanya.
"Aku kesal sekali," ujarku geram. Aku tak menatap Usya.
Usya mendesah lelah. "Aku tahu penyebabnya apa."
Aku menatapnya bingung. Usya pun mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan layar ponselnya padaku yang isinya adalah situs yang sama persis dengan apa yang aku buka barusan. Usya memang paling mengerti aku. Ia sigap sekali. Aku langsung merundukkan kepalaku lemas.
"Aku harus bagaimana, Sya? Bagaimana mereka bisa membuat berita hoax seperti ini?"
"Memang sebenarnya bagaimana? Aku tidak tahu karena kau belum memberitahukannya padaku," ucap Usya datar.
Aku pun menatap matanya. "Ini yang mau aku ceritakan padamu hari ini. Makanya aku menyuruhmu turun."
"Yasudah. Cepat kau ceritakan padaku. Aku tidak bisa lama-lama di sini."
Aku pun menceritakan secara rinci kejadian semalam antara aku, kakek, dan mama. Usya menyimaknya dengan sabar. Ia juga sama syok sepertiku begitu mendengar bahwa pria yang akan dijodohkan denganku adalah si Shagam homo sinting itu.
"Kenapa harus dengan Shagam sih?" tanya Usya juga ikut kesal.
"Aku juga tidak tahu. Mereka memaksaku, Sya! Aku bingung. Apalagi Shagam juga sudah menerimanya. Dia memang tidak bisa diajak kerjasama."
"Kau mau hidup dengan Shagam?" tanya Usya pelan.
"Kau gila?!" pekikku kuat. Semua orang langsung memandangi kami aneh.
"Pelankan suaramu bodoh. Aku tidak mau jadi pusat perhatian." Aku pun mengecilkan suaraku.
"Pertanyaanmu itu membuatku kesal. Kau tahu kan dia homo. Kau bayangkan seumur hidup aku harus hidup tanpa ML. Aku bisa gila, Sya. Aku sudah berkomit kalau aku menikah aku akan jadi istri yang baik dan akan melakukan itu pada satu pria saja."
"Ya. Kita harus jadi jalang setia. Meskipun kita nakal, tapi kita harus menjaga nama baik suami kita..." ujar Usya lirih. Aku tahu Usya juga sama bingungnya denganku. Ini seperti mimpi buruk di siang bolong. Hidup tanpa seks. Astaga. Lebih baik aku gila saja.
"Apa aku tuntut saja ya Sya situs itu? Dia menyebarkan berita yang tidak benar tentangku..."
Usya terlihat sibuk berpikir. "Jangan. Kau mau berita ini makin menyeruak? Bila kau menuntutnya aku yakin akan makin heboh. Lagipula ini kan memang tidak sepenuhnya lelucon. Keluarga kalian berdua sudah membicarakannya."
Benar juga apa kata Usya. Ia sibuk membenarkan kacamatanya sambil terus berpikir. Usya memakai kemeja biru dongker dan rok span polkadot biru putih di atas lutut. Rambut pendeknya tertata rapi. Lagi-lagi aku berpikir, kenapa dia mau dengan om-om sih?
"Lalu aku harus bagaimana? Tolong aku, Sya...," rengekku manja.
"Aku ada ide."
Mataku langsung membulat bersemangat. Aku senang sekali ketika Usya mengatakan hal itu. Ia lah sahabat sejati sekaligus malaikat penolongku.
Usya mendekatkan wajahnya padaku. Begitu juga dengan diriku. Mata kami berbinar-binar.
"Kau harus menemukan pria lain. Pria yang mau berpura-pura menjadi kekasihmu."
Aku terdiam beberapa saat. Berpura-pura menjadi kekasih? Haruskah? Itu artinya aku harus berbohong di depan kakek dan mama. Aku tidak berani melakukan hal itu. Aku tidak pernah sama sekali berbohong pada kakek dan mama. Meskipun mereka menyebalkan, tapi hati mereka baik dan mereka sangat perhatian padaku.
Aku memundurkan wajahku dari Usya. "Kau yakin, Sya? Tak ada cara lain?"
Usya menggeleng. "Ini satu-satunya cara. Ingat ya. Ini bukan teman tidur. Ini kekasih pura-pura."
Aku terus berpikir. Bisakah seperti itu? Memang ada yang mau menjadi kekasih pura-puraku tanpa harus tidur denganku?
"Memang ada Sya yang seperti itu? Orang yang bersedia menjadi kekasih bohongan tapi tidak tidur denganku."
"Aku takut kalau kau tidur dengannya, semua akan menjadi runyam. Ingat selama ini kau menghabiskan waktu dengan pria hanya semalam. Setelah itu, kau tidak pernah lagi berhubungan dengan mereka. Bayangkan kalau kau harus tidur dengan kekasih palsumu, kau akan intens dengannya. Aku takut kau malah jatuh cinta dengan pria itu...," jelas Usya panjang lebar.
Jatuh cinta? Sudah lama aku tak mendengar kata-kata itu. Terakhir kali aku merasakan perasaan itu ya hanya pada pria itu. Pria yang mendadak melupakan aku dalam sekejap dan tiba-tiba menjadi asing. Pria yang pelit sekali mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Ah sudahlah. Kalau mengingat dia hanya membuatku dadaku sesak saja.
"Sebenarnya itu yang aku takutkan dari menikah. Komitmen hanya dengan satu pria. Segala sesuatunya harus dilakukan dengan satu pria. Ah aku menggila, Sya," kataku sedih sambil menelungkupkan wajahku dengan kedua tanganku.
Usya pun mengelus pundakku. "Maka dari itu terima ideku..."
Aku langsung menatap Usya. Ia memandangku sedih. "Tapi aku tidak pernah berbohong dengan kakek dan mama, Sya..."
Usya mengendikkan bahunya. "Hanya itu ide yang ada di kepalaku. Aku tak punya cara lain. Memangnya kau punya?" tanyanya balik.
Jelas aku tak punya. Aku kan menceritakan hal ini pada Usya karena aku butuh saran dan idenya. Tak kusangka idenya kali ini mampu membuatku ribuan kali berpikir untuk menerimanya. Haruskah aku berbohong demi menolak perjodohan dengan si homo sialan itu? Ah semua memang gara-gara dia! Seandainya saja dia menolak permintaan konyol kakek.
"Lalu dimana aku bisa menemukan pria yang mau berpura-pura menjadi kekasihku tanpa harus berhubungan badan denganku?"
"Sebentar." Usya meminta waktu sebentar untuk berpikir kembali sambil menyeruput jus jeruk milikku. Ah iya Usya belum memesan minuman.
"Haruskah aku memesankanmu minuman?" tanyaku. Usya menggeleng.
"Amarel..." panggil perempuan ini padaku dengan mata berbinar-binar. Aku rasa ia menemukan sebuah ide lagi.
"Kau tahu dimana menemukannya?" tanyaku lagi.
"Kita harus cari perjaka tulen. Pria yang tidak pernah berhubungan badan sama sekali. Pria bersih!"
Aku terbelalak. "Dimana aku bisa menemukan pria perjaka tulen itu? Pria seperti itu di jaman sekarang sudah jarang, Latusya..."
Usya langsung menepuk pundakku pelan berulang kali untuk menenangkanku. "Tenang. Kau tahu kan aku siapa? Aku adalah Latusya Barbara anak Pak Sayid salah satu anggota DPR RI."
Aku menatapnya bingung. "Iya. Terus kenapa?"
"Aku punya banyak teman, Marel. Link-ku dimana-mana. Aku akan mengabarkanmu segera kalau aku menemukannya," katanya dengan senyum puas yang terukir di wajah cantiknya itu.
Aku menyipitkan mataku sinis. "Aku tidak mau sembarang orang, Sya. Dan jangan mentang-mentang kami tidak akan ML, kau malah memberikan pria impoten padaku."
Usya langsung tertawa terbahak-bahak. Aku pun jadi ikut tertawa. Karena Chandra, kami selalu menjadikan impoten sebagai bahan lelucon kami. Maafkan kelakuan kami wahai para pria impoten di dunia.
"Hahaha kau gila, Marel. Jelas tidak. Aku akan memberikan pria yang sempurna kali ini. Kau tahu seleraku dan pria yang selama ini aku kenalkan padamu. Tidak ada yang jelek. Mereka semua rata-rata pengusaha atau anak orang kaya. Kali ini kau tidak akan menyesal. Aku akan memberikan pria terbaik dari semua pria terbaik yang ada di muka bumi ini!" ujarnya penuh keyakinan.
Aku mengangguk. "Haha iya. Aku percaya padamu. Jangan sampai buat aku kecewa untuk kedua kalinya."
"Lagipula, kau kan tidak akan berhubungan badan dengannya. Jadi, santai saja. Toh tidak akan ketahuan hahaha."
"Tetap tidak!" kataku kuat lalu kami tertawa bersamaan.
Tiba-tiba Usya ditelpon. Aku yakin itu pasti dari orang kantornya. Ia pasti harus masuk kerja lagi. Baiklah aku rasa juga sesi curhat kali ini cukup sampai disini. Setidaknya, kami sudah membicarakan hal ini dan kami juga sudah punya solusi untuk masalah ini. Semoga saja cara ini berhasil. Setelah beberapa menit berbicara di telpon, Usya pun menutup telponnya.
Wajahnya terlihat terburu-buru. Ia malah menghabiskan seluruh jus jerukku. "Rel, aku harus kembali ke kantor. Mereka semua mencariku. Nanti aku kabarkan ya soal pria ini. Kau semangat! Aku akan selalu membantumu!" ujar Usya.
Ia pun kini berlalu dari pandanganku dan sekarang aku sendiri lagi. Aku jadi bingung mau kemana setelah ini. Aku adalah pengangguran kelas kakap. Lebih baik aku pulang sajalah. Aku pun menurunkan kacamata hitam di atas kepala ke mataku, lalu aku melangkah keluar dari kafe ini.
Bug! Bahuku ditabrak sembarang orang. Sakit! Aku pun mencari si penabrak ini.
"Sorry..." ujarnya minta maaf padaku. Enak saja. Sakit tahu.
Aku pun melihat ke penabrak itu. Ah seorang pria. Dimana mata pria ini?!
"Lain kali pakai mata ya mas kalau jalan," tegurku ketus.
"Iya. Sekali lagi maaf. Saya sedang terburu-buru," ujarnya lagi. Aku pun memilih untuk mengabaikannya. Sedikit kulirik pria ini, wah ia tinggi juga tapi sudahlah malas rasanya berdebat dengan orang asing. Tak penting.
Kini aku pun sudah di dalam mobil sedang dalam perjalanan kembali ke rumah.
***
Ternyata pertemuan keluargaku dan keluarga Shagam benar-benar terjadi. Aku tidak bisa menolaknya. Aku benar-benar dipaksa oleh seisi rumah. Bahkan seluruh pembantu rumah ini benar-benar mengerahkan tenaganya untuk mendandaniku dan mempersiapkan baju apa yang akan kupakai. Para pengawal juga menjagaku di depan pintu agar aku tak bisa kabur. Sinting semua. Desisku dalam hati.
Kini aku sudah berada di rumah sakit. Lucu sekali bukan. Kenapa tidak menunggu kakek hingga sembuh saja baru diadakan pertemuan ini? Aku terus merutuk-rutuk selama perjalanan tadi. Para pengawal hanya diam tidak memberikan tanggapan apapun. Ya mana berani mereka menanggapi, pasti sumpah serapah akan keluar dari mulutku.
Di rumah sakit cukup ramai. Ada mama dengan terusan elegan selutut berlengan berwarna biru, kakek yang sedang terbujur lemas di atas ranjang rumah sakit, Tante Lona yang cantik sekali dibalut dengan dress semata kaki berwarna hijau, dan Shagam yang memakai jas hitam dan celana bahan panjang berwarna hitam.
Wajah mereka semua langsung terlihat riang begitu melihat kehadiranku.
"Ya ampun. Amarel kamu cantik sekali..." puji Tante Lona. Aku hanya tersenyum sopan sambil bercipika-cipiki dengannya. Ya saat ini aku memakai dress mini berwarna peach tanpa lengan bertali tipis sebagai penahan pada bagian pundaknya
"Makasih tante. Tante juga selalu cantik," balasku memuji dirinya lalu aku hampiri mama yang sedang berada di samping kakek. Langsung aku lingkarkan tanganku pada lengannya manja.
"Baiklah, sepertinya kita akan mulai saja," ucap kakek.
Aku jadi ingat tujuanku ke sini karena adanya pertemuan memuakkan ini. Aku pun melepaskan peganganku pada mama. Mukaku mengerucut. Aku ingin menunjukkan kepada mereka secara jelas bahwa aku menolak keras perjodohan ini.
"Kamu sudah setuju kan Shagam untuk menikahi cucu kakek?" tanya kakek pada Shagam yang kini telah berdiri manis di samping Tante Lona dan kakek. Ia berada tepat di depanku sekarang. Wajahnya datar sekali. Dasar Gay penipu.
Shagam menganggukkan kepalanya. "Iya, kek. Saya siap. Saya kan juga sudah lama mengenal Amarel." Aku mau muntah mendengarkan kata-katanya barusan yang penuh akting. Licik sekali si homo ini.
Kakek terlihat puas mendengar jawaban Shagam. "Sekarang Marel bagaimana? Setuju?" tanya kakek padaku.
Ini kesempatanku. "Nggak kek. Marel nggak setuju. Marel nggak bisa menikah dengan Shagam."
Mereka semua langsung menatapku bingung sementara Shagam menatapku murka. "Kamu bisa kasih alasannya sayang? Tante lihat kalian baik-baik saja selama ini."
Ingin sekali aku memberitahukan ke Tante Lona bahwa anaknya tidak normal. Anaknya adalah penyuka sesama jenis, tapi itu semua aku urungkan karena takut melihat raut wajah Tante Lona yang syok bila mengetahui kebenaran itu. Shagam terus menatapku tajam. Ia memberikan kode seolah-olah bila aku membeberkan semuanya maka aku akan habis dengannya.
"Tante, menikah itu berat. Menikah itu mencari teman hidup. Dua pasangan itu harus saling mencintai agar rumah tangganya bahagia. Marel sudah komit kalau Marel menikah harus seperti itu. Nah Marel dan Shagam tidak saling..."
Kalimatku dipotong oleh si biadab ini. "Saya mencintai Marel, kek."
Fuck! Si gay ini penuh tipu muslihat. Lihat, dia berbicara tanpa ragu di hadapan kami semua bahwa dia mencintaiku. Bullshit! Sebenarnya apa tujuannya padaku? Dia adalah gay! Dia tidak mungkin mau hidup bersamaku dan aku ogah untuk harus membagi hidupku dengannya. Bangsat!
"Nggak, kek. Kami tidak saling mencintai dan memang tidak pernah saling mencintai. Selama ini Marel dan Shagam hanya berteman. Kami memang saling menyayangi tapi bukan berarti kami harus hidup bersama," balasku. Aku tersenyum miring menatap wajahnya yang memerah karena marah padaku.
"Kek, banyak orang saling mencintai tetapi ketika menikah mereka malah bercerai. Saling mencintai bukan jaminan. Saling mengenal sejak lama sudah bisa menjadi modal untuk hidup berkeluarga."
Aku bingung kenapa pria ini malah ngotot sekali untuk menikah denganku. Dia gay. Catat. Dia homo!
"Kek, Shagam tidak kenal Marel. Kakek tidak ingat dia kehilangan ingatan masa kecilnya. Dia hanya mengingat masa kami sembilan tahun belakangan saja. Bagaimana dia bisa mengatakan dia mengenal Marel dengan sangat jelas?"
Mata mereka semua membesar kaget. Pasti mereka tak menyangka aku akan mengeluarkan kata-kata ini, tapi memang inilah yang terjadi sebenarnya.
"Sayang, tenang..." ujar mama menenangkanku. Aku dan Shagam masih saling bertatapan. Aku yakin kali ini dia kalah.
Ruangan tetiba hening. Kakek, mama, dan Tante Lona terlihat larut dalam pikiran masing-masing. Mereka mau mencari alasan apalagi untuk menjodohkanku dengan si gay ini? Aku melihat raut wajah Tante Lona yang kecewa. Benar tante. Seandainya saja tidak ada kecelakaan itu atau adegan hilangnya ingatan Shagam mungkin aku akan bersama Shagam dan aku akan dengan senang hati menerima perjodohan ini.
"Maaf, Marel. Kakek hanya percaya pada Shagam...," ucap lirih kakek.
Aku kaget dan Shagam menyeringai bak iblis. "Kakek!" pekikku kuat. Aku ingin menangis saat ini juga. Kenapa sih mereka memaksa sekali?
"Sayang, ini semua demi kakek dan keluarga kita," timpal mama lembut.
Aku menatap mama sangar. "Kalau tujuan kakek sama mama mau Marel menikah biarkan Marel yang menentukan, tapi Marel mohon jangan Shagam orangnya."
"Marel, apa Shagam mempunyai kesalahan pada kamu?" tanya lembut Tante Lona.
Astaga Tante Lona. Maafkan aku. Bukan itu maksudku. Anakmu homo tante. Aku tidak bisa menghabiskan sisa umurku dengan pria gay tanpa hasrat seperti dia. Aku butuh seks tante. Aku butuh.
"Maaf tante..."
Aku pun langsung meninggalkan mereka semua. Aku tidak peduli pada mereka. Aku muak dan kesal. Shagam biadab. Bangsat! Homo sinting! Aku pun terus berjalan secepat mungkin. Aku harus mencari Usya. Aku harus meminta dia untuk cepat menemukan pria yang bersedia menjadi kekasihku. Aku tidak mau menikah dengan Shagam!
Tapi, hap!
Shagam menangkap tanganku. Aku terdiam beberapa detik, tapi ia malah menarikku paksa sehingga aku hampir saja terjatuh dibuatnya. Mau apa lagi pria ini? Ia terus melangkah cepat dan aku mau tidak mau mengikuti langkah kakinya.
Ia ternyata membawaku masuk ke dalam anak tangga rumah sakit. Ia menghempaskan aku begitu saja sehingga tubuhku terlempar otomatis ke dinding. Aku bisa merasakan tulang belikatku yang sakit menubruk dinding. Fuck.
"Apa maumu gay?" tanyaku keras.
Ia berjalan mondar-mandir sambil meremas rambutnya geram. Shagam tampak benar-benar emosi. Tiba-tiba ia mendekatiku kembali. Dipegangnya tangan kiriku lalu dia tindih menggunakan tangan kanannya. Jarak kami sangat dekat. Mata kami bertemu. Aku menelan ludah tak percaya bisa melihat Shagam kembali sedekat ini.
"Kau harus menikah denganku."
"Kenapa? Bukankah kau penyuka sesama jenis? Aku tidak bisa!" teriakku kuat.
"Karena satu : aku harus menjadi suami dari cucu pengusaha terkaya di Indonesia. Aku tidak bisa menolak kesempatan emas itu dan kau sudah dengar alasan itu semalam..."
Plak! Aku menamparnya. Matre. Mata duitan.
"Dua..."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro