Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 | A DATE

JIKA sarana dan prasarananya tersedia, mungkin Looney mampu menciptakan bom berdaya ledak tinggi yang bisa menghancurkan sebuah kota seperti Tarin. Tanpa efek radiasi, tentunya. Lihat saja pulau ini. Luluh lantak tak bersisa.

Walau kejadiannya sudah berlalu lebih dari seminggu, asap sisa kebakaran masih membumbung tipis di angkasa. Hutan-hutan jadi gundul. Semua tanaman mati. Sisa-sisa tengkorak manusia berserakan di setiap sudut. Kalau saja waktu itu J dan teman-temannya tak pergi tepat waktu, mungkin nasib mereka berakhir sama seperti tengkorak-tengkorak ini.

J mengamati sekelilingnya. Jika yang dikatakan Raditya benar, hazmat yang J kenakan dapat melindunginya dari ancaman radiasi Tarin.

Hitam jelaga melapisi tanah di bawah kaki J. Tempat ini adalah bekas gudang yang menjadi pusat ledakan. Sesekali ia menunduk untuk mencari-cari sesuatu.

Berat tubuh Tarin tak lebih dari seratus kilogram. Untuk ukuran remaja yang perawakannya rata-rata, bobotnya tentu tak biasa. Itu saja bisa dijadikan tolok ukur betapa tidak normalnya Tarin. Seseorang dengan bobot seberat itu tentu meninggalkan jejak kaki yang cukup dalam di permukaan tanah.

Nah, ketemu! Jejak kaki sebelah kiri lebih dalam, sedangkan yang kanan berbentuk memanjang. Tampaknya Tarin berjalan agak terseok karena kakinya terluka.

Alat ukur radiasi di tangan J masih menunjukkan angka wajar, jadi ia putuskan untuk melepas helm pelindung. Bau hangus langsung memenuhi indra penciumannya.

"Bos, di bawah tebing ada dermaga kecil yang lolos dari ledakan."

Bersamaan dengan suara Codet dari alat komunikasi, sebuah helikopter melesat cepat di atas kepalanya. Pesawat itu putar arah menuju tebing yang tak begitu jauh dari posisi J. Ia bergegas ke sana lantaran jejak kaki yang dicurigainya sebagai milik Tarin juga mengarah ke lokasi yang sama.

***

Luna membaca pesan di ponsel Brandon sambil makan dengan lahap. Tiga gelas smoothies yang sudah tandas digeser bersama piring bekas waffle, gelato, dan cheesecake. Ekspresinya serius.

Di sebelah piring, dua cincin hitam diletakkan sejajar. Cincin-cincin itu tadinya sempat melingkari masing-masing jari tengah dua penyerang Brandon. Bentuknya sama persis dengan yang dipakai Tobias dan Justin. Bahannya cukup keras, mungkin dari zirkonium. Cincin semacam ini umum digunakan golongan aseksual sebagai simbol identitas terhadap sesama. Luna baru saja membacanya dari beberapa forum di internet.

Setelah hasil pengamatannya terhadap pesan di ponsel Brandon menemui jalan buntu, ia beralih mengamati cincin. Sekian lama mempelajari, Luna sampai pada kesimpulan.

Justin menyuruh teman-temannya untuk menghajar Brandon.

Hipotesis itu masih terasa mengganjal. Bagaimana dengan senjata api yang dibawa salah satu dari mereka tadi?

Oke, anggap saja mereka biasa membawanya ke mana-mana karena pistol jenis itu cukup umum diperjualbelikan di pasar gelap.

Luna mengerang pelan. Seharusnya tadi dirinya sempat membuka baju mereka dan mencari tahu simbol identitas lain. Tato, misalnya.

Brandon mencuri lihat ke arah Luna. Usai menyaksikan kemampuan Luna tadi, ia akhirnya menyadari kalau cewek ini bisa saja menghajarnya jika mau. Tanpa pikir panjang, Brandon langsung mengajaknya pergi ke kedai es krim sebagai wujud permintaan maaf dan terima kasih. Ia membelikan Luna hampir semua makanan yang ada di daftar menu. Meskipun mungil, ternyata selera makan Luna besar hingga Brandon yang atlet basket sekolah saja meringis.

Tiba-tiba Luna bersendawa. Suaranya cukup kencang hingga menarik perhatian beberapa orang di sebelah meja mereka.

"Smoothies mangganya belum dateng?" tanya Luna.

Brandon melihat jam tangan. "Bentar lagi. Baru juga lima menit lalu pesennya."

"Tadi udah ditambah kentang goreng sama susu putih anget?"

"Kamu belum kenyang?" Cowok itu menatap piring-piring kosong di hadapannya.

Luna menggeleng. "Habis sendawa, jadi ada ruang kosong." Ia menepuk-nepuk perutnya yang kini agak buncit. "Ini baru kompensasi terima kasih, belum yang maaf."

Brandon memandangi bill di dekat dompetnya. Untuk memberi makan Luna, ia menghabiskan sisa uang jajannya seminggu. Mendadak ia menyesali keputusan untuk mengajak Luna makan di kafe yang lumayan mahal.

"Semuanya udah dipesan. Tunggu bentar, ya?" Brandon memaksakan seulas senyum tipis.

Tidak. Ia tak boleh menyesal. Bagaimanapun juga, Luna telah membantunya. Cewek itu juga tahu masa lalunya sebagai mantan pecandu. Well, Brandon terpaksa memberi tahu sebab Luna terus mengatainya bodoh karena mau-mau saja mengikuti instruksi pesan misterius.

"Kamu kenal mereka?" tanya Brandon setelah sekian lama ragu harus bertanya atau tidak.

"Nggak." Luna memasukkan dua cincin itu ke sakunya.

"Ka-kalau mereka ngelaporin kita ke polisi, gimana?"

Cewek itu memandangnya tanpa berkedip. "Nggak bakal."

Jika boleh jujur, sebenarnya Brandon masih agak syok. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat senjata betulan atau mendengar bagaimana senjata itu ditembakkan kecuali di film. Menyaksikan sendiri bagaimana Luna mengatasi dua preman bersenjata seolah bukan apa-apa, perspektif Brandon terhadap cewek itu berubah drastis.

"Kenapa kamu ngambil cincin mereka?" tanya Brandon lagi.

"Bentuknya familier, mau kusimpen." Luna menyedot sisa smoothie di gelas terakhir dengan amat berisik. Cewek itu celingukan, menanti makanan berikutnya datang. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu suka ngusilin kami di sekolah? Tobi dan aku, maksudnya."

Tuh, 'kan? Luna tak begitu peduli dengan tindakannya tadi.

Brandon mengedikkan bahu. "Aku nggak suka sama dia." Plus, tubuh Luna yang mungil serta ekspresinya ketika sebal cukup menyenangkan untuk dilihat. Brandon tak berani mengakuinya setelah tahu apa yang bisa diperbuat Luna jika ia melewati batas.

"Kamu tahu dia homo?" Brandon melanjutkan.

"Terus kenapa kalau homo?"

"Ya, aku nggak suka lihat dia di depan mataku! Banci!"

Hidung Luna berkerut. "Terus salahku apa?"

"Kamu bergaul sama dia!" Di mata Brandon, siapa pun yang bergaul dengan orang yang tak disukainya otomatis jadi musuhnya juga.

Cewek itu menggaruk kepala. Sungguh, itu alasan paling kekanakan yang pernah didengarnya. Tak sempat mengatakan komentarnya, pesanan Luna tiba. Pramusaji memindahkan isi nampan ke meja dan menggantinya dengan piring serta gelas kotor. Luna tak butuh izin Brandon untuk mulai makan.

"Lun ...." Panggilan Brandon hanya direspons Luna dengan dongakkan kepala. "Kamu belajar bela diri di mana?"

"Thailand."

"Berapa lama sampai bisa sejago itu?"

"Seumur hidup," jawab Luna di sela-sela kunyahannya. "Aku lahir di sana. Papaku orang Surabaya, tapi merantau." Ia menjelaskan tanpa diminta, kalau-kalau Brandon penasaran bagaimana dia bisa semahir itu berbahasa Indonesia.

"Lun, kamu bisa jaga rahasia, 'kan?"

"Kalau yang Kakak maksud ini tentang jadi mantan pecandu ...." Luna membuat isyarat mengunci mulut, lalu menelan kuncinya bulat-bulat. "Hanya kalau Kak Brandon berjanji nggak akan gangguin aku dan Tobi lagi."

Kedua mata Brandon yang sudah sipit makin menyipit. "Kamu naksir dia, ya?"

Luna berhenti mengunyah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan ekspresinya. "Ngaco, deh!"

"Terus kenapa belain dia? Apa enaknya berteman sama banci? Udah tulangnya lunak, pengecut lagi!"

"Satu Tobi lebih bernilai daripada seribu kloningan Kakak kalau digabungin."

Brandon mengangguk. Obrolan ini membuatnya jauh lebih rileks. Harga dirinya tidak terluka sama sekali dibanding-bandingkan dengan sosok gemulai Tobias. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu penilaian Luna keliru.

"Apa menurut kamu, orang-orang tadi punya dendam ke aku?" Ia kembali mengalihkan topik terhadap hal yang paling mengganggunya. "Aku perlu lapor polisi?"

"Terserah." Luna mengedikkan bahunya. "Asal jangan bawa-bawa namaku, ya? Nanti papaku marah aku terlibat masalah di sini. Bisa-bisa disuruh pulang ke Thailand."

"Emangnya di Thailand nggak enak?"

Bukannya tidak enak. Tempat tinggal Luna lokasinya di pedalaman, jauh dari hiruk pikuk kota dan modernisasi. Siang-malam selalu diawasi. Sekalipun diajak jalan-jalan ke luar hutan, tujuannya hanya untuk bertemu rekan bisnis Papa yang sama-sama kriminal. Masa depannya pasti suram.

Luna tak perlu mengungkapkannya keras-keras, jadi ia mengedikkan bahu lagi.

"Jadi menurutmu, mereka itu preman?" selidik Brandon. Luna mengangguk takzim. "Nggak ada hubungannya sama masa laluku?"

"Kemungkinan besar, sih, nggak," jawab cewek itu santai. "Kamu cuma nggak beruntung dapat pesan itu."

"Terus dari mana mereka tahu nomorku dan di mana posisiku?"

"Penculik dengan modus operandi ngirimin pesan spam. Mereka nyulik kamu, terus orang tuamu dimintain tebusan." Luna memperhatikan Brandon dari atas ke bawah. "Kakak sering pake barang branded, makanya gampang ditandain."

Brandon tak ingin mengatakan ini, tapi ia merasa harus mengutarakannya. "Kalau mereka masih nyari aku, gimana?"

"They won't." Luna tak membual. Ia sendiri yang akan turun tangan kalau mereka masih mengejar Brandon. Bukan tanpa alasan. Luna cemas jika CRT tahu ia membuat masalah lain. Bisa-bisa Luna betulan dikeluarkan dari tim. Lagi pula, dia tidak membunuh siapa-siapa hari ini, 'kan?

***

Bagas bimbang. Ia merasa konyol telah menyetujui permintaan Looney untuk menemani Tamara makan malam. Bocah itu mengatur skenario sedemikian rupa agar makan malam yang seharusnya dihadiri Looney dan Tamara berakhir menjadi Tamara dan dirinya. Looney tidak mengancamnya. Ia justru meminta dengan begitu manis hingga Bagas tak sampai hati menolaknya.

Restoran yang biasa Looney dan Tamara datangi ini begitu mewah. Berlokasi di tengah kota dan tempat parkirnya penuh mobil-mobil keluaran Eropa. Setiap tamu yang datang juga diwajibkan mengikuti aturan berbusana. Looney sempat memberitahunya untuk mengenakan kemeja dan celana terbaik.

"Mau pesan sekarang?" Seorang pramusaji yang berpakaian serupa pramugari menghampiri mejanya dengan tersenyum sopan.

Bagas membolak-balik buku menu. Harga menunya tidak ada yang di bawah seratus ribu. Makanan apa yang dihargai begitu mahal?

"Umm ... saya lagi menunggu teman." Bagas menutup buku menu sambil menyunggingkan senyum penyesalan. Ia tidak ingin salah pesan dan membuat dirinya maupun Tamara menyia-nyiakan uang untuk makanan yang tak mereka makan.

Tak berselang lama, sosok Tamara muncul. Awalnya, Bagas pangling ketika wanita itu menghampiri meja reception untuk menanyakan tempat yang direservasi Looney. Selama perjalanannya menuju meja, Tamara tak sekali pun berkedip. Tampaknya ia terkejut.

"Halo, Mbak." Bagas bangkit agar bisa menarik kursi untuk Tamara duduk.

"Kok ...?"

Tamara tidak tahu-menahu mengenai kejutan kecil ini. Luna mengatakan akan menyusul dari tempat bimbel. Kalau tahu Luna tidak jadi datang, tentu Tamara tidak akan repot-repot kemari. Bagaimanapun, malam ini adalah girl's night out mereka. Dilakukan sekali seminggu demi menjaga keduanya tetap waras karena kesibukan sehari-hari—untuk kasus Luna, supaya dia tidak lupa rasanya menjadi remaja biasa.

"Luna bilang nggak bisa datang, jadi dia meminta saya menemani—menggantikan." Bagas cepat-cepat mengoreksi. "Semoga Mbak Tamara nggak keberatan."

Ia berdiri canggung di depan Tamara yang cantik jelita dan anggun dalam balutan gaun hitam selutut. Kalung mutiara melingkari lehernya yang jenjang. Pulasan mekap sederhana dipadu dengan pewarna bibir merah gelap menyempurnakan penampilannya.

"Nggak pa-pa, Gas. Saya cuma agak kaget. Ayo, duduk!"

Pramusaji yang sama kembali menghampiri meja begitu keduanya telah duduk dengan nyaman.

"Mau pesan apa, Gas?" Tamara membuka buku menu.

Bagas tersenyum kecil, agak malu. "Apa aja, Mbak." Lebih baik Tamara saja yang memilihkan untuknya.

"Kamu sukanya apa? Daging, hidangan laut? Ini restoran vegetarian, tapi daging imitasi mereka enak banget."

Lelaki itu mengedikkan bahu. Ia lebih menyukai ransum yang biasa dibawa ke medan perang. Menunya macam-macam dan sangat khas Indonesia.

"Apa aja yang Mbak Tamara pilih."

Kalau bukan Tamara yang bilang, dia tidak akan tahu kalau daging bisa diimitasi.

Tamara mendongak dari buku menunya sambil balas tersenyum. Dengan fasihnya, ia menyebutkan pesanan tanpa keseleo lidah. Bagas baru menyadari dirinya sejak tadi menatap Tamara tanpa berkedip.

"Lihatin apa, sih?" tanya Tamara usai pramusaji berlalu.

Bagas buru-buru menggeleng. "Mbak Tamara cantik sekali malam ini."

Tamara menegakkan punggungnya, tidak tahu seorang anggota militer bisa mengucapkan hal semanis itu. Seketika ia mengangkat tangannya untuk menyentuh leher.

"Pasti gara-gara kalung mutiara ini. Saya baru beli, lho."

Lelaki di depannya lagi-lagi tersenyum.

Pramusaji yang sama datang dengan baki minuman. Masing-masing gelas tinggi mereka dituangi anggur merah sebagai teman mengobrol.

"Luna bilang apa waktu nyuruh kamu ke sini?" Tamara tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. "Kamu nggak diancem, 'kan?"

"Dia punya rencana buat menjodohkan kita."

Keputusan Bagas untuk to the point tidak terlalu mengejutkan Tamara. Ia selalu tahu kalau Looney tak pernah menyukai Raden atau lelaki mana pun yang dipilihnya sebagai kekasih. Akan tetapi, ide ini cukup gila. Masa iya dijodohkan dengan Bagas?

"Oh." Tamara membasahi bibirnya. "Kayaknya Luna lupa ngasih tahu kalau saya masih punya pacar sekarang."

"Iya, saya lihat foto kalian tempo hari."

"Maaf, ya. Luna memang agak ngeyel anaknya." Tamara mendesah pelan. "Selama ini, kamu pasti kerepotan ngadepin dia."

"Dia memang agak bandel. Susah ngikutin perintah. Agak moody juga, tapi dia bisa diandalkan." Hanya ketulusan yang terdengar dari nada Bagas. "Makanya, saya di sini. Saya khawatir dia ngejar-ngejar terus kalau permintaannya nggak dituruti."

Tamara tertawa, sesekali mengangguk karena mengerti kecemasan Bagas.

Pesanan mereka tiba. Piring hidangan yang mirip steak diletakkan di hadapan mereka. Bagas tak sabar mencicipinya.

"Gimana rasanya?" tanya Tamara.

Bagas perlu waktu untuk mendefinisikannya. Agak asing, tetapi memang mirip daging. "Saya bingung, Mbak. Kayak daging, tapi bukan daging."

"Memang bukan. Dibikinnya dari gluten, protein gandum. Restoran saya juga menyajikan ini, tapi bumbunya beda. Suka nggak?"

"Nggak terlalu." Bagas mengakui. "Tapi, masih bisa dimakan."

Bibir Tamara mencebik kecil. Terkadang dia lupa kalau tidak semua orang menyukai makanan vegetarian. "Kamu juga nggak suka masakan saya yang kemarin, ya?"

"Suka, kok. Mi Soba sama asparagus panggang buatan Mbak Tamara enak sekali. Saya dan Ibu baru pertama kali makan itu." Bagas buru-buru menunduk karena teringat kembali ucapan ibunya di mobil saat dalam perjalanan pulang dari restoran Tamara.

Cari calon istri yang bisa masak, ya? Memasak itu salah satu kemampuan dasar bertahan hidup. Ndak harus mahir. Kalau dapat yang kayak Mbak Mara malah bagus.

Pesan tersebut terngiang-ngiang di kepalanya. Ia cukup paham maksud dari perkataan Ibu.

Selama ini, orang tua Bagas tidak pernah memaksanya cepat-cepat menikah. Pekerjaan Bagas terlalu berisiko. Mereka kasihan pada si Calon Menantu kalau harus ditinggal-tinggal, jadi Bapak dan Ibu tahu diri. Siapa pun yang jadi pendamping Bagas, selama tidak keberatan dengan risiko pekerjaan serta menerima putra mereka apa adanya, pasti langsung direstui.

Tamara berdecak pelan. "Kenapa manggil Mbak mulu, sih? Emangnya saya lebih tua dari kamu?"

Bagas tercenung sesaat. "Supaya lebih sopan. Saya nggak bermaksud—"

"Panggil Mara aja, Gas," potong Tamara cepat. "Mara."

Bagas ikut menggumamkan nama itu agar lidahnya terbiasa.

"Tell me more about you. Selama ini, saya cuma tahu kamu orang yang sangat tertutup. Jarang ngomong. Saya jadi segan kalau mau ngajak ngomong duluan," ujar Tamara sembari menyuapkan sepotong steak ke mulutnya.

"Nggak ada hal menarik tentang saya. Rutinitas saya begitu-begitu saja."

"Kamu ini basic-nya apa? Angkatan Darat, Laut, atau Udara?"

"Angkatan Darat," jawab Bagas singkat.

Kebiasaan bicara pendek-pendek ini bermula sejak Bagas terpilih mengikuti pendidikan Kopassus. Latihan keras serta kerahasiaan misi yang ia jalani membuatnya terbiasa menjaga informasi. Enam tahun yang lalu, jenderal purnawirawan yang saat ini menjabat sebagai presiden merekomendasikannya mengikuti pelatihan Denjaka di Angkatan Laut. Hal tersebut membuatnya sukses menjadi salah satu anggota TNI yang memegang brevet Kopassus dan Denjaka sekaligus. Nama Bagas cukup diperhitungkan di dunia kemiliteran Indonesia sehingga beberapa jenderal sering menawarkan perjodohan dengan putri atau keponakan mereka. Selama ini, Bagas masih sanggup menolak dengan sopan karena ingin fokus pada pekerjaan. Alasan klise, tetapi memang begitulah adanya.

"Luna bilang kamu anggota pasukan elite. Kesatuannya dirahasiakan." Luna juga sering membicarakan betapa efisien dan mematikannya serangan Bagas setiap kali bertarung dalam jarak dekat atau seberapa jitu tembakannya. Menyadari lawan bicaranya kelihatan ragu menjawab, Tamara menambahkan, "Maaf kalau pertanyaannya bikin kamu nggak nyaman. Nggak usah dijawab juga nggak pa-pa, kok."

"Saya nggak biasa ngobrol kasual begini sama teman."

"Jangan bahas kerjaan kalau gitu!" kata Tamara riang. "Ngomong-ngomong, gimana kabar ibu kamu?"

"Baik. Dia sering nanyain Mbak—kamu." Tepatnya, kapan Tamara mau berkunjung ke rumah mereka di desa?

"Ibu kamu orangnya nyenengin banget. Seandainya mama saya masih hidup, mungkin usianya sedikit lebih tua dari ibu kamu." Tamara setengah termenung. "Bapak kamu sehat?"

"Iya, semuanya sehat. Kalau boleh tahu, mama kamu meninggal karena apa?" tanya Bagas, mulai luwes.

"Sakit. Papa juga. Saya yatim piatu sejak lulus SMA."

"Oh, maaf."

"Nggak pa-pa. Saya udah move on sejak lama." Tamara terkekeh kecil.

"Kamu ini berapa bersaudara?"

Tamara mengangkat tiga jari. "Thomas, papanya Luna. Toni. Saya anak terakhir. Kalau Thomas di Thailand, Toni udah meninggal beberapa tahun yang lalu. Luna nggak pernah cerita?"

Bagas menggeleng. Sebetulnya, dia pernah mendengar cerita Tea tentang sejarah dendam Looney pada Revita, kakak J. Revita merupakan otak di balik kematian Toni. Sebabnya apa dan bagaimana, Bagas tak pernah tahu.

"Abang-abang saya merantau ke Thailand sejak saya balita. Saya sering dengar tentang mereka dari cerita Mama. Cuma Toni yang sesekali berkunjung ke rumah." Tamara tersenyum sedih mengingat mendiang saudaranya. "Saya bahkan nggak tahu Luna ada sampai dia muncul ke restoran saya pertama kali dua atau tiga tahun yang lalu. Dia bawa ransel merah, berdiri di depan jendela restoran. Karyawan saya ngajakin dia masuk. Somehow ... saya ngerasa familier walaupun nggak pernah ketemu. Sewaktu saya nanya dari mana, dia malah ngasih sepucuk surat dari Thomas yang isinya tentang rencana nitipin Luna dan bla-bla-bla ...."

"Latihan jadi ibu, ya?"

Tamara tertawa atas kelakar itu. "Ya! Udah cocok belum?"

Bagas mengangguk. "Cocok."

Tamara tersenyum lebar. Ia tahu dirinya memang sudah ditakdirkan jadi seorang ibu. Sayangnya, Raden tidak memiliki pendapat yang sama. Karena mengingat kekasihnya yang tak kunjung pulang, Tamara mendadak lesu.

"Kenapa?" Bagas heran dengan perubahan sikap wanita di depannya. "Saya salah ngomong, ya?"

"Bukan itu." Bahu Tamara semakin lunglai. "Kamu ... mau dengerin curhatan saya nggak?"


Komando Pasukan Khusus yang bertugas menjalankan misi khusus. –peny.

Detasemen Jalamangkara, sebuah detasemen penanggulangan teror aspek laut TNI Angkatan Laut

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro