7 | DATURA METEL
GERBANG sekolah sudah ditutup. Pantas saja. Luna datang terlambat setengah jam. Kemarin, ia kena diare dan hari ini malah sembelit gara-gara obat dari Maniak. Salah Luna juga sebenarnya. Sengaja sengaja, ia mengonsumsi dua butir obat lagi saat malam, lalu diulang dua jam kemudian sebelum tidur, dan dua jam berikutnya saat terjaga. Pada pagi hari, botol obat sudah tandas tak bersisa. Luna hanya beruntung dirinya tidak tewas gara-gara overdosis.
Selain sembelit, alasan lain yang membuatnya terlambat adalah membuat bekal untuk dimakan bersama Tobias. Tak tanggung-tanggung, Luna membuatkan sekotak bento beserta salad buah. Ia terlampau senang punya teman baru. Jika dirinya berteman dengan cowok cakep begitu, penampilan Luna pasti akan tertular kinclongnya.
Satpam yang menunggui gerbang sekolah tampak hilir mudik di depan gerbang. Jumlahnya ada dua. Lebih baik ia cari jalan memutar saja. Kebetulan sekolah Luna berlokasi di depan kompleks perumahan menengah ke atas.
Luna langsung tahu rute mana yang paling aman untuk diambil karena daya ingatnya cukup bagus, apalagi insting bertahan hidup melatihnya untuk selalu mengamati sekeliling demi mencari rute kabur di saat-saat mendesak.
Seperti saat ini, contohnya. Luna menarik kursi reyot dari tumpukan barang bekas yang sengaja dikumpulkan di tembok belakang sekolah demi memudahkan para pemulung untuk mengambilnya. Permukaan kursi itu rata dimakan rayap. Hanya tinggal beberapa bagian saja yang masih utuh.
"It will work," gumamnya seraya membalik permukaan kursi yang lapuk agar bagian yang masih utuh dapat dijadikan pijakan. Ia menyandarkan kursi itu ke tembok sebelum mundur beberapa langkah.
Sekali lagi, ia menghitung tinggi tembok yang hampir dua setengah kali lipat tinggi tubuhnya. Luna pernah memanjat tembok yang lebih tinggi dari ini. Namun, saat itu ia didukung perlengkapan memanjat dan alat canggih Tea.
Percaya kalau dirinya bisa, Luna berlari lalu memanjat, memanfaatkan kursi dan tembok sebagai pijakan sebelum meraih bagian atas tembok dengan tangan. Dalam sekejap, ia sudah berada di balik tembok. Sambil membersihkan telapak tangan dan membetulkan rok, Luna memandang sekeliling.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Brandon mematung menatapnya. Sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengah. Raut Brandon tampak syok.
"Dari mana munculnya?"
Ternyata bukan hanya Brandon yang terheran-heran. Beberapa Agit yang sedang merokok di depan toilet tua yang kini dialihfungsikan sebagai gudang juga memandang ke atas, tepat di mana Luna tadi datang.
"Hampir empat meter, lho!"
Brandon mengerjap, ikut memandang tembok.
Cekrek!
Semua Agit kompak menoleh. Luna baru saja mengambil beberapa gambar mereka.
"Ngapain?" tanya Brandon ketus.
Luna memutar layar untuk menunjukkan gambar yang barusan ia ambil. Cewek itu memperbesarnya.
"Sebarin apa yang baru aja kalian lihat, foto ini kulaporin ke Komite Pendisiplinan." Ia tersenyum. Foto yang dimaksud adalah foto para Agit sedang memegang rokok di tangan.
Salah satu Agit melemparkan rokok ke tanah sebelum diinjak. "Berani ngancem?"
Luna menggeleng. "Win-win solution." Cewek itu lantas memasukkan ponselnya ke tas. "Udah mau bel jam pelajaran kedua, kan? Duluan, Kak!"
Sebelum seorang pun dari mereka sempat mencegah, Luna sudah berlari menuju kelasnya dan meninggalkan para Agit yang saling pandang.
***
"Perut kamu udah baikan, Lun?" Tobias merasa janggal lantaran Luna tetap masuk sekolah, padahal kemarin bolak-balik ke toilet akibat diare. "Nggak sakit lagi?"
Luna menggeleng sambil tersenyum. Ia mengeluarkan dua kotak makan siang dari tasnya. "Makan di pinggir lapangan basket, yuk?"
Tobias memperhatikan dua kotak bekal, menerka-nerka apa isinya. "Kamu masak sendiri?"
"Iya." Tidak sepenuhnya dusta. Luna meminta bantuan Tamara untuk mencetak bento dan saus saladnya. Tobias tak perlu tahu kalau sepagian ini, Luna menghabiskan lebih banyak waktu di toilet daripada dapur. "Makan bareng, ya?"
Tobias mendongak menatap Luna, cukup lama sampai cewek itu salah tingkah sendiri. "Kamu baik banget."
Tobias tersenyum tulus. Wajahnya jadi dua kali lipat lebih teduh. Entah kenapa jantung Luna mulai berdegup tak keruan.
"Aku bikinin ini karena trauma dipaksa makan bakso cabe," kilah cewek itu agak canggung. Buru-buru ia bangkit. Dengan kotak bekal di tangan, Luna memimpin jalan menuju lapangan. Tobias mengekor di belakangnya.
Di lapangan, Luna mencari-cari tempat duduk. Di depan salah satu kelas dua belas, ada bangku kosong. Beruntung langit sedang mendung. Walaupun tidak ada dahan pohon yang menaungi, tempat itu tetap teduh.
"Sini." Luna menepuk permukaan bangku di sebelahnya, menyuruh Tobias duduk selagi membuka kotak bekal. "Coba ini dulu." Cewek itu menyendok lapisan teratas salad buah.
Tak seperti Luna, Tobias tampak sedikit gelisah. Ia memandang sekeliling. Apakah Luna tidak kapok dikerjai Agit seperti kemarin? Mengapa dia mencari lokasi makan dekat sarang kakak kelas?
"Ayo dicoba!" Sendok di tangan Luna kini diarahkan ke depan mulutnya.
Tobias terpaksa membuka mulut. Adegan suap-suapan itu mengundang perhatian beberapa anak yang lewat. Mereka kompak berbisik sambil menunjukkan ekspresi jijik.
"Lun, kenapa nyari tempat yang kayak gini? Kita dilihatin banyak orang."
Luna ikut memandang sekeliling. Di matanya, kehadiran mereka benar-benar tak mencolok. Anak-anak lain juga banyak yang duduk di pinggir lapangan. Beberapa makan camilan yang dibeli di kantin. Lagi pula, lapangan ini sedang tidak dipakai. Mereka tidak mengganggu siapa-siapa.
"Mereka punya mata, makanya lihat." Luna tersenyum sambil menyendok salad lagi, berhati-hati agar tak mengaduk sampai bawah. Cowok itu mengangguk nikmat. Salad buatan Luna lumayan enak sehingga ia ingin lagi. "Coba bentonya. Aku dibantu tanteku bikin ini." Luna mengambilkan onigiri isi jamur untuk Tobias. "Tanteku vegetarian, pacarnya vegan. Kami nggak makan daging-dagingan di rumah."
"Kamu sendiri? Kok, makan bakso kemarin?"
"Terbiasa makan menu vegetarian nggak bikin aku pengin jadi salah satunya juga." Ujung mata Luna menangkap sekelompok Agit yang mendekat. Ia mempertahankan wajah datar sembari mengaduk salad. "Telur gulungnya enak nggak?"
Tobias masih mengunyah. "Telurnya enak, manis. Nasinya juga wangi. Beras Jepang?"
Cewek itu menggeleng. "Dikasih ketan sedikit sama daun pandan biar punel dan wangi. Tanteku punya restoran, jadi punya segudang cara bikin masakannya enak."
Tobias baru akan membuka mulut ketika lima Agit yang mengerjai mereka kemarin mengelilinginya. Rombongan itu dipimpin Brandon yang langsung mengambil tempat duduk di antara Luna dan dirinya. Yang berbeda, kali ini Brandon duduk menghadap Luna tanpa memedulikan Tobias sama sekali.
"Ponsel." Brandon mengangkat satu tangan di depan Luna. Tak juga mendapat apa yang dimau, Brandon langsung mengambilnya di saku depan, membuat cewek itu mengernyit.
"Lancang," gumamnya pelan, tetapi tak melakukan apa-apa untuk merebutnya kembali.
Ponsel Luna tidak bersandi. Brandon dapat membukanya dengan mudah. Tanpa sungkan, Brandon membuka album. Ia tak menemukan banyak foto selain koleksi gambar unicorn dan pelangi. Di antara semua gambar mencolok itu, ada dua foto yang Luna ambil pagi ini. Foto Brandon dan teman-temannya yang sedang merokok di belakang sekolah.
Usai menghapusnya, Brandon memandang makan siang adik kelasnya. Lagi-lagi tanpa sungkan, ia mengambil sendok dari tangan Luna dan mencicipi salad buah sambil menatap Luna tanpa berkedip. Cewek itu balas menatapnya.
"Ada yang masih sepet." Dahi Brandon berkerut sedikit, tetapi tak berhenti makan. Dalam waktu singkat, salad yang tersisa tinggal separuh. "Ketolong sama mayones." Bak kritikus makanan, Brandon terus bicara.
"Nggak sekalian diabisin semuanya?"
Luna melirik singkat kotak salad yang Brandon letakkan. Kini, cowok itu ganti mencomot sepotong onigiri berlapis rumput laut kering. Kotak bento yang masih tersisa diberikan pada teman-temannya. Mereka langsung membagi isi bento sampai tandas dimakan.
"Kalian ini keterlaluan!" Tobias bangkit untuk merebut kotak bekal Luna. Tangannya terkepal menahan kekesalan.
"Banci bisa marah juga, toh?" Salah satu komplotan Brandon menyindir dengan senyum sinis.
"Jangan digoda, nanti dilaporin gadunnya," balas yang lain. Mereka terkekeh, terkesan melecehkan.
Tak ingin memperpanjang masalah, Luna mengambil kembali ponselnya dari tangan Brandon lalu ikut bangkit. Ia menggandeng Tobias, setengah menyeretnya kembali ke kelas.
"Kita harusnya ngelawan!" Tobias melepaskan tangan Luna ketika mereka sudah di kelas. Ia masih tak terima dengan sikap seenaknya dari para senior itu. Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun hingga pantas menerima perlakuan tadi.
"Aku bawa bekal satu lagi, kok. Kita makan di kelas aja." Luna sudah duduk manis di kursinya. Sebuah kotak bekal yang sama dikeluarkan dari dalam tas. Isi di dalamnya juga sama. Hanya saja, kali ini bukan salad melainkan onigiri.
"Kamu dateng telat pasti gara-gara masak ini." Senyum Tobias merekah. Ia menyusul Luna duduk dan menghabiskan makan siang mereka sebelum bel masuk berbunyi.
Kali ini Luna tak menyuapinya. Ia membawa sepasang garpu dan mengulurkan salah satu pada Tobias. "Enak nggak?"
"Lumayan." Mulut Tobias penuh oleh onigiri. "Kok, bawa banyak? Udah feeling bakal didatengin Agit, ya?"
Luna hanya mengangguk.
***
Matematika bukanlah pelajaran favorit Luna, mungkin bukan favorit sebagian besar anak di kelasnya juga. Ditambah guru yang mengajar usianya sudah separuh abad dan cara mengajar ketinggalan zaman, Luna sukses tertidur di kelas. Sesekali ia terbangun oleh senggolan pelan Tobias.
"Lunette!"
Luna terbangun lagi bukan karena senggolan Tobias, melainkan panggilan dari Pak Guru yang memukul mejanya pakai penggaris besi. Suaranya mengagetkan.
"Iya, Pak?" Cewek itu sempat-sempatnya mengucek mata. Maklum, matanya mendadak rabun setelah keasyikan tidur dengan wajah menelungkup.
"Kerjakan soal di depan!"
Luna menatap papan tulis di mana soal determinan matriks langsung membuatnya menelan ludah. Kedua bahunya merosot dan ekspresinya memelas. Ia tak mengerti satu pun.
Dengan berat hati, ia bangkit dari kursi lalu berjalan ke depan kelas diikuti Pak Guru yang bahkan Luna tak ingat namanya. Setelah mengambil spidol, ia menoleh ke belakang, berniat meminta bantuan Tobias. Cowok itu menunduk.
Luna membuka tutup spidol. Punggungnya terasa dingin karena tatapan teman-teman sekelasnya. Kalau tidak bisa menjawab soal ini, ia sukses menjadi badut karena harus berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran berakhir. Masih untung disuruh berdirinya di depan kelas, kalau dijemur di lapangan?
Lagi, Luna menoleh ke belakang. Di saat yang sama, Tobias juga mengangkat secarik kertas yang sudah terisi rumus. Ukurannya dibuat besar-besar agar Luna dapat membacanya. Butuh beberapa detik bagi Luna untuk menghafal rumus itu dan menyalinnya di papan tulis. Ketika Pak Guru ikut menoleh, Tobias sudah menurunkan lagi kertasnya sambil tersenyum.
Rumus sudah ditulis, tetapi Luna masih tidak tahu cara mengerjakannya. Ia menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
"Ada yang kesurupan!"
Semua orang serentak menoleh ke pintu di mana ribut-ribut terjadi. Pak Guru menyusul ke luar untuk mencari tahu. Luna hanya berdiri sambil memandang pintu, memperhatikan teman-temannya yang berebutan keluar dari kelas.
"Nggak penasaran?" Tobias menepuk bahunya.
Kelasnya sudah kosong melompong lantaran semua orang lebih tertarik melihat apa yang sedang terjadi di luar. Hanya Tobias dan Luna yang masih tinggal.
"Nyelesein ini dulu." Luna menggigit kepala spidol, memaksa otaknya berpikir.
Tobias mengambil alih spidol untuk mulai mengerjakan. Ia meneruskan rumus yang ditulis Luna. Cara penyelesaiannya cukup panjang. Tobias mengisi hampir separuh bagian papan tulis dengan jawaban.
Luna bergumam takjub. Berapa kali pun dibaca, ia tetap tidak mengerti.
Usai menulis jawaban, Tobias menutup spidol lalu mengembalikannya ke meja guru.
Biasanya, Luna paling takut dengan hal-hal yang berbau supranatural. Hantu, setan, dedemit, dan iblis selalu berhasil membuatnya merinding. Tea sering menggodanya dengan mengatakan kalau orang-orang yang pernah ia bunuh akan bangkit dari kubur untuk membalas dendam padanya.
Sayang, teori serupa tidak pernah diyakini oleh Luna. Baginya, orang yang sudah mati tak akan hidup lagi. Hantu dan sejenisnya berasal dari neraka, sengaja muncul ke dunia untuk menakuti orang-orang berhati lemah. Terkadang kalau Tea sedang bersemangat mengerjainya, cerita hantu itu sampai membuatnya bermimpi buruk. Mereka menjelma jadi sosok-sosok tak berwajah yang pernah ia bunuh, menuntut Luna meminta ampun pada mereka.
Luna menyesal? Tentu tidak.
Karena takut, dia berlari. Kalau mereka masih mengejar, Luna akan membunuh mereka lagi untuk yang kedua kalinya. Semakin mereka bangkit, semakin bersemangat Luna menebas dengan belati kesayangannya. Rasa takutlah yang membuatnya jadi nekat dan mampu mengendalikan mimpinya sendiri.
Berbeda dengan hari ini, Luna tak merasa takut sama sekali. Dia tahu siapa yang sedang kesurupan.
"Astaga!" Tobias terheran-heran mendapati beberapa Agit sedang bertingkah di tengah lapangan. Bukan sembarang Agit, melainkan Brandon dan teman-temannya.
Ekspresi terkejut juga tampak di wajah semua orang yang menonton di pinggir lapangan. Para guru mencegah anak-anak lain mendekat. Mereka sibuk menenangkan Brandon dan teman-temannya yang disangka sedang kesurupan. Seorang guru agama memegang Alkitab, membacakan ayat-ayat yang diyakini dapat menghentikan Brandon berenang di atas paving atau temannya yang sedang memanjat tiang atau yang sedang menari erotis sambil melucuti seragam. Keadaannya kacau sekali. Kylie sampai ikut histeris, mengira teman-temannya betulan kesurupan.
"Kamu siapa?" bentak Pak Ronald, guru olahraga, pada Wylan. Beliau mengira kalau menyebutkan nama lengkap sosok yang merasuki tubuh anak didiknya akan membuat pekerjaan eksorsis jadi lebih mudah.
Agit bernama Wylan berjongkok sambil menangkupkan tangannya di atas kepala. Ia tak menjawab sehingga membuat Pak Ronald bertanya sekali lagi dengan hardikan keras.
"Saya tunas taoge, Pak. Lagi fotosintesis," jawab Wylan, lengkap dengan mata merem melek dan tubuh bergoyang ke sana kemari. Tampaknya ia berusaha menjaga keseimbangan saat berjongkok. "Minggir! Itu kupu-kupunya mau lewat."
Pak Ronald menghampiri Brandon yang sedang tiarap. "Brandon, ayo bangun! Ngapain kamu tengkurep begitu?" Beliau berusaha menarik tubuh Brandon agar berdiri.
"Jangan, jangan!" Brandon melepaskan diri. "Ayo renang, Pak! Kita dikejar ubur-ubur!" Sesekali ia menoleh ke belakang dengan mimik ketakutan, lalu mulai mendayung dengan kedua tangannya lagi.
Bacaan guru agama semakin lantang. Beliau berdiri di atas bangku pinggir lapangan, berteriak untuk memerintahkan setan dan iblis yang sedang merasuki tubuh murid-murid itu segera pergi. Keadaannya cukup kacau dan mencekam. Namun, semencekam apa pun situasinya, banyak ponsel yang terangkat untuk merekam. Beberapa bahkan melakukan siaran langsung di media sosial masing-masing, memberitakan peristiwa kesurupan massal yang terjadi di Pelita Nusantara.
Hanya Luna yang terkekeh. Ia tidak sanggup menahan tawa.
"Kok, kamu ketawa, sih? Apanya yang lucu?" Tobias tak habis pikir dengan reaksi Luna. Kemungkinan temannya itu juga kesurupan sempat terlintas sebentar di benaknya. Namun, sorot mata Luna yang fokus mematahkan kecurigaannya.
Dokter sekolah menyeruak dari kerumunan. Ia berlarian dari klinik setelah dikabari tentang peristiwa kesurupan ini. Usai memeriksa satu per satu korban, dokter memerintahkan siswa laki-laki membantunya membawa para korban ke klinik. Pak Ronald dan guru agama ikut menyusul.
"Beberapa jam lagi juga siuman," bisik Luna.
Tobias mengernyit tak paham.
Alih-alih menjawab, Luna malah mengulum senyum. Memang tidak rugi kemarin dia mencuri buah kecubung dari toko Maniak. Buah hijau berduri yang ia temukan jumlahnya sangat banyak. Luna mengambil dua genggam penuh dan menyembunyikannya di dalam tas.
Di tangan seorang ahli, buahnya bisa diolah menjadi obat bius, antirematik, dan antitusif. Itu pun jika diracik dengan benar. Sedangkan di tangan Luna, kandungan zat alkaloid dimanfaatkan untuk membuat Brandon dan kawan-kawan berhalusinasi, mirip efek samping amfetamina dan kokaina.
Sejak kecil, Luna berteman akrab dengan segala jenis narkotika. Bukan berarti dia pemakai. Papa dan mendiang omnya punya ladang opium serta menjalankan bisnis kartel narkoba di pedalaman Thailand sana. Mau tidak mau, Luna jadi punya pengetahuan mendalam tentang berbagai produk yang dijual. Buah kecubung dan bunganya yang berbentuk terompet merupakan salah satu yang dipelajarinya.
Luna sengaja mengupas dan memotong buah kecubung menjadi kecil-kecil, lalu meletakkannya di dasar kotak salad. Dengan hati-hati, ia menyuapi Tobias potongan buah di lapisan teratas supaya kecubungnya tidak sampai termakan. Cewek itu punya kecurigaan geng Brandon akan mencari mereka, jadi ia memilih lokasi yang paling terekspos.
Bukan hanya salad, semua isi bento kecuali onigiri dan telur gulung yang dikonsumsi Tobias juga mengandung potongan buah kecubung. Luna sendiri yang memasak tumisan jamur dan buah beracun itu sebelum dijadikan bahan isian oleh Tamara. Tentu saja tantenya tidak tahu tentang rencana Luna.
"Kamu tahu dari mana mereka bakal siuman? Pernah lihat orang kesurupan sebelumnya?" Tobias menyenggol lengan Luna, ekspresinya masih penasaran.
Sebagai jawaban, Luna hanya mengedikkan bahu. Enggan menjelaskan atau membahas lebih jauh. Cowok itu tak perlu tahu Luna sebetulnya seorang pendendam. Kekesalan Luna terhadap Brandon yang telah membuat sepedanya rusak serta menyiksanya dengan diare akhirnya lunas terbayarkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro