10
Ya Tuhan. Aku tak habis pikir dengan kakek. Aku sudah menduga sih tak mungkin kakek akan membiarkanku pergi begitu saja dari rumah. Apalagi mama. Biasanya mama paling heboh kalau aku tidak ada di rumah. Biasanya juga kakek sudah mengerahkan seluruh pengawalnya untuk mencariku. Lihat saja tadi pagi pas keberangkatan, tak kelihatan tuh muka si Jemi. Aku dan Usya saja sampai heran. Yang lebih membuatku terheran-heran adalah ketika aku sudah mendarat di Narita, tak ada satupun sms atau telpon dari mama ataupun kakek.
Luar biasa. Aku memang selalu kalah kalau sudah melawan kakek. Ternyata ini toh cara mereka. Benar-benar pintar mereka. Argh!
Kini aku dan Usya sudah berada di dalam kamar hotel. Begitu sampai di kamar, Usya langsung meletakkan kacamata minus barunya pada salah satu meja di kamar ini. Kemudian secara bersamaan kami melempar hasil belanjaan kami ke lantai, lalu melempar badan ke kasur. Sekarang kami dalam posisi telungkup.
"Pintar sekali Marel kakekmu! Harusnya kau mengecek credit card-mu dulu tadi sebelum berangkat. Lihat belanjaan kita banyak sekali. Uang cash-ku juga sudah menipis. Lalu bagaimana kita menghabiskan waktu kita selama di Jepang?" tanya Usya marah-marah sambil menatapku kesal.
Aku pun balik menatap Usya kesal. "Kau tahu kan senakal-nakalnya aku, kakek tidak pernah sampai memblokir kartu kreditku! Aku juga tidak tahu kalau cara kakek akan seperti ini. Jangan menyalahkanku begitu dong! Kau sendiri bukannya ada uang?"
"Cash-ku tinggal sedikit. Kau tahu juga kan limit kreditku tidak sebanyak limitmu. Tagihanku juga masih banyak. Tidak akan cukup untuk menghidupi kita berdua di sini Amarel. Jepang itu tidak murah."
"Huaaa bagaimana dong, Sya? Uang cash-ku juga sudah sedikit. Ya mungkin hanya untuk makan dan transportasi kita di sini. Masa kita di hotel terus sih. Liburan macam apa coba?" gerutuku kesal sambil membenturkan kepalaku ke kasur.
"Apes sekali ya kita. Sudahlah kemarin kita berpakaian memalukan seperti itu dari hotel. Kau mending masih menutupi tubuhmu. Aku hanya memakai pakaian dalam. Memalukan. Aku tak tahu apa yang terjadi nanti ketika kita sampai di Indonesia. Aku hanya berharap semoga papaku tidak mengetahui hal ini." Usya sudah memiringkan tubuhnya menghadapku. Aku masih dalam posisi telungkup lemas.
"Heh kau pikir aku tidak tersiksa malam itu? Angin-angin itu menembus miss v-ku, Sya! Geli rasanya! Lagian kau juga sih masih nekat menjalin hubungan dengan om-om mesum itu."
"Rel, masalahnya belum ada pria yang berhasil membuatku merasa melayang selain Om Goldie. Mengertilah. Aku juga mau lepas dari dia." Usya pun bangkit lalu mengambil ponsel yang ada di dalam tas slempangku.
"Temanku sedikit sih. Apa kau mau kucarikan pria dari temannya Tauvan? Ah tapi aku membencinya. Malas sekali rasanya berbicara dengan si anak haram itu."
Usya malah mengabaikanku dan fokus pada ponselnya. Tiba-tiba ia berteriak. "Sya! Om Goldie sms aku!"
Aku pun langsung ikut bangkit dari tempat tidur dan melihat layar ponselnya.
Goldie Wirassyta 03.30 : Usya sayang, maafkan om. Bukan maksud om untuk tidak membela kamu, tapi om hanya takut urusan ini melebar ke mana-mana. Om janji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Om sayang Latusya. Nanti kalau Usya sudah di Jakarta kabarin om ya. Kita lanjutkan rencana kita yang gagal kemarin malam. Love you, Latusya.
Huek! Aku langsung berakting muntah di depan Usya begitu membaca sms dari Om Goldie. Usya masih terpaku sambil melihat layar ponselnya. Wajahnya bingung. Astaga Latusya.
"Sya, kau masih percaya sama dia? Dia itu cuma manis di mulut, tapi di belakangnya pengecut. Sudahlah. Nanti aku carikan deh om-om yang pas buatmu. Aku akan tanya kakek. Kau tidak apa-apakan kalau duda? Kumohon jangan pria beristri lagi. Atau apa perlu aku bilang sama kakek supaya si Goldie itu diturunkan dari jabatannya? Kakek kan punya pengaruh juga di perusahaanmu."
Usya langsung memelototiku. "Rel, jangan gegabah. Dia punya istri dan punya anak yang juga merupakan tanggung jawabnya. Jangan hanya karena kekesalanmu, kau merugikan hidup orang lain."
Aku mendengkus kesal sambil melipat tanganku di dada. "Aku sebenarnya sudah lama kan melarangmu berhubungan dengan dia, tapi aku tidak tega karena melihat wajah bahagiamu itu ketika bersama Om Goldie. Hanya saja tadi malam itu Om Goldie parah Sya menurutku. Sikap pengecutnya tidak bisa aku terima lagi. Apalagi Istri berlemaknya itu juga sudah berani membawa preman. Untung saja tadi malam kita selamat."
"Tidak sepenuhnya selamat, Rel. Kau tahu kan papaku anggota DPR? Aku takut hal ini terdengar sampai ke telinganya. Bisa habis aku dihajarnya. Argh! Kenapa sih kita harus lewat lobi?!" Usya geram sambil meremas rambutnya.
Ya papa Usya selain terkenal pelit, ia juga terkenal galak. Ia adalah orang yang sangat menjaga nama baiknya. Usya menurutku adalah anak yang penurut. Buktinya saja, ia tidak pernah meminta uang dari papanya lagi. Ia selama ini menghidupi dirinya sendiri menggunakan gajinya sebagai sekretaris Om Goldie. Usya sangat takut dengan papanya. Kelemahan terbesar Usya terletak pada Om Syahid--Papa Usya.
"Ini semua gara-gara istri om bodohmu itu. Kau tahu kan niat kita ke basement karena ingin naik mobilmu? Eh mereka malah nunggu kita di basement. Kurang ajar. Akan kuadukan nanti pada kakek."
"Marel! Kumohon berhentilah berharap terus pada kakekmu. Lihat sekarang akibatnya. Ketika kakekmu memblokir kartu kreditmu saja, kau langsung tidak bisa berbuat apa-apa seperti ini. Aku tahu kau pintar Marel. Dan jangan terus mengancam orang dengan alasan kakekmu. Cobalah mandiri."
Aku mulai kesal pada kata-kata Usya. Berani-beraninya dia berbicara seperti itu kepadaku. "Loh apa urusanmu?! Ngaca, Sya! Aku berharap pada kakek karena memang kakek yang bisa memenuhi semuanya. Kau mengatakan padaku begitu karena papamu tidak bisa berbuat seperti kakek kan? Aku yakin kalau papamu tidak pelit dan galak kau pasti akan sama seperti aku."
Usya menatapku garang. "Kau! Kau berani menghina papaku? Papaku pelit biar aku mandiri dan tidak manja sepertimu! Lihat sekarang. Kita akan jadi gembel. Ya aku sih bisa saja tidak gembel karena aku punya kartu kredit atas namaku dan papaku tidak ada hak untuk memblokir karena ini uangku sendiri, tapi lihat dirimu! Apa-apa kakek. Aku yakin kalau kau lebih mandiri tidak akan ada adegan kabur yang konyol seperti ini. Tidak akan ada adegan memalukan seperti sekarang!"
Aku terbahak. "Haha kau menyalahkanku sekarang? Kau bilang adegan memalukan? Hey! Ini semua karena tindakan bodohmu itu yang ML dengan suami orang! Coba saja kau bisa menggunakan otakmu dengan benar. Tidak akan ada adegan wanita setengah telanjang dan wanita yang hanya memakai bathrobe tanpa alas kaki lewat lobi hotel! Ini semua karena cintamu pada om-om mesum itu!"
"Kalau saja kau tidak kabur dari rumah mana ada adegan kita nginap di hotel. Demi dirimu aku mengajukan cuti dan Om Goldie memintaku menghabiskan waktu malam itu dengannya. Asal kau tahu, tidak ada adegan aku ML dengan Om Goldie. Camkan ya. Aku tidak ML! Puas kau cucu Brasta Muhsin?!"
Hatiku memanas mendengar perkataan Usya. "Oh jadi kau tidak ikhlas menemaniku ke sini? Hah? Dasar kau wanita bermulut busuk! Seandainya aku mempunyai sahabat selain dirimu, mana mau aku mengajakmu ke sini! Dengar! Gara-gara kau para preman itu jadi melihat seluruh tubuhku! Semua gara-gara kau Latusya!"
"Oh jadi kau mau mencari orang lain selain aku? Silakan! Cari sana! Siapa yang mau berteman dengan wanita pengangguran kelas kakap, manja, dan selalu mempersilakan lobangnya ke mana-mana. Tak akan ada yang sudi, Amarel! Haha kau kan memang bodoh. Siapa suruh membuka bathrobe-mu seperti itu. Itu salahmu sendiri!"
"Kau jahat Latusya! Oke. Memang tidak ada yang mau berteman denganku, tapi aku lebih berkelas dibanding dirimu, Latusya! Aku tidak menganggu hubungan rumah tangga orang! Aku tidak membuat wanita lain tersakiti ketika aku menyebarkan lobangku di mana-mana. Sedangkan kau? Dasar penghancur rumah tangga orang! Aku bersyukur kau diperlakukan semalam oleh si wanita berlemak itu!"
Plak!
Usya menamparku. Saat itu juga aku langsung memegang pipiku yang terkena tamparannya. Mata Usya berkaca-kaca. Napasnya tersengal-sengal. Jelas saja aku tidak terima.
Plak!
Aku menampar pipi Usya balik. Kami saling bertatapan penuh emosi dan saat itu juga....
"Hyaaaaa!"
Kami langsung berperang di atas tempat tidur saat itu juga. Usya menjambakku, aku membalasnya. Aku memukul kepalanya, Usya melakukan hal yang sama. Aku menindihnya, Usya juga tak mau kalah. Aku mengambil guling, Usya mengambil bantal. Hal ini terus berlangsung.
"Dasar kau si cucu pelacur!" teriak Usya.
"Dasar kau simpanan om-om tolol!" seruku tak mau kalah.
"Hyaaaaaa!"
Pertengkaran sengit ini terus berlangsung hingga akhirnya salah satu dari kami terkulai lemah. "Aku kalah darimu, Sya. Aku menyerah."
Usya sekarang duduk di atas tubuhku. Kurang ajar sekali memang dia. Tiap kali aku bertengkar dengan Usya, memang akulah yang selalu kalah. Usya pun turun dari tubuhku, lalu ia rebahan di sampingku. Tiba-tiba saja Usya memelukku.
"Huaaaa Marel. Maafkan aku. Kaulah sahabatku satu-satunya. Maafkan aku. Aku hanya sedang stres, Amarel. Kaulah wanita yang paling aku kagumi di dunia ini. Tanpamu tak akan ada artinya hidupku. Semua perkataanmu benar. Papaku tidak seperti kakekmu yang baik hati. Kau benar. Aku adalah wanita simpanan dan perusak rumah tangga. Kau benar Amareeeel...."
Usya terisak-isak di sampingku. Aku bisa merasakan air matanya lagi di pundakku. Aku tahu Usya pasti sedang penuh tekanan. Pria yang ia cintai ternyata hanyalah seorang pengecut. Ditambah ketakutannya akan amarah papanya. Oh Usya sahabatku. Aku pun tak bisa menahan air mataku. Aku ikut menangis sama sepertinya.
"Sya, Maafkan aku juga huhu. Aku tak bermaksud mengatakan hal itu. Kaulah satu-satunya orang yang mengerti aku di dunia ini. Kalau tidak ada kau hampa sekali rasanya. Kau sahabatku, Latusya. Maafkan semua perkataanku. Sungguh."
Kami berdua pun menangis tersedu-sedu bersamaan. Mungkin kami berdua sudah sama-sama gila. Siapa yang menyangka kalau liburan kami akan seperti ini, namun ada bau tidak sedap menghampiri indera penciumanku. Aku pun menolehkan kepalaku mencari bau tersebut. Astaga ini ketek Usya! Aku pun langsung mendorong tubuh Usya.
"Sya, bisakah kau mandi? Ketekmu bau sekali!" pekikku kuat sambil menutup hidungku.
Usya pun langsung bangun dan mencium keteknya. "Astaga. Maklum Rel. Kita kan tidak memakai deodoran. Keringatan terus dari tadi. Aku yakin ketekmu juga bau."
Mendengar perkataan Usya membuatku jadi ingin mencium ketekku juga. Astaga benar. Ketekku juga sama busuknya. "Iya benar. Yasudah kita mandi dulu lah ya. Setelah ini kita bicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan."
"Iya. Aku duluan ya yang mandi. Habis itu kita coba semua pakaian yang barusan kita beli itu."
"Siap!"
Usya pun langsung melepas seluruh pakaiannya kecuali pakaian dalam dan berjalan dengan lenggoknya ke kamar mandi. Tak tahu malu. Ah iya bagaimana Usya mau tahu malu. Secara ia juga sudah berjalan dengan santainya seperti itu ketika di lobi hotel.
Aku pun langsung tertawa terpingkal-pingkal mengingat hal itu. "Hahaha dasar Latusya Barbara bodoh!"
***
Sekarang aku dan Usya sedang melihat-lihat hasil belanjaan kami satu persatu sambil duduk bersila di lantai kamar. Aku mengenakan sweater merah dan celana training hitam, sedangkan Usya memakai sweater hijau dan celana training abu-abu. Sweater dan training ini adalah salah satu hasil belanjaan kami tadi. Maklum di Tokyo sekarang sedang musim dingin.
"Wah ternyata kita kalap, Rel. Padahal kan dua hari lagi kita pulang," decak Usya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya juga ya. Kebiasaan sih. Maklum lah."
Usya pun memandangku bingung. "Bisa tidak ya Rel kita jual saja? Kau tahu lah kehidupan di sini tidaklah murah. Aku menyesal membeli sebanyak ini."
"Kau ngaco, Sya. Mana bisa. Aku juga tidak pernah berjualan. Coba kau pikir, kita mau jual ke siapa? Kita tidak punya kenalan di Tokyo."
"Kau mau meminjam duitku, Rel? Aku cemas padamu. Tapi ya kau tahu kan kondisi keuanganku? Percuma memang memiliki papa seorang anggota DPR, tapi pelitnya naudzubilah," keluh Usya sambil memanyunkan bibirnya.
Aku mulai berpikir. "Apa aku coba telpon Shagam untuk meminjam uangnya?"
Usya langsung menimpuk kepalaku dengan salah satu jaket tebal yang baru kami beli. "Bodoh! Dia akan tertawa bahagia begitu mendengar permintaanmu."
Aku pun menatap Usya bingung. "Lalu bagaimana? Aku hanya butuh uang untuk hidup saja kok. Bukan foya-foya. Bagaimana ya? Aku tidak mau meminjammu Usya. Aku tahu kau membutuhkannya. Akan kubuktikan bahwa aku bisa hidup tanpa uang kakek!" tekadku sambil mengepalkan tangan tanda semangat.
"Kalau Zian bagaimana?"
"Zian? Dia bukannya kere?"
Usya terbahak. "Haha emang kau sudah tahu siapa Zian? Aku rasa Zian tidak kere-kere amat. Coba kau ingat mobil yang ia gunakan ketika menjemputmu. Itu mobil mahal tahu! Juke hitam keluaran terbaru. Ya mungkin ia memang tidak sekaya kakekmu, tapi dia tidak kere-kere amat lah."
"Jadi Zian nih? Ya ampun kenapa selalu Zian sih, Sya?"
"Terus pada siapa lagi, Amarel? Pada kakekmu? Mamamu? Tak mungkin. Papaku? Apalagi. Mamaku? Ah mama hanyalah ibu rumah tangga. Dia tidak punya uang banyak. Tauvan? Yang ada dia malah menghinamu. Pokoknya jangan berhubungan dengan keluargamu atau keluargaku."
"Dan orang yang tepat saat ini adalah Zian?" tanyaku lagi pada Usya. Usya mengangguk. Aku mengembuskan napasku lesuh. "Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Telpon Zian sekarang."
"Sekarang?"
"Eh tunggu dulu. Sekarang di Tokyo jam sebelas malam. Berarti di Indonesia jam sembilan malam. Udah tidur belum ya si Zian?"
"Aku rasa belum deh, Sya. Coba kutelpon saja ya."
Aku pun bangkit lalu mengambil ponselku yang berada di atas ranjang. Kembali aku duduk di samping Usya. Lalu kucari kontak Zian dan segera kutekan tombol call. Aku dan Usya saling bertatapan dan berdoa semoga Zian bisa menjadi penyelamatku kali ini. Satu menit berlalu. Dua menit berlalu. Zian belum menjawabnya juga.
"Sya, tak ada jawaban...," aduku.
Aku pun menurunkan ponsel ini dari telingaku. Usya langsung mengambil ponsel ini dari tanganku. "Sini biar aku yang coba."
Usya pun menelpon Zian. Aku menunggu dengan sabar. Hingga akhirnya mata Usya berbinar. "Zian!" pekiknya.
Wajahku pun langsung berseri-seri. Langsung kudekatkan telingaku ke ponselku yang berada di Usya. Aku bisa mendengar suara Zian dari sini.
"Bukankah ini nomor Marel? Ini suara siapa?" tanya Zian dari seberang.
"Hei Zian, ini aku Latusya."
"Ah kau Usya. Ada apa? Mana Marel? Kenapa ponselnya bisa ada padamu?"
"Hehe dia ada di sampingku kok. Nih Marel ingin bicara denganmu."
Lalu Usya menyerahkan ponselku padaku. Aku menerimanya. Aku pun menarik napasku kemudian mengeluarkannya perlahan. "Halo Zian," sapaku.
Usya kini sedang menyantap cemilan hasil belanja kami tadi sore. "Ya ampun Marel. Sudah lama tidak mendengar suaramu. Aku kangen...."
"Iya. Maaf ya tidak menghubungimu setelah hari itu." Hari di mana Shagam pingsan karena mendengar nama Cardifal.
Zian terkekeh. "Tidak apa. Yang penting pada akhirnya kau menghubungiku. Ada apa sayang?"
"Heh! Jangan memanggilku sayang. Kita bukan apa-apa."
"Haha kau kan pacarku. Kau lupa?"
"Hey! Kau itu hanya pacar pura-puraku. Lagipula kau sudah menerima pekerjaan dari kakek ya. Itu artinya status kita sudah usai."
Usya terbahak mendengar obrolan kami. "Dasar kau Zian licik!" ejek Usya tepat di audio ponselku.
Zian lagi-lagi tertawa. "Rel, coba loudspeaker deh." Aku pun meng-loudspeaker ponselku. "Heh pacar om-om. Kau pilih mana dapat pekerjaan di Brasta sebagai pengacara handal atau hanya menjadi kekasih eh palsu pula. Coba kau pilih, Sya."
Kami bertiga pun tertawa bersama. Astaga benar juga apa kata Zian. "Haha benar juga ya. Tuh Rel dengar. Berarti kalau kekasih beneran kau mau melepaskan pekerjaan di Brasta?" tanya Usya lagi.
"Ehmm we'll see! Semua kan tergantung si Amarel Brasta."
"Kau juga tidak menghubungiku Zian setelah hari itu," kataku mencoba menyalahkannya.
"Aku sudah mulai bekerja Amarel keesokan harinya dan tak ada waktu. Maafkan. Kau merindukanku ya?"
"Huh tidak!"
"Lalu mengapa kau menelponku malam ini kalau tidak merindukanku?"
"Marel membutuhkan bantuanmu, Zian!" Malah Usya yang menjawab. Zian lagi-lagi terkekeh dari seberang sana.
"Wow bantuan apa sayangku?"
"Zian stop memanggilku seperti itu."
"Haha yasudah, ada apa kau menelponku Amarel Brasta?"
"Sebelum itu aku mau bertanya satu hal padamu," ujarku.
"Apa?"
"Kenapa kau ngotot sekali masuk ke Brasta, Zian?" tanyaku ingin tahu.
Usya langsung membelalakkan matanya dan mengacungkan ibu jari kirinya padaku. Ya ini adalah salah satu hal dari Zian yang masih membuat kami berdua penasaaran. "Ehmmm rahasia. Intinya aku mau menjadi pengacara terhebat di Indonesia. Aku tahu siapapun yang berkarir di Brasta, pasti karirnya melesat cepat."
Aku dan Usya bertatapan. Jawaban yang bisa diterima. "Baiklah. Bisa diterima," ucapku.
"Lalu ada perlu apa kau menelpon malam-malam begini Amarel?" tanya Zian lagi.
Aku pun menenggak salivaku. "Zian, aku dan Usya saat ini sedang di Jepang."
Zian langsung terlonjak kaget. "Apa?! Yang benar saja? Sejak kapan? Apa yang kalian lakukan di sana?"
Aku dan Usya pun secara bergantian menceritakan kisah kami semuanya secara detail kecuali adegan aku membuka bathrobe-ku di hadapan salah satu preman itu dan adegan Usya dijambak oleh istri Om Goldie. Usya hanya menceritakan bahwa ia ketahuan di kamar bersama Om Goldie oleh istrinya. Zian pun tertawa terbahak-bahak dari seberang sana. Kami berdua hanya terpelongo. Memangnya lucu ya kisah ini?
"Hahaha asli aku tak menyangka bahwa kalian sekonyol ini. Kalian berdua edan. Ya Tuhan aku tak sanggup membayangkan pakaian kalian seperti itu di lobi hotel. Astaga. Kalian sampai membuat mataku berair."
"Sudah puas tertawanya? Ya namanya apes mau bagaimana lagi," ujar Usya
"Sya, kau benar-benar tergila-gila dengan om-mu itu? Sini mana wajahnya. Biar aku lihat. Memang setampan apa sih dia?"
"Nanti kutunjukkan. Kau pasti akan bilang wah memang ganteng sekali om-mu itu. Aku yakin," jelas Usya.
"Kau memang sinting, Sya. Haha ya ampun Marelku sayang. Kadang kau menyebalkan, tapi jujur aku sedih melihatmu. Nanti kita rencanakan lagi ya bagaimana caranya menghentikan perjodohanmu dengan si gay itu. Kakekmu benar-benar deh. Maaf Marel aku tidak bisa membantumu banyak."
Aku memutar bola mataku. "Haha sudah tak usah ungkit itu. Maka dari itu sekarang kami membutuhkan bantuanmu."
"Bantuan apa sayang?"
"Kau sudah mendengarkan kisah kalau kartu kreditku diblokir kan? Aku tidak punya uang sama sekali. Aku juga tidak mungkin meminjam uang Usya. Kami di sini benar-benar sekarat uang. Nah tak mungkin juga aku meminta pada kakek atau mama atau siapa pun. Jadi aku mau...,"
Belum selesai aku bicara. "Kau mau pinjam berapa? Ah jangan pinjam. Aku akan memberikanmu berapapun yang kau mau."
Mataku dan Usya langsung berseri-seri mendengar perkataan Zian. Ah memang Zian lah penolong kami. "10 juta saja!" pekik Usya kuat. Ia sudah selesai mengemil. Bukankah 10 juta sangat sedikit? Aku memelototi Usya.
"Marel, 10 juta aku yakin akan cukup. Cobalah hidup hemat. Lagipula kau kan sedang ribut dengan kakekmu. Kau yakin ia akan memberikan uang padamu setelah hari ini?" bisik Usya tepat di telingaku agar Zian tak mendengarnya.
Lagi-lagi Usya benar. Aku hanya mendengkus kesal mendengarnya.
"Haha baiklah. Kirimkan saja no rekening salah satu dari kalian."
Tapi apa? Zian akan memberikan apapun yang aku mau? Ah aku tidak akan meminta uangnya. Bagaimanapun aku harus tetap berkelas. Wanita berkelas tidak akan mau diberi uang cuma-cuma oleh seorang pria. "Tidak Zian. Aku pinjam saja. Nanti begitu di Indonesia akan aku bayar."
Zian diam sejenak. "Kau pilih mana? Kau menjadi gelandangan dengan menerima uangku tanpa menggantinya atau berhutang padaku dan kau akan menjadi gembel? Lagian 10 juta bukanlah uang yang banyak, Amarel."
"Zian kumohon...," ucapku lirih.
Usya pun menyikut lenganku. Ia bilang iyakan saja. "Yasudah Zian. Kirim ke rekening Marel ya. Nanti aku sms kan nomor rekeningnya," jawab Usya.
"Baiklah, tapi ada syaratnya."
Aku dan Usya jelas saja terkejut. Anak ini selalu saja ada udang dibalik batu. Tak pernah ikhlas. Pasti ada mau ujung-ujungnya. Huft!
"Kau selalu saja begini Zian...," keluhku.
"Haha tenang. Aku hanya mau kau kujemput begitu pulang dari Jepang. Bagaimana? Hanya itu kok Marel," kata Zian dengan nada meminta.
Aku menarik napas. Aku bertanya pada Usya tanpa mengeluarkan suara. Usya menyuruhku untuk mengiyakannya saja. "Yasudah, tapi sepertinya kami harus kembali ke hotel lagi soalnya mobil Usya masih ada di basement hotel sampai sekarang. Bagaimana?"
"Yasudah. Jangan lupa nomor rekeningmu ya, sayang."
"Zian please. Don't call me like that...."
Zian kembali terbahak-bahak lalu telponku pun dimatikannya begitu saja. Menyebalkan, tapi itu bukan masalah lagi karena akhirnya aku punya uang! Aku dan Usya langsung berpelukan.
"Yeee liburan kita kali ini aman!" teriak Usya bangga.
***
Kakek dan mama benar-benar mengabaikanku. Mereka sama sekali tidak menghubungiku. Asli dari hari pertama aku kabur sampai detik setibanya di Indonesia, mereka sama sekali tak menanyakan kabarku. Tak kupungkiri bahwa aku sedih.
Aku tak tahu bagaimana bila tak ada Zian. Untungnya berkat uang Zian aku bisa liburan di Tokyo dengan uang pas-pasan. Ini adalah pertama kalinya aku begini. Dan ini semua karena Shagam! Dia yang membuatku kabur. Seandainya dia bukan gay pasti aku dengan senang hati dan riang gembira menerima perjodohan. Ah tak perlu perjodohan. Mungkin dari dulu aku akan meminta pada kakek agar kami dinikahkan.
Sekarang kami baru saja tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ya aku dan Usya baru saja sampai setelah enam jam lebih perjalanan. Kini kami sedang menunggu bagasi.
"Tak kusangka Rel ternyata kita berhasil juga tinggal di negri orang dengan uang segitu," ujar Usya sambil membenarkan posisi kacamata minusnya.
"Aku juga tak menyangkanya. Untung saja ada Zian."
"Ah iya Rel. Kau sudah menghubungi Zian? Dia di mana sekarang?"
Hampir saja aku melupakan Zian. Tadi pagi ia sempat menelponku untuk menanyakan kira-kira sampai Jakarta jam berapa. Aku berangkat jam delapan waktu Tokyo dan sekarang jam lima sore. Aku pun mengambil ponsel dari tas slempangku, lalu kunyalakan ponselku.
Detik itu juga ponselku langsung berdering. Nama Zian. Aku pun mengangkatnya. Usya masih berdiri di sampingku sembari menunggu koper kami. Ya Usya telah membeli koper baru berwarna kuning di Jepang.
"Ya Zian," jawabku.
"Kau di mana?" tanyanya.
"Aku sedang di bagasi. Mungkin sebentar lagi akan keluar. Kau di mana?" tanyaku balik.
"Aku sedang di luar menunggumu. Nanti kau akan lihat pria tampan berbaju biru muda dan itu adalah aku."
Aku terkekeh. "Haha iya. Tunggu ya sekitar sepuluh menit. Makasih loh, Zi."
"Ya sayang."
Belum sempat aku menepis kata-katanya, pria ini sudah mematikan telpon. "Dia di mana?"
"Sudah di luar," jawabku pada Usya.
Tidak sampai sepuluh menit, koper merah mudaku dan koper kuning Usya pun sudah kelihatan. Usya pun dengan sigap langsung mengambilnya. Semua orang lagi-lagi memandangi kami. Entah penyebabnya apa. Padahal kali ini aku hanya mengenakan stoking hitam dan sweater kuning di atas lutut. Rambutku kucepol sekenanya. Sedangkan Usya mengenakan stoking berwarna kulit di padu rok merah di atas lutut dengan baju tebal berwarna hitam. Rambutnya dibiarkan tergerai. Apa karena aku dan Usya begitu cantik makanya mereka memperhatikan kami?
Aku dan Usya pun mulai melangkah keluar bandara. Entah kenapa aku dagdigdug. Aku takut ada pengawal kakek atau siapa, tapi tidak mungkin lah. Secara kakek dan mama benar-benar tidak mengacuhkanku. Huft!
Dari sini aku bisa melihat Zian yang sedang melambai ke arah kami. Kami berdua pun membalasnya. Zian makin terlihat tampan dengan kaca mata minusnya. Baru kali ini aku melihat Zian menggunakan kacamata. Ia mengenakan celana krem selutut dan kaos polo berwarna biru muda.
Sekarang, kami sudah di depan Zian. Zian pun langsung mengambil koper kami berdua yang ada di tangan Usya. "Ayo ladies," ajak manis Zian. Aku dan Usya hanya tersenyum. Di saat kami mau melangkahkan kaki, tiba-tiba.
"Nona Latusya!" teriak seseorang dengan suara tebal.
Aku, Usya, dan Zian otomatis berhenti. Siapa yang memanggil Usya? Aku langsung bertanya-tanya begitu Usya menunjukkan ekspresi syoknya. Ia langsung meremas tanganku panik. Aku jelas bingung.
Ternyata orang yang meneriaki Usya itu adalah seorang pria plontos berbadan tegap dan besar. Ia memakai setelan jas berwarna hitam dan pria itu tidak sendiri! Ada segerombolan pria yang badannya sama besar berlari menyusul di belakangnya. Mereka menghampiri kami bertiga. Aku jelas panik. Mereka bukanlah pengawal kakek. Aku hapal sekali dengan bentuk-bentuk wajah pengawal kakek.
"Nona, tuan sudah menunggu," kata pria itu pada Usya.
Usya langsung meremas tanganku. Ia panik. "Sya, mereka siapa?" tanyaku bisik-bisik. Bagaimanapun aku juga ikut cemas dengan keadaan ini.
Aku dapat melihat mata Usya yang mulai berkaca-kaca. "Pengawal papaku. Mati aku, Marel."
Mataku langsung terbelalak saat itu juga. Astaga. Kenapa sih masalah tidak berhenti menghampiri kami berdua?
"Kenapa kalian menjemputku? Tahu darimana kalian kalau aku di bandara? Hah?" tanya Usya berusaha tegar. Sebisa mungkin ia menunjukkan bahwa ia bukanlah wanita lemah.
"Tuan yang menyuruh kami menjemput nona. Saya mohon nona menurut pada kami. Karena kalau tidak, jangan terkejut bila kami menggunakan cara kasar," ancam pria itu.
Usya dan aku menelan ludah bersamaan. Aku rasa ketakutan Usya pada papanya mulai terjadi. Buktinya papa Usya sampai mengerahkan tenaga pengawalnya untuk menjemput Usya, itu artinya akan ada masalah. Aku dan Usya pun bertatapan. Aku tahu maksud Usya bahwa ia harus mengikuti pengawal papanya tersebut. Wajah Usya sangat panik. Ya ampun Usya kasihan sekali aku pada dirimu.
Aku pun mengambil koper kami berdua dari tangan Zian. "Zian, maaf aku rasa aku tidak bisa pergi bersamamu. Usya dalam bahaya sekarang."
Zian pun melepaskan koper tersebut. Ia menarik napas. "Kenapa dengan Usya, Marel?" tanyanya bingung.
Aku pun segera mendekati telinganya. "Nanti aku ceritakan ya. Aku harus bersama Usya saat ini. Kau tunggu saja kabar dariku. Oke? Terimakasih sekali Zian." Aku pun mengecup pipinya singkat.
Zian terperangah melihatku. Aku hanya tersenyum manis melihat matanya yang syok akibat kecupanku.
"Sya aku ikut bersamamu," kataku pelan pada Usya seraya memberikan koper kuning baru milik Usya ke tangannya.
Usya menatapku ragu. "Tapi Rel...,"
"Ayo pak jalan!" kataku kencang sambil menggaet lengan Usya. Wajah para pengawal itu bingung mendengar ucapanku. Harusnya kan Usya yang mengatakan kalimat itu, tapi bodo ah. Aku harus menolong Usya dari kegalakan papanya itu. Si Syahid Barbara.
Usya pun pasrah dan ia mengikuti langkahku lemas. Sementara Zian masih dalam posisi yang sama melihat kepergianku dan Usya bersama para pengawal papa Usya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro