Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 • tahan Olin

Langkah kaki Caroline amat ringan, serasa ingin terbang dan menari di angkasa. Ia memang selalu hiperbola. Tangannya tak berhenti melambai ke kanan dan ke kiri. Begitu salah tingkah saat berjalan beriringan dengan Nanda seperti ini. Ia hanya berani menatap bumi. Syukur-syukur kalau nanti tersandung, pemuda tampan bak pangeran Disney itu akan menangkapnya. Lumayan, kan?

Nanda sesekali mencuri pandang. Entah gerangan apa yang membuat pipi gadis itu merona tak santai. Matanya memicing setiap kali mencoba mengamati lekat-lekat.

Caroline menelan ludah saat berhasil melirik. Sepasang mata indah di sampingnya itu baru saja bertemu dengan miliknya. Ia lekas mengunci mulut dan menekan hasrat teriaknya kuat-kuat.

Tahan, tahan, tahan, Olin!

"Kenapa?" tanya Nanda dengan sedikit tertawa.

"Eh?"

Caroline menjawab dan mencoba mendongak. Oh God, ia tidak sanggup menatap mata lelaki di sampingnya ini. Ia buru-buru mengalihkan pandangan pada rambut Nanda yang pomade-nya mulai memudar.

"Muka lo merah banget. Kenapa? Sakit? Atau--"

"Enggak!" Dengan cepat Caroline memotong kalimat Nanda.

Gadis itu melanjutkan langkahnya dengan kecepatan tinggi, lalu duduk di bangku kosong. Suasana kantin sudah mulai sepi, mengingat jam istirahat hanya tersisa belasan menit lagi. Nanda hanya menggeleng dan tersenyum. Ada-ada saja, batinnya.

"Mau pesan apa?"

"Sama kayak lo aja, deh."

"Jus buah?"

Caroline menautkan alisnya. "Nggak makan?"

"Nggak sempat," jawab Nanda apa adanya.

"Mangga."

Lelaki itu pun mengangguk. Kakinya beranjak menuju salah satu kedai, sebelum pengumuman istirahat menggema. Ia meninggalkan Caroline yang masih sibuk mengentak-entakkan kaki, gemas.

Dari: Benadine

Gue di belakang lo!

Sontak Caroline menoleh setelah membaca pesan pada layar notifikasinya. Ia terkejut melihat Bena sudah duduk rapi sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Caroline seketika menatap tajam, tak suka.

"Lo ngapain, sih? Ganggu orang PDKT aja," ucap Caroline dengan suara pelan, seperti berbisik.

Bena memutar bola matanya. "Malah lo yang ngapain. Nyebut, Lin. Lo, kan, udah punya co--"

"Sstt, nanti dia denger!" Caroline segera memotong kalimat itu. Ia lekas menoleh ke arah Nanda dan memastikan bahwa lelaki itu masih mengantre dengan manis.

"Olin!"

"Apa, Na? Ntar malem tinggal bilang putus ke Ramsi. Selesai, kan? Bukannya dari dulu lo sendiri yang minta gue putus dari cowok toxic kayak dia?"

"Sarap lu, ya! Nggak gini maksud gue, tuh. Lo--"

"Ish, sana buruan pergi. Dia udah mau balik!"

Caroline buru-buru mengusir Bena saat Nanda selesai menerima pesanan. Ia segera menghadap ke depan dan berlagak memainkan ponsel, bersikap tak acuh dengan gangguan gadis berambut pendek di belakangnya.

"Nih."

Nanda menyodorkan segelas jus mangga pada Caroline dan segera duduk di depannya. Sontak pemandangan sahabat Caroline mencuri perhatian. Gadis itu tampak berbisik dan melirik ke arahnya beberapa kali.

"Makasih, ya," ucap Caroline.

Nanda mengangguk. "Oke. Btw, itu temen lo?"

Caroline menoleh, mengikuti arah telunjuk Nanda. Ia mendengkus kesal saat melihat Bena masih bertahan di sana. Gadis itu hanya tersenyum dan menggaruk tengkuk. Caroline menatap sinis dan mencoba mengusirnya lagi, tanpa suara.

"Hehe, iya," ucap Caroline malu-malu ketika kembali menghadap Nanda.

"Lah, kenapa nggak diajak gabung sekalian?"

"Hah? Enggak, enggak, dia udah mau balik, kok. Iya, kan?" Caroline kembali berbalik dan menatap tajam, memberi isyarat pada Bena untuk segera enyah.

"Iya, pleton gue baris lebih awal. Duluan, ya. Hati-hati!"

Bena pamit dan segera berlari, sebelum Caroline menelannya hidup-hidup. Sahabat cantiknya itu kembali duduk manis menghadap ke depan dan menikmati wajah Nanda. Hm, maksudnya, menikmati segelas jus mangga yang Nanda berikan.

"Dia anak ikom juga?" tanya Nanda.

"Bukan. Anak HI. Temen waktu SMA."

"Ooh."

Caroline meminum jusnya pelan-pelan. Seakan-akan ia tidak mau minumannya cepat habis dan momen kali ini berakhir begitu saja. Ia juga mengatur duduknya se-anggun mungkin. Hitung-hitung jaga image.

"Oiya, tugas lo udah kelar?"

"Hm? Tugas bikin biografi?" Caroline memiringkan kepala.

"Bukan. Resume. Itu, kan, tugas terakhirnya?" Nanda mendadak panik.

"Oh, gue nggak ngerjain. Tadi malem nonton film sampek subuh."

"Hah?" seru Nanda tak habis pikir.

Caroline cukup terkejut dengan teriakan itu. Hampir saja ia menyemburkan minuman dan membuat pesonanya luntur. Syukurlah, ia hanya tersentak sampai jusnya sedikit tumpah dan mengenai kemeja.

"Eh, eh, maaf, maaf."

Nanda buru-buru menarik tisu. Ia refleks mengusap jus yang membasahi kerah Caroline. Mata gadis itu makin terbelalak saat tangan Nanda berada di sana.

"Sori, sori."

Nanda terus mengucap kata maaf dan meneliti seragam Caroline. Dengan rinci ia mencari di mana saja noda itu berada. Tak lupa ia membersihkan bawah mulut Caroline yang juga terkena imbas suara tingginya.

Napas, Olin. Jangan lupa napas!

"Sori banget, ya!"

Caroline masih terpaku. Tangan super-wangi surgawi dari lelaki tampan bin penyakitan--impiannya--itu baru saja menjamah tubuhnya, ralat: bajunya. Jiwa Caroline melayang entah ke mana, meninggalkan raganya yang ternganga bodoh.

"Lo nggak apa-apa?"

Nanda melambaikan tangan di depan wajah Caroline. Mulut gadis itu masih terbuka dan sudut bibirnya masih membentuk senyuman manis. Bahkan, berkali-kali Nanda mengecoh pun, Caroline tak berkedip.

"Olin?"

"Eh?"

Gadis itu tersadar saat Nanda menepuk lengannya. Ia segera menutup mulut dan menelan ludah. Ia menunduk dan mengusap wajahnya gusar.

"Sori, gue nggak nyangka lo bakal sekaget itu."

Caroline segera mengangkat wajahnya dan kembali tersenyum. "Nggak apa-apa, kok. Santai aja."

"Tapi, beneran lo nggak ngerjain?"

Caroline membenarkan. "Gue udah bilang ke kakak pendamping kalau nggak sanggup ngerjain efek belum tidur seharian, terus dibolehin, deh."

Nanda mendengkus. "Kalau cewek cakep aja diiyain. Coba kalau cowok, yang ada malah dihukum. Senior kadang se-nggak-adil itu sama junior."

Senyum Caroline mengembang dan jiwanya makin melayang saat kata 'cakep' terucap. Ia tak lagi dapat menyembunyikan rona merah muda di pipinya. Seumur-umur ia belum pernah salah tingkah sampai seperti ini, meskipun itu di depan pacarnya sendiri, Ramsi.

"Kalau kakak pendamping kita cewek, kayaknya situasi kita bakal tertukar, Nda. Soalnya lo ganteng."

Nanda berdeham. "I-iya, ya."

Kedua insan itu larut dalam keheningan sampai pengumuman bahwa istirahat telah selesai pun datang. Nanda segera meminum jusnya sampai tandas dan beranjak meninggalkan tempat. Caroline pun mengikuti dari belakang.

"Eh, sebentar," ucap Nanda kemudian berhenti.

"Ada apa?"

"Boleh minta nomer WA lo? Buat tanya-tanya kalau ada tugas."

Caroline tersenyum dan mengangguk. "Boleh." Jangankan minta nomer WA, minta hati sekalian juga boleh, tambahnya dalam hati.

Setelah itu, mereka kembali melanjutkan kegiatan dan berkutat dengan aktivitas masing-masing. OSPEK hari ini baru selesai saat azan magrib terdengar, sebab banyak kelompok yang berkumpul mendiskusikan tugas-tugas harian.

Sesampainya di indekos, Nanda merebahkan diri di atas kasur. Ia mengusap peluh yang membasahi kening hingga leher. Ia juga memijat pelipisnya pelan-pelan guna mengurangi nyeri kepala yang tiba-tiba datang. Mungkin efek bangun dan tidur secara mendadak. Dasar darah rendah!

Ia tak akan menyesali pilihannya untuk tetap bertahan sampai agenda OSPEK selesai, walaupun ingin pulang sedari tadi. Dadanya makin sesak dan kakinya kian nyeri hingga berdenyut tak karuan. Kecapaian, mungkin.

Nanda mengambil ponsel yang tak berdering sama sekali sejak dari klinik. Wajar memang, ia mematikan sinyal data dan Wi-Fi sekaligus. Ia tidak mau diganggu.

Ia segera menyalakan sinyal Wi-Fi dan menunggu seluruh pesan masuk. Selama itu berlangsung, tentu Nanda tidak melakukan apa pun. Memakainya saat loading hanya akan memperburuk RAM dan berakhir macet tingkat dewa.

Setelah selesai, ia men-scroll notifikasi. Ratusan pesan berasal dari grup kelompok. Puluhan pesan diisi oleh berbagai akun resmi dan beberapa lainnya dari sang kakak, Dian. Tidak banyak, hanya dua sampai tiga pesan yang menanyakan hal yang sama. Bagaimana kabarnya, sudah makan atau belum, sudah minum obat atau belum, apakah ada keluhan, dan lain sebagainya.

Tangan Nanda beralih membuka aplikasi Instagram. Hari ini ia ada tugas untuk meng-upload sebuah foto dan memberi caption tentang gerakan mahasiswa. Namun, perhatiannya terkecoh saat sebuah nama familier muncul di pemberitahuan.

Carolinea mulai mengikuti Anda

Sebuah informasi pengikut baru membuat Nanda salah fokus. Ia segera melihat profil tersebut dan tanpa disadari, tawa kecil lolos dari mulutnya. Ia lantas menyusuri foto-foto gadis itu sebelum mengikutinya kembali.

Cantik dan sedikit agresif. Nanda tentu menyadari sorot mata Caroline yang seolah-olah tengah menyimpan rasa lain. Semuanya cukup kentara, Nanda tak perlu payah berpikir.

Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Lagi-lagi ia dipertemukan dengan gadis kelas VVIP, seperti mantan-mantannya dulu. Ia segera mengacak rambutnya kesal dan melempar ponselnya di kasur begitu saja.

Bodo amat!

Bukan ia yang mau. Bukan ia yang mendekat dan bukan ia pula yang mengejar. Jadi, tidak akan apa-apa, bukan?

Ya kali imut-imut begini nggak di-gas. Iya kan, Nda? 😎

Eh, ada kuis berhadiah novel lho di IG. Udah cek?





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro