Prolog
Ginza selalu menjanjikan kemewahan dan eksklusivitas yang hanya bisa dirasakan oleh sebagian kelompok. Tak heran jika Ginza menjadi tujuan utama Kizu Rui untuk mencari gaun pernikahannya di sebuah butik ternama.
Dengan tangan memegang dagu dan sebelah tangan berada di bawah dadanya, Rui memerhatikan satu per satu model ball gown tak menarik perhatian, sekalinya ada potongan yang ia suka, terlalu banyak dipasangkan manik hingga Rui ragu kalau difoto cahaya akan terpantul balik dan membuat keseluruhan fotonya putih akibat pantulan cahaya.
"Ah, kau ini banyak pilih deh." Natsume Rena, aktris yang berkecimpung di dunia seni peran selama lebih dari 10 tahun sekaligus sahabat Rui, berdecak-decak melihat sahabatnya yang terus saja menggeleng. "Kau ingin yang seperti apa sih?"
"Kau sudah berjanji mau menemaniku, ingat?" kesal Rui sebelum berbalik pada gaun berikutnya yang dipajang. "Aku ingin yang tidak seperti Tokyo Dome, A Line atau trumpet sederhana tapi tak murahan."
Kesal dengan kekeraskepalaan Rui, Rena bangun dari duduknya dan mulai membuntuti Rui. "Begini, Rui Sayang, kau itu tinggal di Jepang dan calon suamimu, yang tak pernah kau kenalkan padaku itu, merupakan anak dari pengacara ternama dan ibunya seorang aktris, sudah pasti menginginkan yang mewah-mewah, kalau kau tidak memilih gaun supermahal, kau bisa kena cemooh!" terangnya panjang lebar dengan berapi-api kemudian menarik Rui menuju sebuah ball gown berwarna putih dengan taburan permata menyilaukan di potongan leher off shoulder-nya.
"Ini cocok untukmu, sungguh," yakin Rena, "cahaya kebiruan dari batu-batunya persis seperti irismu yang membuat pria tergila-gila, aku yakin tamu undangan pasti tersihir!"
"Bagaimana kalau 'gaun yang cantik menurutku hingga aku puas dan senang memakainya' bukankah itu ide yang brilian?"
Lagi, Rena memutar bola mata cokelatnya kesal sambil mengibaskan rambut ikal pirang stroberi turunan dari ibu Rena yang berdarah Amerika. "Oke, mau yang mana? Biar kupanggilkan Minamoto agar membuatkannya untukmu, kalau untuk model ternama pasti dia takkan menolak meski dicekik deadline."
Kizu Rui adalah model profesional yang sebenarnya bisa saja meminta perancang ternama membuatkan gaun untuknya, namun untuk apa juga? Toh, gaun tersebut hanya akan dipakai sekali seumur hidup, kenapa harus repot-repot?
Lantaran Minamoto masih di jalan dari bandara ke pusat kota, kedua sahabat yang sudah berteman selama 15 tahun tersebut menikmati siang mereka di kafe seberang butik dengan secangkir kopi dingin dan kue lemon kesukaan Rena sementara Rui asyik menikmati americano miliknya.
"Calon suamimu datang, kan?" tanya Rena sambil menyodorkan potongan kue lemon ke hadapan Rui.
"Iya, omong-omong, terima kasih sudah menolerir sikapku yang menyebalkan belakangan ini, ya," buka Rui dan menolak suapan kue lemon Rena, "kalau tak ada kau, aku pasti sudah kebingungan dengan apa yang harus kusiapkan sekarang."
"Aw ..." Rena memasang tampang terharu, bukan kebiasaan Rui mudah tersentuh seperti sekarang, hal itu pula yang membuatnya yakin Rui dalam keadaan mental yang supersensitif. "Aku senang kok! Pokoknya ya, buket bungamu jangan coba-coba kau berikan padaku!"
Rui tergelak mendengar peringatan Rena namun tetap mengangguk. Rena yang lebih tua 7 tahun dari Rui harusnya memang menikah lebih awal, apalagi wajah campurannya amat mendukung pria untuk segera mengawini Rena.
Pria mana juga yang tak jatuh cinta pada mata lugu cokelat hangat yang selalu melengkung seperti bulan sabit terbalik saat tersenyum, bibir tebalnya yang tak ragu menebar senyum, hidung ramping, serta tubuh 163 sentimeter menambah kesan kekanakan pada Rena meski lekuk tubuhnya tak kekanakan sama sekali. Tak heran jika Rena dijuluki kecantikan yang datang 2000 tahun sekali.
"Ah, aku akan sengaja menaruhnya di mobilmu kalau begitu."
Rena terkikik geli. "Untuk apa sih menikah kalau menghalangi jalanmu? Bayangkan," Rena menggeser duduknya bersemangat, "kau bisa mengendalikan pria mana pun yang kau suka dan mengatur kariermu. Kau bisa pilih apa pun yang kau mau. Menikah itu ya, menurutku, sama saja dengan menutup dua puluh pintu hanya untuk membuka satu pintu, tak sebanding yang dikorbankan, meh." Ia menjulurkan lidahnya.
"Kau belum bertemu yang tepat saja," ujar Rui santai. Mereka tak pernah memiliki pandangan yang sama soal asmara. Sebenarnya Rui juga bukan wanita yang memuja cinta, tapi siapa yang tidak mau ketika kekasih 3 tahunnya melamar setelah berhasil mendapatkan reputasi baik di Jepang tanpa bantuan nama Mizuhara sebagai embel-embel?
"Lucky for you, eh?"
Rui menunjukkan persetujuannya dengan menaikkan kedua alis sebelum menangkap sosok pria bersetelan kerja hijau juniper. Bahunya nampak tegap dengan otot bisep yang menonjol di balik balutan blazer, rambut hitamnya disisir rapi memperlihatkan dahinya yang menawan, tulang pipi yang tinggi, serta mata besar yang tegas namun jenaka tersebut menyisir ruangan cepat-cepat sebelum menyengir lebar.
"Hai," sapa Rui ketika pria itu mendekat dan menundukkan wajahnya mencium kening Rui. "Zenzo, kenalkan ini Natsume Rena, sahabat terbaikku, dan Rena, ini Mizuhara Zenzo, calon suamiku."
Sambil menarik kursi di samping Rui, Zenzo menganggukkan kepalanya pada Rena, "Selamat siang," kemudian beralih lagi pada Rui, jemari Zenzo naik untuk membelai anak rambut cokelat kemerahan Rui dan menyematkannya di balik telinga, "kupikir kau bergurau kalau berteman dengan Natsume Rena."
Berbeda dengan penerimaan Zenzo yang santai dikenalkan pada wanita secantik Rena, Rena, yang duduk berseberangan dengan Zenzo harus menahan diri untuk tidak menelan ludah melihat tubuh terbalut pakaian kerja Zenzo yang begitu menggoda. Rena bersumpah ia tak pernah menyukai pria kerah putih sebelumnya, selain untuk mengambil keuntungan tentu saja.
Namun bukan Natsume Rena namanya jika tak pandai berakting, bahkan Academy Award Japan disabet semudah menjentikkan jari di tahun pertama ia membintangi debut filmnya.
"Memang, dia itu kenapa sih protektif sekali terhadapmu! Aku sampai tak dikenalkan, menyebalkan sekali." Rena berdecak-decak, berpura kesal. "Omong-omong, kau putra tunggal Senior Mizuhara Ritsuko dan Mizuhara Tozuka, ya?"
Wajah Zenzo kembali berseri ketika nama ibunya tersebut. "Ah ya, kau pernah satu drama dengan ibuku, kan? Aku dikirimi DVD-nya. Aku masih di London saat itu, masih sekolah, jadi tak mengikutinya di teve."
"Jadi kalian bertemu di London?" simpul Rena.
"Iya, aku baru kembali ke Tokyo 8 bulan lalu. Rui tak menceritakannya padamu?"
"Aku tak ingin mengumbar, lagi pula Rena tak tertarik mendengarnya, dia pasti menghinaku lantaran bertahan dengan satu pria padahal jarang bertemu," jelas Rui menyesap lagi kopinya.
Rena perhatikan sepanjang Zenzo bercakap dengannya, tak sedikit pun tangan pria itu meninggalkan tangan Rui, beruntung sekali Rui menemukan pria yang hanya mau memandang Rui seorang.
Obrolan mereka terpotong kala Minamoto yang baru mendarat di Tokyo pagi tadi memasuki kafe dan langsung menyesap habis cappucino dingin Rena hingga kering di kerongkongannya mereda.
"Kenapa ingin buru-buru sih? Kau hamil, Rui~chan?" Minamoto adalah desainer dan juga sahabat keduanya, mereka sering berpergian bersama dan melakukan apa yang kaum modern sebut sebagai girls time meski Rui sering kali merasa tersisihkan lantaran tak bisa menangkap apa yang dibicarakan keduanya.
Rena tergelak sampai menepuk tangannya mendengar tuduhan Minamoto. "Jangankan hamil sebelum menikah, aku bahkan yakin mereka belum pernah tidur bersama."
"Memang sih." Mengesampingkan keinginnya untuk mengintrogasi pria berbadan layaknya model-model celana dalam yang terus menerus menyentuh tangan Rui, ia mengeluarkan buku sketsa dan pensilnya. "Ayo kita mulai, aku ingin sekali berbaring di bathtub dengan air hangat dan segelas wine."
Rui mengungkapkan keinginnya yang tampil sederhana namun elegan tanpa harus banyak hiasan alasannya tentu saja gaun seperti kubah Tokyo Dome akan menyulitkannya selama pesta berlangsung, lagi pula undangan hanya akan disebar ke kerabat dekat saja jadi tak mungkin Rui hanya duduk di ujung meja dan bercakap dengan keluarga inti.
"Bentuk tubuhmu yang tinggi dan kurus sebenarnya sangat cocok untuk ball gown,"
"Benar kan kataku!" sambar Rena.
"Tapi, aku bisa kasih opsi jika memang kau tak nyaman dengan ball gown yang menyerupai kubah Tokyo Dome itu. Mermaid dengan potongan leher queen ann, a line dan off shoulder, atau empire dengan high collar tentu tak kalah menganggumkannya untukmu, ah, lagi pula ya, tubuhmu memang tubuh model, jadi pakai apa pun cocok!" seraya menyebutkan opsi, Minamoto menunjukkan contoh sketsa yang ia punya.
Rui melihat ketiganya bersama Zenzo yang tak kalah serius hingga keningnya berkerut. "Menurutmu yang mana?" bisik Rui.
"Semuanya cocok, aku tak masalah, kan yang akan pakai kau, bukan aku." Zenzo menyengir pasrah. Ia suka Rui mengenakan apa pun, benar kata Minamoto, Rui memiliki figur model yang memakai apa pun cocok, bahkan hanya sebatas kaus dan celana jins robek pun menawan jika Rui yang mengenakannya.
"Kau suka imej Rui yang seksi atau yang naif?"
Mata khas pengacara Zenzo yang tegas berubah bingung sambil terus berkedip pelan mencoba memasukkan bayangan Rui dalam balutan gaun di hadapannya kemudian tertawa. "Ah, aku masih pria normal ternyata." Jawabnya malu-malu sambil menunjuk gaun mermaid dengan potongan leher queen ann yang sudah pasti akan menekan dada Rui. "Tapi semuanya kembali kepadamu, kalau kau tak nyaman, kau boleh pilih yang mana pun, aku takkan protes."
"Kalau begitu, aku pilih yang kau pilih." Rui sepakat.
Minamoto yang melihat pemandangan tersebut saling bertukar pandang dengan Rena kemudian menyengir penuh ejekan. "Lihat, lihat, mereka manis sekali!" ujar Minamoto, "Rena, kau harus cari pacar seperti Zenzo agar kau segera menikah."
Biasanya Rena akan menghina balik ucapan Minamoto yang mendesaknya menikah, namun siang ini, Rena mengangguk setuju. "Ya, aku harus mencari yang seperti Zenzo."
Sayangnya hanya ada satu Mizuhara Zenzo di dunia ini dan itu sudah menjadi kekasih Rui.
***
Re-post aja sih hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro