4 • kalau disiksa pasti tambah cakep
Caroline berguling ke sana kemari. Ia memeluk ponselnya erat-erat. Pikirannya liar dan membayangkan lelaki tampan yang tadi siang meminta nomornya. Memang gila, dengan berkhayal saja Caroline sudah merem-melek sendiri. Entahlah, hanya ia dan kaum-kaum serupa yang tahu rasanya.
Gadis itu lantas menatap langit-langit kamar. Bahkan, hamparan kosong penuh debu itu menjadi lapak indah dengan gambaran sosok Nanda. Ia pun mengabsen satu per satu bagian wajah yang terlukis di dinding. Imajinasinya memang ada-ada saja.
Mata lelaki itu sangatlah indah. Salah satu alasan Caroline tidak berani menatap kesempurnaan ciptaan-Nya. Terlebih lesung pipi sedalam lautan yang Nanda miliki, membuat Caroline ingin terjun dan menyelam di sana, lalu menyusurinya sampai tenggelam di dasar hati.
Namun, di antara semua itu, hanya satu yang membuat Caroline tidak berhenti berpikir. Ruam di bawah mata dan pipi Nanda. Warna merah dan sedikit memprihatinkan bagi orang lain itu malah menjadi daya tarik tersendiri bagi Caroline. Sejak tadi, otak liarnya terus mencari, dan mengais informasi.
Sakit apa dia?
Apakah parah?
Itu hanya salah dua dari sekian penasarannya hari ini. Untung saja, ia lekas menemukan akun Nanda dan mendapati lelaki itu adalah odapus sekaligus aktivis yang cukup terkenal. Kalau tidak, Caroline bisa tidak tidur dan mati penasaran.
"Jadi, ruam di pipi lo, tuh, butterfly rash, ya? Cantik."
Caroline tersenyum. Tentu, ia tahu apa itu odapus. Jangankan lupus, segala macam penyakit langka pun ia paham sampai khatam. Terlalu banyak menonton film dan series berbau penyakit membuat level sok tahunya melebihi pewarta gosip.
Gadis itu lekas berhenti melamun, lalu mengangkat ponselnya. Ia membuka galeri foto dan mencari hasil yang ia abadikan secara diam-diam. Bukan Caroline namanya kalau tak menghalalkan segala cara.
"Kok lo cakep banget, sih? Kalau disiksa pasti tambah cakep."
Caroline kembali bermonolog. Indekosnya sedang sepi dan ia bebas berbicara sendiri di kamarnya. Senyumnya masih mengembang dan matanya terus berbicara.
Namun, ponsel yang ia pegang tiba-tiba bergetar. Saking terkejutnya, benda itu lepas dari tangannya begitu saja dan mengenai wajah. Hampir saja Caroline mengumpat, sebab hidungnya tertimpa ujung ponsel dengan cukup keras. Sungguh sial!
Kekasihnya-lah yang mengusik. Caroline buru-buru menolak panggilan itu dan bangkit dari tidurnya. Akan tetapi, sama seperti Caroline, Ramsi juga pantang menyerah. Mereka berdua sama-sama keras kepala. Ramsi terus menelepon, seakan-akan tidak mau diabaikan.
Kesal, gadis itu pun mengangkat dan mulai mengomel, "Ada apa, sih?"
"Ada apa? Lo dari tadi nggak bales chat gue, Lin. Ke mana aja, sih? Lo tau, kan, gue nggak suka dicuekin."
Caroline memutar bola matanya malas. "Gue sibuk. Lo harus tau kalau jadi maba, tuh, banyak tugas. Kebiasaan, deh, nggak mau ngertiin orang lain."
"Minimal, kan, bisa kasih kabar biar gue nggak nunggu balesan lo kayak gini."
"Gue udah bilang, gue sibuk, Ram."
"Sesibuk apa, sih, lo? Sampai bales chat aja nggak bisa? Tugas lo sepenting itu? Sini! Gue kerjain kalau perlu. Gue nggak suka, ya, kalau lo lambat bales kayak gini. Malu ama temen, Lin. Gue diledekin mulu dari tadi."
Caroline kembali menghela napas. Dibanding pacar, mungkin julukan peliharaan lebih cocok untuknya. Kerap kali Ramsi menjadikannya bahan pamer hanya karena cantik dan diidolakan. Tidak sekali-dua kali ia dipaksa memakai ini-itu agar terlihat serasi.
"Ck, gitu aja terus. Gue udah nggak tahan ama lo, Ram. Udah cukup lo atur-atur hidup gue. Gue muak. Kita putus aja!"
"Hah? Wait, jangan ngaco, dong. Beb, lo becanda, kan?"
"Bodo amat, bye!"
"Beb--"
Caroline memutuskan panggilan begitu saja. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya di kasur yang tak ada nyaman-nyamannya. Ia mematikan ponsel dan melemparnya ke tumpukan bantal. Kesenangannya hari ini ditutup dengan drama ala-ala FTV.
"Hah, nggak masalah. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Nggak ada Ramsi, Nanda pun jadi. Lebih ganteng, lebih parah penyakitnya."
Hari pun berganti. OSPEK masih berjalan. Mahasiswa baru juga masih setia dipanggang di bawah matahari, kecuali Caroline dengan tinggi minimalisnya. Panas yang terasa tak begitu menyiksa hingga ia bisa puas mengabsen punggung lelaki yang berdiri di depannya.
Nanda.
Lelaki itu menaikkan maskernya. Debu panas lapangan mulai mengganggu pernapasan. Terik yang menembus kulit telah menyengat ruam-ruam yang menyebar di tubuhnya. Tidak hanya di wajah, tetapi juga di lengan dan sekitar paha.
Senior mereka terus meneriakkan jargon. Entah sudah berapa kali para mahasiswa baru diminta untuk mengangkat tangan kiri. Mulai dari lagu buruh tani sampai darah juang terus dinyanyikan tanpa henti. Tenggorokan mereka kering kerontang, meminta diistirahatkan.
Satu per satu ketua himpunan jurusan melakukan orasi. Retorika yang matang dan fantastik terus bergiliran. Telinga junior yang mendengarnya seakan-akan dimanjakan dengan kalimat-kalimat intelektual.
Namun, tidak dengan Nanda. Lelaki itu terus mendengkus dan mengutuk dalam hati. Sungguh, ia tidak ingin berada di lapangan untuk mendengar celotehan berselimut pamer seperti ini. Lebih baik ia duduk manis dalam ruangan ber-AC, syukur-syukur kalau diizinkan tidur juga.
Nanda menarik napas dalam-dalam. Telinganya mulai berdenging dan dadanya kembali sesak. Tak heran, memang sudah tiga jam mereka berdiri di sana. Simulasi demo FISIP ini sungguh tidak manusiawi baginya. Nanda kembali merasa salah memilih jurusan.
"Lo nggak pa-pa?"
Merasa lengannya tersentuh, Nanda lekas menoleh. Ia ingin tersenyum untuk menjelaskan bahwa ia baik-baik saja, tetapi terhalang masker. Akhirnya, ia hanya mengangguk.
"Beneran?" Caroline-lah yang bertanya, lagi.
"Iya."
Gadis itu terlihat tidak puas, mengingat Nanda menutupi mukanya dan hanya menyisakan area mata. Hari ini Caroline tidak dapat menikmati ruam di pipi dan rona pucat dari bibirnya.
Nanda terus mencoba untuk menjaga kesadaran. Tidak lucu jika dalam dua hari ia masuk klinik dua kali pula. Bisa-bisa ia nanti berlangganan dan para petugas menghafal wajahnya.
"Sekian dari saya ...."
Seketika sebagian mahasiswa baru mengucap syukur. Ketua eksekutif mahasiswa telah menutup orasi. Laki-laki berwajah tegas dan berwibawa itu meminta pendamping untuk mengondisikan barisan.
"Kelompok Buya Hamka, ikuti saya! Sebelah sini!"
Aksi desak-desakan pun kembali hadir. Kaki-kaki mulai terinjak oleh banyaknya mahasiswa baru yang melintas. Nanda menahan hasrat untuk tidak menjerit saat lengannya tertabrak dengan semena-mena. Refleks, ia mengusap tempat ruamnya yang terasa nyeri. Kemudian ia memandang sinis pada mahasiswa yang berlari tanpa memedulikan orang lain. Kalau saja keadaan tidak sedang ramai, ia sudah melabraknya habis-habisan.
"Lo nggak pa-pa? Sakit, ya?"
"Dalam sehari, lo udah nanya 'nggak pa-pa' tiga kali. Udah kayak porsi makan tau, nggak?"
"Hehe," Caroline menggaruk kepalanya, "gue cuma khawatir."
Nanda menggeleng yakin. "Nggak apa-apa, kok. Gue oke. Ayo, ikut rombongan yang lain."
Nanda segera beranjak dan mengikuti kawan kelompoknya. Baru sedetik Caroline hendak menyodorkan tangan, lelaki itu sudah melenggang pergi. Gadis itu pun mengerucutkan bibir. Alisnya bertaut dan raut kekecewaan tergambar jelas di wajahnya.
"Bilang ayo, tapi nggak digandeng. Kecut lo!"
Setelah keluar lapangan, mereka dipersilakan untuk beristirahat sejenak. Namun, bukan berarti makan siang kali ini disuguhi dengan makanan mantap. Hanya kertas bergaris yang berserakan di meja kantin. Untunglah beberapa gelas es teh menemani mereka.
"Ih, banyak banget tugasnya. Capek!"
"Udah, bersyukur aja, Lin. Fakultas sebelah malah lebih serem. Pakai tiarap di stadion."
"Hah? Ngapain?" heran Nanda.
"Nggak tau. Tradisi anak pertanian kayak gitu kali," ucap salah satu anggota kelompok Buya Hamka.
Nanda mengangguk saja. Ingin rasanya ia menggeleng berkali-kali jika tahu apa saja yang mahasiswa baru lakukan saat OSPEK. Hal yang menurutnya tidak berguna. Namun, di sisi lain juga terlihat perlu.
"Sebanyak ini nggak mungkin kelar besok, padahal udah dicicil kayak sekarang. Kan, gue butuh waktu buat nonton juga."
Caroline terus merengek. Ia paling benci dengan bacaan serius seperti ini.
Nanda pun tertawa kecil. "Kenapa repot-repot, sih, Lin? Tawar aja kakak pendamping kayak kemarin. Bebas tugas, aman, kan?"
"Ck, nggak mau, ah. Udah nggak selera goda kakak tingkat. Maunya goda lo aja."
Eh!
"Hah?"
Caroline terbelalak dan menelan ludah. Ia merutuki dirinya sendiri karena sudah keceplosan. Sial, sosok ngelantur yang ada dalam dirinya ketika lelah kembali muncul di saat yang tidak tepat. Mampus, kini seluruh mata anak Buya Hamka memandangnya lekat-lekat. Terlebih, mata Nanda.
Argh, mati gue!
Olin's note:
Odapus: orang dengan lupus
Lupus: penyakit autoimun kronis di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel, jaringan, dan organ yang sehat.
Butterfly rash (ruam malar): ruam kemerahan yang muncul di batang hidung dan melebar hingga kedua pipi atas penderita lupus
FISIP: fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
🎬
Kalau punya temen jurusan kayak gini, kalian ngereog kayak Olin juga, nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro