Chapter 3 part B
Setahun gak update rasanya…
Maaf sekali lagi untuk para readers yang mungkin menunggu update-an dariku *ngarep*
Terima kasih buat kalian yang udah vote! Jangan sungkan untuk comment, ya! Karena komentar kalian itu bisa membangun cara kepenulisanku jadi lebih baik. *bow*
By Your Side – Chapter 3 part B
Jantungku berdegup kencang saat melihat tinta merah yang melingkar di tanggal 15 bulan ini.
“Minggu depan ulang tahun Hotaru.” Gumamku pada diri sendiri. Sambil mengepalkan tanganku di udara aku berikrar. “Pasti akan kubelikan gelang itu untuknya!”
“Ada apa [Name]?” Rui memunculkan kepalanya di pintu kamarku. “Ada yang mengganggumu di tanggal 15?”
“Sssshh!” kukatup mulut Rui dengan kedua tanganku untuk membungkamnya. Aku pun berbisik, “Ulang tahun Hotaru!”
Rui hanya memasang poker-face lalu menepuk kedua telapak tangannya. “Apa [Name]-san mau membeli hadiah?”
Aku mengangguk mantap dan mata Rui berbinar, mungkin saja dia punya ide bagus.
“Sudah kuputuskan. Aku akan ikut patungan dengan [Name]-san.”
“Beli hadiah sendiri, dong!” keluhku sambil memegang amplop putih. Akhirnya, setelah kerja paruh waktu yang berat, aku mampu mengumpulkan uang ini.
“Aku mendengar rencana kalian!” Kai dan Yui tiba-tiba muncul dari balik pintu yang sempat meninggalkan celah.
“[Name]-nee akan beli hadiah untuk Hotaru dengan uang gaji kakak yang berharga itu?” Yui tampak sedikit kecewa. “Padahal kemarin bilangnya mau beli komik ya—“
Segera kukatup mulut Yui dengan kedua tanganku untuk membungkamnya. Gawat kalau sampai Kai tahu aku hendak membeli benda haram itu.
“Yui ada benarnya, [Name]. Gunakan saja uang itu untuk keperluanmu atau keinginanmu. Biar aku saja yang beli hadiah.” Usul Kai tapi langsung kutolak. Kali ini aku pasti bisa membalas budi pada Hotaru.
“Kainii-sama, urus saja makanannya.” Shin dan Momoko serta Ayato rupanya telah mendengar rencana kami dan memutuskan untuk ikut berpartisipasi. “Biar Momoko yang menangani kue. Ayato, Yui, dekorasi. Dan aku akan mengurus Hotaru saat hari-H. Rui-san bantulah [Name]nee-sama yang buta arah.”
“Oke.” Sahut Rui dengan nada lemah seperti biasanya.
“Tunggu! Kok aku sama Yui, sih? Nantinya tidak bakalan selesai, kan?” protes Ayato.
“Yah, soalnya kalian itu selalu main-main makanya pekerjaan kalian tidak pernah selesai.” Ujar Momoko sambil menyeringai lebar pada Ayato.
“Yui suka main!” tambah Yui dengan girangnya membuat tawa kami pecah ke seluruh ruangan, mungkin kecuali Rui.
/////
“[Name]-san pasti berusaha jadi kakak yang baik, ya.”
“Y-Yah… mungkin…” jawabku. Aku dan Rui tengah menuju ke toko souvenir tempat aku membeli gantungan untuk Yuki sebelumnya. “Aku sebelumnya tidak tahu dimana keluargaku dan begitu aku diberi kesempatan kedua, tentunya takkan kusia-siakan.”
Rui hanya menatapku datar tanpa ekspresi. Entah apa yang dia pikirkan, tapi sepertinya dia memutuskan untuk tidak menuturkannya dengan membuang pandangannya ke arah lain.
Selama beberapa menit kami berjalan, aku pun menyadari sesuatu. “Ano, Rui…” Bishounen itu langsung berbalik lagi padaku, masih dengan wajah datarnya yang khas. “Toko souvenirnya di mana, ya?”
“E-Eh?” Walau sebenanya kupikir dia sedang terkejut, rautnya tetap datar. “Jadi sejak tadi kita berjalan tanpa tujuan?”
Benar juga, saat itu aku di temani Hotaru dan berarti hanya dia yang tahu. Semangatku memudar dan melihat ada tiang lampu jalanan terdekat aku langsung menghantam kepalaku sendiri di sana. “Gunakan otakku, dasar bodoh.”
“[Name]-san!” Rui mencoba menghentikan gerakanku yang blak-blakan itu dengan menahan punggungku. “Ayo kita cari lagi.”
“Wah, wah, wah~”
Suara nyaring ini, aku mengenalnya. Kuangkat kepalaku dan mendapati seorang gadis tengah menatapku miris seolah melihat sampah. Yuki…
“Sebuah kebetulan bisa bertemu dengan si bro-con di sini. Hmm?” Matanya tertuju pada Rui yang masih memegang pundakku. Rautnya berubah jijik dan merendahkan. “Sekarang dia malah cari pacar baru. Dasar sampah!”
Rui langsung berdiri di depanku dan menatap Yuki geram.
“[Name]-san bukanlah—“
Kutepuk punggungnya dan tatapannya langsung tertuju pada iris (e/c)ku. “Sudahlah, Rui. Orang yang tidak tahu apa-apa tentang kita memang seharusnya bungkam saja.”
Rui’s POV
“Apa katamu?!” Gadis penghina itu menatap kami penuh amarah dalam rautnya. “Jaga bicaramu! Tidak tahu apa-apa? Aku-lah yang paling tahu tentang dirimu!”
Aku tidak tahu siapa gadis ini, tapi kurasa sikapnya sudah keterlaluan pada [Name]. “Rui, ayo pergi.” Namun saat kami hendak meninggalkan gadis itu, genggaman tangan [Name] di lengan bajuku tiba-tiba hilang.
Kutolehkan wajahku dan mendapati gadis penghina itu telah menarik [Name] hingga tubuhnya tersungkur di tanah. Kepanikan pun langsung menyerangku. “[Name]-san!”
“Diam kau!” teriaknya padaku. Entah sejak kapan, tapi sudah ada 3 orang di sana. “Ren, pegangi anak itu.”
Anak yang dimaksudnya ternyata aku. Pemuda bernama Ren itu langsung memegangiku dan membuat pergerakanku jadi tidak leluasa. Ren menahan lengaku seperti seorang polisi tengah membungkam seorang narapidana.
“Rui!” [Name] yang masih tersungkur di tanah segera berdiri dan menuju ke arahku. “Lepaskan dia! Kumohon lepaskan dia!”
Tiba-tiba saja si gadis penghina tadi menjambak surai (h/c) [Name] tanpa ampun. Membuat gadis yang pernah menyelamatkanku itu merintih kesakitan sembari menahan tangan si gadis memohon ampun.
“Lihatlah si bintang utama kita.” Dengan satu sentakkan dia mengembalikan [Name] ke tanah yang dingin. “Memohonlah padaku sambil bersujud kalau mau kulepas anak itu.”
Mataku terbelalak mendengar perintahnya. Kupandangi lagi sosok [Name] yang masih terdiam, mungkin masih berpikir harus melakukannya atau tidak. “Jangan lakukan, [Name]-san!” pekikku sambil meronta dan mencoba melepaskan diri.
“Oi, Cameo-kun! Jangan ganggu acara spesialnya!” Ren kembali menarik lenganku dengan kekuatan yang tidak lemah dan kupikir pasti tanganku sudah lebam karenanya. Alhasil aku merintih kesakitan dan membuat [name] menatapku penuh kekhawatiran.
[Name] pun menopang dirinya dengan lutut sembari memeluk gadis tadi dari kakinya. “Jangan sakiti Rui! Kumohon! A-Aku akan bersujud untukmu!” [Name] langsung memasang pose bersujud di hadapannya. “Lepaskan dia, kumohon!”
Dia meringis penuh kepuasan. Sambil meletakkan tangannya di pinggang, dia pun kembali memerintah [Name]. “Ulangi. Kali ini bilanglah, aku, Fuzuki [Name], memohon dengan segenap jiwa dan ragaku untuk melepaskan dia, Yuki-sama.” Jemarinya menjentik lalu salah satu gadis yang ikut menjadi penonton tadi datang ke arahnya. “Siapkan perekam suara.”
“Jangan, [Name]-san!”
Namun gadis bersurai (h/c) itu tidak mendengarkanku. “Aku, Fuzuki [Name], memohon dengan segenap jiwa dan ragaku untuk melepaskan dia, Yuki-sama.”
“[Name]-san! Kenapa kau lakukan itu?” Aku tidak mengerti. Kenapa [Name] mau melakukan hal memalukan itu demi diriku yang bahkan selalu melarikan diri dari kenyataan. Kenyataan bahwa kedua orang tuaku menentang karir bermusikku dan—
Ren melepas cengkramannya. Dan kedua gadis tadi menatapku tak terkecuali [Name]. “Pergilah, Rui. Tolong carikan toko itu untukku, ya. Nanti kalau sudah ketemu, kembalilah kemari.” Pinta [Name] dengan wajah memelas dan sambil tersenyum. Aku semakin tidak mengerti dengannya.
“Luna, pastikan kau merekam yang tadi. Mereka berdua benar-benar menjijikkan.”
“[Name]-san!” Aku mencoba mendekatinya namun pemuda bernama Rem tadi memblokir jalanku dan mendorong pundakku agar menjauh dari tempat kejadian perkara.
Benar! Akan kupanggil Kai. Dia pasti bisa membantu dalam keadaan begini. “[Name]-san, tunggulah disini! Aku akan memanggil Kai!” dengan itu aku segera melesat kembali ke rumah.
Kali ini aku pasti bisa menyelamatkan [Name]. Mengingat hari dimana dia melindungiku dengan payungnya membuat kakiku mencoba lebih cepat lagi. Namun sayangnya…
Saat aku tiba di rumah, Kai tidak berada di sana. “Kai! Kai, kau di rumah?” Aku mencarinya di seluruh penjuru rumah namun masih juga tidak kutemukan. Sampai aku mendapati secarik kertas yang ditempel menggunakan magnet di kulkas bertuliskan tangan Kai. Dia rupanya sedang pergi ke supermarket untuk perisapan pesta Hotaru. Lengkap dengan Ayato, Shin, Momoko, dan Yui untuk membantunya. Sementara Hotaru ada les bahasa inggris hari ini.
Aku segera kembali ke tempat [Name] karena tidak berhasil mendapatkan pertolongan Kai. Tubuhku jadi lemah saat melihat gadis itu sudah tidak punya daya untuk berdiri dan masih tersungkur di tanah yang dingin. Sendirian dan penuh lebam di wajahnya.
“[Name]-san!” tentu saja aku segera menghampirinya dan menahannya di tanganku. Pelupuk matanya perlahan terbuka dan senyumnya berkembang. Terlihat sangat menyedihkan dengan luka-luka yang masih segar itu.
“Kenapa kau melakukan itu? Kalau saja kau diam, aku pasti bisa…”
Aku terdiam. Kenyataannya aku tidak bisa apa-apa. Aku tak bisa menyelamatkan [Name].
“Tanganmu sakit, kah?” tanyanya. Di saat begini dia malah mencoba perhatian padaku.
Kini aku mengerti. “Kenapa kau harus meniru Kai? Benar-benar tidak cocok untukmu, tahu! Jadilah dirimu sendiri dan coba khawatirkan dirimu! Memangnya kau puas dengan tindakanmu barusan?”
Ekspresi [Name] berubah datar dan tatapannya tajam ke mataku. “Aku punya alasan tersendiri, Rui.”
“[Name]nee-sama?”
Kompak mata kami tertuju pada rombongan Kai yang sepertinya sedang dalam perjalanan pulang dan mendapati kami di jalan itu. Dan ekspresi Kai-lah yang paling shock.
“[Name]! Rui!”
Author : Kembali lagi bersama Aricchan disini. Kini kita bersama dengan Minazuki Rui. *mengalihkan pandangan ke Rui*Bagaimana perasaan anda setelah adegan barusan?
Rui : Aku agak gugup sebenarnya. Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga demi kelancaran buku ini. Dan juga ada sedikit koreksi dariku, Aricchan-san. *tanpa ekspresi*
Author : Eh? Koreksi? Apa aku membuat kesalahan?
Rui : *mengangguk mantap* Um! Aku tidak mau berlarian seperti itu di tengah hari lagi.
Author : *sweatdrop* O… Oh… ya… Gomen.
(Tsukiuta Funfact)
Rui benar-benar lemah terhadap panas dan dingin. Tubuhnya juga sangat kaku dan dia jarang berolah raga. Sebenarnya, di balik bajunya itu terdapat beberapa luka akibat sebuah insiden saat umurnya 5 tahun. //entahlah itu insiden apa// Dia juga sangat suka pudding buatan Mama Yoru, omurice, dan sandwich telur. Karena sifatnya yang naïf dan polos, dia kerap jadi sasaran ajaran sesatnya Shun. //kasihan si Rui diajarin macam-macam sama nenek Shun *geleng*//
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro