Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Akhirnya kami tiba juga di rumah Usya. Sepanjang perjalanan Usya terus mengeluh padaku. Ia sangat takut pada papanya karena papanya hanya mengerahkan tenaga para pengawal jika Usya melakukan kesalahan besar. Usya juga sesekali menitikkan air mata saking paniknya. Dan aku hanya terus berusaha untuk menenangkannya.

Rumah Usya cukup besar. Maklum papanya  berkancah dalam dunia politik sudah sangat lama. Aku tahu karena aku sangat dekat dengan Usya. Kami kan berteman sejak SMA. Bahkan asal kalian tahu kami juga satu kampus. Aku belum pernah bilang ya kalau aku adalah tamatan Monash University dengan gelar Phd Business and Business Specialist. Sedangkan Usya lulusan dari Monash University dengan gelar Phd Business Administration. Kami hebat kan pada dasarnya. Aku juga cumlaude loh! Kurang hebat apa juga aku?

Kembali ke rumah Usya. Saat ini kami sedang berjalan beriringan menuju pintu utama rumah Usya. Usya tampak gelisah. Peluh selalu keluar dari pelipis matanya.

"Sya, tenang. Nanti aku akan membantumu. Percaya sama aku."

"Rel, kau pasti tahu kan seberapa seramnya papaku kalau marah. Aku takut hiks."

Aku pun mengusap punggung Usya untuk menenangkannya. Ya beberapa kali aku sering menyaksikan Usya dimarahi oleh Om Sayid dan itu mampu membuat Usya menangis terisak-isak. Cara Om Sayid memarahi sebenarnya bukan marah-marah kasar, tapi kata-katanya yang mampu menyentuh ulu hati terdalam. Kadang saja aku bisa menangis mendengarkan Usya dimarahi.

Kini kami sudah memasuki ruang tamu. Dari sini kami bisa melihat punggung Om Sayid yang sedang membaca koran. Pengawal yang tadi menjemput kami pun sudah di depan Om Sayid dan seperti memberitahu bahwa Usya telah tiba. Aku dan Usya pun dipersilakan untuk duduk di depan Om Sayid yang masih sibuk membaca koran.

Usya menatapku takut. Tenang, Sya. Aku juga takut. Kuperhatikan Om Sayid masih sibuk dengan korannya tanpa menggubris kehadiran kami di sini.

"Pa...," panggil lirih Usya.

"Kalian gimana liburan di Jepangnya? Seru?" tanya Om Sayid dari balik korannya.

Ah akhirnya Om Sayid mengeluarkan suara juga. Aku sedikit lega. "Seru kok, om," jawabku antusias. Wait, Om Sayid tahu kami pergi ke Jepang? Usya kan tak memberitahu perihal kepergian kami. Huft! Ini mah kabur gagal namanya.

Om Sayid pun lantas melipat koran tersebut lalu diletakkannya pada sisi kosong sofa di sebelahnya. Om Sayid itu orangnya pendek dan perutnya lumayan buncit. Dia memakai kacamata dan mempunyai kumis yang membuat rupanya terlihat agak menakutkan. Om Sayid kini memandangi kami datar.

"Kamu bisa hidup tanpa kartu kredit kamu?" tanya Om Sayid.

Loh! Om Sayid tahu bahwa kartu kredit-ku diblokir? Kakek ember bocor ya. Pasti Om Sayid tahu dari kakek. Aku juga lupa bahwa Papa Usya dan Om Sayid berteman baik. Untung saja Usya tidak sepertiku. Pasti kalau ia mengharapkan uang dari Om Sayid, nasib Usya akan sama sepertiku. Om Sayid dan kakek pasti sudah bekerja sama. Menyebalkan.

"Om Sayid tahu kalau kartu kredit saya diblokir?" tanyaku polos.

Om Sayid tersenyum miring. Ia pun mengambil secangkir kopi di hadapannya lalu diseruputnya. "Kakekmu juga menanyakan soal kepergianmu pada om, Amarel. Om juga agak kaget awalnya. Tapi om sadar. Anak om ternyata nggak pulang-pulang juga. Jadi om berpikir bahwa kamu pasti pergi dengan Latusya."

Usya terus merundukkan kepalanya tak berani menatap Om Sayid. "Hehe iya, om."

"Dan kamu Latusya. Apa yang kamu lakukan selama ini? Papa nggak menyangka kamu menjalin hubungan dengan istri orang lain. Ya Tuhan Latusya. Mau taruh di mana muka papa? Memangnya didikan papa kurang selama ini?"

Nada bicara Om Sayid mulai penuh penekanan ketika berbicara pada Usya. Ya Tuhan. Entah kenapa aku jadi ikut degdegan mendengar pembicaraan antara bapak dan anak ini. Usya pun memberanikan dirinya menatap mata Om Sayid. Wajahnya terlihat terkejut. Aku yakin ia pasti tak menyangka juga bahwa Om Sayid mengetahui hubungannya dengan Om Goldie.

"Papa tahu dari mana?" tanya Usya dengan suara bergetar.

"Mungkin ini kesalahan papa juga karena papa sibuk, tapi seharusnya kamu mampu menjaga diri dong, Latusya. Ini sebabnya papa menyuruh kamu untuk cepat menikah. Papa nggak nyangka kamu malah menjalin hubungan dengan suami orang. Benar-benar buat malu."

Tatapan mata Om Sayid benar-benar menakutkan. Aku pun jadi ikut merunduk karena mendadak keberanianku menciut. Aku memang sudah lama tidak merasakan kehadiran seorang papa dan Om Sayid ini sebenarnya cukup bisa menjadi figur yang diandalkan. Meskipun ia galak, tapi aku tahu dengan sangat betapa Om Sayid menyayangi Usya.

"Maaf pa...," Ada sedikit isakan di nada bicara Usya. Entah kenapa air mataku juga ikut menetes.

"Papa itu sayang sama Usya, tapi Usya begini sama papa dan mama. Untung aja kemarin ketika istri bosmu itu datang ke rumah, mamamu sedang di rumah oma kamu. Mamamu juga sampai hari ini masih di rumah oma. Coba kamu bayangkan, bagaimana perasaan mama kamu melihat anaknya malah pacaran dengan suami orang."

Astaga! Wanita berlemak itu berani mendatangi rumah Usya? Memang gila wanita itu. Sudahlah dia kemarin menyewa para preman berwajah binatang itu. Dan sekarang dia malah sampai berbuat sejauh itu? Sinting! Aku dan Usya langsung saling bertatapan. Aku bisa melihat mata Usya yang sedikit bengkak akibat menangis. Ia terlihat syok.

"Hah istri Om Goldie ke sini pa?" tanya Usya kaget.

"Oh namanya Goldie toh. Iya dia kemarin ke sini marah-marah sambil nangis. Papa yang barusan pulang kerja jelas bingung. Dia gedor-gedor rumah sambil teriak-teriak manggil nama kamu. Untung aja papa langsung nyuruh dia masuk. Kalau nggak apa kata tetangga? Terus wanita itu jelasin semuanya. Dan papa makin syok ternyata kamu selama ini juga sering bolak-balik kantor polisi ya. Astaga Latusya!"

Aku hanya bisa diam mendengar perkataan Om Sayid. Ya semua yang dikatakan Om Sayid tentang Usya benar. Selama ini akulah yang menyogok para polisi tersebut agar menyelesaikan semua permasalahan ini secara damai. Dan mungkin kemarin adalah batas kesabaran istri Om Goldie dalam menghadapi Usya sehingga ia mengambil cara ekstrim yaitu mendatangi Usya sampai ke rumahnya.

"Usya nyaman pa sama Om Goldie," ucap Usya dengan isakan tangisnya yang terdengar jelas.

"Apa? Kamu berani bilang gitu di depan papa? Amarel, kamu kan temannya. Memang kamu nggak pernah bilangin Usya untuk menjauh dari bosnya itu? Papa minta kamu keluar dari perusahaan itu sekarang!" Nada Om Sayid sudah naik beberapa oktaf.

Usya pun bangkit. Raut mukanya terlihat emosi. "Papa apa-apaan sih? Hak Usya pa mau kerja di mana. Papa nggak bisa nyuruh-nyuruh Usya begitu!"

Aku dan Om Sayid kaget melihat sikap Usya yang seperti ini. Ah Usya ternyata Om Goldie memang benar-benar sudah meracuni otakmu.

"Kamu tahu kan pekerjaan papa apa? Papa nggak mau nama baik papa hancur hanya karena kamu, Latusya. Jangan sampai hal ini terdengar oleh media. Pokoknya papa mau kamu keluar dari perusahaan itu."

Usya tetap bersikeras menolak permintaan Om Sayid. Aku hanya diam tidak berani berkata apa-apa. Entah kenapa aku sedikit bersyukur Usya diperlakukan seperti ini karena memang Om Goldie tidaklah pantas buat Usya. Usya bisa mendapatkan pria yang jauh berkali-kali lipat lebih baik dari pada si om-om pengecut itu dan berstatus lajang. Ingat lajang!

"Pa, cari pekerjaan nggak gampang ya. Papa kira Usya gampang cari kerja di Jakarta? Susah, pa. Papa aja nggak pernah ngasih Usya uang. Dari mana Usya bisa hidup pa kalau Usya nggak kerja?"

Om Goldie pun kembali duduk. Sepertinya ia sedikit tertohok dengan kata-kata Usya barusan. Usya pun kini sudah mengusap air matanya. Aku jadi bingung mesti membela siapa. Om Sayid emang pelit sih.

"Papa bukannya pelit...."

"Terus apa?" Usya memotong kalimat Om Sayid.

Om Sayid pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yaudah, Usya mau berapa? Pokoknya papa mau Usya berhenti dari perusahaan itu. Soal uang tenang saja. Nanti akan papa pikirkan. Papa bisa mencarikan pekerjaan yang layak buat kamu. Asal jangan berurusan lagi dengan pria beristri saja. Dengar?"

"Tapi Usya sayang pa sama Om Goldie...."

"Usya! Coba kamu bayangkan papa selingkuh sama perempuan seumuran kamu dan menduakan mama. Kamu mau?!" Nada bicara Om Sayid kembali tinggi. Ya Tuhan aku bisa mendengar kekecewaan yang mendalam dari nada bicara Papa Usya.

Usya pun menitikkan air matanya lagi. Ya aku saja yang membayangkan hal itu tidak sanggup. Di mana-mana namanya yang menjadi kedua pasti tidaklah enak. Apalagi kalau sampai merugikan orang lain. Usya kumohon dengarkanlah perkataan papamu saat ini.

"Yasudah. Papa akan kasih pilihan. Kalau kamu masih bertahan untuk bekerja di sana, maka kamu harus menikah. Umur kamu sudah 28 tahun! Marel saja sebentar lagi menikah. Kamu nggak mau menikah juga?"

Loh. Kok namaku dibawa-bawa sih? "Om jangan gitu...."

Om Sayid malah tidak mengacuhkanku. "Pilihan kedua, papa nggak akan menuntut kamu menikah lagi. Tapi kamu jangan pernah menginjakkan kaki kamu lagi di perusahaan si Goldie itu. Papa nggak mau ada masalah lagi. Dengar Usya?!" bentak Om Sayid dengan nada yang keras.

"Gimana kalau Usya nggak setuju sama semuanya?"

"Haha kamu akan papa kurung. Jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini."

"Papa!"

"Kamu mau melawan? Mau ngadu sama mama kamu? Silakan. Tidak akan ada yang bisa menentang perintah papa di rumah ini. Kamu anak papa. Mau bilang papa pelit? Kali ini papa akan mengeluarkan uang demi menjaga kamu. Ngerti kamu?!"

Tangisan Usya pun tak sanggup ditahannya lagi. Ia menangis sesegukan. Aku pun menepuk pelan pundak Usya untuk menenangkannya. Aku tak tahu mesti bagaimana. Kejadian seperti ini memang sering terjadi padaku. Di mana aku menyaksikan dengan kedua mataku perdebatan antara Usya dan papanya.

"Dan kamu Marel. Pulang sana. Kakekmu mencarimu dan pengawal om sudah menghubungi kakekmu untuk menjemputmu. Jangan nakal. Kalian berdua itu memang benar-benar ya. Untung saja kakekmu baik banget sama om. Jangan buat kami berdua pusing lagi dengan kelakuan kalian berdua. Kami sudah tua. Kalian juga sudah tua. Bertaubatlah!"

Aku terkejut. Sekarang secara lantang mereka mengikrarkan bahwa mereka bekerja sama. Bagus! Dan apa barusan? Papa Usya baru saja menyuruh pengawalnya untuk menjemputku? Tidak! Aku kan masih mau kabur! Di saat aku mau menolak perintah Om Sayid, Om Sayid malah melengos begitu saja dari hadapan kami. Hih!

Usya yang menangis di sebelahku pun terus menangis tanpa henti. Pasti hatinya sedang sakit karena diberikan pilihan yang dua-duanya tidak mengenakkan. Oh Usya kenapa lagi-lagi kita bernasib seperti ini sih?

"Sudah, Sya. Aku tahu apa yang kau rasa. Tenang masih ada aku. Kau jangan menangis terus. Lagipula ada benarnya juga apa kata papamu. Kau harus memikirkan perasaan wanita berlemak itu juga."

"Rel, aku juga ingin melakukan hal itu. Tapi kau dengar tadi kan kalau aku harus keluar dari perusahaan itu. Aku bingung cari kerja di mana. Aku harus pengangguran gitu?"

"Tapi kan tadi papamu bilang akan memberikanmu uang. Tenang saja."

Usya pun menatapku kesal. "Rel, aku tidak bisa seperti itu. Aku bukan tipe orang yang bisa bersantai-santai dan tidak mempunyai kesibukan."

Aku pun merengutkan mukaku. "Kau menyindirku?"

Usya pun mengusap air matanya. "Bukan itu maksudku Amarel. Kau pasti mengertilah."

"Iya iya. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang, Sya?"

Usya mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Tak tahu, Rel. Aku masih bingung. Lalu kau sendiri bagaimana? Ternyata kakekmu mencarimu, Marel haha. Aku sudah menebak. Tak mungkin kakekmu membiarkanmu seperti itu. Kau mau kabur ke mana lagi?" Wajah Usya sudah sedikit ceria sekarang.

"Aku bingung, Sya. Apa aku hubungi Zian saja ya? Dia pasti bisa membantuku untuk kabur. Cuma dia satu-satunya harapanku."

"Boleh saja. Zian juga baik."

Tiba-tiba saja. "Nona Amarel. Sudah ada yang menjemput nona."

Aku dan Usya sama-sama terlonjak kaget. Ya ampun. Sepertinya rencanaku untuk kabur tidak akan bisa terwujud. Aku pun menatap Usya bingung. Akan gawat urusannya jika Zian harus bertemu dengan pengawal kakek. Lebih baik aku mengurungkan niatku untuk menelpon Zian. Aku yakin si penjemput itu adalah para bodyguard kakek. Huh!

"Sya, aku tidak mau menikah dengan Shagam. Apa yang harus kulakukan sekarang? Sekarang saja pengawal kakek sudah berada di depan. Aku tidak bisa kabur lagi...."

Usya pun juga terlihat bingung. "Nona, anda diminta untuk segera keluar segera." Pengawal Papa Usya lagi-lagi membuatku makin panik.

Aku pun menghela napas lesuh. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa kabur lagi. Apakah memang jalan takdirku adalah bersama Shagam? Oh tidak Tuhan!

"Rel, sepertinya tidak ada lagi yang bisa kau perbuat. Kakekmu dan papaku sudah bekerja sama dengan sangat baik. Aku yakin, kalau kau kabur sekarang pasti pengawal papa dan kakekmu akan mengejarmu. Dan itu tidak mudah."

"Lalu aku harus menyerah sekarang?" Aku pun terduduk lemas di ruang tamu rumah Usya.

Benar-benar kabur tergagal sepanjang masa. Mulai dari kejadian di hotel yang sangat amat memalukan. Lalu nasib kartu kreditku yang diblokir. Dan sekarang aku dijemput oleh pengawal kakek di rumah sahabatku. Bodohnya lagi aku lupa bahwa Papa Usya dan kakek berteman akrab.

Huft! Kenapa semuanya mesti seperti ini sih? Kenapa nasibku sial terus? Apes apes.

Usya pun juga terduduk lemas di sampingku. "Mau bagaimana lagi, Rel? Kau tidak akan pernah bisa membodohi kakekmu. Dia benar-benar cerdas."

Pengawal Papa Usya kembali menghampiri kami. "Nona Amarel sudah ditunggu di luar. Terimakasih."

Aku pun langsung menggertakkan gigiku kesal menatap pengawal itu sehingga membuat pengawal itu pergi meninggalkan kami. Kemudian aku bangkit lalu meraih koperku. Aku menatap Usya sebal.

"Sya, doakan semua baik-baik saja ya. Jujur, baru kali ini aku merasa seperti bukan cucu kakek. Hanya karena Shagam mereka tega berbuat seperti ini padaku."

Usya pun bangun dan mendekapku. "Ya ampun, Amarel. Jangan berpikiran buruk seperti itu. Yasudah ayo aku antar ke depan. Kau pikir kau saja yang merasa seperti itu? Aku juga kadang begitu. Tapi aku bisa apa? Aku yakin kisah kita pada akhirnya akan bahagia kok."

Air mataku lagi-lagi menetes. "Benar, Sya. Yasudah. Aku pulang ya. Kau tidak usah mengantarku. Aku bisa sendiri. Lebih baik kau tenangkan dirimu. Kau pasti juga masih syok dengan perlakuan papamu tadi. Ya kan?"

Usya pun melepaskan pelukannya. "Ah kau baik sekali. Yasudah kau hati-hati ya."

Aku mengangguk. "Iya. Aku pulang ya. Bilang sama papamu juga. Bye...."

Aku pun mulai melangkahkan kakiku sambil menggeret koper merah mudaku menuju luar rumah Usya. Usya pun dengan gontai berjalan ke kamarnya sambil menggeret koper kuningnya. Kami berdua benar-benar apes.

Kini aku sudah di luar rumah Usya, tapi aneh kenapa tidak ada pengawal kakek? Tadi kata pengawal Om Sayid ada yang menjemputku. Yang kulihat hanyalah sebuah mobil Mazda silver yang terparkir manis. Aku tidak asing dengan mobil itu. Itu adalah mobil Shagam!

Astaga! Jadi Shagam yang menjemputku? Bagaimana bisa?

Aku luar biasa panik. Ya Tuhan. Aku harus bersembunyi. Aku tidak boleh ketahuan Shagam sedang berada di rumah Usya. Ah mama. Kenapa mesti Shagam sih? Aku celingak celinguk ke kiri dan kanan berusaha untuk mencari tempat persembunyian. Aku bisa melihat kepala Shagam dari belakang. Selagi Shagam masih di dalam mobil, aku harus buru-buru bersembunyi.

Ah ada tempat sampah besar di depan rumah Usya. Tapi masa aku di belakang tempat bau seperti itu sih? Ah tak apalah. Daripada aku harus semobil dengan Shagam, lebih baik sekali ini saja aku mau berdekatan dengan sampah.

Aku pun menekan gagang koperku ke dalam. Lalu aku angkat perlahan koper tersebut. Aku pun mulai menjinjit pelan ke tempat sampah. Nah kini aku sudah berada di belakang tempat sampah. Ya Tuhan bau sekali. Masa cewek cantik dan kelas atas seperti aku harus berada di tempat jelek seperti ini sih? Apa kata dunia nanti? Aku pun menutup hidungku rapat-rapat.

Seandainya ada Zian, pasti ia akan menolongku dan tidak membiarkan Shagam menjemputku kali ini. Duh Zian toloooong....

"Heh!" Tiba-tiba saja wajah Shagam muncul di depanku.

"Huaaa!" Aku pun langsung terjatuh sehingga sekarang pantatku menempel di tanah. Aaaa menjijikkan.

Si gay itu malah menyeringai lebar di hadapanku. Ia jongkok dengan manisnya tanpa niat untuk menolongku. "Kenapa sembunyi?"

Aku pun bangkit sambil menepuk-nepuk sweaterku yang kotor akibat terjatuh barusan. Shagam mengikutiku. Ia menatapku datar. "Aku malas melihatmu," jawabku sambil mengerucutkan bibirku.

"Aku itu calon suamimu loh Amarel. Jangan malas begitu. Kalau kita sudah tinggal serumah bagaimana? Kau mau kabur lagi gitu?" tanyanya santai.

Pria ini benar-benar tak tahu diri ya. Bagaimana ia bisa dengan santainya berkata seperti ini padaku? Ia lupa penyebab aku kabur? Wait, dia tahu kalau aku kabur berarti?

"Kau tahu kalau aku kabur?" tanyaku ketus.

"Eh sori bukan kabur. Maksudku liburan. Kau mau liburan diam-diam seperti kemarin? Jangan seperti itu. Kau membuatku cemas tahu," ujar Shagam sambil mengacak-acak rambutku.

Astaga, ini anak kerasukan setan apa? Kenapa kata-katanya terdengar agak manis ya? Ah jangan tergoda Amarel. Ingat dia adalah gay. Dia itu mau menikahimu karena kau adalah cucu orang kaya. Jangan sampai hatimu goyah karena perlakuannya barusan.

Aku pun menepis tangannya. "Heh! Kan ada Dodo di sampingmu. Buat apa juga kau cemas. Dasar gay gila."

"Haha itu tidak seperti yang kau pikir, Amarel."

"Lalu apa? Aku jijik tahu melihat kau di ninabobokan oleh cowok jelek seperti si banci itu!" dengkusku kesal.

"Terserahlah kau mau berpikir apa. Aku pusing menghadapi prasangka burukmu itu. Masa cemburu sama cowok sih? Ada-ada saja. Yasudah ayo kita pulang. Kakekmu kangen loh padamu," kata Shagam seraya menarik koper dari tanganku. Pria ini benar-benar semena-mena ya.

Kakek kangen? Yang benar saja? Bullshit! Dia saja tidak ada mencariku sama sekali. Pria ini hanya berusaha untuk menyenangkanku saja.

"Aku tidak cemburu. Aku hanya tidak suka melihat Dodo. Lagipula kenapa aku harus pulang denganmu coba?" tanyaku sinis.

Shagam mengangkat alisnya. "Marel, jangan sampai aku mempermalukanmu di depan rumah orang," ancamnya tegas dan dia tidak mengindai ucapanku soal Dodo. Menyebalkan.

Tapi tiba-tiba, "Amarel!" panggil seorang pria.

Suara itu. Ah terimakasih Tuhan karena kali ini kau mengirimkan Zian tepat pada waktunya. Aku pun kembali mengambil koperku dari tangan Shagam dengan kasar. Rahang Shagam lagi-lagi mengeras begitu melihat kehadiran Zian.

Zian kini di sampingku. Aku pun mendongakkan kepalaku sombong pada Shagam. "Sori, Gam. Aku akan pulang dengan Zian. Kau pergi saja sana."

"Kau mengusirku, Amarel?"

Kini koperku sudah beralih ke tangan Zian. Astaga koperku sudah berapa kali berpindah tangan. Tangan kiriku pun sudah berada dalam genggamannya. Wajah Shagam sudah tampak benar-benar marah.

"Shagam, ada aku di sini. Jadi kau tidak perlu mengantarnya pulang," ucap Zian santai pada Shagam.

"Hei, kau kan sudah bekerja di Brasta. Bukankah kau sudah ada perjanjian dengan Pak Muhsin untuk tidak berhubungan dengan Amarel lagi. Dasar penipu!"

Mendengar hal itu, Zian pun melepaskan tangannya dariku. Aku terkejut. Astaga segitu tak berartinya diriku dibanding Brasta. Sialan kau, Zian!

"See? Hanya dengan menyebut Brasta, pria yang kau anggap kekasih langsung melepaskan tanganmu. Marel Marel. Cobalah lebih cerdas. Sudah sini ayo pulang!"

Shagam langsung mengambil paksa koperku dari tangan Zian dan menarik tanganku satunya ke arah mobilnya. Aku jelas memberontak. Shagam terus menarikku kasar. Tapi aku berusaha sekuat tenaga agar tetap berada di sini. Aku tidak mau semobil dengan gay sinting itu!

"Apa bedanya denganmu? Ketika aku menyebut nama Cardifal, kau langsung menciut. Apa perlu aku menyebut nama keluarga lagi?!"

Zian kini tampak emosi. Rahangnya juga mengeras dan ia mengepalkan tangannya menatap Shagam. Shagam pun melepaskan tangannya dariku. Lalu ditonjoknya wajah Zian detik itu juga. Lagi-lagi aku syok. Mereka selalu saja berantem.

Zian pun terjungkal. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Aku pun segera merunduk dan menyamakan posisiku dengan Zian. Kusentuh bibirnya yang berdarah. Kutatap wajah Shagam penuh amarah.

"Shagam! Bisakah kau mengontrol emosimu? Ini di depan rumah orang! Tak tahu malu!"

"Lepaskan tanganmu dari si bodoh itu, Amarel! Kali ini aku tidak akan diam. Aku tidak akan mau lagi terlihat lemah di depan pria bodoh itu! Dan kau Zian. Kau urus saja keluargamu. Kau harusnya malu mempunyai keluarga yang menjijikkan seperti itu. Ya aku memang tidak pernah melihatmu sebelumnya, tapi nama belakangmu membuatku jijik setengah mati. Enyah kau!"

Aku menenggak salivaku. Shagam benar-benar mengerikan kalau sudah marah. Matanya memerah. Tanpa basa-basi pun, ia langsung meraih tanganku dan menarikku paksa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena tenaga pria ini cukup kuat.

"Sekali lagi kau mendekati Marel, akan kubuat kau pergi dari Brasta. Dan kau Marel, sekali lagi kau berbuat seperti ini di hadapanku, tak segan-segan aku akan melaporkan semua keburukanmu! Akan kubuat kartu kreditmu diblokir selamanya. Mengerti?!"

Glek! Untuk kesekian kalinya aku menelan ludah. Jadi Shagam tahu semua ini? Jangan-jangan Shagam yang menyuruh kakek untuk memblokir kartu kreditku! Shagam bangsat!

Sekuat tenaga, aku pun melepaskan pegangan Shagam. Zian masih di bawah.

Plak!

"Jadi kau tahu juga soal kartu kreditku? Jangan-jangan kau yang menyuruh kakek?! Biadab kau!"

Shagam tersenyum miring. Ia tak mempedulikan pipinya yang memerah karena tamparanku. "Sekarang sudah tahu kan? Ayo pulang! Atau kau mau kuangkat?"

Lagi-lagi mengancam. Kalau tidak mengancam ya mengadu. Cowok kok kelakuan kayak cewek. Oh pantas saja dia gay. Pasti dia adalah versi ceweknya.

Kini Zian pun sudah berdiri di antara kami. Aku menghela napas lesuh. Kutatap Zian. "Zian, terimakasih atas semuanya. Nanti kuganti uangmu. Kirimkan saja nomor rekeningmu ya. Aku rasa aku harus pulang dengan pria gay ini," jelasku sedih.

"Tapi...."

Aku menggeleng. "Zian, tolong. Aku lupa bahwa Brasta lebih penting daripada aku. Sebisa mungkin aku tidak akan merepotkanmu lagi." Aku beralih menatap Shagam. "Dan kau! Puas kan? Yaudah ayo pulang!"

Shagam menyeringai lebar. Pasti dia sangat puas karena kali ini dia menang. "Gitu dong. Ayo!"

Shagam pun menarikku lalu kami mulai berjalan menuju mobilnya. Kulihat Zian sekilas di belakangku. Wajahnya sangat sedih. Aku jadi tidak tega, tapi aku berpikir. Darimana dia tahu ya rumah Usya? Dia mengikutiku atau apa? Pasti Usya yang menghubungi Zian lalu memberikan alamatnya, tapi biarlah. Percuma juga Zian ke sini. Aku pasti tidak akan pernah menang jika melawan Shagam.

Sekarang aku sudah di samping mobil Shagam. Ia melepaskan tanganku dan menaruh koperku di bagasinya. Sekarang Shagam sudah membuka pintu mobil depan mempersilakan aku masuk.

"Masuk!" perintahnya ketus.

Mendadak saja, aku jadi punya ide agar aku tak pulang dengannya. Dia pikir aku akan menyerah begitu saja?

"Tidak!"

"Marel kumohon. Aku lelah sekali kalau harus terus berdebat denganmu." Shagam mengerutkan bibirnya dan memang raut wajahnya menunjukkan ekspresi malas.

"Ehm ya aku sebenarnya juga capek berdebat denganmu, tapi aku punya satu syarat."

Shagam memutar bola matanya. "Apa lagi sih?"

"Biarkan aku yang menyetir!"

Haha Shagam pasti tidak mengetahui bahwa aku kurang ahli dalam mengemudi. Lebih tepatnya ada sesuatu yang membuatku enggan menyetir mobil sendiri. Itu sebabnya selama ini aku selalu diantar oleh pengawal kakek dan kalau bersama Usya, selalu Usya yang menyetir. Tapi untuk kali ini saja aku harus menepis pikiran itu. Lebih baik aku naik taksi daripada harus berdua dengannya.

"Jangan! Itu akan membangkitkan traumamu, Marel!" bentaknya kuat.

Hah? Apa? Shagam berkata trauma? Ya memang benar. Aku enggan menyetir mobil karena aku cukup trauma. Trauma yang bisa membuatku nangis tersedu-sedu jika mengingatnya. Tapi Shagam mengetahui hal ini jauh sebelum dia menghilang dan lupa ingatan. Mengapa dia bisa tahu? Apa jangan-jangan ingatannya sudah kembali?

"Kau tahu darimana aku trauma? Kita tidak pernah berdekatan lagi setelah kau menghilang waktu itu Shagam! Aku juga tidak pernah menceritakan soal traumaku kecuali pada keluargaku dan Usya!"

Apa benar dugaanku kalau dia selama ini sebenarnya ingat padaku? Shagam pun menatapku santai. Ia tidak terlihat syok atau apapun.

"Yasudah kalau kau mau menyetir. Tapi bawa aku dengan selamat ya."

Shagam pun menyerahkan kunci mobilnya padaku. "Ingatanmu sudah kembali ya, Gam? Kau bohong kan selama ini padaku? Iya kan?"

Mobil Juke hitam Zian pun melewati kami. Zian sudah meninggalkanku. Pria itu memang lemah tiap kali mendengar ancaman soal Brasta. Aku pun berusaha kembali fokus pada si gay keparat ini. Aku masih menunggu jawabannya.

"Haha bagaimana aku tidak tahu Rel? Kakek dan mamamu kan suka cerita padaku tentang dirimu. Jadi aku tahu."

"Termasuk trauma?" tanyaku tak percaya. Shagam mengangguk. Entah kenapa aku kurang percaya. Masa kakek dan mama sampai bocor segitunya sih pada si gay ini?

Shagam kembali menyodorkan kunci mobilnya. "Cepat ambil sebelum aku berubah pikiran."

Tanpa ragu pun aku menerimanya. Shagam pun masuk ke mobil. Begitu juga dengan diriku. Aku sedikit ngakak ketika di dalam mobil, tubuh Shagam sangat tegang. Ia terus memegang gagang pada sisi atas kanan pintu. Haha segitu takutnya kah dirinya padaku?

Aku pun mulai memasukkan kunci lalu kunyalakan mobil ini. Suaranya sudah terdengar. Kulirik ke samping. Wajah Shagam sangat panik. Batinku puas melihat keadaan ini. Syukurin!

"Marel, aku masih ingin hidup. Aku belum menikah denganmu. Jadi tolong bawa aku dengan selamat." Nada bicara Shagam terdengar ketakutan.

"Kenapa kau sangat ingin menikah denganku sih, Gam? Kau itu gay. Gay tidak akan pernah menyukai wanita. Kau tidak kasihan apa padaku kalau harus menikah denganmu?"

Shagam pun melihat mataku. "Karena aku harus menghukummu, Amarel!"

Sialan! Tanpa mau meladeni kata-katanya pun langsung kuinjak pedal gas ini. Lihat saja kau Shagam! Akan kubuat dirimu menyerah padaku.

"Ya Allah tolong Shagam!" pekik Shagam kuat.

Aku langsung terbahak-bahak. Baru kali ini aku melihat Shagam yang pucat karena panik. Lihat saja! Aku tidak akan membiarkan diriku pulang bersamamu!

***

Note : berhubung gue sibuk bgt utk 10 hari ke depan, update lagi 28 April 2017 yah. Semoga pas gue balik ke Indo baik2 aja muehehee. Terimakasih semuanya.

Selagi nunggu boleh baca Kata Mereka wkwkw soalnya udah mau tamat hihi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro