Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Dinner at Niji

Livin' on your cheatin'
And the pain grows inside me
It's enough to leave me crying in the rain
Love you forever but you're
Driving me insane
-Love You Inside Out - Bee Gees

••••

Rui melirik jam digital yang tertempel di dindingnya, sudah pukul 7 malam dan ia tak sampai hati membangunkan Gen. Wajah menyebalkan pria itu nampak tenang dengan mulut sedikit terbuka yang bahkan tak kunjung mengubah posisi tidurnya semenjak pukul 3 sore. Rui mandi pun, Gen tak terlihat menggeser kakinya barang sesenti, mana tega ia melihat orang yang kelelahan diganggu tidurnya?

Jadi, sambil menunggu Gen bangun dengan sendirinya, Rui membuka Internet dan mencari tahu pria yang sedang menumpang tidur di ranjangnya tersebut. Nexus dibentuk 12 tahun lalu namun baru masuk major label sekitar 10 tahun lalu. Mereka sempat vakum selama dua tahun dan masing-masing membernya sibuk bersolo karier, rentang waktu Rui baru pindah ke Tokyo, tak heran ia tak mengenal siapa Nexus itu.

Gen sendiri tak kalah aktif sebagai penyanyi solo, ia merilis album akustik yang direkam di Amerika, meski Gen tak melakukan promosi, album tersebut memuncaki chart Oricon selama 14 minggu berturut-turut. Beralih dari prestasi, Rui membuka menu pribadi di Wikipedia laman Gen dan ... hampir tak menemukan apa pun kecuali keterangan tinggal di Osaka semenjak sekolah menengah pertama dan mendirikan Nexus bersama Kuro sang drummer. Selebihnya ... kosong bahkan hingga bagian nama asli dan tanggal lahir tak ada!

Wah, orang gila! Pantas saja beritanya dan Rena tak pernah tercium media terlalu jelas, rupanya manusia itu punya obsesi dengan kehidupan pribadinya!

Di zaman serba internet dan hampir setiap orang memiliki kamera Gen tetap rapi menyembunyikan kehidupan pribadinya, bahkan gosip berkencan hanya mampir dua kali, dengan Rena dan ... Mayaka? Beralih dari laman Wikipedia, Rui membuka blog penggemar yang mengunggah bahasan siapa keluarga Gen sesungguhnya.

Beberapa percaya bahwa ibu Gen adalah anggota keluarga Emperor hingga Gen menolak membeberkan identitas aslinya, sebagian lagi yakin pernah melihat Gen memeluk seorang wanita asing yang wajahnya amat mirip dengan Gen-kalau dipikir memang Gen sedikit mirip dengan wajah orang-orang Eropa, sebagian meyakini, dengan amat sangat, bahwa Gen merupakan simpanan istri pengusaha ternama semenjak sekolah, itu mengapa Gen selalu menyembunyikan identitasnya.

Semakin Rui menelusurinya ke bawah, semakin gila spekulasi siapa Gen. Ini mungkin yang terjadi jika seorang idola tak memberikan konfirmasi apa pun mengenai kehidupan pribadinya, seperti efek bola salju yang semakin lama menggelinding semakin besar pula ukurannya. Tak beda seperti dirinya yang mengabaikan permainan kotor Rena yang berpura-pura tersakiti di depan publik, menutup mulut tak banyak membantu rupanya kalau yang dilawan adalah Drama Queen!

Beralih dari indetitas Gen, Rui membuka sebuah unggahan spekulasi lainnya yang menyatakan si pengunggah yakin Gen sudah memiliki keturunan. Dikatakan bahwa ia melihat Gen di Disneyland Tokyo bersama seorang anak perempuan berumur 5 tahun yang mirip sekali dengan Gen-tak ada foto yang diunggah lantaran bisa dituntut oleh pihak manajemen menyebarkan foto tanpa seizin si artis. Berita itu sempat heboh hingga mencapai telinga media, namun lagi, tak ada tanggapan Gen dan pihak manajemen.

Belum selesai Rui membaca komentar-komentar spekulasi yang penuh imajinasi, ia mendengar sebuah seruan diikuti langkah kaki terburu dari arah kamar sebelum pintu kamarnya terbuka lebar memunculkan pria misterius yang hanya dikenal publik sebagai Gen Nexus dengan rambut berantakan, mata merah, dan kaus yang kusut.

"Kenapa kau tak membangunkanku?" tanyanya dengan suara parau.

"Karena kau pulas sekali."

Gen yang masih canggung berjalan sedikit tertatih ke arah Rui dan ikut duduk di hadapan laptop wanita itu. "Apa tawaranmu masih berlaku?"

Rui menyengir sambil menyodorkan botol air mineral ke hadapan Gen. "Ya, baru pukul 8 malam, kurasa masih bisa pesan piza."

Meski Gen masih menenggak airnya hingga tandas, Rui bisa melihat ketidaksetujuan di kening Gen saat Rui mengusulkan ide pesan piza.

"Memang sebelum ini kau mau membuatkanku apa?"

"Eto ..." mata Rui mengerjap pelan, jangankan masak, makan pun ia tak begitu suka, mana mungkin bisa memasak. "Makan piza," jawabnya dengan cengiran polos.

"Tunggu ... kau memintaku ke sini untuk makan piza?"

"Ya, habis aku tak tahu restoran mana yang cukup menjaga kerahasiaan, aku bukan Rena yang bisa meminta manajer restoran untuk tutup mulut, kan?"

"Ah, masuk akal." Gen berdiri, "ayo siap-siap, aku ada tempat yang cukup privasi dan makanan luar biasa." Kemudian Gen berlalu begitu saja ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengenakan kembali penyamarannya.

Berbeda dengan Rui yang tak begitu menggemari kegiatan makan, baginya makan tak lebih dari penunjang kehidupan, seperti napas. Kewajiban agar tetap membuatnya hidup. Tak peduli makanan itu layak atau tidak untuk dimakan, yang terpenting ia tak mati kelaparan. Sementara Gen menganggap makan adalah sebuah seni, pria itu bahkan rela berjalan jauh ke gang-gang kecil di pasar tradisional hanya untuk menemukan toko penjual miso terbaik.

Itu mengapa Gen hampir tak percaya ketika mendengar Rui mengatakan tak mengetahui di mana letak seninya makan itu. Dengan wajah terluka, Gen memegang dadanya ketika mereka menyusuri jalan di tengah-tengah perumahan yang memiliki banyak gang.

"Kau bercanda, kan?" tanyanya menyakinkan. "Masa ada yang tidak tahu enaknya makan?" dengan mata yang meneliti cepat, Gen tak heran mengapa Rui nampak begitu kurus hingga Gen menyangka kalau Rui berdiri di antara bambu akan tersamarkan. "Lalu biasanya kau makan apa?"

"Biasanya?" mata Rui melirik sekitar khawatir, ia terus memastikan bahwa orang-orang yang lewat sambil memegang ponsel tak sedang merekam mereka untuk kemudian disebarkan di media sosial. "Ah, Keiko~san yang membawakannya, kalau tidak ada Keiko~san aku ke vending machine, ada banyak variasi sekarang."

Lagi, Gen menatapnya tajam. "Kau membuatku sedih, Kizu~san."

Gen menunjuk sebuah bangunan izakaya 10 meter di depan mereka tempat lima orang duduk di bangku berjajar rapi sambil mengobrol dengan pandangan terfokus ke ponsel mereka masing-masing. Untuk kali keenam semenjak turun dari mobil, Rui menarik syal rajutnya hingga menutupi sebagian wajah dan menurunkan lagi topinya.

"Kau bisa tersandung kalau berjalan seperti itu, Kizu~san." Gen berkata kemudian mengambil tangan Rui dan memasukkan ke dalam saku jaketnya diikuti tangan Gen yang mengenggam tangan Rui. "Kalau kau takut dikenali, ikuti saja langkahku."

Meski canggung dan yakin sekali telapaknya berkeringat dingin, Rui mematuhi perintah Gen untuk mengikuti Gen. Namun, bukannya masuk ke pintu depan, Gen justru membawanya melewati pintu samping tempat sebuah mobil van tua terparkir kemudian masuk ke dalam pintu bertuliskan 'Staff Only' di depannya.

"Eh, eh, kita masuk ke pintu staf?"

"Aku dulu bekerja paruh waktu di sini untuk melunasi hutang band ketika baru pindah ke Tokyo," ungkap Gen sambil berjalan menuju dapur tanpa melepaskan pegangan tangannya pada Rui.

Begitu masuk, Gen langsung disambut dengan sapaan dari setiap orang di dapur dan mengumumkannya pada pelayan lain bahwa Gen datang. Mereka mengerubungi Gen bukan seperti seorang penggemar mengerubungi idolanya, namun seperti keluarga yang sudah lama tak melihat saudaranya. Anehnya, semua orang memanggil Gen dengan Gen, seolah pria itu tak memiliki nama selain Gen. Bukankah biasanya stage name tidak berlaku dalam lingkungan seperti ini?

"Dengan siapa kau ke sini?" tanya seorang pria dengan kerut-kerut ramah di wajahnya. "Apa dengan-oh," pria itu langsung berhenti begitu Gen menyingkirkan tubuhnya, membuat Rui yang tadi sengaja bersembunyi di balik tubuh Gen terlihat oleh penghuni dapur.

"Kizu~san, ini Tanaka~san, pemilik Niji." Ia menyentuh pundak Rui agar berdiri lebih maju lagi. "Tanaka~san, ini Kizu~san, temanku."

Ada sebuah keterkejutan yang asing di wajah pria itu sebelum mengangguk dan bertukar salam dengan Rui. Mereka diantarkan ke ruang pribadi yang dilengkapi dengan sekat-sekat. Hebatnya, ketika mereka melintas di ujung lorong yang menghubungkan ruang private dan ruang makan umum, ia bisa melihat seluruh kursi terisi penuh, bahkan kursi-kursi di depan bar kecil di tengah ruangan. Pria itu tak bercanda.

Menu yang ditawarkan merupakan menu umum yang biasa ditemui di restoran khas Jepang lainnya, harganya pun tak mahal, ini masih terjangkau oleh kantong pelajar. Gen menyarankan niku kari udon dan oyakodon karena dua menu tersebut menjadi andalan restoran ini. Gen menambahkan pesanan dengan berbagai macam tempura.

Sambil menunggu pesanan mereka diantarkan, Rui bertanya, "Kau pernah bekerja di sini? Jadi apa?"

Terlihat senyum bangga di wajah Gen. "Koki tentu saja."

"Kau bisa memasak?" Rui menyipitkan matanya. Rasanya seorang pria dengan tampilan urakan seperti Gen takkan mungkin bisa memotong tanpa mengiris jarinya, bukan? Ia tak sampai hati membayangkan Gen yang diteriaki wanita kelebihan hormon di atas panggung harus memotong bawang dengan air mata menggenang.

"Tentu, aku jagonya memasak," bangganya.

"Kau masih tak menjawab pertanyaanku satu bulan lalu."

"Oh, ya? Tentang?" Gen yang menuangkan teh tak repot mendongak memandang wajah Rui.

"Apakah New Ark ditujukan untuk situasi kita saat itu?"

Senyum Gen perlahan terlihat, tapi ia menunda jawabannya hingga pesanan mereka diantarkan seluruhnya ke atas meja, guna menghindari interupsi. "Ya, itu mengapa aku memintamu secara spesifik untuk menjadi model PV kami."

"Bukankah itu tandanya kau mengomersialisasikan ceritaku?"

Panik mendapat tudingan seperti itu, Gen buru-buru mengibaskan tangannya. "Aku tidak bermaksud seperti itu, sungguh, Kizu~san. Saat membuat lagu aku diwajibkan peka terhadap lingkunganku dan saat aku menulis lagu tersebut kau sedang dalam masalah dan aku dibuntuti reporter bahkan hanya ke toilet ada saja yang merekamku. Aku berpikir saat itu kau pasti merasakan hal yang juga kurasakan, seperti ingin mengatakan, "tak cukupkah kediamanku selama ini sebagai jawaban 'tinggalkan aku sendiri' kalian masih haus juga rupanya" semacam itu, sungguh aku tak bermaksud mengomersialisasikan kisahmu."

Gen nampak kecewa dengan dirinya, ia menunduk sambil mengusap tengkuknya canggung. Ini bukanlah reaksi yang diharapkannya dari Rui.

Namun kecanggungan itu segera mencair saat Rui terbahak menutupi mulutnya sampai-sampai wajah pucat Rui nampak memerah dan matanya melengkung membentuk bulan sabit terbalik. Gen memerhatikan baik-baik ekspresi itu, kerut-kerut di sekitar mata Rui nampaknya tak berbohong bahwa wanita itu memang mengerjainya habis-habisan.

"Ah, kau ini ...." Gen mengelus dadanya yang bekerja terlalu cepat untuk sesuatu yang tak ada. "Kupikir kau marah sungguhan."

"Tentu tidak. Lagunya bagus, untuk apa aku marah? Aku memang ingin sekali menyumpahi mereka ular sedari awal. Yang tak kusangka kau bahkan menyindir penggemarmu sendiri."

Bagian penonton yang ditutupi matanya dengan kain hitam dan tersenyum licik mengarahkan kamera ke arah Nexus merupakan sindiran keras Gen yang sudah pasti jadi topik menarik di media masa. Bahkan beberapa penggemar band sebelah menuding mereka arogan dengan menyindir penggemar sendiri, namun rasanya Nexus tetaplah Nexus dan Gen tetaplah Gen, pria semberono yang tak peduli dengan hal remeh seperti itu.

"Kami musisi, yang kami jual adalah musik bukan kehidupan pribadi. Sama seperti seorang aktris yang harusnya menjual kualitas akting bukan kehidupan pribadi apalagi tubuhnya."

Rui tersenyum. "Bagaimana dengan model? Kami menjual tubuh dan wajah."

"Tidak," Gen menggoyangkan tangannya sambil menggigit tempura. "Model menjual karakter. Sebuah brand tentu takkan menunjuk sembarang model untuk me-representasikan brand mereka kalau model itu tak memiliki karakter yang diinginkan. Berbeda, Kizu~san."

"Tapi ia punya alasan tersendiri mengapa menjual tubuhnya-jika kau sebut begitu." Mereka tahu betul perempuan mana yang dimaksud.

"Ya," meski menyetujui, sesungguhnya Gen menyadari hal tersebut saat Rena menyebut-nyebut bahwa perhatian Gen saja tak cukup, ketergantungan Gen akan Rena saja tak sanggup memenuhi keinginannya untuk dicintai oleh banyak orang. "Rasa dibutuhkan memang mengerikan, bukan?"

Tak ada yang lebih mengerikan ketimbang rasa dibutuhkan. Orang bisa melakukan apa pun agar dirinya dibutuhkan yang terkadang tak masuk di akal. "Apa kau mencintai Rena?" karena kalau tidak, mungkin penyebab Rena merebut Zenzo ada pada Gen.

Namun pria itu menjawab yakin dengan kalimat lamat-lamat seolah kalimat tersebut adalah kalimat kramat yang akan mendatangkan bencana jika diucapkan semberono. "Ya, aku mencintainya dahulu."

"Kenapa sekarang tidak lagi?"

Gen mengangkat wajahnya sebelum meletakkan ebi tempura ke atas piring kosong Rui. "Ia melampaui batas toleransiku," jawab Gen, untuk kedua kalinya menunjuk piring Rui, meminta wanita itu untuk menghabiskan makanannya. "Makan dahulu, nanti kujawab."

Mau tak mau sambil menahan kesal, Rui menyendok oyakodon miliknya dan harus sekali membelalakan mata. Memang oyakodon bukan menu mewah di Jepang, tapi Rui hampir tak pernah menikmati daging ayam yang dilumuri telur dengan kuah manis seperti ini. Mungkin sekarang adalah menu makanan paling ideal selama 6 bulan hidupnya yang penuh dengan mie instan juga makanan dari mesin penjual otomatis yang tentu saja tak jauh-jauh dari ramen mekar dan roti panggang lembek.

"Wah, makanan apa ini? Enak sekali! Makanan terlezat yang kucicipi selama 6 bulan belakangan."

"Kapan-kapan kubuatkan."

"Kupegang kata-katamu." Itu artinya akan ada pertemuan lainnya setelah ini, bukan? Ini tak jadi pertemuan terakhir mereka, begitu arti lainnya, kan?

Karena Rui sudah mencicipi menu andalan di Niji, Gen wajib menjawab pertanyaan wanita itu sejelas-jelasnya. Meski tak mengatakan apa pun, Gen paham bahwa pertanyaan Rui hanya untuk meyakinkan bahwa bukan hanya Rui yang cacat hingga Zenzo meninggalkan wanita itu.

"Hingga satu tahun lalu aku masih merasa bahwa Rena memang mencintaiku juga. Aku mendengar banyak kalimat, "Ya ampun, Gen, aku jatuh cinta padanya!" hampir selama 7 tahun, tapi aku tidak pernah melihat kesungguhan dalam kalimat itu dan akhirnya selalu sama, dia akan kembali padaku dengan banyak keluhan bahwa ia mencintai orang yang salah, setidaknya seperti itu sampai kekasihmu datang."

"Tapi apa kau sungguh bisa melihat Rena yang sebenarnya?" desak Rui.

Ada jeda yang cukup panjang saat Gen mengunyah makannya hingga habis namun tak melepaskan sedikit pun pandangannya dari mata Rui. "Ya, maksudmu ia memiliki kebutuhan untuk dicintai lantaran trauma dengan ayahnya yang mengatakan lebih baik Rena yang mati ketimbang ibunya?"

Rui menjawabnya dengan anggukkan.

"Mungkin benar apa yang kau pikirkan bahwa aku juga ikut andil dalam masalah ini." Aku Gen akhirnya. "Aku tak bisa memberikan cinta sebanyak yang ia butuhkan dan aku tak protektif padanya tapi kurasa ... itu bukan cinta yang orang dewasa lakukan."

"Aku tak menyalahkanmu atas kelalaianku, Gen~san." Rui mengoreksi, takut-takut Gen berpikir dirinya menyudutkan pria itu. "Hanya saja, mungkin itu juga alasan mengapa aku melepaskan Zenzo untuk Rena,"

Ketika Rui mendongak, Gen bisa melihat iris sebiru langit itu tertutupi awan mendung.

"Zenzo bisa melihat Rena sesungguhnya, tak seperti pria yang selama ini Rena kencani." Lanjut Rui. "Zenzo mengatakan bahwa Rena lemah, Rena yang seperti itulah yang selama ini kulihat. Ia takkan bisa bertahan hidup tanpa dipuja bak dewi."

"Dia datang padaku dan mengatakan bahwa sepertinya ia jatuh cinta pada seorang pengacara. Aku menganggap itu hal remeh hingga melihat bahwa ia tak main-main untuk mewujudkan keinginannya memiliki kekasihmu. Dia bilang Mizuhara, atau Rena memanggilnya Zen~chan-"

"Menggelikan."

Gen tertawa, "Memang, tapi alasan Rena melepasku untuk mendapatkan Zenzo seutuhnya, bahkan sampai menikah, karena Zenzo pria yang penuh dengan paksaan. Pria itu menginginkan Rena seutuhnya, bukan seperti aku yang rela membaginya dengan pria lain."

Memang seperti itulah Zenzo-nya, selalu cemburu pada hal-hal kecil hingga memaksa Rui melepaskan pekerjaan yang Zenzo tak sukai konsepnya. Namun Rui tak selalu menuruti kemauan Zenzo, ia memiliki pandangan tersendiri dan terkadang, dengan kesadaran penuh, ia memaksa Zenzo untuk mengerti sudut pandangnya.

"Lalu mengapa kau tak menahan Rena ketika dia mengatakan jatuh cinta pada orang lain? Itu tidak terdengar bahwa kau mencintai Rena sungguh-sungguh."

"Hubungan perlu keseimbangan di dua pihak, meskipun aku memaksa sekeras apa pun jika ia sudah memutuskan untuk pergi, kurasa hubungannya takkan berjalan indah, lagi pula dia wanita dewasa," jawab Gen sambil menuang menu kedua Rui. "Tahu mana batasan yang sebaiknya dihindari dalam sebuah hubungan, kalau dia menganggapku, seharusnya ia takkan berbuat seperti itu."

"Apa kau melakukan hal yang sama?"

Untuk beberapa saat Gen terdiam, menelengkan kepalanya, kemudian mendesah pelan. "Ah, bagaimana mengatakannya ya?" ia menatap Rui, kalimat ini akan membuatnya jelek di mata Rui, "kurasa kau tahu bagaimana after party konser band seperti kami, banyak wanita yang dengan senang hati duduk di pangkuan kami meski ada wanita lain di sana, aku tak memungkiri selama dua tahun awal dengan Rena aku masih melakukan hal yang sama, namun belakangan aku menghentikannya.

"Aku menghindari bangun di ranjang asing dengan nama yang bahkan tak kuingat semenjak itu, seperti karnivora yang diet daging. Mustahil, tapi aku melakukannya dan dia tak menyadari hal tersebut." Meski disembunyikan, senyum miring itu terlalu rumit untuk dijabarkan. "Entahlah, mungkin itu juga sebuah berkah untukku karena aku bisa menuangkannya ke dalam sebuah lagu. Selama ini aku hanya membayangkan bagaimana rasanya patah hati? Bagaimana rasanya mengetahui orang yang kucintai bahkan tak pernah menatapku? Atau bagaimana usahaku untuk merebut hatinya dianggap hal remeh?"

"Seniman selalu menyukai penderitaan, bukan?" Gen hanya tersenyum kecil mengiyakan pernyataan Rui barusan. "Apa pernyataan cintamu tak cukup untuk menahan Rena?" ini adalah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja orang lain lakukan untuk menahan Zenzo pergi saat itu.

Gen menggeleng. "Aku sudah kehilangannya ketika dia mengucapkan hal tersebut. Saat seseorang jatuh cinta, kau bisa lihat dari matanya, bukan? Dia sudah jauh dari jangkauanku saat aku mencoba menariknya kembali."

"Too many lovers in one lifetime ain't good for you."

"Bee Gees." Gen tersenyum saat Rui mengutip lagu Bee Gees, jarang ada wanita, apalagi di Jepang, yang menyukai Bee Gees.

"Imejmu yang kuat menghalangi sinar Mizuhara~san sementara imej Rena yang lemah lembut membuatnya merasa jantan." Komentar Gen. "Peran pria di sosial belakangan memang tergeser dengan peran wanita, banyak pekerjaan pria yang sekarang bisa juga dikerjakan wanita, mungkin itu mengapa kami-aku tidak benar-benar seperti itu sih-harus mendominasi dalam hubungan dan memilih pasangan yang ... kau tahu ... suaranya lebih lemah. Tapi aku tak begitu sekarang."

Pria mana yang tidak ingin merasa dirinyalah yang paling dibutuhkan di dunia ini? Itu kebutuhan dasar manusia-setelah pangan tentu saja-merasa dibutuhkan, dihargai, dan diakui. Dan Rui, Gen menatap wajah berkarakter kuat di hadapannya ..., tidak. Rui mungkin tak memerlukan orang lain untuk membantu segala urusan remeh temehnya, namun tak menjamin wanita itu tak mengalami krisis mental setelah ditinggalkan kekasihnya dan mendapat banyak komentar buruk dari manusia yang bahkan tak tahu menahu urusan mereka.

Rui menyengir mendengar penjelasan Gen yang diselingi candaan. "Zenzo dan aku kenal ketika aku kuliah di London, ia sedang mengambil gelar masternya dengan beasiswa negara dan menolak bantuan dari ayahnya yang pengacara terkenal di Tokyo. Ia bahkan sengaja memulai kariernya di London agar saat kembali ke Tokyo ia sudah memiliki rekomendasi yang memadai, bukan hanya anak dari pengacara senior." Rui sendiri tak paham kenapa ia menceritakan hal ini pada Gen, mulutnya tiba-tiba saja berucap sementara kepalanya terasa kosong menatap barisan tempura di hadapannya.

"Aku selalu tertarik pada pekerja keras dan aku lihat Zenzo bukanlah orang yang gampang tergiur dengan harta, ia mungkin terobsesi menjadi orang kaya namun proses menjadi orang kaya itu pun harus keren, bukan hanya mewarisi marga orang terkenal dan aku salut padanya dalam hal tersebut. Mungkin itu juga alasannya mengapa aku tak ragu ketika Zenzo sering makan siang dengan Rena berdua saja, ia pria yang profesional." Lanjut Rui sebelum mendesah panjang. "Ah, rasanya nasihat ibuku tidak berlaku lagi."

"Nasihat ibumu?"

"Ya, ibuku bilang kalau pria kerah putih adalah orang-orang setia karena selalu berpegangan pada ilmu pasti." Ia menunjuk Gen lagi. "Dan pria sepertimu, bisa bernyanyi dan bermain gitar, adalah tipe pria yang harus dihindari, tipe-tipe berbahaya."

Seketika Gen tergelak, "Itu mengapa kau mengatakan 'kau tak termasuk' siang tadi padaku?"

"Tentu saja! Kata Oasis 'don't put your life in the hand of rock n' roll band, cause they'll throw all it away', bukan?"

Untuk kali kedua, Gen dikejutkan dengan pengetahuan Rui akan band yang tak semua wanita tahu. Oke, mungkin semua wanita tahu, tapi belum tentu tahu lagu-lagunya, seperti wanita-wanita yang berjam-jam nongkrong di Harajuku dengan kaus Metalica, atau Lamb of God, atau The Beatles, atau Arctic Monkeys yang ketika ditanya mereka hanya menyengir lebar menggatikan ucapan 'wah, aku tak tahu tuh' yang terlalu malu untuk diucapkan. Ia jadi sering sakit hati sendiri karena obrolan remeh temeh seperti itu.

Dalam perjalanan pulang mereka membicarakan banyak band-band kesukaan Rui dan Gen yang tak jauh berbeda, Gen memiliki idola yang lebih tua dibanding yang Rui idolakan, namun bukan berarti Rui tak tahu, wanita itu benar-benar tahu, bukan hanya sok tahu dan itu amat melegakannya bahwa masih ada sisa wanita keren yang belum diklaim pria macam dirinya.

"Omong-omong, kenapa kau menghubungiku lewat Instagram sih? Aku jadi mengabaikan pesanmu." Gen berujar begitu mereka memasuki lift apartemen Rui kembali. Gen meninggalkan kunci mobil dan laptopnya di tempat Rui.

"Oh, itu ..." agak sedikit malu, Rui menggaruk pipinya, "aku mencuci jaket tempat menyimpan kartu namamu dan setelah kukeluarkan kartu namanya, karena aku sungguh lupa janjiku, sudah jadi bubur kering yang menggumpal, ya ... sudah."

Terdengar dengusan dari arah Gen ketika mereka melangkah keluar lift.

Niat awal Gen memang kembali hanya untuk mengambil barangnya, namun ketika masuk ke ruang kerja Rui, tempat diletakkannya laptop juga kunci mobilnya oleh Rui saat Gen tidur tadi, ia terdiam lama memandangi sebuah saxophone tergantung di dinding dan sebuah piano berada di sudut ruangan.

"Kau bisa main musik?" tanyanya terpaku.

"Ah, hanya piano." Rui yang sudah melepas mantel ikut bergabung di ruang kerjanya. "Saxophone baru belajar 10 hari, belum bisa memainkan apa pun kecuali yang dasar-dasar. Kudengar kau jago main segala alat musik?"

Kepala Gen memang menoleh ke arah Rui, namun pandangannya tetap tertuju pada saxophone tersebut. "Ya, aku les berbagai macam keterampilan hingga SMA untuk ditampilkan sebagai kebanggaan oleh orangtuaku suatu saat dan ..." Gen berhenti, katanya terbata karena kepalanya sibuk memikirkan sesuatu. Ia mahir memainkan alat musik tiup seperti klarinet, saxophone, seruling, bahkan harmonika. "Kenapa tidak terpikir olehku?" kali ini mata Gen berbinar tertuju pada Rui, seolah menanyakan hal tersebut pada Rui yang hanya terbengong tak paham dengan apa yang Gen bicarakan. "Tentu saja saxophone, bukan? Kenapa tidak terpikir olehku!"

Saat itu Rui bersumpah bahwa Gen tak terlihat seperti orang normal. Pria itu berjalan menuju saxophone, memejamkan matanya sambil menganggukkan kepala, meraih ponsel, mengetik sesuatu sebelum berjalan menuju pintu, kembali lagi, tersadar ke mana arah ia berjalan kemudian kembali ke pintu, berjalan melewatinya hingga ke ruang tengah dan seolah kali ini benar-benar tersadar di mana ia berada dan apa yang ia lakukan, Gen tersentak kemudian buru-buru kembali ke ruang kerja, berdiri di hadapan Rui dengan mata yang fokus tak mencerminkan kelakuannya.

"Kizu~san, terima kasih atas makan malam dan saxophone, oh, juga tumpangan tidurnya," Gen menyengir lebar, "kuharap kita bisa makan malam lagi lain kali, bye." Kemudian dia pergi tanpa menunggu jawaban Rui.

"Wah, benar-benar pria aneh." Rui menggelengkan kepala sambil berjalan menuju jendela yang menghadap ke pintu keluar apartemen di lantai bawah. Menunggu mobil Gen keluar dari area parkir tamu dan meninggalkan apartemennya. "Datang tiba-tiba dengan harapan diberikan tumpangan tidur kemudian pergi tanpa menunggu balasanku? Apa dia pecandu?"

••••

Too many lovers in one lifetime
Ain't good for you
You treat me like a vision in the night
Someone there to stand behind you
When your world ain't working right
Love You Inside Out - Bee Gees

Eto: ungkapan ekspresi seperti 'Eum ...'
Izakaya: Bar khas Jepang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro