Bab 4. Welcome to My Game
Digma melirik jam di pergelangan tangannya sekilas sebelum motornya memasuki pintu gerbang SMA Pelita Dua. Pukul setengah tujuh pagi adalah waktu yang tepat untuk datang di hari pertama sebagai siswa baru pada pertengahan semester.
Setelah menemukan tempat parkir, Digma segera menempatkan motor scramble-nya di tengah-tengah area. Namun saat hendak pergi dari sana, klakson sebuah mobil terdengar bising mengagetkan cowok itu dan beberapa anak yang berlalu lalang.
Ternyata orang yang ditunggunya datang lebih cepat dari harapannya. Ia membalikkan badan dan melihat sang sopir turun dari mobil mewah itu.
"Maaf, Mas. Tempat ini bukan parkir umum. Tolong pindahkan dengan segera!" tegur lelaki berpakaian jas sambil menunjuk plang bertuliskan "Parkir Khusus Ketua Yayasan/Kepala Sekolah"
Diam-diam, Digma tersenyum licik. Jelas ia sudah membaca plang sebesar itu. Ia lalu melirik ke kursi penumpang. Tempat orang yang ditunggunya tadi berada. Entah ketua yayasan atau kepala sekolah, cowok itu sangat ingin melihat wajah di antara kedua orang itu.
Tak berselang lama, seorang guru laki-laki datang tergesa-gesa dari belakang. Ia segera menyuruh Digma untuk cepat-cepat memindahkan motornya dari sana. Guru itu juga mendekatkan dirinya ke mobil hitam tadi.
"Maaf atas kejadian pagi ini, Pak Heri," ucap guru itu sambil membungkukan badan setelah orang yang disebut Pak Heri tadi keluar dari mobil.
Digma terpaku menatap lelaki yang sepertinya sudah berumur lima puluh tahunan itu. Dari jas hitam bermerek terkenal, jam rolex melingkar di tangan kanan, hingga sepatu hitam mengkilat dengan harganya yang tak kalah mahal dari jas, membuat aura kekuasaannya menguar kuat.
Digma tiba-tiba dikagetkan dengan tarikan tangan Pak Nawan di sebelahnya. "Kamu minta maaf, cepet," bisik gurunya itu pada Digma, mendesak.
"Maaf, Pak Heri," ucapnya sambil mengingat-ingat nama itu. Sepertinya Heri adalah ketua yayasan yang pernah disebutkan Aldino kemarin. "Ini hari pertama saya di sekolah ini. Saya belum tahu di mana tempat parkir siswa berada, Pak. Jadi, maafkan atas keteledoran saya," lanjutnya.
Heri tersenyum hangat sambil menepuk-nepuk punggung Digma pelan. Tangan kanannya terulur, hendak mengajak berkenalan.
"Saya Heri Santoro. Ketua yayasan di sekolah ini. Selamat bergabung ya. Saya tunggu prestasi kamu di sini," tukas Heri dengan suara beratnya.
"Siap, Pak." Digma tersenyum lebar sambil menyambut uluran tangan ketua yayasan tersebut. "Banyak orang bilang sekolah ini sangat aman dan tidak ada perundungan. Apakah itu benar, Pak?" tanya Digma mendadak yang membuat senyuman hangat Pak Heri memudar seketika.
Pak Nawan yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan mereka, ikut terkejut dengan pertanyaan yang anak itu lontarkan. Ia dengan segera mengalihkan Digma.
"Udah, cepat pindahin itu motor kamu! Pak Heri tuh mau rapat di sekolah kita sebentar lagi," desak sang guru sambil mendorong bahu Digma agar cepat-cepat meninggalkan lokasi.
Setelah mengangkat tangan tanda hormat kepada Heri, Digma balik badan dan menyunggingkan senyum puas. Akhirnya ia tahu wajah di balik backingan Gery hingga menjadi sebrengsek itu. Dengan segera ia menyalakan motor dan berlalu pergi ke parkiran samping sekolah, tempat parkiran motor para murid sebenarnya berada.
Setelah selesai mengurus motor, Digma segera berjalan dengan kedua tangan ia masukan ke saku celana, mencari ruang kelas barunya. Ia memandangi setiap papan kelas yang tergantung di atas pintu. Suasana koridor pagi ini sangat ramai. Membuat cowok itu harus menyalip banyak siswa kalau tidak ingin telat sampai ke kelas.
Hingga tiba-tiba, suara teriakan dari seseorang menahan langkah kakinya. Matanya dengan sigap menyisir di mana sumber suara hingga akhirnya Digma melihat seorang laki-laki dengan senyum jahatnya sedang menginjak tangan siswa di tengah lapangan rumput upacara.
"Gimana rasa sepatu baru gue?" Suara menakutkan itu menggelegar diselingi tawa dari teman se-gengnya.
Mata Digma melebar. Mulutnya terbuka tak percaya. Rahangnya mengatup keras. Kini, ia sudah sangat dekat dengan pelaku perundungan Abian. Tapi jangankan menghukumnya, membalas pukulannya pada Gery pun Digma tak bisa. Suara rintihan anak itu tambah membuat dada Digma sesak. Tak sadar, ia jadi membayangkan anak itu sebagai Abian yang sedang diinjak dan dipukul begitu kasar oleh Gery dan gengnya.
Digma menengok sekitar, berharap ada yang maju dan mau menolong anak itu. Sialnya, semua anak acuh tak acuh. Beberapa guru bahkan hanya menyuruh anak-anak di sekitar kelas untuk masuk. Sama sekali tidak mengindahkan kekejaman Gery.
Dengan tangan mengepal kuat, Digma pun masuk ke area lapangan dan mendekati biang masalah itu. Saat jarak mereka terpaut satu meter, mata Digma bertubrukan dengan mata elang Gery beberapa detik sebelum Digma sengaja menyenggol kasar bahu Gery dan membuat cowok itu meringis kesakitan.
Digma hanya menoleh ke belakang sekilas, pura-pura mengabaikan dan kembali berjalan dengan santai sambil membenarkan letak tali tas punggung di kedua bahunya.
Satu ... Dua ... Ti ... hitungan Digma dalam hati terhenti oleh teriakan Gery.
"WOI! LO MAU KEMANA, ANJING!"
Bibir Digma terangkat puas. Mudah sekali cowok itu masuk perangkap. Dengan cepat ia menguasai ekspresinya kembali dan berbalik.
"Gue?" tanya Digma berlagak polos sambil menunjuk dirinya sendiri. Tak lupa, ia juga memberi kode dengan matanya pada anak yang tadi dirundung agar cepat pergi dari sana.
Gery tak menjawab. Ia hanya memberi gestur agar Digma segera mendekat. Nama yang tertulis di badge Digma hanya dilirik sekilas oleh cowok itu.
"Lo punya mata, nggak, gue tanya?!" bentak Gery memojokkan. Tangannya mendorong-dorong bahu Digma kasar hingga cowok itu mundur beberapa langkah.
"Maaf. Gue yang salah. Gue nggak sengaja ngenain bahu lo," aku Digma mengalah. Ia lalu beralih bertanya hal lain. "Oh iya, lo tahu nggak, XI-F 1 di mana? Gue anak baru soalnya," sambungnya menekankan 'anak baru'.
Mendengar hal itu, sontak keempatnya saling pandang dengan tatapan yang jelas dapat Digma artikan. Tak lama, salah satu teman se-geng Gery mendekat dan merangkul bahu Digma kasar.
"Oh, jadi lo anak baru? Kasih paham nih, Ger!" teriak Alex sambil menendang kuat punggung Digma dengan kakinya hingga tersungkur. Mereka berempat lalu terbahak melihat betapa lemahnya Digma. Membuat beberapa anak di sekitar lapangan pun tak sadar teralih melihat kegaduhan itu.
Kaki dan lutut Digma kini terkena tanah dan rumput basah lapangan sekolah. Bau lembab menyeruak hidungnya. Punggungnya terasa nyeri di dorong keras seperti tadi. Tangannya perlahan meremas beberapa helai rumput, menahan amarah yang hendak meledak.
"Gue ajarin cara minta maaf yang bener," cibir Gery menatap Digma remeh. Ia lalu berjongkok, berbisik di sebelah cowok itu. "Makanya jangan macem-macem sama gue kalo lo nggak mau–"
"Babak belur sampai koma? Iya?" serobot Digma tanpa ekspresi. Membuat Gery terdiam dengan raut yang perlahan berubah curiga.
Author note:
Waduh, kira-kira Gery curiga nggak ya?
Apakah Digma bakal ketahuan di hari pertamanya sekolah?
Tunggu jawabannya besok ya!
jangan lupa like dan komen biar Digma nggak aku siksa terus. Canda, Dig, hehe.
Okay, see u next part, Babe!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro