DELPN PULUH EMPT
(edited version)
----------------------
"Kita akan menjadi pembuka yang sempurna untuk perang dunia ketiga," sambung Eugene.
Ya. Mengingat hubungan antara Malava Islands dan Amerika memang tak begitu baik. Pergesekan kecil apa pun memang dapat menimbulkan masalah besar antara dua negara ini. Terlebih lagi sejak awal Malava Islands memiliki hubungan yang kuat dengan Rusia.
"Lalu apa maksudmu dengan meminjam? Apakah kita akan mengambilnya sebentar lalu mengembalikannya?" tanyaku.
"Tidak. Kita tak mengambilnya." ucap Eugene. Tangannya dengan lihai mencari beberapa berkas di mejanya. Lalu ia memberikan sebuah map kepadaku. Dan dengan sigap aku mengambilnya.
"Atomic Scanner, kita membutuhkannya. Scanner dengan menggunakan sinar X yang mampu memindai benda enam dimensi. Hasilnya sangat detail sampai dapat mendeteksi ukuran benda dalam satuan satu perseribu nanometer serta mendeteksi jenis partikelnya," ucap Eugene.
"Aku baru pertama kali melihatnya," ucapku sembari menatap keterangan dan gambar yang ada di dalam map itu. Visualisasi mengenai benda yang dinamakan Atomic Scanner itu. Benda itu sangat mirip dengan lampu senter besar berdiameter dua belas inchi.
"Gunakan benda itu di tempat penyimpanan alat milik C.I.A yang akan kita gunakan untuk membuka gudang Gregory," ucap Eugene sembari mengambil botol bir di dekatnya dan meneguknya. "Keluar tanpa jejak dari sana. Dan kita hanya tinggal merakit benda yang sama dari informasi yang kita dapatkan dari Atomic Scanner."
"Sedikit lebih sulit dibandingkan dengan langsung mencurinya. Namun terdengar lebih baik dibandingkan harus menjadi alasan perang dunia ketiga," ucapku sembari terkekeh. "Jadi kau memiliki scanner ini?"
"Kita akan memilikinya," Ucap Eugene.
"Akan memilikinya?"
"Kita akan memilikinya setelah kita merampasnya dari seseorang," balas Eugene.
"Maksudmu, kita akan tetap melakukan pencurian?" tanyaku.
"Do you have a better idea?" ucap Eugene sedikit menantang.
"Yes, sir." ucapku mantap. "Ide brillianku adalah mendengarkan banyak penjelasan darimu sebelum memulai semua ini."
"..."
"Kau berhutang banyak padaku." ucapku.
Eugene memutar kursi kerja yang didudukinya sehingga kami berdua berhadapan.
"Kau ingin mendengarkan bagian yang mana terlebih dahulu?"
"Pertama lanjutkan kisahmu dan Gregory," ucapku.
Eugene kemudian mengambil sebotol bir dan menyodorkannya kepadaku.
"Tidak. Aku sedang tak ingin minum." Aku menolaknya.
Ya. Aku tak ingin mabuk untuk saat ini. Hal itu dapat membuatku berhalusinasi gila seperti kejadian saat aku berendam dengan sabun mawar.
"Kenapa kau tak menyerahkan langsung file itu kepada M.I.S.A? Kau membukanya?" Aku langsung melemparkan pertanyaanku.
"Aku tak bisa kembali dengan wajah seperti ini. Aku akan langsung ditembaki saat itu juga." ucap Eugene.
Ya. Itu masuk akal.
"Lalu kau kembali ke tempat Dokter Gilbert dan menyiksanya. Kau memotong jarinya, aku tahu dari pertama kali melihatnya. Itu pasti hasil karyamu," Tebakku.
Sebelum aku mengetahui bahwa Gregory-lah yang merubah wajah Eugene, kupikir ia berbuat seperti itu untuk memaksa Dokter Gilbert merubah wajahnya mirip Gregory. Namun ternyata pikiranku salah.
"Tidak seperti itu," balas Eugene mematahkan asumsiku. Aku salah untuk kedua kalinya.
"Saat itu aku kembali padanya untuk merubah kembali wajahku. Namun tidak bisa. Lalu aku sangat marah pada dokter sialan itu dan memberinya sedikit souvenir agar ia mengingat hal ini," ucap Eugene mengalihkan pandangannya dariku.
Dari caranya mengalihkan pandangannya, aku tahu bahwa hal yang ia ucapkan saat ini merupakan hal yang tak begitu ingin dibahasnya. Namun aku tak begitu peduli, aku begitu ingin mendengarkan kebenarannya.
"Ada pelat besi yang ditanam di wajahku untuk membentuk kontur yang sama dengan wajah Gregory." ucap Eugene sembari beranjak dari duduknya dan mendekatiku.
Eugene kemudian menarik lenganku. Dan menaruh telapak tanganku di rahangnya.
"Kau merasakannya?" tanya Eugene sembari menatap mataku.
Ya. Aku merasakannya, Eugene. Jantungku berdetak keras.
Di posisi kami sekarang, rasanya aku ingin menarik wajahnya ke wajahku dan menempelkan bibir kami berdua.
Candice! Berhenti! Kau tak boleh lebih gila dari sebelumnya. Sadarlah!
Kuhela nafas panjang.
"Aku merasakan sambungan pelatnya." kuutarakan apa yang kurasakan di ujung-ujung jemariku padanya, bukan yang kurasakan di hatiku.
"Itu permanen. Tak bisa dirubah kembali," ucapnya sembari melepaskan telapak tanganku dari rahangnya.
Aku mengerti. Ia bukan bersembunyi, namun tak dapat kembali. Wajah Gregory selalu melekat ditubuhnya. Seumur hidup.
"Lalu kau memutuskan untuk menjadi Gregory selamanya," Tebakku.
"Jangan terlalu sok tahu, Nona," ucapnya. "Aku tak berniat untuk menjadi Gregory. Aku sudah berniat kembali ke kantor M.I.S.A untuk menyerahkan file-nya dan menjelaskan mengenai wajahku ini. Namun... Semuanya abu-abu."
Jangan-jangan....Ia mengalami hal yang sama denganku.
"Sebelumnya kau kembali ke keluargamu dan mereka..." ucapku. Aku sedikit ragu menebaknya.
"Ya seperti itu," ucap Eugene. "Tebakan yang tepat untuk kali ini."
"Kau menemukan istri dan anakmu telah tiada," ucapku.
"Sebenarnya mereka bukanlah istri dan anakku," balas Eugene. "Aku hanya menganggapnya seperti itu."
***
Tbc.
Maaf, Eugene bukan hot duda :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro