6
Hujan? Ya, hujan memang adalah salah satu rahmat yang diberikan Tuhan dan gue bersyukur banget Tuhan masih menurunkan hujan hingga saat ini. Hingga saat ini? Iya! Buktinya sekarang aku masih di kantor. Tepatnya di teras kantor. Aku mau pulang akan tetapi hujan masih deras dan tak tampak tanda-tanda akan mereda. Aku dari tadi juga tidak melihat taksi lewat. Mana tidak ada payung lagi. Sebal! Sudah setengah jam padahal aku disini untuk menunggu hujan reda.
Seharusnya tadi aku membawa mobil. Menyesal juga jadinya. Soalnya entah kenapa malas sekali rasanya harus menyetir di pagi hari. Biasanya kan Mei yang menjemput. Pokoknya besok niat. Aku akan bawa mobil. Tekadku bulat.
Ya Allah hentikanlah hujan ini sejenak. Huft! Benar-benar apes aku kali ini. Biasanya juga aku membawa payung tapi, mendadak hari ini aku lupa juga. Sebal! Mana hujannya makin lama makin deras. Mau cepat sampai rumah. Batinku meronta.
"Met, gue nebeng lo dong," pinta Citra centil.
Begitu mendengar suara Citra menyebut nama Amet, langsung saja aku mencari asal suara itu. Oh, ternyata mereka ada di belakangku. Sepertinya mereka baru selesai kerja makanya baru keluar. Bodo amat deh. Aku pun hanya melirik mereka sekilas lalu kukembalikan pandanganku untuk melihat hujan dan terus berdoa semoga hujan ini cepat reda.
"Nebeng? Gue bawa motor kali, Cit," jawab Amet.
"Ya nggak apa-apa. Gue mau kok naik motor. Yayaya. Ayolah, Met." Citra semakin centil saja. Jujur sih, aku, Mei, dan Naura memang kurang suka dengan Citra. Sikap ganjennya itu melebihi rata-rata perempuan pada umumnya. Citra juga sepertinya tidak suka dengan kami bertiga terutama Naura. Mungkin karena dia merasa kalah saing cantik dengan Naura.
"Hujan, Cit. Lo mau hujan-hujanan? Ntar lo sakit lagi." Astaga suara mereka besar sekali sampai-sampai aku bisa mendengar detail omongan mereka berdua. Citra juga sepertinya sengaja membesarkan suaranya supaya aku mendengar obrolan mereka. Maksudnya apa coba? Nggak mempan ya, Cit sama gue. Ambil sono sih Amet! Dengusku kesal dalam hati.
"Nggak apa-apa. Gue mau kok hujan-hujanan. Asal hujan-hujanannya sama lo. Kan romantis, Met. Seru lagi," kata Citra makin dibuat-buat.
"Nggak ah. Kalau pun gue mau hujan-hujanan, males banget gue hujan-hujanan sama lo. Gue mau hujan-hujanan sama cewek yang pakai baju putih aja," ujar Amet.
Glek! Aku menelan ludah begitu mendengar ucapan Amet barusan. Pasti dia menyindir aku. Baju putih? Aku melihat pakaianku. Baju putih kan aku! Sepertinya Citra tetap tak mau kalah. Aku memilih diam dan tak mempedulikan mereka berdua. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah terus berdoa agar hujan ini cepat berhenti.
"Toca maksud lo? Ngapain sih sama dia, Met? Dia tuh cuma mantan lo. Yang namanya mantan tuh ya mantan. Bekas! Masih aja lo pikirin," ujar Citra kesal.
Aku masih berusaha sabar mendengar sindiran Citra yang sesungguhnya amat sangat menyakitkan. Apalagi begitu dia mengatakan bekas. Ingin sekali aku menginjak-injak mukanya tapi begitulah dia. Sirik. Orang sirik tanda tak mampu haha. Aku tertawa dalam hati. Biarkan saja anjing menggonggong. Anggap saja angin lewat.
"Bawel banget sih. Lo tuh nggak tahu apa-apa soal gue dan Toca. Udah sana lo. Pulang sendiri aja. Biasanya lo juga sama Nyayu. Kenapa sekarang sama gue? Aneh." Entah kenapa, aku senang begitu mendengar pembelaan Amet barusan. Dia bela aku di depan Citra. Makasih Amet. Ucapku riang dalam hati.
"Nyayu udah pulang duluan. Dia tinggalin gue. Makanya gue minta tolong sama lo. Ayolah, Met," mohon Citra pada Amet. Kulirik Amet sebentar. Aku ingin tahu raut muka Citra sekarang. Aku coba lirik mereka yang ada di belakangku diam-diam tapi, sialnya Amet malah menangkap lirikanku dan gigi kecilnya yg tersusun rapi langsung terlihat lebar! Sial! Untung tadi Citra tidak menangkap pandanganku.
Tiba-tiba, "Citra, lo jadi nggak pulang bareng gue? Sori, tadi gue dipanggil Bu Sinta sebentar." Nyayu muncul tiba-tiba dari dalam kantor. Aku senang sekali. Si Citra ketahuan bohongnya. Haha. Mampus lo, Cit.
Kulirik lagi mereka. Muka Citra merah padam. Pasti dia malu sekali pada Amet. Bola mata Citra menatap wajah Nyayu kesal sementara Nyayu hanya diam. Ia tidak tahu kenapa wajahnya dipandang sadis oleh Citra. Aku tertawa terbahak-bahak dalam hati.
"Tuh Nyayu belum pulang. Kata lo udah pulang, Cit," ujar Amet begitu melihat kedatangan Nyayu.
"Ehm... itu... gue kirain Nyayu udah pulang. Ternyata belum hehe," elak Citra. Citra pun memberi isyarat kepada Nyayu. Mungkin mencari pembelaan. Pikirku.
"I...iya, Met. Tadi gue udah sms Citra bilang kalau gue udah pulang. Eh, tapi guenya lupa kasih tahu dia kalau gue dipanggil Bu Sinta. Gitu, Met," bela Nyayu. Ada nada takut di intonasi bicaranya.
"Oh yaudah. Kan Nyayu ada Cit, jadi lo pulang sama Nyayu ya," pinta Amet.
"Loh? Kok gitu? Gue kan maunya pulang sama lo, Met," pinta Citra tetap ngotot.
"Sayangnya, gue nggak mau pulang sama lo." Mendadak, Amet menggenggam tangan kiriku. Aku kaget. Citra dan Nyayu juga kaget. "Gue mau pulang sama Azkatoca aja."
Amet pun menarik tanganku. Dia menarikku keluar dari teras kantor padahal hujan belum berhenti. Yahh, jadinya kan aku kehujanan dan bajuku jadi basah. Amet menarikku ke parkiran tempat motornya parkir. Menyebalkan sekali sih orang ini. Upayaku dalam menunggu hujan hingga setengah jam menjadi sia-sia.
"Apaan sih lo, Met? Kehujanan nih gue!" bentakku keras di tengah hujan sambil menutupi kepalaku dengan tangan kananku.
Amet malah tersenyum. "Kan udah gue bilang tadi, gue maunya hujan-hujanan sama lo. Bukan sama Citra." Ia melepaskan genggamannya dari tangan kiriku.
Iya. Tadi aku ingat sekali ekspresi Citra yang kesalnya setengah mati denganku begitu tanganku ditarik Amet. Begitu juga dengan Nyayu. Wajah mereka seperti kepiting rebus saking malunya dengan Amet dan saking emosinya padaku.
"Ih, lo kira gue mau hujan-hujanan sama lo? Lo tahu nggak sih? gue tuh sengaja berdiri lama disitu tadi supaya gue nggak kehujanan. Tapi, lo nya malah gini. Semena-mena banget sih!" kataku keras sambil menunjuk teras kantor. Aku benar-benar kesal dengan Amet.
"Maaf. Gue bingung tolak Citra. Satu-satunya cara ya gitu tadi. Untung aja tadi Nyayu datang. Kalau nggak gimana?" tanya Amet padaku sambil membuka jok motor ninjanya. Dia mengambil mantel.
Aku baru tahu kalau Amet memakai motor. Aku kira dia pakai mobil. Motornya ninja lagi. Wah, keren. Warnanya merah. Perpaduan yang sempurna. Motor keren dibawa oleh orang keren. Ca! Lo puji Amet? Sadar, Ca! Batinku memberi peringatan. Aku pun berusaha fokus kembali.
Kemudian Amet menyerahkan mantelnya padaku. "Nih, lo pakai mantelnya."
"Lo bawa berapa mantel emang?"
"Satu." Aku diam. Amet hanya punya satu mantel. Masa dia memberikannya ke aku? Bagaimana dengan dia nanti? "Woy, Ca! Kok diam? Nih pakai mantelnya. Cepetan! Ntar lo sakit lagi."
"Nggak usah, Met. Lo aja yang pakai. Gue nggak apa-apa. Itu kan mantel lo. Kalau lo kasih ke gue ntar lo gmana? Ntar lo yang sakit lagi."
Lagi-lagi Amet tersenyum. Dia menunjukkan helmnya. "Gue ada helm. Nih helm bisa menutupi kepala gue. Jadi, gue nggak bakal sakit. Karena gue udah ada helm, makanya elo yang pakai mantelnya. Tuh mantel bisa melindungi elo."
"Emang nggak apa-apa, Met?" tanyaku masih ragu. Aku tidak tega dengan Amet.
"Nggak apa-apa, Toca. Udah buruan pakai. Hujannya makin deras nih," paksanya. Iya. Hujan semakin deras. Ehm atau aku naik taksi aja kali ya jadinya Amet tidak akan kena hujan.
"Atau gue naik taksi aja, Met. Jadi, lo bisa pakai helm sekalian mantelnya," saranku.
"Gue nggak suka sama orang yang menentang kata-kata gue." Amet pun tanpa basa-basi langsung memakaikan mantelnya padaku. Aku diam tak tahu harus berbuat dan berkata apa. Amet masih seperti yang dulu. Tak berubah. Hatiku kembali degdegan memandangi Amet yang masih begitu baik padaku.
Setelah selesai, Amet pun memakai helm lalu dia naik ke motornya. Aku masih diam mematung.
"Ca, buruan naik!" perintahnya tegas.
Aku pun langsung naik. Begitu posisiku sudah nyaman, motor pun mulai melaju.
"Lo peluk gue kalau lo nggak mau jatuh," suruhnya. Lagi-lagi dengan nada yang membuatku tak bisa berkutik.
"Tapi..." Aku berusaha menolaknya.
Amet pun menarik salah satu tanganku sehingga salah satu tanganku kini memeluknya.
"Lo mau jatuh ya? Peluk gue cepat! Ini hujan ya, Toca." Amet mulai galak. Aku hapal sekali dengan karakter pemarah dan pemaksanya itu. Dia benar-benar tidak berubah dari dulu. Batinku mendengus kesal.
Terpaksa, aku memeluknya erat. Motor pun melaju kencang.
***
Untung hujan sudah berhenti. Atap rumahku pun sudah kelihatan. Berarti sebentar lagi aku akan sampai di rumah. Akhirnya. Hatiku agak lega tapi di depan rumahku terlihat ada sebuah mobil parkir. Mobil yang sepertinya aku kenal. Aku berharap semoga saja bukan dia.
Akhirnya, aku kali ini benar-benar sudah tiba di depan rumah. Amet pun menghentikan motornya. Pelukanku aku lepas. Kemudian, aku turun dari motor Amet. Amet masih duduk di atas motornya. Tidak bergerak lalu Amet membuka sekaligus melepaskan helmnya. Lagi-lagi dia tersenyum manis padaku. Karena tak tahu harus berbuat apa, aku pun membalas senyumannya.
"Oh, jadi ini rumah baru lo?" tanya Amet.
Rumah baru? Bagaimana dia bisa tahu ini rumah baruku? Aku jadi berpikir, aku sama sekali tadi di motor tidak berbicara dengannya. Bahkan aku juga tidak memberitahukan pada Amet rute menuju rumahku. Lalu mengapa dia bisa mengantarkanku kesini? Apakah dia...
"Rumah baru? Tahu dari mana lo ini rumah baru gue?"
"Tahu dong. Rumah lo kan bukan disini. Gue masih ingat jelas banget rumah lo dimana," jawabnya santai.
"Maksud gue, lo tahu darimana kalau ini rumah baru gue? Gue kan tadi nggak kasih tahu jalan kesini," cecarku padanya.
Wajahnya masih santai. "Kita kan satu kantor. Gue tahu semua alamat anak-anak Style termasuk elo." Oh. Tapi, aku masih tidak percaya. Masa sih? "Nggak percaya? Gue tahu rumah Citra di daerah Sudirman. Terus si Melani..."
"Stop! Gue nggak perlu dengar tentang mereka." Aku memotong pembicaraan Amet. Baiklah. Jawaban yang bisa aku terima daripada aku harus mendengarkan semua alamat anak-anak Style dari mulutnya.
Dan mengapa untuk contoh pertama, dia harus menyebut nama Citra?! Pfftt.
"Oiya!" Mendadak, aku ingat dengan mantel yang aku pakai ini. Aku harus segera melepasnya lalu mengembalikan kepada Amet tapi ia malah memegang tanganku.
"Nggak usah dilepas. Masih gerimis," tahan Amet sambil memegang tanganku.
"Tapi, ntar lo gimana pas pulangnya? Kalau hujan gimana?" tanyaku cemas.
"Udah. Nggak apa-apa kok," jawabnya pelan. Amet pun melepaskan pegangannya kepadaku.
Tiba-tiba, "Toca!" panggil seseorang. Suara itu, suara...
"Geri?" tanya Amet. Astaga! Aku lupa Amet kan mengenal Geri. Begitu juga dengan halnya Geri. Mereka amat sangat saling kenal. Saking kenalnya mereka sampai tak mau kenal lagi. Ya. Mereka itu bermusuhan alias rival sejati.
Geri tiba-tiba muncul. Dia baru saja keluar dari mobil. Mau apa sih dia kesini? Aku sedang malas berdebat dengannya. Apalagi sekarang disini ada Amet. Pasti nanti ricuh.
"Amet? Sejak kapan lo disini?" tanya Geri sinis.
"Gue yang harusnya nanya. Mau ngapain lo kesini? Belum puas lo?" tanya Amet lagi lebih sinis lagi. Amet mengatakan belum puas? Maksud Amet apa?
"Maksud lo? Udah ya. Gue nggak ada urusan sama lo. Pergi sana lo!" usir Geri kasar.
"Lo berani usir gue? Nggak kapok lo sama akibatnya? Lo nggak tepatin janji lo Ger sama gue."
Begitu mendengar kalimat Amet barusan Geri terdiam. Wajahnya langsung berubah ciut. Dia tak mampu membalas kata-kata Amet. Tepatin janji? Sama Amet? Janji apa? Janji dalam hal apa? Akibat? Akibat apalagi itu? Tapi, tiba-tiba Geri malah menarik tanganku paksa.
"Ca, aku mau ngomong sama kamu." Geri masih berkata lembut kepadaku. Itulah Geri. Dia tidak pernah sama sekali berkata kasar padaku. Padahal barusan dia berkata kasar pada Amet.
Tapi, Amet berhasil menangkap tanganku. Sehingga sekarang posisiku berada di antara Amet dan Geri. Sepertinya kejadian delapan tahun silam terulang kembali.
"Lepas tangan lo. Urus aja kehidupan lo di luar sana. Nggak usah urus Toca lagi," tegur Amet keras. Rahangnya mengeras penuh amarah.
Geri diam. Dia memilih mengabaikan pernyataan Amet. Dia malah semakin menarik tanganku kuat.
"Ca, aku perlu ngomong sama kamu," pinta Geri lembut. Aku tahu pasti Geri ingin meminta maaf soal itu lagi tapi maaf. Hatiku masih belum bisa menerima ini semua. Aku jadi teringat lagi semua kejadian lima tahun silam. Kenapa lo tega banget sih sama gue, Ger?
Aku pun melepaskan pegangan mereka berdua. Hatiku tak kuat. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga. Geri jahat sama gue tapi Amet juga sama jahatnya. Mereka berdua tak beda jauh!
"Udah deh, Ger. Stop lo ganggu gue. Udah, nggak usah ganggu gue lagi. Urus aja sana keluarga baru lo!" bentakku keras pada Geri.
Lalu, aku pun berlari masuk kerumahku. Ku tinggalkan mereka berdua. Aku sudah tak peduli. Terlalu sakit hati ini bila melihat Geri.
***
"Sedih banget nggak sih gue, Mei?" tanyaku pada Mei melalui telpon. Lagi-lagi aku kembali menangis.
Begitu sampai rumah satu-satunya yang aku ingat hanya Mei. Aku ingin langsung menceritakan kejadian barusan pada Mei. Mei yang berada di sebrang sana dengan simak memperhatikan detail setiap ucapanku. Dia mendengarkan dengan sabar segala kelah-kesuhku.
"Sabar ya, Ca. Coba aja gue tadi disana. Ih, makin keki gue sama Geri. Maksudnya apa coba temuin lo lagi?" ujar Mei kesal.
"Tahu tuh. Sebal banget gue. Gue sih tahu pasti dia mau minta maaf sama gue. Tapi, lo tahu kan, Mei? Geri nggak pernah jelasin sama gue kenapa dia bisa sampai gitu sama Tanya. Itu yang buat gue belum bisa maafin dia sampai sekarang," kataku menangis.
"Udah, Ca. Lo sabar aja. Nggak usah peduliin tuh iblis satu. Nggak punya otak dia mah. Ih, coba tadi gue disitu. Udah gue habisin dia. Untung aja ada Amet tadi sama lo, Ca."
"Iya juga sih. Dia udah bantu gue hadapin Geri. Mereka aja sempat berantem tadi Mei cuma nggak sampe tonjok-tonjokan tapi gue heran sama mereka berdua. Kayaknya ada sesuatu deh di antara mereka dan gue nggak tahu itu apa, Mei."
Lo berani usir gue? Nggak kapok lo sama akibatnya? Lo nggak tepatin janji lo Ger sama gue. Aku ingat secara rinci tiap kata yang dikeluarkan Amet yang membuat Geri membisu.
"Sesuatu? Sesuatu gimana?"
"Lo ingat kan tadi pas gue cerita. Amet tuh keluarin kata-kata yang buat Geri nggak bisa melawan dia. Kayaknya mereka ada perjanjian gitu. Gue nggak ngerti juga sih. tapi, gue yakin ada sesuatu yang nggak gue tahu dari mereka."
Kini aku sudah tak menangis lagi.
"Perasaan lo doang kali Ca tapi mungkin aja sih. Yauda besok lo bawa mobil aja deh. Jangan sampai kayak tadi," suruh Mei.
"Tapi gue malas banget, Mei. Lo tahu kan gue malas banget bawa mobil. Lagian, lo lama banget sih pulangnya. Nggak enak tahu nggak ada lo."
"Kan ada Naura, Ca. Gue juga nggak tahu nih kapan pulangnya. Tergantung nyokap sama bokap. Mungkin kalau nggak tiga hari lagi paling seminggu lagi gue pulang. Hehe," nyengir Mei.
"Seminggu? Lama banget sih. Naura juga nggak masuk, Mei. Gue sms nggak dibales. Gue telpon nggak diangkat. Gue juga nggak tahu kenapa. Apa gara-gara masalah kemarin ya?"
"Iya kali. Duh Naura. Kasian gue sama tuh anak satu. Sayang banget gue nggak di sana sekarang."
"Makanya lo buruan pulang. Lama banget sih di sana. Besok pulang kantor gue mungkin ke rumahnya."
"Oh yaudah. Hati-hati lo, Ca. Ntar kalau ada kabar baru kasih tahu gue ya hehe."
Mendadak adzan berkumandang. Aku pun segera ingat akan sholat. Padahal aku masih ingin berbicara panjang lebar dengan Mei. Tapi, mau bagimana lagi?
"Mei, udah adzan nih. Gue sholat dulu ye. Hehe," kataku pamit pada Mei.
"Oke deh. Bye Tocaaaaaaa sayangkuuuu," ujar Mei.
Dasar Mei haha. Tututut. Telepon terputus. Aku pun segera beranjak bangun dari tempat tidurku. Lalu berjalan menuju kamar mandi. Berwudhu.
***
Terpaksa sekali aku bawa mobil hari ini ke kantor. Tak sengaja mataku melihat sekilas ke foto yang bertengger manis di tengah dashboard mobilku. Foto aku, ayah, dan Bang Kiki yang sedang tertawa lebar di tengah kota.
Ayah? Bang Kiki? Ya ampun, mungkin sudah beberapa minggu terakhir ini aku tak bertemu mereka. Kangen sekali rasanya. Sms Bang Kiki ah. Gumamku dalam hati selagi ingat.
'Bang... gue kangen lo. Kangen ayah juga'
Langsung saja aku kirim ke nomer Bang Kiki setelah mengetik kalimat itu. Daripada menunggu balasan dari Bang Kiki lebih baik aku mulai jalan saja menuju kantor. Aku pun memasuki gigi lalu kuinjak pedal gas mobil. Mobil pun mulai melaju.
Nada dering di handphoneku pun berbunyi tanda sms masuk. Sembari berjalan aku sempatkan untuk membuka sms. Pasti dari Bang Kiki.
'Haha. Tocaaa!! Gue kangen. Main dong lo ke rumah gue :D'
Aku hanya tersenyum membaca sms Bang Kiki. Main ke rumah? Memang rumah Bang Kiki sudah kelar proses pembangunannya? Pikirku. Aku pun berusaha untuk membalas sms Bang Kiki.
'Weits rumah? Rumah lo udah jadi bang? Ih ga ngabar2in nih. iya ntar kalau sempat hehe. Gue kangen ayah banget bang'
Sms terkirim. Kembali aku fokus pada jalanan. Untung saja jarak dari rumah ke kantor tak begitu jauh sehingga tidak begitu merepotkan. Aku lihat jam di tangan kiriku ternyata masih jam delapan. Aktivitas di kantorku dimulai jam setengah sembilan pagi.
Ringtone sms Handphone-ku kembali berbunyi. Ada Balasan dari Bang Kiki.
'Udah dong. Baru siap 3 hari yg lalu. Lo wajib lihat rumah baru gue, Ca. Soalnya semua udah lihat kecuali elo! Haha iya ntar ketemunya di rumah gue aja sama ayah. Ayah kan lagi disini :p'
Lagi-lagi aku tersenyum dibuat Bang Kiki. Bang Kiki Bang Kiki.
'Yaudah. Mungkin besok gue kesana bang. Tunggu aja. Hehe. Salam buat ayah bang. Bilang gue kangen banget :D'
Begitu aku telah mengirimkan sms tersebut, akhirnya aku bisa melihat atap kantor. Ini artinya aku akan sampai kantor sebentar lagi. Aku pun terus melajukan mobil ini. Mobilku adalah mobil Swift berwarna merah. Setelah beberapa kali menyalip akhirnya aku sudah memasuki kawasan kantor juga. kujalankan mobilku ke arah parkiran dan kini mobilku pun sudah terparkir dengan benar.
Aku pun beranjak bangun. Begitu melihat hp, ternyata ada sms dari Bang Kiki.
'Dasar! Tar sore aja kenapa. Yaudah pokoknya buruan kesini. Kangen bgt gue hehe :*'
Haha Bang Kiki emang dasar. Aku juga kangen Bang Kiki tapi kan aku nanti sore mau ke rumah Naura. Besok saja deh. Aku harus mengecek keadaan Naura.
'Nggak bisa bang. Gue mau ke rumah Naura. Hehe. Dia sakit. Besok ya bang. Oke oke XD'
Setelah membalas sms dari Bang Kiki pun aku beranjak bangun dan keluar dari mobil. Aku ambil tas beserta Hp-ku lalu keluar dan tak lupa menekan tombol pengunci mobil yang terdapat pada kunci mobilku.
Aku kaget. Amet tiba-tiba muncul di depanku. Dia langsung memegang jidatku.
"Lo nggak sakit kan?" tanyanya. Aku tak tahu dia khawatir, cemas, atau mau apa. Seenaknya muncul di depan orang. Aku terkejut sekali. Asli lebay. pikirku.
Aku pun segera melepaskan tangan Amet dari keningku.
"Apa sih lo bikin kaget aja. Nggak kok. Gue sehat alhamdulilah. Makasih," kataku ketus. Aku tak suka dengan caranya yang suka muncul tiba-tiba.
"Oh baguslah. Gue kira lo sakit," ujarnya menyeringai.
"Nggak kok. Lo ngapain sih muncul tiba-tiba? Gue kaget tahu!" bentakku agak keras.
"Emang gue muncul tiba-tiba? Perasaan lo aja kali hehe." Amet pun melirik ke belakangku. Refleks aku mengikuti arah matanya. "Mobil lo ya? Kok nggak pernah lo pakai?" tanyanya.
"Oh iya. Malas aja gue pakai. Ini aja gue pakai karena ntar gue mau pergi. Emangnya kenapa, Met?" tanyaku balik.
"Hah, nggak kok. Gue baru lihat aja. Emang lo mau kemana?" tanyanya penasaran.
"Bukan urusan lo!" kataku kasar. Aku pun mendadak ingat bahwa posisi Amet sangat dekat denganku. Langsung saja aku dorong badannya lalu aku pergi meninggalkannya.
Apaan sih, Amet?! Norak banget. Sok cool. Aku pun terus berjalan tanpa melihat mukanya lagi. Dasar. Mau tahu aja urusan orang!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro