Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6 • gue suka lihat ruam lo

Iseng-iseng berhadiah, itulah yang dirasakan Caroline sekarang. Mulutnya masih ternganga saat mendapat balasan dari Nanda. Kasurnya berdecit berkat aksi jingkrak-jingkrak yang dilakukan gadis itu.

"Woi! Caroline, bisa diem, nggak?!"

Mampus! Tetangga indekos mengamuk.

"Ma-maaf, Kak."

"Dikondisiin, dong! Lagi skripsian, nih!"

"Iya, Kak. Olin minta maaf."

Detik berikutnya, hening kembali menyapa. Caroline refleks menghela napas lega. Kalau saja dinding kamarnya tidak tipis, kejadian ini tidak akan terjadi.

"Hampir aja. Eh, iya, besok pakai baju apa, ya?"

Pikiran itu tiba-tiba terlintas. Caroline lekas membuka lemari dan mengeluarkan kaus favoritnya satu per satu, semuanya pastel. Ia juga mengambil celana hingga rok sepanjang lutut, kemudian menatanya dari sisi kiri ke kanan dengan teratur di atas kasur.

"Besok, kan, seragamnya putih-putih, roknya juga panjang. Kalau pakai celana pendek sama kaos kayaknya nggak bakal gerah juga. Terus, nanti tinggal ganti di kamar mandi. Yeay!"

Caroline sungguh antusias. Sel-sel otaknya sudah membayangkan hal-hal indah yang dapat ia lakukan dengan Nanda.

"Tapi, pakai warna apa, ya, enaknya? Nanda suka yang mana kira-kira? Stalking dulu, deh."

Bukannya melanjutkan pemilihan kaus, Caroline malah memeriksa akun Instagram Nanda yang jumlah pengikutnya tidaklah sedikit. Bahkan, lebih tinggi dari selebgram modal endorse kecantikan dan reviu makanan. Padahal, postingan-nya tak dapat dikatakan banyak. Lebih didominasi konten komunitas dan sedikit foto-foto pribadi.

"Eh, apa, nih?"

Mata indah Caroline salah fokus pada satu postingan yang hampir membuatnya mendidih. Foto dua sejoli yang tertimbun puluhan foto lainnya itu amatlah menantang. Memang Nanda tidak sendiri, ada pasangan lain di sampingnya. Namun, siapa?

Ah, mood Caroline tiba-tiba turun seperti roller coaster. Ia lekas menutup ponsel dan menjauhkannya dari pandangan.

"Bodo, cakepan gue juga."

Gadis itu mendengus tanpa jawaban apa pun. Ia berakhir memilih kaus putih kecokelatan dan rok berenda.

Keesokan harinya, Caroline kembali dihadapkan dengan celotehan senior. Susah payah ia menunduk--menghindari matahari--agar kulitnya baik-baik saja sebelum kencan nanti sore.

"Ingat bahwa kegiatan ini bersifat wajib. Bagi yang tidak ikut tanpa keterangan yang jelas, tidak akan mendapatkan sertifikat dan kelulusan OSPEK akan ditangguhkan."

Tidak ada yang berani menginterupsi pengumuman itu. Bertanya hanya akan memperpanjang durasi kepulangan mereka. Jika ada yang coba-coba, sudah dapat dipastikan mahasiswa itu akan dibenci ratusan orang. Sebenar apa pun ia.

"Setelah ini, kalian bisa pulang. Surat izin terakhir dikumpulkan besok sore pada pendamping masing-masing."

Megafon yang sejak tadi diangkat itu sudah turun. Napas lega pun terdengar, keluar dari helaan mahasiswa baru yang sudah tak sanggup berdiri, termasuk Caroline. Bahkan, ia langsung berjongkok dan melakukan peregangan.

"Olin!"

"Hem?"

Bena yang datang dari pleton sebelah lekas bersedekap menatap kawannya. "Lo beneran pulang sama Nanda? Nggak mau bareng gue aja? Daripada di-PHP, lho."

"Lo tenang aja. Nanda pasti nepatin janjinya. Tuh, dia masih di sana." Jari Caroline menunjuk ke lelaki yang masih berbincang di barisan depan. "Dia nggak bakal kabur. Misal iya, bakal gue kejar."

"Ck, dasar bucin!"

"Bodo. Emang bucin, kok, butuh cinta. Udah sana!"

"Oke, good luck kalau gitu."

Caroline mengangguk. Setelah kepergian Bena, ia segera melambaikan tangan pada Nanda hingga lelaki itu menghampirinya.

"Gue ganti baju dulu, ya," ucap Caroline tidak mau basa-basi.

"Iya, gue juga, kok."

"Oke."

Caroline masih senyam-senyum sendiri sampai bingung harus menjawab apa. Ia lekas masuk toilet, begitu pula dengan Nanda--letaknya bersebelahan. Namun, lelaki itu selesai lebih dulu dan gadis yang mengajaknya kencan belum kunjung keluar.

Nanda sangat kikuk saat berdiri di depan toilet, sendirian. Pasalnya, banyak lalu lalang gadis di sana. Tidak sedikit yang memandangnya aneh seraya berbisik-bisik. Ia pun menunduk. Untung saja Nanda selalu memakai masker. Kalau tidak, image-nya bisa hancur. Entah apa yang merasukinya sampai mau berdiri, menunggu seorang gadis yang 'berganti pakaian' selama setengah jam seperti ini.

Suara pintu yang terbuka membuatnya tersentak dan refleks mengusap dada. "Akhirnya."

"Lama, ya?"

"Banget."

"Sori. Ayo, buruan ke kafe!"

Spontan, Caroline menggandeng tangan Nanda dan beranjak meninggalkan toilet. Namun, lelaki itu justru tak bergerak hingga hampir membuatnya terjengkang. Gadis yang mengikat rambut di dua sisi itu hampir mengumpat, lalu menatap Nanda sinis.

"Ih! Kenapa, sih?"

"Ehm!" Lelaki itu menatap tangannya, "dilepas boleh, kok."

"Eh!" Seketika Caroline menyingkirkan tangannya. "Sori lagi."

Keduanya pun berjalan beriringan menuju kafe yang cukup terkenal di kalangan anak FISIP. Tempat nongkrong yang lumayan ramai itu terletak di luar kampus, tepat di depan gerbang belakang. Butuh waktu sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki untuk sampai sana.

Saat tiba, Caroline lekas meletakkan tasnya di salah satu kursi. Ia memilih duduk di dalam ruangan, sebab cuaca sedang panas-panasnya. Gadis itu segera mengambil buku menu dan menyerahkannya pada Nanda.

"Pesen apa?"

"Terserah."

"Oke, gue samain."

Banyaknya pengunjung membuat AC tempat ini tidak terasa sama sekali. Peluh yang mendera sejak berada di lapangan tak lekas enyah, malah makin merajalela sampai menetes ke bawah mata. Nanda lekas mengernyit saat ruamnya terasa perih.

Lelaki itu mengipasi wajahnya seraya mengedarkan pandangan. Kafe bernuansa modern yang dipenuhi lampu gantung itu juga memiliki panggung untuk live music di malam hari. Banyaknya papan quotes di dinding tak luput memanjakan mata.

"Pesanan datang!"

Nanda lekas melepas maskernya, lalu tersenyum ke arah gadis yang menurunkan dua gelas es krim rasa cokelat dan stroberi. "Makasih, ya."

Jantung yang masih tersimpan rapat seakan-akan hendak melompat. Rona merah hasil pemakaian blush berhasil menutupi perubahan raut Caroline saat ini. Gadis itu refleks merapikan rambutnya ke belakang telinga, lalu menyendok buah yang menjadi hiasan di es krimnya.

"Gue nggak pernah suka buah sebelumnya. Kalau lo?" tanya Nanda tiba-tiba.

"Hm, apa pun buahnya, gimana pun rasanya, itu nggak penting sih, Nda. Kan yang penting kita lagi jalan sama siapa."

"Ck, gombalannya basi."

Meski berkata begitu, Nanda tetap tak dapat berhenti tersenyum. Ia lantas mengambil satu sendok es krim seraya geleng-geleng, tak menduga gadis itu akan se-percaya diri ini.

"Nda, boleh nanya?" Kini Caroline yang memanfaatkan keadaan.

"Apa?"

"Lo jadi fighter lupus sejak kapan?"

"Tau dari mana?"

"Stalking Instagram."

Nanda mengangguk, benar juga. "Diagnosis pas awal SMA."

"Kalau jadi aktivisnya?"

"Kelas dua."

"Udah separah apa?" tanya Caroline hati-hati.

Nanda mendongak dan menatap mata gadis yang seakan-akan tanpa beban mempertanyakan itu. Sebuah pertanyaan yang yang tak pernah Nanda pikirkan akan terucap. Apakah Caroline sudah merasa sedekat itu dengannya? Atau Nanda saja yang tak sadar adanya ikatan di antara mereka?

"Emang lo tau apa tentang lupus?"

"Belum banyak, sih, tapi lumayan paham garis besarnya."

"Contoh?"

"Penyakit autoimun kronis yang bisa jadi penyebab peradangan di beberapa bagian tubuh. Dari artikel yang gue baca, kebanyakan lupus diderita sama perempuan. Laki-laki paling sepuluh persennya aja. Iya, nggak?"

Nanda menelan ludah. "Iya. Gue cukup sial."

Mendengar kalimat itu, Caroline makin antusias untuk membahasnya lebih dalam. "Lo tipe yang mana?"

"Lo juga tau itu?"

Caroline mengangguk cepat. Ia tidak sabar mendengar jawaban Nanda.

"Gue SLE, makanya sering nggak ikut kegiatan. Gue gampang capek."

Nanda menjelaskan sekilas, sedangkan Caroline telah melupakan es krimnya. Ia memilih menopang dagu plus menatap lelaki-nya lekat-lekat dan menimpali sepahamnya.

Tanpa sadar, rasa kagum mulai muncul di benak Nanda. Lantas terbersit sebuah tanya, sejak kapan Caroline tertarik akan hal ini? Apakah dari dulu? Atau semenjak mengenalnya?

"Btw, pengetahuan lo keren. Jarang ada orang yang paham tentang ini. Kenapa nggak ngambil jurusan kesehatan?"

"Otak gue cuma segede udang, mana muat kalau diisi materi sesusah itu," terang Caroline jujur.

Nanda tertawa kecil. "Bukan gue yang bilang."

"Nggak masalah. Em, jadi gimana?"

"Apanya?"

"Yang tadi."

Nanda tersenyum. "Gue aman. Selain ruam ini, mungkin belum ada yang bisa dibahas."

"Kalau gitu, ayo dibahas."

"Apanya?"

"Ruam lo. Cuma itu, kan, yang bisa dibahas?"

"Emangnya ada yang menarik? Bukannya geli, ya, lihatnya? Kayak kebakar."

Caroline menggeleng. "Nggak geli, kok. Gue justru suka. Gue suka lihat ruam lo, Nda."

Nanda menggigit bibir bawahnya. Seumur hidup, baru ini ia bertemu dengan seseorang yang menyukai hal paling memalukan baginya--sesuatu yang berusaha ia tutupi menggunakan masker di setiap waktu. Aura hangat gadis itu saat mengucapkannya sontak membuat Nanda tersenyum tipis.

"Ma-makasih, ya."

Olin's note:
SLE (Systemic Lupus Erythematosus): salah satu jenis lupus yang menyebabkan peradangan di hampir seluruh organ tubuh, seperti sendi, kulit, paru-paru, jantung, pembuluh darah, ginjal, sistem saraf, dan sel-sel darah. SLE adalah jenis yang paling umum diderita.

🎬

Hai, ayang Nanda 🥰
Selamat hari lupus yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro