Prolog
Hai,
Selamat datang di buku ini!
Berhubung ini FF pertamaku, jika ada kesalahan aku mohon maaf.
Ariani akan berusaha sekuat tenaga untuk para reader-chan sekalian.
Terima kasih sebesar-besarnya aku ucapin untuk @nanakisa2 dan @hanhamiya. Senpai-tachi memberikan banyak referensi buatku.
So, Selamat membaca~
[name] POV
Tubuh mungilku tersungkur diatas tanah yang dingin. Kaki-kakiku yang sebelumnya dapat dengan lincahnya berlari kini sudah habis tenaganya, meninggalkan aku yang kini tak berdaya. Bahkan aku tak sanggup menatap langit itu.
Perutku menggonggong tak tahan dengan rasa lapar yang menggerogotinya. Tapi aku masih tak bergerak dari sana. Pandanganku mulai memudar dan kepalaku rasanya pusing sekali.
“To... long…”
Mana mungkin ada orang yang mendengar suara kecilku di tengah hutan sebesar ini. Yang mampu kulakukan hanyalah berpikir, ‘Apa detik berikutnya aku masih bisa menarik napas?’
“Itu dia!”
“Cepat kejar! Jangan biarkan dia lolos!”
Suara-suara itu bagaikan alarm yang membangunkanku dari tidur lelap. Walau setiap bagian dari tubuhku berteriak ‘tidak, jangan lagi!’, tapi aku tetap bangkit dan segera kembali berlari lebih jauh ke dalam hutan.
Semak belukar menyapu wajahku seiring tubuh ini berlari tidak karuan. Duri serta ranting yang mengoyak kulitku tak sedikitpun kuhiraukan. Yang penting aku tidak mau lagi kembali ke sana!
Aku memekik setelah menyaksikan pemandangan di hadapanku. Sebuah jurang yang lebar terbuka dan di bawahnya ada sungai deras menanti. Apa yang harus kulakukan? Melompat ke seberang? Tapi tubuhku terlalu lemah.
“Kau tidak bisa lari lagi, nona kecil!” 2 pria berbadan besar itu sudah menutup rute jalan keluarku. Pilihan di kepalaku sudah berkurang dan akhirnya tubuku gemetar dengan hebatnya bagai ranting di tengah badai.
Tidak! Aku lebih baik mati!
Tanpa keraguan, aku melompat ke dalam jurang. Akhirnya tubuhku berjumpa dengan dinginnya air sungai yang menenggelamkan diriku.
Kucoba berenang namun karena arus yang terlalu deras, aku hanya mampu terombang-ambing. Sekilas di sudut mataku, aku melihat pria-pria tadi menghilang ke dalam hutan.
‘Tuhan, sekarang kau bisa mencabut nyawaku…’
///
Kegelapan dan rasa dingin mengisi seluruh sudut pandangku. Apa aku sudah mati? Syukurlah, dengan begitu aku tak perlu merasa sakit maupun sedih lagi, kan? Ini istirahat panjang yang memuaskan walau aku sudah tak mampu merasakan apapun lagi.
“Hei! Bagunlah! Kau tak apa?”
Suara itu terdengar sayu. Siapa itu, ya? Apa suara hatiku? Pikirku berubah setelah kurasakan kehangatan menjalar ke pipiku dan seluruh tubuhku. Perlahan kegelapan ini tergantikan dengan cahaya yang menyelinap dari kedua kelopak mataku.
Aku belum mati!
“Dia bangun!” Sosok pudar itu perlahan makin jelas. Seorang anak lelaki yang terlihat lebih tua beberapa tahun dariku tengah menahan tubuhku di tangannya dan mengelus pipiku dengan lembut. “Syukurlah. Kau tidak apa-apa? Ada yang sakit?”
Kuedarkan pandang ke sekitarku. Aku sudah berada di bibir pantai dimana sungai tadi bermuara.
Pakaianku yang lusuh itu basah kuyup dan meninggalkan sensasi dingin di permukaan kulit, tapi aku tidak bergerak melainkan hanya mengejap pelan.
“Aku… dimana?” tanyaku dengan lemahnya. “Kau, siapa?”
Lelaki itu sibuk memanggil orang lain, sepertinya untuk membantuku juga. Tidak, ini bukan yang kuinginkan! Aku ingin mati saja, tapi kenapa aku malah diselamatkan?
Dengan segenap asa yang tersisa, aku membuka kerongkonganku untuk kembali berucap. “Ting…” aku jadi terbatuk karena air yang mendadak keluar dari saluran pernapasanku.
Dia mendengar suaraku yang sayu itu dan menatapku kembali seolah menanti apa yang akan kuutarakan. “Tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja.”
“Tinggalkan aku…”
Tanpa kusadari, pertemuan kami ini akan membawaku menuju sesuatu yang luar biasa.
///
Hmm…
Ini wangi… katsudon, ya? Hidungku kembali mengendus bau yang sudah lama tak kuhirup itu. Lengkap sekali dengan aroma saus teriyaki yang nikmat. Tunggu—ini benar bau makanan!
Mataku terbelalak dan tubuhku langsung mengambil posisi duduk. Kuedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan itu. Aku benar-benar diselamatkan olehnya.
“Kai-nii! Dia sudah bangun! Dia sudah bangun!” seorang gadis kecil dengan ponytail berteriak dengan girangnya. Kusembunyikan diriku di balik selimut putih itu seakan enggan menatap gadis kecil maupun seorang yang akan datang nanti. Bagaimana jika dia berniat buruk?
Suara pintu kayu terbuka memenuhi ruangan dan aku bisa tahu bahwa ada orang yang masuk dan perlahan mendekat. Kugenggam erat selimut itu agar tidak terbuka. Detak jantungku jadi tidak karuan.
“Hei.” Panggilnya lembut. Suara ini adalah suara yang sama yang membangunkanku saat itu. Aku hanya mengintip dari balik selimut.
“Syukurlah kau sudah sadar.” Ujarnya sambil memberikan uluran tangan padaku.
Dan tanpa sesadarku aku menggapainya dan bangkit dari singgasana itu. Harus kupuji, tangannya benar-benar hangat, sama seperti saat dia pertama bertemu denganku. Kuperhatikan lagi, pakaianku sudah bersih dan rambutku sudah tertata rapih.
“Ano…” aku menundukkan wajah. Aku tahu harus pamit sekarang. Tidak mungkin aku terus-terus merepotkannya. “Terima kasih sudah menyelamatkanku. Dan… aku harus pergi.”
Genggaman tangannya tidak melemah sedikit pun. “Makanlah dulu. Aku sudah membuat katsudon untuk semuanya.”
Dan berakhirlah aku di meja makan. Bersama dengan kelima saudaranya, kami menyelesaikan makan siang dan baru kali ini aku merasa seperti berada bersama keluarga. Dadaku sesak karena mengingatnya. Cukup, aku—
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya simpatik sembari mengumpulkan piring kotor dan membawanya ke wastafel untuk dicuci. “Kalau ada yang sakit kami bisa membawamu ke rumah sakit. Yah, walau itu artinya mengurangi anggaran bulanan kami. Tapi senang bisa menolong.”
(Adik-adik Kai tentunya harus punya nama. Maaf kalau ngawur, soalnya gak tau)
“Onee-chan! Aku Yui!” ujar gadis kecil ber-ponytail tadi. “Ngomong-ngomong, aku adik bungsu keluarga Fuzuki!”
“Aku Ayato! Anak kedua!” ujar seorang di sampingku. “Kalau ada masalah, ngomong saja! Oh iya, disana itu Momoko, anak ketiga. Selanjutnya Shin yang keempat. Dan yang terakhir, anak kelima ada Hotaru.”
“Nama one-chan?” keduanya bertanya serempak dan membuatku sedikit kewalahan.
“A-Aku…” aku berdiri dan mulai berjalan mundur seiring mereka melangkah maju.
“Onee-chan! Siapa namamu! Aku ingin tahu!”
“Aku—“ seseorang sudah menahan kedua bahuku dari belakang.
Rupanya itu Kai. Mata kami bertemu dan aku bisa merasakan kehangatan dari tangan maupun sorot matanya.
Tatapannya langsung beralih pada kedua saudaranya. “Kalian ini, berikan sedikit ruang untuknya. Dia pasti bilang siapa namanya.” Iris birunya itu kembali menatapku. “Iya, kan?”
“Aku…” hanya bisa tertunduk malu aku melepas pegangannya di bahuku. “Aku tidak ingat siapa namaku…”
“Astaga,” sekarang mereka semua menatapku dengan rasa ingin tahu yang terpancar. “Apa kau masih bisa mengingat sesuatu? Orang tuamu? Atau apa mungkin?”
Aku menggeleng pelan. Kesunyian mengisi ruang antara kami. Tak ada satu pun yang bertutur setelah itu. Sampai Kai tiba-tiba mengambil satu langkah ke depanku.
“[Name], Fuzuki [Name]. Dan kau akan jadi adikku. Salah satu bagian keluarga Fuzuki.”
Mataku terbelalak. Apa Kai baru saja… memberiku nama? Dan aku menyandang nama keluarga Fuzuki? Apa akhirnya aku bisa punya keluarga lagi?
“Ih, Kai-nii. Namanya jelek~” celetuk Yui dan diikuti anggukkan dari yang lainnya. “Kalau beri nama itu yang bagus, dong! Misalnya—“
“Aku suka. Fuzuki [Name], aku menyukainya…”
Semua mata kembali mengarah padaku—tidak, tapi pada senyum yang berkembang di wajahku. Pada akhirnya aku bisa merasakan kehangatan keluarga lagi. Maafkan aku, Kai, aku harus merahasiakan masa laluku dari kalian semua. Akan kuawali lagi hidupku dengan tidak mengusik masa lalu yang kelam itu…
Saa, minna-san… Bagaimana? Walau rasanya gaje tapi tolong tetap stand by for the next update, yah!
Review~ Next: Nobody will replace you!
“Aku tidak butuh orang lain selain Kai-nii!”
“[Name], kau tidak apa-apa?”
“Aku berteman denganmu hanya untuk mendekatinya tahu!”
“Ya, kau tak akan tergantikan oleh siapa pun…”
Well, Reviewnya sampah~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro