Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 • dia nggak masuk

Nanda menyeret kakinya dengan sepuluh persen tenaga yang tersisa. Ia tampak tertatih-tatih dan limbung ke sana kemari. Tembok besar milik gedung indekos kini menjadi penyelamatnya saat tidak ada orang yang melintas.

Sebisa mungkin ia menjaga kesadarannya. Pandangan pada lantai yang dipijak sudah buram tak karuan. Otaknya dipaksa mengira-ngira arah mana yang tepat untuk melangkah.

Sesekali lelaki itu berhenti, bertumpu pada lutut yang tak pantas dijadikan tumpuan. Tangannya mulai bergetar, seiring dengan keringat yang membanjiri punggung. Ia terus menggeleng, sebab telinganya mulai berdenging.

Kamar yang tidak jauh dari pos satpam terasa berjarak puluhan kilo meter. Air mata Nanda mulai jatuh saat rasa sesak menggeluti dadanya. Apa-apaan ini? Sendi-sendi di kaki sudah nyeri hebat, pening di kepala seakan-akan mau pecah, sekarang jalur pernapasannya juga mau dicekat?

"Argh ...."

Lelaki itu luruh. Kakinya gemetaran, tak sanggup berdiri lagi. Ia masih terduduk, memegang area betis yang teramat nyeri. Ia pun merintih seraya menarik napas dalam-dalam. Ia harus tenang, panik tidak akan menyelamatkanya.

Tangan kiri Nanda mulai meraba dinding polos di sebelahnya. Sekuat tenaga ia berusaha berdiri, percaya pada kekuatan yang setengah-setengah. Namun sial, lelaki pucat itu kembali tersungkur.

"Sskk, aw ...."

Keluhan yang cukup keras itu lolos dari mulut Nanda. Matanya pun terpejam seiring dengan berjuta rasa ngilu yang menyebar di sekujur tubuh. Dinginnya lantai bertemu dengan dadanya yang membeku, membuat udara sekitar makin sulit dinikmati.

Mulutnya tak lagi terbuka. Pikiran telah terkunci rapat dan lidah pun kelu. Batin Nanda terus merapal doa dan berharap Tuhan tak sekejam itu padanya. Ia sedikit lega ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Setidaknya, telinga Nanda masih normal.

Dua lelaki paruh baya berlari dari pos satpam. TV kotak berukuran 14 inci yang menyiarkan pertandingan sepak bola lantas mereka tinggalkan begitu saja. Langkah yang tergopoh-gopoh itu mendekati Nanda yang telah terkapar di lorong.

"Mas, Mas, Mas nggak pa-pa?"

Nggak pa-pa, papale, gerutu Nanda dalam hati.

"Bawa ke rumah sakit aja, Mas," seru lelaki satunya.

Salah satu dari mereka pun berjongkok, sedangkan satunya lagi mengangkat tubuh Nanda. Ia meletakkan lelaki yang memejamkan mata itu pada punggung kawannya, lalu bergegas menuju rumah sakit terdekat.

Keesokan harinya, Caroline tidak mendapati keberadaan Nanda. Ponsel lelaki itu juga mati tanpa pesan apa pun.

"Dia ke mana, ya? Udah mau masuk, lho!"

Ia sedang berbicara sendiri, seperti biasa. Semangatnya luntur karena mood booster-nya tak kunjung datang. Berkali-kali Caroline mendengkus. Sudah dapat dipastikan Nanda absen karena lelaki itu tidak pernah terlambat. Ia selalu datang tepat tiga puluh menit sebelum megafon seniornya berbunyi. Namun, berbeda dengan hari ini. Ruam kupu-kupunya sama sekali tak terlihat, walau sepuluh menit toleransi keterlambatan sudah berjalan.

"Glory, glory!"

Nyanyian jargon ilmu komunikasi kembali hadir. OSPEK hari ini sudah dimulai. Wujud yang didambakan sungguh tidak datang. Hah, kalau tahu begitu, Caroline pasti ikut membolos. Sudah pasti.

"Eh, lo!"

Lelaki di depan Caroline sedikit melirik ke belakang. "Iya?"

"Lo tau Nanda di mana, nggak? Hari ini dia nggak masuk, ya?"

"Nggak tau, tanya aja ama Kambing."

Caroline mengerucutkan bibir. "Kok ke kambing, sih? Resek, lo!"

"Ck, kakak pembimbing. Tanya Kak Fazran sana!"

"Ooh, ngomong, dong."

Caroline menggigit bibir dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ketidakhadiran Nanda cukup membuatnya mati kutu. Benar-benar bosan. Tidak ada yang menarik untuk dipandang dan Caroline tak bisa menumpahkan kadar halusinasinya dengan leluasa. Gadis itu pun mendengkus dan mengentak-entak kesal.

"Ish! Kalian nggak ada yang mau pingsan gitu? Gue tolongin ke klinik, deh!"

Anggota kelompok Buya Hamka sontak menoleh dan memberi isyarat agar gadis itu bisa diam. Namun, bukan Caroline namanya kalau lekas menutup mulut. Ia malah menjulurkan lidah dan memutar bola matanya malas. Untung cantik, bisik mereka yang masih terdengar.

Pendamping yang memakai kain merah di lengan kiri lantas menghampiri Caroline. Gadis itu tampak sibuk menekuk lutut dan mencoret-coret lapangan menggunakan kerikil, meski sepatu seniornya sudah terlihat jelas. Ia pun mendongak dan tersenyum manis.

"Kamu sedang--"

"Kak Fazran, Nanda di mana, ya? Kasih tau, dong. Olin nggak bertenaga, nih. Charger-nya ada di dia."

Mahasiswa tahun kedua itu refleks menepuk jidat. "Bangun. Ikuti rangkaian agenda hari ini dulu."

Seketika Caroline berdiri dan mengangkat jari kelingkingnya. "Abis itu kasih tau Nanda di mana, ya?"

Tanpa jawaban dan tanpa sambutan, kakak pembimbing itu mundur dari tepi barisan menuju tempat berteduh. Caroline yang sebelumnya sudah pernah bertukar pesan dengan Fazran, bahkan menawar untuk tidak mengerjakan tugas pun menyunggingkan senyum. Tenang, sebentar lagi ia akan selamat.

Tunggu gue, my butterfly boy.

Sementara itu, di rumah sakit, Nanda tengah menikmati masa-masa nganggur-nya. Ia berbaring dengan posisi setengah duduk, ditemani nasal kanul yang membantunya menghirup oksigen. Lagi-lagi tangan kirinya tertancap infus yang sudah berganti tiga kali, terhitung sejak tadi malam. Pandangannya lekat pada lelaki berkumis tipis di samping. Entah sejak kapan kakaknya itu berada di sini, Nanda tak tahu menahu.

Maklum, ia baru sadar sepuluh menit lalu. Otaknya masih separuh matang dan belum bisa dipakai berpikir berat. Intinya, ia tak mau bertanya macam-macam dan menunggu Dian bercerita sendiri.

Kakak kedua yang baru lulus dan diterima bekerja di stasiun TV itu masih sibuk mengupas jeruk. Tentu saja, untuknya sendiri. Nanda hanya diberikan air putih setengah gelas yang datang bersama sarapannya.

"Untung aja tadi malem Mas lagi liputan di sekitar sini, jadi bisa langsung nemuin kamu."

Dian mulai bercerita. Nanda berkedip dan mengangguk. Ia belum ingin menginterupsi.

"Kamu tau betapa paniknya Mas semalem? Tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor yang nggak Mas kenal, terus bilang kalau kamu masuk rumah sakit. Untung kamera puluhan juta punya kantor nggak kelempar."

"Lebay," respons Nanda dengan suara pelan.

Dian meletakkan jeruknya ke keranjang, lalu dengan cepat menjentikkan jarinya pada dahi Nanda. "Nih, makan, tuh, lebay!"

"Aw!"

"Mana? Katanya janji bisa ngerawat diri? Kalau akhirnya begini, mending ngontrak bareng Mas, kan?"

Nanda menghela napas panjang. Dian kembali mengungkitnya. Sudah kesekian kali tawaran itu terlontar dan jawaban Nanda tetaplah sama, ia ingin hidup sendiri tanpa campur tangan kedua kakaknya.

"Mas nggak pa-pa, aku yang apa-apa," jawab Nanda ketus.

"Apa-apa gimana? Malah kalau begini siapa yang susah? Masih syukur punya satpam pinter-pinter. Mereka minta nomor Mas ke ibu kos terus telepon ngasih kabar. Kalau enggak, gimana? Siapa yang mau jagain kamu di sini?"

"Ya, Nanda sendiri."

"Emang bisa?"

"Kalau cuma ngupas jeruk ginian aja apa susahnya."

"Ngeles aja kamu!"

Dian mengambil buah yang dibicarakan, lalu memakannya brutal. Rasa kesal itu masih membekas. Di satu sisi, getar di dadanya belum reda sejak melihat rona pucat dan tarikan napas berat yang adiknya suguhkan.

"Lagian, kenapa bisa begini, sih?"

Nanda menelan ludah kasar. Alisnya lekas bertaut saat cairan itu menimbulkan sensasi pahit yang luar biasa. "Em, kecapekan aja kayaknya, Mas."

"Kecapekan bisa begini? Emang kamu abis ngapain? Mas, kan, udah bilang, kalau OSPEK-nya berat nggak usah ikut. Tinggal minta surat izin dari dokter, kan, beres. Ingat paru-parumu, Nda."

"Seumur hidup cuma sekali, Mas. Masak nggak ikut."

"Dih, lagian apa enaknya OSPEK? Mas aja kalau disuruh ngulang juga nggak mau ikut-ikutan. Mending nongkrong di kantin nyari es teh."

Memang benar. Bagi Nanda pun, OSPEK tidak ada enaknya. Sama sekali. Namun, entah mengapa ia tak mau melewatkan momen ini. Terlalu sia-sia untuk dilewatkan. Mungkin begitu.

"Tapi, kan, Mas--"

Suara ketukan pintu menghentikan kalimat Nanda. Kedua lelaki itu saling pandang, sama-sama bingung. Mereka kompak menoleh ke sumber suara yang tak lekas disambut dari tadi. Tidak mungkin dokter atau perawat karena Nanda baru saja diperiksa. Lantas?

"Eh, siapa? Mas ngasih kabar ke Mbak Dina, ya?"

"Enggak, lebih tepatnya, belum. Temenmu?"

Nanda menggeleng kuat. "Nggak, lah. Aku belum pegang hape sama sekali."

Dian menelan ludah, kemudian berteriak, "Masuk aja."

Tak lama kemudian, gadis berkucir kuda tampak membuka pintu dan berdiri canggung dengan keranjang buah di kedua tangan. Sontak Nanda terbelalak, melihat sosok yang akhir-akhir ini tidaklah asing dalam hidupnya.

"Olin?"

Olin's note:
Nasal kanul (kanula hidung): alat yang digunakan untuk memberikan oksigen tambahan atau peningkatan aliran udara ke pasien atau orang yang membutuhkan bantuan pernapasan

🎬

Kira-kira mau ngapain tuh si Olin 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro