DELPN PULUH TIG
(edited version)
----------------------
"Aku mencintaimu...," ucap Eugene sembari terus menarik tubuhku agar bersandar di dadanya.
"...Carla," sambung pria tampan yang ada di hadapanku itu.
Mataku terbuka lebar.
"...rla... Nona Carla... Nona Carla..." panggil seseorang. Suara itu suara Charles.
Dan kali ini mataku benar-benar terbuka. Aku terbangun dari ilusiku. Entah ilusi atau mimpi. Aku tak tahu.
Suara panggilan Charles beserta ketukan di pintu kamar mandiku berkali-kali menarikku kembali ke dunia nyata. Aku tersadar, aku telah menumpahkan gelas mojito terakhirku. Minuman itu turut masuk ke dalam air mandiku. Dan selain itu aku sadar akan sesuatu. Aku seorang diri di ruangan ini. Hal itu tidak nyata. Eugene tak ada di tempat ini.
"Nona Carla. Apa anda baik-baik saja?" suara Charles dari balik pintu.
"Aku baik-baik saja, Charles." Ucapku.
"Saya sangat khawatir karena sudah dua jam Nona belum turun untuk makan malam," serunya.
"Maafkan saya telah lancang masuk ke kamar Nona. Saya sudah berkali mengetuk pintu kamar Nona namun tak ada jawaban."
"Aku tak apa Charles. Pergilah," balasku.
"Tuan Gregory masih menunggu anda untuk makan malam di bawah," ucapnya.
"Ya. Aku akan segera turun," sahutku.
Tak lama kemudian suara Charles sudah tak terdengar kembali, sepertinya ia sudah pergi dari tempat ini. Dan aku mulai tertawa dengan keras. Menertawakan diriku yang tolol ini.
Haha. Tolol.
Aku sungguh tolol. Ternyata aku hanya bermimpi. Aku menertawakan mimpi bercintaku bersama Eugene. Kuraba dadaku. Ada yang beretak keras di sana.
Apa aku mengharapkan hal itu adalah kenyataan? Kupikir aku tahu jawabannya. Aku menyukai pria itu. Atau sudah lebih dari sekedar rasa suka. Aku mencintainya. Sepertinya sudah sangat lama. Namun aku tak menyadarinya. Atau lebih tepatnya, belum mau mengakuinya.
***
Dentingan garpu dan pisau makan meramaikan suasana makan malam kami yang sunyi. Ya, kami. Aku dan Eugene.
Aku tak percaya ia menunggu selama dua jam lebih untuk makan malam bersamaku. Ada perasaan senang merekah di hatiku. Sesekali aku mengarahkan tatapanku padanya secara diam-diam. Dan aku tahu, selama makan malam ini ia terus menatapku.
Dan bayangan mengenai mimpiku kami bercinta ketika berendam berputar kembali di otakku. Membuatku tak konsentrasi menghabiskan masakan buatan Charles itu.
Aku sudah gila. Tidak. Stop Candice! Ingat kau kembali ke tempat ini sebagai Candice bukan Carla!
Satu.
Dua.
Tiga.
Itu hanya mimpi. Tak perlu dipikirkan. Dan semua akan baik-baik saja.
Namun mantra itu tak berhasil. Terlebih lagi Eugene terus menerus menatapku. Dan kalimat yang diucapkannya di mimpiku seakan berdengung di telingku.
Aku mencintaimu, Carla.
Kutatap kembali Eugene. Tatapan kami bertemu.
Ia memang pernah mengatakan hal itu padaku. Pernah terjadi, dan itu kenyataan dan bukan mimpi atau khayalanku ketika mabuk.
Namun aku tahu ia tak berbohong ketika mengatakannya.
Kuyakinkan sesuatu agar kegilaanku ini tak bertambah parah. Tatapan itu hanya untuk Carla. Dan kalimat itu adalah milik Carla. Bukan Candice. Eugene mencintai Carla. Bisakah Eugene mencintai Candice?
Entah mengapa pertanyaan gila itu muncul di otakku. Sepertinya kegilaanku bertambah parah. Tentu saja, itu karena Eugene tak hentinya menatapku saat ini.
***
"Banyak hal yang harus kau katakan padaku Eugene!" ucapku tegas.
Kali ini aku bersusah payah berakting biasa saja dikala hatiku berdetak keras ketika berada di dekatnya.
"Ya. Sangat banyak," ucapnya sembari menyalakan laptopnya. Seusai makan malam ia mengajakku untuk berbicara di ruang kerjanya.
"Kenapa ketika di hutan kau begitu marah padaku sewaktu kau mengetahui Gregory telah tewas?" tanyaku.
Sebenarnya banyak pertanyaan yang lebih penting dari itu. Namun, entah mengapa kulemparkan pertanyaan itu. Mungkin karena aku penasaran mengapa responnya sangat berbeda saat itu. Ia begitu marah.
"Itu karena aku membutuhkan Gregory," ucapnya.
"Maksudmu? Kau membutuhkan pria idiot yang merusak wajahmu?"
"Ya. Aku membutuhkan matanya," ucap Eugene.
"Aku masih belum mengerti. Bisakah kau menjelaskannya secara rinci padaku?" Aku sedikit mengomel padanya.
"Aku menyimpan banyak hal yang kita butuhkan untuk menghancurkan M.I.S.A namun aku menyimpannya di gudang yang kuncinya berupa pemindai iris mata," ucap Eugene.
"Dan kau menggunakan mata Gregory sebagai kuncinya?" tebakku. "Mengapa?"
"Pertama, gudang itu sejak awal adalah miliknya. Yang kedua gudang itu sangat aman. Buatan Rusia, tahan dengan rudal kecil ataupun bom sedang. Ketiga, aku tak dapat mengganti kuncinya karena kuncinya hanya dapat merekam satu iris mata dan membukanya harus dengan iris mata orang yang sama," ucapnya.
Sampai saat ini aku cukup mengerti mengapa orang kejam yang mudah membunuh manusia lain seperti Eugene membiarkan Gregory tetap hidup.
"Aku dapat menggali kuburannya dan kita akan mendapatkannya kembali," tawarku.
"Tidak semudah itu Nona." Ucap Eugene sembari menghela nafas. "Pemindainya hanya dapat mendeteksi iris mata orang yang bernyawa." ucapnya.
"Jika benar seperti itu, seperti apa yang kau katakan. Aku dalam masalah besar," ucapku.
"Lebih tepatnya KITA." Eugene mengoreksi.
Entah mengapa aku senang ketika ia menyebut kata 'kita' untuk kami berdua.
"Dan hanya ada satu cara membobolnya," sambungnya sembari memutar laptopnya ke arahku.
Di layarnya terpampang jelas logo C.I.A—Central Intelligence Agency.
"Hanya mereka yang memiliki teknologi yang dapat membuka kunci gudang buatan Rusia itu," ucap Eugene mulai serius.
"Dan kita akan mencurinya?" tanyaku. Aku mulai merinding ketika membayangkan harus berhadapan dengan para agent C.I.A.
"Tidak. Kita hanya meminjamnya sebentar," ucap Eugene. "Dan jika kita salah langkah..." Eugene kembali menghela nafas panjang. "Kita akan menjadi pembuka yang sempurna untuk perang dunia ketiga."
***
TBC.
Belum berat2 dulu ahh...
Lagi ingusan soalnya.. Wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro