Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 • kupu-kupu di perut beterbangan

Caroline termangu. Ia tak lekas memasuki kamar rawat Nanda. Kedua tangan masih menggenggam keranjang buah yang ia beli di depan rumah sakit. Salah satu bentuk penetralan rasa gugup yang tiba-tiba datang.

Jelas, Caroline dapat melihat lelaki lain yang belum pernah ia jumpai. Raut wajahnya cukup mirip dengan Nanda, terlebih di bagian lesung pipi yang terlihat samar walau tak sedang tersenyum. Tatapan lelaki itu pada Caroline cukup membuat nyalinya menciut. Rasanya ia ingin mundur dan lari sejauh-jauhnya saja.

"Olin?"

Gadis itu lantas tersenyum manis. Ia menutup bibirnya rapat, enggan menjawab, atau lebih tepatnya takut salah ucap. Ia tak berpikir akan ada makhluk lain selain Nanda di kamar ini. Sial, ia tak mau terlihat murah di depan calon kakak ipar atau siapalah itu--halusinasinya terlalu tinggi.

Kenapa pula Nanda tak lekas berkedip? Lelaki itu terus menatapnya seakan-akan ingin menelan hidup-hidup. Bisa-bisa Caroline kencing berdiri saking gugupnya. Lebay, memang, tetapi tidak ada perumpamaan lain yang terpikirkan.

"H-hai."

"Kok lo bisa ke sini?"

"Hm, tanya-tanya," jawabnya singkat, padat dan tidak jelas.

Nanda mendengkus. "Iya ngerti, maksud gue--"

"Sstt, cukup. Bukannya disuruh duduk, malah diinterogasi."

Dian memotong percakapan, lalu menghampiri gadis yang masih mengenakan baju hitam-putih itu. Ia lantas meraih keranjang buah yang ia bawa tanpa permisi. "Makasih, ya. Ayo, duduk dulu."

Secepat kilat Caroline mengangguk dan mengikuti langkah Dian yang menuntunnya menuju sofa. Dengan canggung, ia merapikan rambutnya ke belakang telinga dan duduk manis. Kakinya menutup rapat serta tangannya menempel di kedua paha--mirip Putri Solo.

"Namanya siapa?" tanya Dian.

Caroline menelan ludah. Ia tak sanggup menatap mata lelaki di sampingnya. Gadis itu terus menatap bumi dan Nanda bergantian. Apa-apaan ini? Kenapa jantungnya berdegup secara tak santai?

"Ca-Caroline, Kak. Panggil aja Olin."

"Oh, Olin, satu jurusan sama Nanda?"

"I-iya."

Nanda hanya memperhatikan kakaknya sembari menggeleng. Entahlah, apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Orang yang baru saja melarangnya menginterogasi itu sekarang melakukan hal yang lebih parah.

"Aku Dian, kakaknya Nanda. Panggil saja 'Mas Dian'."

Caroline mengangguk malu. Lagi-lagi ia merapikan rambutnya yang sama sekali tak acak-acakan. Ia menunduk dan menata lagi duduknya, lebih rapat dan makin rapat. Ia bahkan meremas roknya sendiri saking geregetan.

"Oiya, Mas boleh minta tolong nggak, Dek Olin?"

"Minta tolong apa, Mas?"

"Mumpung ada kamu, Mas tinggal dulu, nggak apa-apa? Belum mandi, nih, dari tadi malem. Bisa, kan, nitip Nanda bentar?"

Mendengar kalimat itu, Nanda lekas protes, "Aku bukan belanjaan, Mas!"

Dian hanya melirik sekilas, lalu menatap Caroline lagi. Mata yang baru saja berlagak sinis pada adiknya itu berubah manis dalam sekejap. "Boleh, kan?"

"Iya, Mas. Boleh, kok."

Dengan senang hati, Mas. Aku padamu!

Setelah berterima kasih, Dian pun keluar kamar rawat Nanda. Namun, setelahnya canggung dan sepi lekas mengisi ruangan.

Entah apa lagi yang bisa mendeskripsikan suasana kali ini. Tak ada satu pun kata yang terucap. Nanda dan Caroline tenggelam pada adu pandang yang sesekali berhenti.

Sebenarnya kesempatan emas seperti sekarang tidak datang berkali-kali. Bukan mendoakan, tetapi Caroline memang menantikan hal-hal semacam ini mampir ke kehidupannya. Ia sendiri tak tahu mengapa demikian.

Jujur, kupu-kupu yang ada di perutnya sudah beterbangan sejak ia melihat Nanda dari ambang pintu. Dadanya berdebar kencang sekali, entah mengapa. Rasanya linu, berdesir tak karuan. Aneh, memang. Caroline sendiri bingung bagaimana mengutarakannya.

Terlebih setiap mendengar tarikan napas Nanda, seperti ada cairan di perutnya yang bergemuruh. Gila sekali. Sensasinya seratus kali lebih mengasyikkan dibanding menonton film atau series yang ia suka.

"Mau sampai kapan lo diem di situ?"

Caroline masih mengabsen wajah pucat Nanda yang amat indah. Ruam kemerahan di area pipi menjadi satu-satunya rona hidup di sana. Mata gadis itu juga menari-nari melihat bulir keringat yang mengelilingi pelipis Nanda. Andai tisu di atas nakas mudah dijangkau, Caroline pasti sudah mengusapnya ala-ala tokoh utama pada sang pasangan.

"Lin!"

"Hah?" Caroline tersentak. Ia menggeleng samar dan mengerjapkan mata beberapa kali.

"Mau sampai kapan lo diem?"

"So-sori. Gue nggak mau ganggu istirahat lo."

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Pertanyaan mana?" tanya Caroline polos.

"Gue tanya, kok lo bisa ke sini?"

Caroline mengalihkan pandangan. Ia mendongak, menatap langit-langit seolah-olah hamparan polos itu tertulis sebuah jawaban.

"Hei!" tegur Nanda.

"Hah?"

"Jawab aja susah amat."

"A-anu, tadi gue nanya ke Kak Fazran, katanya lo izin karena sakit."

Nanda mengangguk. "Iya, sampai situ emang udah gue duga, tapi gue nggak bilang kalau dirawat di sini."

Caroline kembali menelan ludah. Ia meremas rok dan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu hal ini akan terjadi, tetapi nalurinya terhadap hal-hal berbau penyakit terlalu susah dikondisikan. Kekonyolan itu yang menuntunnya kemari.

"Gue minta Kak Fazran buat ngasih tau alamat kos lo, terus nanya lo dirawat di mana ke Pak Satpam."

Nanda tertegun. Kejujuran Itu membuat bulu kuduknya merinding. Kalimat tanya tentang 'mengapa ia mau repot-repot melakukan ini' terus terngiang-ngiang. Namun, ia memilih untuk diam.

"Makasih, ya, tapi lain kali lo nggak perlu kayak gini. Ini privasi, Lin. Lo bisa izin dulu ke gue."

Gadis yang berani mengangkat kepalanya pun mengangguk. "Maaf, Nda. Besok gue bakal chat lo duluan. Boleh?"

Nanda menghela napas. Senyumnya pun mengembang, menunjukkan lesung pipi yang sangat dalam. "Oke."

Sementara itu, Dian telah menyelesaikan urusannya di kantin rumah sakit. Ia dalam perjalanan kembali kamar Nanda. Sebelum sampai, ia mencuri waktu untuk menghubungi Dina, kakak tertuanya. Wanita itu perlu mengetahui keadaan si bungsu, meski Nanda berkali-kali melarang.

Namun, mungkin memang panggilan itu tidak diperlukan. Di sepanjang lorong, Dina tak berhenti mengomeli Dian karena telat memberi kabar. Apa boleh buat? Anak kecil nakal itu mengawasi gerak-geriknya.

"Kebiasaan banget, sih, Yan. Kamu mau nunggu parah dulu, baru ngasih tau Mbak, gitu?"

Dian berdecak saat mendengarnya. "Kok Mbak ngomong gitu, sih? Pamali, ah."

"Habisnya kesel!"

Dian meneruskan langkah, masih dengan video call yang tak lekas dimatikan. Kakaknya tidak ingin memutus panggilan sampai ia benar-benar melihat keadaan Nanda. Dian hanya bisa pasrah dan berjalan cepat agar segera sampai. Ia bahkan sudah mengubah kamera video call ponselnya ke bagian belakang agar Dina bisa langsung melihat Nanda.

Sesampai di ruang VIP dekat tangga, ia pun membuka pintu dengan hati-hati. Dian takut mengganggu atau mengagetkan adiknya. Namun, alih-alih Nanda yang terkejut, kini ia dan Dina-lah yang dibuat ternganga.

Kedua kakak itu disuguhkan dengan pemandangan yang cukup nano-nano. Gadis yang datang membawa keranjang buah tadi sudah terlelap, lengkap dengan tangannya yang menggenggam tangan Nanda. Cukup erat sepertinya.

"Itu siapa?"

Dian tak lekas menjawab. Ia sendiri juga tidak tahu siapa gerangan gadis ini. Teman, hanya itu yang ia tanyakan dan sebuah anggukan telah menjawabnya. Namun, seorang teman tidak akan se-frontal ini, bukan?

"Katanya, sih, satu kelompok di jurusan, Mbak."

"Temen doang kayak gitu? Yakin?"

Dian lekas menggeleng, walau kakaknya jelas tak bisa melihatnya. Ia ingin menjawab, tetapi belum tahu apa-apa. Baru sekian hari adiknya memasuki dunia universitas, tidak mungkin secepat itu ia mendapat gadis baru, kan?

Sebenarnya bisa saja, kalau itu Nanda.

"Biarin aja, Mbak. Masih PDKT mungkin. Mau dibangunin, nggak?"

"Nggak, nggak usah. Gini aja Mbak udah seneng, kok. Nanti kalau ketemu Dokter Vivi, jangan lupa laporan ke Mbak juga. Awas kalau enggak!"

"Iya, iya. Cerewet! Ya udah, Dian tutup."

Dian menutup panggilan tersebut secara sepihak, sebelum kakaknya berkata 'iya'. Ia lekas mengantongi ponselnya dan duduk di kursi yang ada di sebelah kanan ranjang Nanda, tepat berhadapan dengan milik Caroline. Ia menatap gadis itu lekat dan memperhatikannya dari atas.

"Hm, sepikan baru, ya? Syukurlah, kalau udah move on."

Hi! Masih kuat baca ini?
Khob kun na~ 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro