7. New Ark
Ah, if I am a work of failure,
haven't you already noticed it isn't complete?
L'Arc-en-Ciel - Shout at the Devil
•••
Mungkin Rui memang memiliki banyak tawaran kerja mulai dari brand lokal hingga brand internasional, namun saat itu ia dilirik karena Kizu Rui yang model dan berwajah masam itu merupakan sahabat karib Rena, jadi kalau Rena tak bisa maka hubungi Rui saja, pasti semua orang akan setuju kalau menyebut model yang mereka ajukan sejajar dengan Rena lantaran bersahabat.
Rui yakin seratus persen bahwa setiap orang yang menawarinya pekerjaan lantaran ia adalah sahabat Rena, bukan karena dirinya memenuhi standar untuk menjadi wajah sebuah brand. Buktinya, ketika rumor merebak dengan tuduhan bahwa dirinyalah yang terlalu berharap Zenzo menyukainya hanya karena diberi perhatian kecil, banyak brand yang berbondong-bondong memutuskan kontrak dengan Rui atau sengaja mencopot billboard berwajah Rui.
Kalau dihitung ulang tak cukup sebelah tangannya menghitung kontrak pekerjaan yang masih berlaku hingga awal tahun depan. Ia harus menetapkan secepatnya apakah ingin melanjutkan karier modelingnya atau melepaskan semua untuk mengejar impian awalnya sebagai desainer interior.
"Ayahmu punya pacar baru." Ibunya bergumam sambil membawa secangkir besar teh inggris dengan irisan lemon mengambang di dalamnya. "Kemarin mereka makan malam mesra, padahal putrinya sedang kesusahan dia malah asyik main gila, ayah macam apa dia itu sebenarnya?"
Sambil mengeluarkan piring-piring yang ia beli di Belgia, Rui hanya melirik ibunya sebentar. "Yakin itu pacar barunya? Bukan cuma kolega?"
"Mana ada sih kolega yang berpegangan tangan?"
"Mungkin kolega Papa buta dan perlu dituntun?" ia menggedikkan bahunya.
Desahan pelan terdengar dari tempat Eireen duduk bersila di atas sofa yang masih terbungkus plastik. Perlahan tangan hangatnya—bekas memeluk cangkir teh—membelai kepala Rui perlahan, diperhatikan baik-baik rambut putrinya yang berubah hitam pendek sebahu, ia lebih menyukai rambut Rui yang panjang dan sama sepertinya, bukan yang seperti ini. Rasanya ia seperti tersisih di tengah masyarakat yang berambut gelap.
"Kasihan putriku," ungkapnya agak sedikit bergumam. "Kau harus merasakan apa yang kurasakan juga, padahal tiap malam aku berdoa agar aku saja yang mengalaminya, kau jangan."
Rui berhenti mengelap piring-piring porselen berwarna gelap tersebut kemudian berdiri hingga wajahnya sejajar dengan televisi baru yang dibiarkan mati. Matanya menangkap sosok di pantulan layar televisi dan memerhatikkannya lama-lama tanpa sadar. Wajahnya nampak jauh lebih pucat dengan rangkuman warna hitam serta mata yang terlalu kosong, benarkah itu dirinya di pantulan cermin?
"Rui~chan?"
Hampir saja Rui melompat saat tangan hangat ibunya menyentuh punggung tangannya yang dingin. Sesaat Rui mengerjap, meraih kembali nyawanya yang melayang-layang selama beberapa saat sebelum berbalik ke dapur membawa piring-piring dan menyusunnya rapi.
Beruntung bel di pintu menginterupsi pikirannya. Buru-buru ia meninggalkan piring-piring di atas konter dapur untuk mempersilakan tamunya naik kemudian kembali ke dapur dengan langkah kecil yang cepat.
"Tolong buatkan kopi dan potongkan kue, aku ada klien hari ini." Pintanya sambil meraih tas juga brosur yang berantakan kemudian melemparkannya ke dalam kamar sebelum menyemprotkan pengharum ruangan.
"Siapa sih tamunya?"
"Asano Mei!"
"Eh?" mendengar nama Asano Mei tak begitu mengejutkan Keiko sebetulnya mengingat Kizu Eireen bersahabat baik dengan istri dari pemilik segala kemewahan di Jepang tersebut, namun Asano Mei yang berkunjung ke apartemen Rui-lah yang membuat Keiko salah tingkah.
Keiko berlari mengambil teko kopi kemudian kembali ke meja makan untuk merapikan buku catatannya, berlari lagi mengambil cangkir kopi dan meletakkannya ke konter sebelum berputar setengah bingung mencari lemari es padahal letaknya tak pernah pindah semenjak satu tahun lalu.
"Kenapa bisa Asano Mei ke sini?" tanyanya sambil mengeluarkan kue tart keju kudapan malam Rui yang baru dipotong satu kali dan kecil sekali.
"Mau membicarakan interior restorannya, katanya ia ingin mengganti suasana restoran di Grand Asano Palace." Ketika kesibukan Keiko berhenti, Rui tahu bahwa ia harus menjelaskan bagaimana ia bisa dipercaya untuk mengambil proyek besar ini. "Mama yang menyarankannya."
Asano Mei termasuk tinggi untuk wanita Jepang asli berumur 59 tahun, rambut hitamnya—hasil rekayasa salon—disanggul rapi dengan hiasan aster, pakaiannya merupakan blous kuning kunyit dirangkap mantel putih dan roknya menutupi hingga lutut. Yang Rui tahu, Asano Mei merupakan senior ibunya semasa kuliah dan lumayan banyak membantu berkembangnya Asano Grup di Eropa terutama Inggris, sayangnya nama Asano Mei sendiri tak begitu dikenal sebagai dirinya lantaran nama suaminya, Asano Eiji, jauh lebih menjual sebagai penerus generasi ketiga Asano Grup.
"Konichiwa," sapa Rui menundukkan kepalanya sambil mempersilakan duduk di sofa ruang santai bersama Keiko dan ibunya. "Aku senang sekali Anda mau mampir ke sini."
"Kau ini sudah seperti dengan siapa saja!" Asano Mei menepuk lutut Rui kemudian melanjutkan ke bahasan topik mereka siang ini mengenai perubahan interior restoran mewah yang terdapat di Grand Asano Palace lantai 17.
Masalah utama dari restoran mewah bernama The Palace adalah interior yang klasik hingga yang datang kebanyakan hanya pasangan di atas 35 tahun, selain karena harga juga yang tak memungkinkan dijangkau oleh kalangan anak sekolah tentu saja. Tapi pasti ada hal yang mampu menarik pelanggan muda meski harganya kurang masuk akal bagi mereka, bukan?
Maka, Rui sebagai kaum muda, mengusulkan untuk menambahkan semacam restoran berkonsep kafe buffet dengan desain interior minimalis seperti Grand Budapest. Mungkin menyesuaikan dengan kepribadian Jepang yang cenderung ke arah manis, warna bisa dipilih merah muda dan sejenisnya, yang lembut.
Rui memberikan beberapa contoh yang dimaksud dan mengaplikasikannya di software sebagai penggambaran awal.
Dengan mata berbinar dan kedua tangan menutupi mulutnya, Asano Mei mengangguk semangat, ia menyukai konsep yang Rui buat, membagi dua area dinning yang terlalu luas dengan segmentasi anak muda, konsep yang Instagramable sudah pasti lebih cepat populer.
"Kau brilian sekali, Rui! Aku suka idemu!" saking semangatnya ia sampai menghentak-hentakkan kakinya dan bertepuk tangan kecil. "Kapan kau bisa memulai proyek ini?"
"Karena sedang senggang, aku bisa berburu barang-barangnya mulai esok."
"Ah, belum mau modeling lagi?" tanya Mei sambil melirik Eireen.
"Kata Keiko~san kami perlu agensi baru untuk memudahkan tawaran pekerjaan, sayangnya yang mengajukan diri hanya agensi yang—lagi-lagi kata Keiko~san—hanya akan mempergunakan ceritaku untuk meraup uang segudang."
"Sulit memang punya skandal dengan orang terkenal, tersebut sedikit saja bisa jadi lahan uang," ujarnya menyetujui. "Bagaimana kalau agensi modelingku—bukan milikku sih, milik menantuku," kali ini Mei beralih pada Eireen, "itu lho, agensi Aya~chan istrinya Gaku~chan."
Bukannya fokus pada penawaran agensi, kedua wanita itu justru asyik menggosipkan si Gaku~chan yang sudah menikah saja padahal usianya baru 30 saat menikah, ditambahkan juga kalau Gaku~chan pasti serius sekali mencintai Aya~chan lantaran melepas kebebasannya sebagai pria di usia muda, bahkan anak mereka sudah berumur 4 tahun sekarang, anak perempuan bernama Asano Nana.
Sementara Keiko dan Rui sibuk berpandangan dengan wajah datar mendengarkan rentetan gosip panjang a la ibu-ibu arisan, seolah keberadaan keduanya benar-benar gaib. Hebat betul memang konsentrasi wanita kalau sudah menggosipkan anak-anak mereka.
"Sayang sekali Gaku~chan sudah menikah, padahal kita bisa menjodohkan keduanya kalau Gaku~chan masih lajang." Ungkap Eireen sambil memotong strawberry cheese cake miliknya.
"Ano ... sumimasen." Keiko memberanikan diri memotong gosip itu di tengah jalan. "Agensinya bagaimana?"
"Oh, iya!" Mei bertepuk tangan kemudian mengambil buku catatannya dari dalam tas dan mencari sesuatu di antara tumpukan kertas penting lainnya. "Agensi milik Asano Mayaka, Lyra Entertaiment, biarpun tak setenar Galaxia, kurasa Lyra jauh lebih berkualitas dan lebih peduli pada artisnya."
Mei menyodorkan kartu nama milik Asano Mayaka, atau sebelum menikah bernama Kominami Mayaka, seorang model papan atas yang memulai kariernya di tahun 1996, jauh sebelum Rui memulai kariernya. Sepertinya saat pernikahan Mayaka ia datang sendiri lantaran Rena tak diundang.
"Aku kenal Mayaka Senpai," ujar Rui melirik kartu nama di tangan Keiko. "Akan kubicarakan dengan Keiko dan Mayaka secepatnya."
"Oh, sungguh? Bagus kalau begitu, memang Mayaka itu sedikit ketus, tapi dia baik kok."
Praktis hari-hari setelahnya diisi Rui dengan mencari refrensi interior bahkan mengecek galeri-galeri di Eropa untuk mendapatkan barang yang diinginkan, selain berbincang dengan Mayaka siang nanti, ia bahkan tak ingat makan kalau Keiko tak sibuk meneleponnya dan berteriak-teriak untuk mampir sekedar membeli roti.
Siang itu Mayaka berinisiatif untuk makan siang bersama Rui dan Keiko di restoran paling aman se-Tokyo yang terletak di lantai dasar Grand Asano Palace.
"Tidak makan? Aku yang bayar kalau uangmu menipis," ledeknya melihat Rui sama sekali tak memesan makanan kecuali kopi yang sudah mencapai cangkir kedua.
"Uangku cukup untuk hidup mewah selama 5 tahun lagi, tenang saja."
Mayaka mengangguk sebelum membuka topik utama mereka siang ini. "Aku sebenarnya menunggumu setelah konfirmasi bahwa kau keluar dari Galaxia." Ia memberi jeda, ingin melihat reaksi Rui yang ternyata datar sempurna. "Tapi kau datang setelah Ibu Mertuaku menyarankanmu, sudah hampir 3 bulan, bukan?"
"Aku memikirkan ulang apakah ingin kembali modeling atau tidak." Rui tahu betul sejarah Mayaka yang keluar dari Galaxia tiga tahun lalu lantaran berselisih dengan Mitsuyama setelah tertangkap kamera berkencan dengan pewaris Asano generasi keempat, Rui menambahkan, "Lagi pula, kalau saat itu aku langsung menghubungimu, kau sudah pasti akan membuat klarifikasi, benar?"
Mendengar tudingan yang tak salah, Mayaka tergelak. "Benar, aku akan membongkar semuanya kemudian pergi. Sesekali Rena harus berada di pihak yang salah di mata publik."
"Kau juga keluar dari Galaxia lantaran didesak untuk membeberkan hubunganmu dengan Asano Gakuto itu, kan?"
"Yah, bagaimana lagi, kalau sudah menyangkut Asano media memang suka gelap mata dan karena Ga~chan benci dikuntit, maka aku dan Sasaki mendirikan Lyra. Bergabunglah, kami takkan menjual kisahmu dengan Rena kecuali kau menginginkannya, aku sebenarnya sangat ingin."
Sambil mengangguk paham, Rui melirik Keiko, berusaha meminta pendapat dari manajernya tersebut.
"Apa Rui harus menjelaskan tentang skandalnya yang lalu kalau ia bergabung dengan Lyra?" baru berarti lembaran baru dan lembaran baru tak sepatutnya menyisakan noda buku yang lama.
"Kau tak perlu menjelaskan apa yang terjadi antara kau, Zenzo, dan Rena, aku sudah dengar."
"Oh, ya?" Rui menatap Keiko yang langsung dijawab dengan bantahan keras.
"Bukan aku!"
"Bukan Keiko~san, ya ampun, suamiku itu memiliki banyak sumber." Ia melihat jam tangannya dan langsung berdiri, wajahnya terkaget luar biasa saat mengetahui sudah hampir pukul 2 siang. "Aku harus menjemput putriku sebelum pukul 2."
Rui menolak, meski Keiko merajuk, untuk makan siang di sana dengan biaya yang dibebankan pada kredit Mayaka. Memang tak masalah, toh pemilik hotel ini adalah Ibu Mertua Mayaka, meski begitu kalau ada orang yang melihat pasti kesempatan ini dimanfaatkan untuk meraup keuntungan. Gosip di kalangan penggemar itu lebih mengerikan ketimbang di media.
"Omong-omong," Keiko membuka ponselnya, membaca pesan dari Kishimoto yang baru saja masuk. "Kishimoto~san bilang kalau hari ini PV New Ark dirilis dan konferensi pers pukul 3 nanti."
"Brace yourself, hate comment is coming." Rui langsung mengambil ponselnya dan membuka kanal YouTube Nexus, sebuah unggahan baru 35 menit lalu.
Video dibuka dengan intro yang terdengar samar, suara jepretan silih berganti membuat layar gelap menjadi gegap gempita, serbuan pertanyaan lebah yang terbang. Rui duduk di balik meja marmer hitam dengan topi picture hitam menutupi hingga bagian matanya, kerut bibirnya nampak gelisah dengan wajah yang selalu berusaha menghindari tangkapan kamera kumpulan orang berpakaian formal di hadapannya. Kamera beralih pada empat pria berpakaian hitam dan merah naik ke atas panggung, Gen yang berdiri paling depan menghisap rokok dalam-dalam diikuti personil lain yang naik panggung.
Drum dipukul lebih dahulu sebelum diikuti musik yang lain, dengan gayanya yang cuek dan menyebalkan Gen memainkan ritme gitar, Jiro mengikuti di bagian kanan dengan rokok terselip di antara bibirnya, sementara Ryo melihat kumpulan orang yang berkerumun di depan panggung sambil meloncat mengikuti irama.
Kamera beralih pada kumpulan orang yang menikmati musik Nexus di depan panggung, perlahan sekali seorang wanita dengan topi yang sebelumnya ditarik hingga menutupi mata maju ke arah panggung, kamera menyorot bibir yang tersenyum kala wanita itu menjunjung kamera ponselnya ke arah panggung, diikuti beberapa orang lain yang juga menutupi wajah mereka dengan topi.
Kamera kembali menyoroti Rui yang memandang Gen, memunculkan sebelah mata Rui dari balik bayang-bayang topi. Sebuah iris biru yang nampak kelelahan dan penuh pangharapan saat mata mereka bertemu. Fokus kembali teralih pada penggemar Nexus yang menyorot Gen dengan kamera dan senyum ular sebelum topi mereka terbuka, menunjukkan kain hitam yang menutupi bagian mata, sama seperti kumpulan orang yang mengerubungi Rui.
Adegan beralih ke sebuah ruangan dengan lampu berbagai warna menyilaukan mata, dengan Rui yang sekarang terhimpit oleh pria dan wanita yang menyodorkan kamera ke arahnya, senyum lebar memamerkan keserakahan dan adiksi akan kesakitan Rui terpancar begitu jelas saat Rui berusaha membebaskan dirinya. Tak beda dengan keadaan Rui, Nexus, terutama Gen berdiri di tengah kumpulan manusia yang dengan asyik bergoyang mengikuti irama bahkan beberapa tangan membelai tubuh Gen penuh undangan.
Mata mereka bertemu di tengah himpitan manusia, Rui menatapnya setengah marah dan setengah tak berdaya menghadapi kamera yang terus menyorotnya bahkan gerakan sekecil menyeka keringat di hidung pun membuat manusia bermata tertutup tersebut saling berbisik heboh.
Gen menyusup melawan arus dan tangannya menggengam tangan Rui yang dilapisi sarung tangan kemudian menariknya keluar dari kerumunan.
Cepat raih kuncimu dan kita keluar dari sini mengendarai kapal baru, kendarai dan pacu!
Video itu berakhir dalam lima menit dan lima belas detik termasuk adegan Gen menarik dirinya sambil tertawa-tawa menyusuri lorong menuju cahaya di ujung.
Rui menutup YouTube dan memandang kerumunan siang menjelang sore itu yang dipenuhi dengan pelajar bersyal tebal sibuk memelototi ponsel mereka, layar besar pun menampilkan cuplikan PV tersebut berkali-kali hampir di setiap lampu merah.
Perlahan Rui tersenyum menyadari bahwa Gen bukan saja membenci reporter yang hidup dengan berita sampah dan menguntit seseorang bahkan hingga tengah malam hanya untuk meraih rating tinggi, namun Gen juga membenci penggemarnya sendiri yang berdiri memandang mereka dengan senyum kemudian membeberkan cerita yang bahkan tak pernah terjadi lalu masih berani memasang wajah polos, seolah lupa dengan apa yang diperbuatnya.
Pria itu jauh lebih jujur ketimbang dirinya yang selalu menyembunyiakan emosi.
***
Siang itu Gen mengenakan setelan semi formal serba hitam, mewarnai ulang rambut cokelatnya menjadi hitam, dan membiarkannya sedikit berantakan. Ia melirik personil lainnya yang masih ditata rambutnya, sementara Jiro menatap pantulan di cermin dengan tatapan mimpi buruk. Jemari panjang Jiro membelai ujung-ujung rambut yang sudah dipangkas sedemikian pendek sambil terus mendesah kecewa.
"Haruskah kubotakkan lagi?" ia bertanya kesal pada Gen dari pantulan di cermin. "Semakin panjang semakin rontok!"
"Jangan, nanti makin silau di panggung." Gen menjawab asal membuat Jiro ingin sekali melesakkan hairdryer ke mulut Gen.
Kuro yang keluar dari kamar mandi langsung berucap. "Kau tahu pasti semua menyerang wilayah pribadimu, kan?" Gen hanya menaikkan kedua alisnya tanda memahami resiko tersebut. "Jawaban apa yang akan kau berikan pada karnivora kelaparan tersebut?"
Senyum Gen perlahan mengembang, "Bukan daging pastinya," jawabnya yakin sambil memasang jam tangannya. "Apa sudah terlambat mengucapkan selamat untuk pernikahan Rena dan Mizuhara?"
"Belum," Kishimoto menjawab sambil masuk di saat yang tepat, "tapi kau akan dihantui pertanyaan berulang-ulang setiap promosi di radio dan . Omong-omong, DJ Kuma menulis permintaan maaf padamu setelah aku menyatakan bahwa acaranya masuk ke dalam acara blacklist Nexus. Diterima tidak?"
"Terima, tentu saja," lagi, Gen menjawabnya terlalu enteng, "namun aku tak berniat menghilangkan acaranya dari daftar blacklist."
"Kubilang," Kuro, sebagai personil paling arif, berdiri, ia mengibaskan rambut panjangnya yang nampak begitu halus seperti kumpulan sutera ke hadapan Ryo, "kalau kau berikan kuasa pada Scar, beginilah jadinya."
Gen menyengir licik. "I'm a king! I can do whatever I want!" ucapnya dengan suara berat dan mengikuti arahan Kishimoto menuju aula yang satu bulan lalu dipakai Rena dan Mizuhara untuk resepsi pernikahan, The Asano Palace.
Jiro menaiki podium paling awal, disusul Kuro, Gen, dan Ryo. Mereka berpose sesaat sebelum melanjutkan duduk di belakang meja panjang yang sudah disediakan untuk sesi wawancara.
"Lagu baru kami bercerita tentang kemuakan hidup yang selalu disoroti." Jiro menjelaskan disambut dengan tertawaan sakit hati dari para reporter yang datang siang itu. "Ya, ya, aku tahu kenapa kalian tertawa seperti tadi, tapi itulah yang sahabat kami rasakan belakangan. Tapi lagu ini tak hanya ditujukan untuk orang-orang seperti kami, namun juga pada orang biasa dan pendapat publik yang kadang terlalu gemar menyudutkan bahkan sahabat dan lingkungan terdekat sendiri kemudian berpura-pura suci saat menyadari bahwa mereka merusak hidup orang tersebut."
Kemudian, datanglah saat yang ditunggu oleh Gen, seorang reporter memberanikan diri untuk bertanya ketika sesi tanya jawab dibuka, "Apakah lagu ini berhubungan dengan kasus Rena dan sahabatnya?"
Gen berpura-pura tak menyadari pertanyaan tersebut sebelum tawa terdengar di ruangan. Pria itu duduk tegak dan menunjuk dirinya. "Aku?" kemudian tertawa sesaat. "Bukan, tidak ada hubungannya dengan dia."
"Lalu apa single yang lalu ditujukan untuk Rena? Liriknya sangat cocok dengan kehilangan Anda."
"Are?" Gen kembali tertawa, sementara personil lain susah payah menahan senyum mereka.
"Gen~chan, akui saja, sudah." Ryo meledek sambil memegang pundak Gen kemudian tergelak bersama.
"Tidak, Blurry Eyes bukan tentang diriku. Mungkin sedikit ada diriku di sana, namun bukan tentang aku. Sejujurnya aku sendiri pun tak tahu apa si 'aku' yang dimaksud dalam lagu Blurry Eyes tersebut sudah mendengar lagunya atau belum, padahal aku sudah memintanya secara langsung tapi belum juga dihubungi balik."
"Siapa 'aku' yang kau maksud itu, Gen~san?"
"Bukan aku yang pasti." Kemudian ia tertawa lagi. "Silakan kembali ke topik awal."
Mendengar peringatan dari Gen, reporter serempak menghentikan invasi terhadap wilayah pribadi Gen, mereka takkan repot-repot mau mendapat hujatan dari fans Nexus karena terus mendesak wilayah pribadi meski terkadang Gen mendapati beberapa mobil reporter terparkir di depan apartemennya selama beberapa bulan terakhir, dari pagi hingga bertemu pagi lagi.
••••
Desire now guides this hand
I'll show you I'll blow out that deceitful brightness
Even if that power appears defiled
I wave the flag of truth over my head!
Lricist: hyde
Maaf Senin nggak up, mulai numpuk kerjaan.
Btw, kalau Gen-Rui terbit, adakah yang berminat?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro