Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 • masih sebatas itu kok

Delapan puluh persen otak Caroline sepertinya terbuat dari ampas tahu. Isinya hanya sari-sari yang sudah diperas berulang kali. Bagaimana bisa ia berkata ingin menggoda Nanda di depan banyak orang seperti itu?

"Hm ... a-anu. Gue, mah, udah nggak niat godain kakak tingkat. Entar bisa dikira ... pansos! Haha, iya, pansos."

Gadis yang memainkan rambut lurusnya itu tertawa bodoh sambil menatap kawannya satu per satu. Ia menelan ludah dan menggaruk tengkuk yang tak gatal.

"Serah lo, deh, Lin." Nanda menggeleng pasrah sambil tersenyum tipis.

Caroline memejamkan matanya rapat-rapat dan berteriak di dalam hati. Ia juga mengentak-entak lantai saking kesalnya. Gadis itu kemudian mengusap dada pelan, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah selesai, ia menegakkan diri dan kembali berperang dengan bacaan.

Fokus, nggak boleh ngelantur lagi!

Namun, pensil Caroline tetap berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun. Ia masih menunggu otaknya untuk mencerna setiap kalimat asing yang ditemukan. Sepertinya, organ itu mulai berasap sekarang.

Huh, setan mana lagi yang mengganggunya kali ini?

"Nda ...," panggil Caroline manja.

"Iya?"

"Nyontek, dong."

Nanda memamerkan lesung pipinya, lalu menggeleng. "Kerjain sendiri."

Siapa pun tolong selamatkan Caroline. Jiwanya dibuat melayang untuk kesekian kali. Gadis itu lekas menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya.

"Ayolah, dikit doang. Gue udah nyampek teori jarum suntik. Boleh, ya? Nanda, kan, ganteng, baik hati, dan ...." Caroline menjeda kalimatnya. Rautnya tampak berpikir dan enggan meneruskan.

"Dan apa?" tanya Nanda penasaran.

Sakit.

"Nggak sombong tentunya," jawab Caroline waras. "Boleh, please?"

Nanda konsisten menggeleng. Ia terus membaca buku dan fokus memberi warna pada setiap poin yang penting. Caroline langsung memanyunkan bibirnya dan menyilangkan tangan.

"Pelit, ih."

Sampai istirahat selesai, gadis itu tak mendapatkan apa pun. Bahkan saat sampai di indekos, ia tetap membiarkan bukunya bercampur dengan foundation, bedak dan beberapa lip cream yang ia bawa ke mana-mana. Gadis itu memilih tiduran diri di kasur.

Senja sudah menyapa hari ini. Pulangnya sedikit terlambat karena ramainya tempat parkir. Motornya terlalu menjorok ke dalam dan ia terjebak tak bisa keluar. Sial, memang. Lain kali, ia akan berangkat lebih siang dan parkir paling belakang.

Perlahan Caroline menyanyikan Better dari Atom guna menenangkan pikiran. Kegiatan hari ini cukup menyita energi.

"Chat Nanda, ah," ujarnya tiba-tiba.

Tangan gadis itu beralih membuka WhatsApp dan terkejut saat mendapati Nanda tengah online. Sungguh rezeki, bukan? Dengan cepat ia mengetik sesuatu.

Nanda, besok jalan, yuk!

"Hapus, hapus, hapus!"

Nanda, besok mau nonton, nggak? Ada tiket Frozen, nih!

"No no no, hapus lagi, hapus lagi."

Nanda, besok beli es krim di kafe depan fakultas, yuk?

"Argh, kenapa kesannya genit gini?"

Caroline mengacak rambutnya kesal. Ia mengusap wajah, lalu mencoba mengatur diri.

Namun, tunggu. Centang biru?

"Kepencet!"

Di lain tempat, Nanda masih berkalung handuk basah--baru keluar kamar mandi. Ia menyandarkan ponselnya pada laptop yang terbuka. Panggilan yang telah berdering sebanyak lima kali itu hanya menyuguhkan dua sahabatnya yang kompak memamerkan sepiring nasi.

"Udah makan, Nda?" tanya Feri, sosok yang terlihat mengangkat kaki untuk menopang siku kanannya.

"Aku baru pulang, terus mandi. Kapan makannya?"

"Lah, cepat pesan sana!" Bari, lelaki berambut klimis, tak mau kalah.

Nanda mendengkus. Ia pun beranjak menuju kapstok dan mengambil sepotong roti dari tas, sisa konsumsi yang diberikan panitia OSPEK jurusan. Sontak hal itu membuat Bari dan Feri terbelalak dan menghentikan aksi makan mereka.

"Kok, roti?" seru mereka kompak.

"Aku cuma punya ini sekarang."

Feri menurunkan kakinya dan mendekat ke arah layar. "Tapi kamu, kan, nggak boleh--"

"Hemat, Fer. Mas Dian juga belum balik. Lagi nggak ada apa-apa di sini."

"Kutransfer terus pesen sendiri, ya. Jangan makan itu." Bari masih berusaha melarang.

Nanda meletakkan makanan yang mengandung gluten itu dan kembali menopang dagu. Ia menatap kawan karibnya bergantian sebelum mengangguk. Meski kini terpisah kota, dua sahabat sedari SMP itu tetap menjaganya dari jauh.

"Ya udah, nanti kuganti."

"Santai aja."

Setelah tiga hari disibukkan dengan OSPEK masing-masing, baru ini mereka kembali berhubungan lewat video call. Kesibukan yang berbeda di antara mereka cukup mengurangi jalinan komunikasi. Niat bulat Feri yang ingin melanjutkan bakti orang tua, membuatnya memilih Yogyakarta dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar sebagai masa depan, sedangkan Bari tetap bertahan dengan dinginnya Malang dan mengambil Teknik Mesin sebagai teman kencan di perkuliahan. Sahabat kental itu pun harus mau terpisah selama kurang-lebih empat tahun.

"Oiya, Nda, gimana Jakarta?" tanya Feri antusias.

"Aman. Aku udah biasa pakai lo-gue di sini. Kalau Jogja?"

"Jogja, sih, tetap istimewa, Nda. Tapi, kurang lengkap kalau nggak ada kamu. Hiya, hiya, hiya!"

"Hoek!"

Nanda berlagak memuntahkan sesuatu. Feri memang makhluk terkocak yang pernah ia temui. Lelaki itu tampak tertawa puas sampai memukul meja warung kopi yang ia datangi, sedangkan Bari hanya menggeleng dan meneguk segelas susu.

"Udah dapet gebetan, belum? Jangan sok gagal move on mulu. Jakarta luas, lho. Iya nggak, Bar?"

Bari hanya mengangguk. Dua kata tersebut sangat sensitif bagi Nanda dan ia tahu itu. Axela, gadis yang disukai Nanda saat tinggal di rumah sakit dulu, telah menjadi pacarnya. Meski sempat terjadi kesalahpahaman, hubungan ketiga sahabat itu telah baik-baik saja. Sebisa mungkin Bari tak menyebut nama gadisnya di percakapan mereka agar kecanggungan seperti sekarang tidak memperburuk situasi.

"Gebetan mulu yang kalian pikir. Kita masih OSPEK."

Nanda berdecak. Pertanyaan Feri memang tidak pernah berubah. Ia sampai bosan mendengarnya. Lagi pula, apa salahnya dengan jomlo? Toh, itu juga pilihan. Daripada tidak serius dalam menjalin hubungan, lebih baik tidak mencoba mendekat sama sekali, bukan? Ia cukup belajar dari kesalahannya di masa lalu.

"Dari jaman aku masih dikacangin Mayang sampek sekarang dia yang ngebucin, kamu masih gini-gini aja, Nda."

"Apa salahnya jadi gini-gini aja, Fer? Emang belum ketemu yang cocok, kok."

"Yakin?"

"Iya!"

Bari menaikkan alisnya seraya mengucap, "Kamu kali yang nggak buka hati."

Nanda mengusap wajahnya gusar. Satu kalimat yang tak begitu panjang itu cukup membuatnya bertanya-tanya. Ia lantas berbaring dan memandangi kumpulan foto keluarga dan sahabatnya yang terpaku di dinding. Sejak gagal mendapatkan hati dua gadis, ia belum bergerak lagi.

Ponsel yang disandarkan pada laptop itu bergetar hingga terjatuh. Lamunan Nanda sontak terkecoh. Ia lantas duduk, lalu meraihnya dan beralih membuka pesan. Bari dan Feri yang masih tersambung turut mengernyit saat wajah Nanda hanya berjarak satu jengkal dari layar.

"Kenapa, Nda?"

"Anak kelompok ada yang nge-chat."

"Siapa? Cewek atau cowok?"

"Olin. Cewek."

"Cantik, nggak? Anak mana? Udah punya cowok, belum?" Feri terus membombardir Nanda.

"Kepo!"

Nanda telah selesai membaca pesan Caroline. Dahinya pun mengernyit. Ia masih belum percaya, gadis itu berani mengajaknya berkencan. Atau istilah apa yang tepat untuk mengartikan ajakan makan es krim ini? Ia tertegun sampai ternganga. Rasanya seperti melihat cerminan sendiri di masa lalu, yang tanpa basa-basi dan sedikit agresif.

"Bengong lagi, nih, anak," keluh Feri saat lawan bicaranya belum juga berbicara.

"Dia ngajak jalan."

"Dia siapa?" Bari mengerutkan kening.

"Ya, si Olin."

"Emang dia siapa, sih? Yakin cuma teman sekelompok?"

Nanda panik mendengar pertanyaan itu. "Iya, lah. Cu-cuma cewek yang nolongin aku pas kolaps kemarin. Masih sebatas itu, kok. Dia ngajak makan es krim besok."

Senyum Feri terbuka lebar. "Ciyee, iyain, dong."

"Tapi--"

"Beneran nutup hati, nih?"

"Enggak, Bar."

"Ya udah, ayo digebet."

Tuhan seakan tak mau menunggu lama dan segera mengabulkan doa kedua sahabatnya. Nanda sontak menghela napas panjang, mau tak mau ia harus berkata iya.

Oke, balik dari OSPEK, tapi nebeng. Gue nggak ada motor. Jangan lupa bawa dua helm.

Nanda menepuk jidatnya sendiri. Usaha untuk memanggil kesadarannya kembali itu cukup berhasil, walau harus meninggalkan bekas merah yang tak indah.

"Udah kubalas. Jangan diejek lagi."

Bari dan Feri kompak tersenyum licik. Hal itu membuat Nanda bergidik dan memutar bola matanya malas.

"Kudoakan lancar ya, Nda."

"Aku juga."

Tak ingin melanjutkan percakapan, Nanda lekas mengakhiri panggilan itu tanpa mengucap salam. "Bodo amat!"

Setelahnya, ia kembali berbaring dan merentangkan tangan. Besok, Nanda akan merasakan suasana yang sudah lama ia lupakan. Duduk berdua dengan perempuan dalam satu meja, membahas banyak hal yang entah apa topiknya karena tidak mungkin hanya diam menatap es krim, belum lagi kalau singgah ke tempat lain dan terjadi kontak fisik. Ah, memikirkan itu saja cukup membuat Nanda mendengkus dan mengacak rambut berkali-kali. Semoga ia tidak salah langkah.

Olin's note:
Teori jarum suntik: teori komunikasi yang menjelaskan propaganda yang memiliki pengaruh terhadap khalayak
Gluten: protein yang ditemukan pada padi-padian dan serealia, gandum, gandum hitam (rye), jelai (barley) dan triticale.
Kolaps: jatuh; roboh; pingsan

Fyi:
Penderita autoimun (termasuk lupus) tidak disarankan mengonsumsi produk gluten karena makanan tersebut dapat memicu kebocoran pada usus yang menyebabkan peradangan

🎬

Ciyee, yang mau kencan. Nyempil boleh, nih 🤸🏼‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro