Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | ROUND TWO

BANGUNAN tinggi di pinggir padang rumput itu ukurannya tak terlalu luas, tetapi cukup untuk memberi tempat berteduh bagi gajah dari sengatan panas dan hujan. Setiap gajah punya satu bilik termasuk Anabel.

Berhubung Tarin sedang membersihkan kotoran di dalam bilik, Anabel dibiarkan menunggu di luar. Walau padang rumput di depannya cukup luas untuk dijadikan tempat bermain, Anabel tidak beranjak dari posisinya. Kelihatannya gajah itu sedang tak ingin jauh-jauh dari si pawang baru.

Selain kaki pincang sebelah, Looney juga menemukan perbedaan pada penampilan Tarin hari ini. Terdapat luka lebar mengilap di belakang dagu cewek itu, hanya kentara jika ia sedang mendongakkan kepala.

"Kembaliin sekopnya," ujar Tarin datar. Mereka berdiri berhadapan dan hanya terpisah tumpukan kotoran. "Mau kupake buat ngasih makan Anabel."

Mengabaikan permintaan barusan, Looney mengecek seberapa tajam ujung sekop garpu di tangannya. Ia bertanya, "Gimana caranya kamu lolos dari pulau itu?"

"Naik kapal."

"Emangnya dermaganya nggak ikut hancur?"

Seingat Looney, tidak ada bangunan yang selamat dari bom. Setelah CRT naik pesawat, Looney melemparkan bom penghabisan berdaya ledak paling tinggi untuk meratakan seluruh pulau beserta semua bukti penyergapan.

Tak kunjung mendapat jawaban tidak membuat Looney berhenti penasaran. "Cuma kapal besar yang bisa nyeberang samudra seluas itu. Dan dari sekian banyak tempat, kenapa kamu malah ke sini?"

"Ini rumahku."

"Kebun binatang?"

Tarin tak menjawab. Matanya sibuk memindai tubuh Looney. Tak ada bom yang dibawanya.

"Aku juga pengin hidup abadi kayak kamu." Looney memainkan sekop. "Gimana caranya biar kebal sama bom?"

"Kulitku dilapisi silikon antitermal yang bisa mengeras seperti armor."

"Interesting. Jadi, apa itu artinya kamu bukan manusia?"

Sistem Tarin tak mengenalinya sebagai sumber bahaya. Walaupun Looney sedang mengacungkan sekop garpu dan memori tentang pertarungan terakhir mereka masih tersimpan dalam kepalanya, dia tetaplah rakyat sipil biasa di mata Tarin. Setidaknya itulah hasil akhir asesmen terhadap Looney.

"Lunette Rynn Bianca, murid kelas sebelas SMA Pelita Nusantara. Usia tujuh belas tahun. Tinggi 154,7 sentimeter. Berat 51 kilogram. Lahir di Mae Hong Sorn, Thailand." Tarin memiringkan kepala sedikit. "Kamu sedang dalam program internship di Kebun Binatang Surabaya. Apa itu sebabnya kamu di sini?"

Lawan bicaranya hanya bisa ternganga. Seekor lalat hampir masuk ke mulut Looney kalau saja tidak buru-buru menyadarkan diri.

"Kok tahu, sih?" Cewek itu bertepuk tangan. "Hebat banget!"

"Terima kasih."

"Nah, sekarang ayo ikut aku! Temen-temenku pada nyalahin aku karena ngeledakkin kamu kemarin."

"Kenapa aku harus ikut?"

Looney berpikir sebentar. "Not sure, tho. Mereka bilang kamu target. Artinya, aku bisa dapet uang kalau ngasih kamu ke mereka." Dirinya terlalu diliputi perasaan bersalah sehingga luput menanyakan detail tentang Tarin ketika disidang oleh J.

"Apa yang terjadi kalau aku nggak mau ikut?" Telapak tangan Tarin terangkat untuk mengusap perut Anabel selagi tatapannya fokus pada Looney.

"Terpaksa ...," ujung mata sekop garpu diacungkan, "kita bertarung lagi. Anggep aja ronde dua." Mata Looney berkilat. Bibirnya membentuk seringaian lebar.

Tarin dapat melihat dengan jelas degup jantung Looney yang meningkat akibat adrenalin. Sedikit pun tak menunjukkan ketakutan. Sensor di kepala Tarin agak terlambat mengenalinya sebagai bahaya ketika Looney menghunuskan sekop.

Alih-alih menghindar, Tarin mematahkan pegangan sekop jadi dua tanpa merebutnya lebih dulu. Tindakan di luar dugaan itu sama sekali tak membuat Looney terkejut.

"Fair enough." Looney melempar sekop sembarangan. Tak adil jika menyerang lawan yang tak bersenjata. Pertarungan kali ini bertekad ia menangkan dengan tangan kosong.

Looney memosisikan tangannya yang terkepal di depan wajah. Kaki kanan bergeser ke depan kaki kiri. Terakhir kali mereka bertarung, Tarin meniru semua jurus silatnya. Kali ini, Looney menyerang lebih dulu dengan jurus yang sama.

Tendangan Looney berhasil ditangkis. Dia menghindari pukulan Looney yang membabi buta dengan pola yang sama seperti terakhir kali tanpa modifikasi.

Selagi menyerang, Looney mempelajari pertahanan Tarin, tak menyadari hal itu membuatnya lengah selama sepersekian detik. Begitu Tarin menggunakan kesempatan untuk balas menyerang, Looney tak menghindar. Ia menggunakan celah untuk kembali menyerang dengan tendangan samping ke kepala Tarin. Dalam sekejap, ia beralih ke muay thai.

Tarin terhuyung hingga menabrak pembatas besi. Sistemnya gagal mengantisipasi pola serangan Looney. Kakinya yang pincang menghalangi dirinya bergerak lebih gesit.

"Sangat mengecewakan." Looney geleng-geleng kepala seraya menunjukkan raut simpati. Ia memungut ujung sekop garpu yang tergeletak di sebelah tumpukan kotoran. Looney ingin segera mengakhiri ini karena bau menyengat gajah mulai meracuni otaknya. "Ini lebih cepat dari yang kuharapin. Thanks to you, nobody notices us."

Tarin kesulitan menggerakkan kakinya. Ia beberapa kali mencoba bangkit, tetapi langsung terhuyung lagi. Perlu dua kaki untuk menumpu tubuhnya yang berat.

Tanpa aba-aba, Looney menendang kaki Tarin yang cedera sampai terjatuh. Tarin merangkak agar bisa memeluk pagar besi. Walaupun tidak bisa merasakan sakit, Tarin tetap mundur. Sistem motoriknya gagal merespons perintah. Tak puas hanya menendang, Looney juga menginjak kaki Tarin hingga patah. Tubuh Looney memang kecil, tetapi tenaganya besar seperti penghancur.

Tarin hanya dapat memandangi kakinya yang malang tanpa ekspresi.

"Kenapa kamu jadi lamban?" Looney menempelkan ujung sekop ke leher Tarin. "Sengaja?"

Looney tidak menyukai lawan yang lemah. Saat bertemu Tarin tadi, harapannya untuk duel terasa menggebu-gebu. Setelah mendapati Tarin loyo begini, tentu saja ia kecewa.

Di lain pihak, Tarin justru tidak punya alasan khusus mengapa dirinya jadi lemah selain karena sistemnya kacau setelah ledakan di pulau terakhir. Sistemnya mencegah Tarin melukai Looney karena dianggap tidak berbahaya. Data di kepala Tarin mengatakan kalau sekop besi bukanlah alat yang bisa dijadikan senjata pemusnah. Alhasil, ia lebih banyak menghindar agar tak mencederai Looney. Lihat sekarang, justru dirinyalah yang terluka. Seandainya bertemu nanti, Tarin akan mengajukan permintaan pada tuannya agar ambiguitas penilaian ini segera diperbaiki.

"Kok, nggak jawab? Mendadak bisu, ya?"

Diam-diam, Looney memperhatikan gurat ekspresi yang dibuat Tarin ketika ujung mata sekop menekan permukaan kulitnya. Banyak yang tidak beres dalam diri Tarin. Seharusnya Looney menyadarinya sejak bertemu pertama kali di Pulau Teroris. Ah, waktu itu dia memang menyadari, tetapi tidak melakukan apa-apa. Bomnya keburu meledak.

"Kalau aku jawab pertanyaanmu, bisakah kamu berhenti menyerangku?"

Looney hanya tersenyum sinis. Tanpa mengatakan apa-apa, ia menghunjam kepala Tarin dari bawah. Kalaupun berniat mengubah kulitnya menjadi lapisan armor, Tarin sudah amat terlambat. Looney memanfaatkan luka di belakang dagu Tarin sebagai jalan masuk sekop hingga kini menembus kepala.

Kelopak mata Tarin menutup, begitu juga kesadarannya.

"Well, well, well ...." Looney berjongkok di depan Tarin, memperhatikan kerusakan yang baru ditimbulkan. "Beneran bukan manusia, ya?"

Setelah memperhatikan cukup lama, akhirnya Looney menyadari kalau Tarin ternyata sebuah mesin.

***

Van yang dikendarai Tea berhenti di area pembuangan sampah. Kondisinya sangat lengang. Ia menurunkan kaca jendela, mulai celingukan. Looney bilang harus menemuinya di area pembuangan kebun binatang. Bocah itu juga menyuruh Tea membawa sebuah truk.

Tea tidak menyimpan truk di rumahnya. Lagi pula, Looney minta cepat-cepat dijemput. Tea tak memiliki waktu untuk sekadar mengirim minion mengingat nihilnya detail situasi yang tengah dihadapinya saat ini.

"Psstt ... Kak Tea!"

Tea menoleh ke sumber suara.

Kepala Looney menyembul dari balik bak sampah. Wajahnya belepotan sesuatu yang berwarna cokelat kehijauan. Nodanya separuh kering. Looney melambaikan tangan agar Tea mengemudikan van lebih dekat.

"Lo ngapain sembunyi di situ?"

Begitu mobilnya tepat berada di depan bak sampah, Tea turun untuk menghampiri. Baru beberapa langkah, cewek itu mendadak mundur. Tea langsung mual akibat bau menyengat.

"Lo abis ngapain jadi bau tahi begini? Boker di celana?" Tea menutupi hidungnya, jijik.

Sembari mendekat agar Tea bisa melihat penampilannya, Looney menahan air matanya supaya tak tumpah. Baju yang ia kenakan sudah tidak jelas apa warnanya.

"Aku habis kena tahinya gajah, Kak."

"Lah, kok bisa?" Tea mencegah Looney mendekatinya. Sungguh, baunya luar biasa. Tea merasa asam lambungnya berlomba naik ke tenggorokan.

"Ngangkut Tarin, Kak."

Mendengar nama Tarin disebut, tangan Tea refleks turun dari hidungnya. "Tarin yang itu?"

Looney mengangguk. Ia menyingkir beberapa langkah supaya Tea bisa memastikan sendiri isi gerobak yang berhasil diselundupkannya tanpa diketahui oleh siapa pun. Sebelum mengangkut Tarin, Looney sempat menukar baju seragamnya dengan celana kargo serta kaus polo milik Tarin sehingga tak menimbulkan kecurigaan.

"Mana Tarin?"

Hanya ada kotoran gajah beserta pasukan lalat di atas gerobak Looney.

Yang tidak disangka-sangka, Looney mulai menggali kotoran di gerobak dengan tangan kosong. Tea mengernyit jijik tanpa ingin membantu. Di balik tumpukan kotoran itu, sepotong tangan menyembul, menyusul dada, lalu kepala. Tea tidak langsung mengenalinya. Dia juga enggan mendekat.

"Harus dimandiin dulu sampe bersih," jelas Looney. "Tadi kukubur biar nggak ketahuan. Mana dia berat banget! Untung aku biasa angkat besi di rumah." Ia memamerkan otot bisepnya yang menyembul sedikit jika dipaksa. "Kalau nggak ada tahinya Anabel, nggak tahu deh gimana caranya ngeluarin Tarin dari kandang itu."

Seolah mengerti sedang disinggung, bunyi terompet dari belalai Anabel sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gajah betina itu sepertinya kembali mengalami tantrum lantaran tidak ada pawang yang menemani. Semua keeper pasti kerepotan.

Baru menyadari tangannya penuh kotoran, Looney mendadak ngeri. Air matanya otomatis merebak. Kenangan masa kecil tiba-tiba berkelebatan di kepala. Sewaktu usianya lima tahun, Looney juga pernah tercebur ke parit pembuangan. Sekujur tubuhnya rata oleh cairan pekat berwarna hitam, tetapi tidak sebau ini.

Mendadak Tea menunduk dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

***

"J!" Looney berseru ketika J akhirnya muncul.

"Jangan gerak gue bilang!"

Hardikan Tea membuat Looney refleks diam di tempat.

J menghampiri Tea yang menggigil di bawah selimut. Rambutnya masih basah. Secangkir teh panas mengepul berada dalam genggamannya. Kedua mata Tea tak lepas dari Looney yang sedang berdiri di dalam bilik sterilisasi UV. Looney juga sudah mandi tiga kali. Tak mudah menghilangkan bau kotoran dan urine gajah yang menempel di tubuh. Demi memastikan tak ada bakteri atau virus yang dibawa Looney ke rumahnya, Tea menyinari remaja itu dengan sinar UV khusus disinfektan.

"Mana Tarin?" Kepala J celingukan.

Tea hanya mengedikkan kepala ke arah kamar mandi di mana suara keran air tak berhenti terdengar sejak tadi. "Minion gue lagi deep cleaning-in dia."

J bergegas menuju kamar mandi. Baru sedetik membuka pintu, J buru-buru menutupnya lagi. Bau dari dalam sana begitu menyengat.

"Bau apa, sih?" Lelaki itu kembali menghampiri Tea di sofa. Hidungnya berkerut-kerut jijik. "Minion-mu nggak pada mati mandiin dia?"

"Mereka pake hazmat sama masker oksigen."

"J, aku yang bawa Tarin ke sini!" Looney memutar tubuhnya di dalam bilik supaya proses sterilisasinya cepat selesai. Ia tak sabar ingin segera keluar, ingin membanggakan dirinya pada J.

"Looney nggak sengaja ketemu dia di kebun binatang, terus duel." Tea menghela napas berat. "Gue belum tahu kerusakan Tarin separah apa. Minion kesayangan lo ini nusuk kepalanya pake sekop garpu sampe nembus. Sinting!"

"Kak Tea nggak tahu Tarin itu setangguh apa! Kemarin aja aku hampir koit dicekik. Beruntung punya bom!" Looney menyanggah dengan berapi-api. Selesai disterilisasi, Looney melompat keluar dari bilik. "Dia bukan manusia, pasti bisa diperbaikin. Waktu naik gerobak tadi, aku lihat jarinya masih gerak-gerak."

"Menurut lo, kenapa dia ada di kebun binatang itu?" Tea menoleh ke arah J.

"Raditya bilang Tarin hilang di sana. Kayaknya Tarin cuma ngikutin memorinya. Yang aku bingung, kenapa dia nggak langsung hubungin Raditya?" J mengempaskan tubuh di sebelah Tea. "Menurutmu, kita harus ngembaliin dia ke Raditya?"

"Karena aku udah bawa Tarin ke sini, apa status blacklist-ku dicabut?" Looney amat berharap dirinya diajak bergabung dalam misi lagi.

Di luar ekspektasinya, J justru menggeleng tegas. "You're still grounded. Kamu melukainya. Kalau sampai Tarin rusak dan nggak bisa hidup lagi, kamu yang tanggung jawab."

"Nggak adil!"

"Mencabut hukumanmu justru nggak adil buat yang lain, Looney. Lagian, kamu dapet inspirasi dari mana buat nusuk kepala Tarin pake sekop garpu?"

"Cuma itu yang tersedia." Looney menggigit lidahnya, ingat betul saat Tarin berupaya bernegosiasi dengannya. Tarin berharap Looney berhenti menyerang jika ia menjawab setiap pertanyaannya. J tidak boleh tahu tentang itu. Sama sekali.

"Kamu bisa hubungin Tea sebelum kamu mutusin. Bukan sesudahnya."

J belum berubah pikiran tentang statusnya. Looney tak dapat berbuat banyak, apalagi membantah. Ia jadi teringat sesuatu.

"Apa yang Tarin lakuin di pulau Hanafi? Dia bilang nyeberang ke sini naik kapal. Motivasinya pasti gede banget. Emangnya apa yang dia cari?"

J dan Tea saling pandang. Mereka belum memberi tahu Looney tentang keterkaitan Tarin, Raditya, dan Maestro. Hal itu malah memicu ingatan J terhadap seseorang.

"Ngomong-ngomong, papamu ke mana? Susah banget dihubungin," ujar J tanpa menjawab pertanyaan Looney.

"Aneh," gumam Looney. "Kemarin, Tante Mara juga nanyain Papa. Tumben banget kalian inget papaku. Kenapa emangnya?"

Tea berdeham pelan sebelum menyeruput teh panas. "Joker kangen kali."

Kedua alis Looney membentuk garis sejajar. "Papaku nggak suka J sejak kami tahu Revi yang jadi otak pembunuhan Om Toni."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro