7 • tapi nggak gandengan
Bena mendengkus dan berkacak pinggang saat Ramsi mengadangnya di tempat parkir. Lelahnya kini bercampur kesal karena (mantan) pacar sahabatnya itu tak segera menyingkir.
"Gue beneran nggak ngerti, Kak!"
Berulang kali Bena berseru, menjelaskan ketidaktahuannya atas apa yang terjadi. Caroline tidak dengan gamblang menceritakan momen putus mereka. Meski teman lama, Bena tidak mau ikut campur bila tidak dilibatkan. Hanya saja, Ramsi tidak percaya sama sekali sampai mencak-mencak dan enggan enyah.
"Nggak usah disembunyiin, Na!"
"Gue beneran nggak tau dia di mana. Mau dia jalan sama siapa juga bukan urusan gue."
"Sialan!"
Lelaki itu menendang motor bebek di sebelahnya. Tangannya mengepal kuat dengan emosi yang meletup-letup. Bena refleks menelan ludah dan melangkah mundur.
"Dasar cewek psikopat!" tambah Ramsi.
"Jaga bicara lo, ya!"
"Emang kenapa? Bener, kan? Jangan dikira selama ini gue nggak denger apa kata orang! Ternyata gosip orang tentang Olin itu bener. Dasar playgirl!"
Bena berdecak. Ia terlampau malas dengan drama kualitas murahan semacam ini. Sungguh muak dan bosan. Tidak sekali/dua kali hal serupa terjadi. Ia lantas mendorong motornya agar keluar barisan, lalu pergi jauh-jauh.
Namun, Ramsi menahan tangannya. "Heh!"
"Apa lagi, sih?"
"Kasih tau temen lo, malam ini kita selesaiin semuanya di kosan."
Tanpa mengangguk, Bena menghempas tangan Ramsi. Ia segera memakai helm, lalu menyalakan mesin. Lelaki itu pun segera beranjak setelah menendang knalpot motornya.
Dasar gila!
Bersahabat dengan Caroline sungguh tidak mudah. Ia harus terbiasa menghadapi seleranya yang super-unik, hobinya yang tak kalah nyentrik dan masalah pacarnya yang membuat bulu kuduk tertarik. Mau bagaimana lagi? Sekali masuk kehidupan gadis itu, Bena tidak bisa keluar. Di samping kelakuan Caroline yang selalu ada-ada saja, ia merupakan sahabat yang baik.
Entah sejak kapan Caroline terobsesi dengan lelaki penyakitan. Entah sejak kapan sahabatnya doyan duduk manis di unit kesehatan--tentu dengan maksud lain. Entah sejak kapan juga gadis itu hobi cuci mata di rumah sakit. Entah sejak kapan, tidak ada yang sadar.
Apalagi sejak film/series menghampiri dunianya, Caroline makin menjadi-jadi. Bena tidak akan terkejut saat melihat kawannya sembap dengan lingkaran hitam di bawah mata. Jika orang lain mengartikan maraton sebagai lomba lari, Caroline akan mengidentikkannya dengan menonton seharian tanpa jeda.
"Gimana, ya? Kalau bilang sekarang, mood dia bisa langsung berantakan. Chat kalau udah di kos aja, deh," monolognya sebelum keluar parkiran.
Sementara itu, Caroline berjalan beriringan dengan Nanda. Setelah menghabiskan dua mangkuk es krim, mereka sepakat untuk mengunjungi toko buku sebelah.
"Nda!"
"Iya."
"Ini beneran gue nggak boleh gandeng tangan lo?"
Lelaki yang kaget dengan permintaan itu spontan tertawa. Ia mengusap wajahnya sambil menggeleng. Sepertinya rem mulut Caroline cukup rusak. Ia dibuat terheran-heran berkali-kali.
"Udah, lo jalan di situ aja. Gue di sini. Nggak perlu gandengan."
Caroline memutar bola matanya malas. Ia kemudian celingak-celinguk dan bersedekap. "Kan nggak enak kalau dilihat orang-orang."
Sejak awal, gadis mungil itu takut-takut untuk memulai. Namun, makin lama menunggu, tidak ada pergerakan yang berarti dari lelaki di sampingnya. Nanda seakan-akan memancing Caroline agar mengejar lebih dulu.
"Nggak enaknya di sebelah mana?"
"Ya, gini. Jalan deketan, tapi nggak gandengan."
Nanda tersenyum di balik maskernya, lalu menatap Caroline. "Ya udah, jalan agak jauhan dikit."
"Hah ... susah emang kalau ngomong ama kanebo kering. Kaku banget."
Sindiran itu hanya ditanggapi dengan sedikit tawa. Keduanya tenggelam dalam hening tanpa ada percakapan lain yang menyusul.
Langkah Caroline seketika antusias saat tiba di tujuan. Ia berjalan cepat dan berhenti pada kumpulan novel bertulis 'Sale Up to 50%'. Tempat itu cukup ramai dan penuh desak. Nanda lantas mengembuskan napas panjang. Ia lebih tertarik dengan rak-rak bertuliskan kesehatan, hukum, sosial, dan politik yang ada di sisi kiri.
"Lin, gue ke sana dulu, ya."
"Eh, ke mana?"
"Ke situ." Nanda menunjuk sudut bacaan yang dimaksud.
"Oke, nanti gue susul ke sana, ya."
Nanda mengiakan. Dibanding berkutat dengan novel yang diserbu banyak orang, lebih baik ia menyingkir dan mencari ketenangan.
Kawasan ilmu pengetahuan sangatlah sepi tanpa lalu lalang satu makhluk pun. Hanya ada beberapa yang memilah buku SBMPTN dan ujian CPNS. Selain itu, segelintir anak laki-laki duduk lesehan di zona komik, membaca sambil rebahan santai seperti di rumah sendiri.
Nanda melihat satu per satu buku kesehatan yang terpajang. Mulai dari sisi kanan atas sampai kiri bawah. Tidak ada yang menarik. Semua pembahasannya seragam, tidak ada yang membicarakan orang-orang seperti dirinya.
"Dapet?"
Lelaki itu tersentak dan refleks mundur. Hampir saja ia menabrak rak buku di belakang. Nanda lekas mengelus dada saat Caroline tiba-tiba menghampirinya dengan jarak kurang dari tiga jengkal.
"E-enggak, lo udah?"
"Udah. Ayo, anterin bayar kalau gitu."
Lagi-lagi Caroline menarik tangannya tanpa izin. Namun, kali ini Nanda diam dan mengikuti permainan gadis itu. Ia hanya menatap lekat dan tersenyum tipis.
Antrean kasir sangatlah panjang. Nanda diam-diam mengumpat karena orang di depannya tak segera berjalan. Betis hingga pangkal pahanya mulai terasa nyeri. Kepalanya juga ikut pening karena terlalu lama berdiri.
Lidah Nanda kelu. Ia ingin sekali mengutarakan keluhannya dan istirahat ke pinggir, sekadar duduk atau memejamkan mata pun tidak masalah. Namun, peluh Caroline yang tak kalah banyak darinya membuat ia tak tega dan memilih menikmati semua ini.
Sesekali Nanda memijat pelipisnya. Pergerakan itu berhasil menarik perhatian Caroline hingga lekas mengambil tisu dari kantong celana.
"Kok keringat lo banyak banget? Sakit?"
Caroline kalang kabut. Dengan cepat ia mengusap sekitar kening dan leher Nanda, sampai-sampai lelaki itu menahan tangannya dan menggenggam erat. Ia pun menelan ludah.
"Gue bisa sendiri, makasih."
"O-oke. Lo duduk di situ aja dulu."
"Nggak pa-pa?"
Caroline mengangguk yakin. "Udah sana."
Nanda tidak menolak. Ia menuruti kemauan Caroline sambil memperhatikan dari jauh. Gadis yang sesekali menoleh untuk mengecek keadaannya itu terus tersenyum dan melambaikan tangan.
Manis, ya.
Di tempat lain, sesuai perjanjian--yang dibuat sendiri, Ramsi datang ke indekos Caroline. Kakinya tak berhenti mengentak-entak lantai. Ia bersedekap dengan wajah bersungut-sungut. Sudah setengah jam ia menunggu, tetapi tak kunjung menemukan tanda-tanda.
Ramsi belum menerima keputusan sepihak yang dilayangkan sang kekasih. Semuanya terlalu tiba-tiba dan tidak masuk akal. Caroline tidak pernah bersungguh-sungguh memutuskannya, walaupun sudah ketiga kali kata itu terucap.
Ia mencurigai adanya campur tangan orang baru. Tidak mungkin gadis seperti Caroline bisa move on dengan cepat kalau tidak karena dambaan lain. Hanya dengan memikirkannya, Ramsi makin geram dan merasa terinjak-injak.
Ekspresinya lekas berubah saat Caroline melewati gerbang indekos tanpa berhenti dulu. Gadis itu melenggang begitu saja, lalu memarkirkan motor. Bukan ia tidak tahu keberadaan Ramsi, hanya tidak merasa tengah memiliki urusan.
"Beb!"
Dengan santai Caroline membuka helm dan beralih menatap Ramsi. Ia mendengkus saat mendapati raut tak mengenakkan dari lelaki itu. Tiba-tiba terbersit rasa jijik yang belum pernah singgah.
"Ada apa? Ngapain lo ke sini?"
"Hah? 'Ada apa' lo bilang?"
Caroline mendengkus. "Buruan, gue capek, mau istirahat."
Ramsi lekas meraih tangan Caroline. Ia menggenggam kedua tangan itu erat-erat. Tatapannya berubah 180 derajat menjadi (sok) tulus dan memelas kasihan.
"Kalau gue ada salah, gue minta maaf. Gue nggak mau putus sama lo."
Caroline menarik tangannya. "Ini udah berhari-hari dan lo masih nggak tau salah lo di mana. Parah, Ram."
Belum sampai beranjak, Ramsi kembali menahan gadisnya. Kali ini ia tak segan untuk mengeratkan genggaman. Caroline refleks menggigit bibir saat rasa linu menjalar ke lengan.
"Lo ada cowok baru, kan? Iya, kan? Bilang!" Nada bicara Ramsi berubah drastis dari sebelumnya.
"Bukan urusan lo."
"Halah, ngaku aja, Lin. Lo dulu juga gini, kan, sebelum sama gue?"
"Kalau iya, kenapa? Udah, lah, Ram. Jangan nyalahin orang lain. Gue minta putus karena muak sama lo yang egois dan suka ngatur-ngatur mulu. Sekarang, lepas!"
Setelah berhasil lolos, Caroline buru-buru berlari. Ia menulikan pendengarannya dari teriakan Ramsi, kemudian lekas masuk kamar dan mengunci pintu. Jantungnya berdegup cepat hingga keringatnya bermunculan di mana-mana.
Caroline memang sudah mengira hubungannya akan berakhir. Bukan karena asma Ramsi yang jarang kambuh dan fantasinya makin berkurang, melainkan pengekangan yang lelaki itu berikan di setiap waktu. Toleransi yang ia berikan sudah cukup.
Ia lantas mengeluarkan ponsel yang terus bergetar. Spam cacian dari Ramsi-lah yang memenuhi notifikasi. Caroline tak berniat membalas dan hanya menatap layar kunci, tampak foto mereka saat menikmati pantai tahun lalu. Setelah ini, ia akan menggantinya dengan foto es krim tadi sore.
"Gue emang yakin putusin lo setelah ketemu Nanda, tapi itu bukan satu-satunya alasan."
Jumpa lagi, jumpa terus 🤸🏼♀️
Komen yuk, biar aku tau siapa aja yang nemenin 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro