SEPULUH
(edited version)
----------------------
Sudah kubilang kalian harus menyimak kisahku sampai usai. Apa kalian merasa tertipu denganku di awal?
Tidak. Aku tak menipu kalian. Aku bersumpah. Aku memang porselen cantik milik Gregory. Kalian sudah tahu akan hal itu.
Dan Gregory, pria tampan itu? Aku memang berhasil menaklukannya, bukan? Apa kalian mengira aku menaklukannya karena aku mencintainya? Lelucon macam apa itu?
Apa sebelumnya aku pernah mengatakan aku mencintainya?
Tidak. Sudah kukatakan berkali-kali pada kalian jika aku harus memilikinya agar tetap membuat diriku aman di tempat ini. Kalian sendirilah yang berpikir aku mencintainya, kenyataannya tidak sama sekali.
Cinta. Persetan dengan itu. Aku telah menguburnya cukup lama. Entah wanita sepertiku tak seharusnya bermain dengan perasaan.
Wanita jalang? Bukan, aku bukanlah wanita jalang.
Pada kenyataannya aku memang telah dibeli. Tapi bukan oleh Gregory. Aku dibeli oleh...
Negaraku.
Aku telah menjual diriku pada negaraku dan aku mengabdi padanya.
Hal itulah yang membuatku harus menghilangkan perasaan pada siapa pun saat ini, aku adalah alat negara. Tapi bukan itu yang membuatku memutuskan untuk berhenti mencintai.
Aku pernah patah hati. Dan tak bisa mengobati diriku sendiri. Pria itu, aku masih mengingatnya. Dia adalah R.
R untuk Rayden.
***
Tiga tahun yang lalu.
Kusandarkan diriku pada salah satu sisi dinding lorong bercat abu-abu muda yang bergaya futuristik. Sesekali kuperhatikan sekelilingku, beberapa oang sibuk membahas mengenai kelas menembak yang baru saja aku dan beberapa orang lain selesaikan sekitar lima belas meniut yang lalu. Berbeda denganku, aku masih berdiri terdiam menunggu seseorang. Kemudian kuarahkan ke ujung lorong, seorang pria berjalan mendekatiku. Orang yang kutunggu.
Pria itu, Rayden masih sibuk dengan ponselnya. Aku tahu apa yang dilakukannya pada saat ini. Ia sedang mendonasikan sebagian gaji yang didapatkannya untuk disumbangkan pada program penggalangan dana untuk anak-anak di Afrika. Aku sangat hapal dengan kebiasaannya itu.
"Hei!" Sapaku padanya. Beberapa saat kemudian ia sudah mematikan ponselnya dan sibuk menghadiahiku senyuman sembari memberikan map berisi nilai tesku dalam seminggu terakhir. Ini gila, lengkungan bibirnya itu begitu menggodaku untuk menciumnya.
Tak hanya bibirnya, bagiku seluruh tubuh pria itu sangatlah menggodaku. Caranya berdiri dengan tegap di hadapanku hampir saja membuatku melompat dan memberikannya sebuah pelukan erat.
"R! Bagaimana hasil tesku?" tanyaku. Aku mencoba untuk bersikap santai dengannya, namun mataku masih saja tak bisa lepas dari bibirnya.
R. Itulah panggilanku kepadanya. R berasal dari huruf depan namanya, Rayden. Dia tampan, selain itu dia baik hati. Itulah yang membuatku tertarik padanya.
"Sepertinya kau tak berbakat menjadi penembak jitu." ucapnya sembari terkekeh. "Tapi, nilai tesmu yang lain melampaui rekor yang pernah ada di akademi ini. Seperti biasa, micro expression test-mu sangat memuaskan."
Mereka berkata aku memiliki bakat khusus. Aku ahli dalam micro expression. Aku dengan mudah membaca ekspresi seseorang melalui wajah dan mengetahui jika seseorang sedang berbohong atau tidak. Aku adalah lie detector.
Tak hanya itu, aku adalah bunglon. Aku dapat merubah warnaku dengan cepat. Aku dapat terlihat mencolok maupun tak terlihat. Dengan kata lain, aku sangat ahli untuk berpura-pura. Aku dapat berpura-pura menangis ketika ada suatu hal yang lucu dimana aku seharusnya tertawa lebar memperlihatkan gigi-gigiku. Dan aku bisa tertawa ketika aku merasa kesakitan yang luar biasa. Aku adalah ahlinya.
Pembohong yang tak dapat dibohongi. Itu kombinasi yang sempurna bukan?
"Kepala divisi mengatakan kau akan diturunkan ke lapangan enam bulan lagi." Sambung pria itu. "Aku akan mentraktirmu minum!"
Rayden adalah pria tampan yang ramah. Ia tersenyum pada siapa pun. Mungkin hanya aku sendirilah yang selalu berkhayal bahwa senyuman itu milikku seorang.
Ya. Aku jatuh cinta pada pria hangat itu. Pria pemilik warna mata bak dedaunan dan rambut cokelat yang menawan.
Ia adalah mentorku di akademi ini. Aku adalah calon agen rahasia di Malava Island. Sekitar dua tahun yang lalu mereka merekrutku.
Aku akan menjadi M.I.S.A, Malava Islands Secret Agent.
M.I.S.A adalah bayang-bayang.
M.I.S.A adalah senjata.
M.I.S.A adalah perisai.
Itulah moto kami.
Baru saja ia berkata aku akan menjadi agen lapangan enam bulan lagi. Aku sangat senang mendengarnya. Karena biasanya seseorang harus menempuh tiga tahun masa pendidikan sebelum diterjunkan sebagai agen profesional. Namun, disisi lain ada kekecewaan yang sangat mendalam. Aku tak akan dapat melihat R setiap hari.
***
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro