29 • selera lo aneh
Tubuh Nanda membentur dinginnya lantai. Ia mengumpat dalam aduan tak bersuara. Suaranya dicekal, napas pun tak berjalan sebagaimana mestinya. Udara sekitar seolah-olah tersangkut di kerongkongan.
Ia mengepal kuat, memukul tempat pembaringan. Kakinya bergerak acak, menendang segala hal yang masih membelenggu. Matanya kuat memejam, meringis menahan tangis. Sesak. Dadanya kembali bermain-main.
"Hah …."
Sia-sia ia mendengkus. Satu tarikan napas setelahnya pun tak ada yang singgah. Air mata mulai berkumpul dalam pelupuk. Satu per satu telah jatuh membasahi ruamnya.
Seketika Nanda mengingat momen saat di bioskop tadi.
Ia menyusuri sekat kursi dan meraih tangan Caroline, menggenggamnya erat melalui sela-sela jari. Ia tersenyum tanpa menoleh saat gadis itu menyambutnya.
Mereka sama-sama fokus pada layar. Popcorn yang dibeli telah habis sebelum film dimulai. Bukan rakus, tetapi begitulah sabda dosen Audio Visual saat memberi materi.
"Five feet apart, are you in?"
Caroline makin mengeratkan genggaman. Kupu-kupu di perutnya mulai beraksi hingga naik ke jantung, mempercepat degup dan membuatnya gemas kalang kabut. Ia menelan ludah, hanyut dalam original soundtrack favoritnya.
Gadis itu melepas tangan sang pujaan. Ia beralih menarik lengan Nanda dan menggandengnya erat. Caroline bahkan menyandarkan kepalanya tanpa permisi. Tebak, Nanda baik-baik saja.
"So sweet banget, nggak kuat," puji Caroline. Ia menyamankan sandarannya pada bahu Nanda.
Lelaki berlesung pipi itu kembali memperhatikan. Ia meneliti dengan rinci, bagian manakah yang disebut 'so sweet' oleh gadis itu. Ia hanya berkedip dan menautkan alis.
"Oh my God." Caroline berseru lagi.
Bola mata Nanda berputar. "Kenapa?"
"Suka lihatnya."
Stop!
Nanda menepis ingatan itu dan fokus ke laci nomor dua di samping kasur. Tubuh ringkihnya sedikit ditarik untuk bangkit, mendorong hingga mampu meraih barang yang dicari.
"S-sat!" umpatnya terbata.
Tubuh itu kembali jatuh. Luruh dan bergetar. Terlebih kedua telapak tangan yang telah basah dan lembap. Bibirnya pun tak lagi putih, melainkan kering kebiruan.
"B-b--"
Laki-laki itu tak lekas menyerah, meski gelap menyuruhnya untuk kembali ke bawah sadar yang menenangkan. Dengan amat susah payah ia mencoba menggapai penyambung nyawanya. Ayo, Nda, batinnya menyemangati.
"Dapat!"
Nanda tersenyum. Napasnya tak lagi panjang dan berderu cepat. Namun, kebahagiaan itu tidaklah lama. Ia masih harus duduk dengan benar untuk menggunakannya. Sungguh sial.
Ayo, Nda.
Bagian pinggang hingga pangkal kakinya kaku. Berat. Kedua tangannya lelah bertumpu pada lantai. Ia tak bergeser sedikit pun.
Nanda lantas mengocok inhaler dan menghirup obat yang diharapkan dapat membantunya. Ia lekas menarik napas dan menahan selama sepuluh detik. Sayang, sesudah itu pun, ia tetap kesulitan.
"Gimana?" Lelaki itu kembali mengingat percakapannya dengan Caroline saat selesai menonton film.
"Suka banget."
Nanda masih sempat memamerkan lesung pipinya, meski kedua kaki sudah lemas tak karuan. Ia berulang kali menguap, tanda tak enak badan. Keringat dingin di area kening juga muncul sejak pemutaran film.
Caroline tidak menyadarinya.
Gadis itu sibuk merem melek menikmati setiap scene. Dengan rapi ia mencatat seluruh adegan dalam memori. Terutama bagian pengobatan si tokoh.
"Sini dulu, ya," ajak Nanda berhenti di area food court.
Caroline mengangguk dan duduk dengan manis. Ia lekas mengunggah foto tiket yang ia genggam bersama tangan Nanda. Tak lupa ia menandai lelaki tersebut. Hitung-hitung sebuah deklarasi kepemilikan.
Nanda datang membawa dua botol air mineral dingin. "Nih," tawarnya.
"Makasih, Pacar."
Nanda mengangguk. Ia pun meraih tas ransel yang ia titipkan pada Caroline dan mengambil botol obatnya. Cukup dua butir pil ia telan dengan mulus. Tanpa bantuan dorongan apa pun. Baru sesudahnya ia menenggak air mineral sampai setengah botol.
Caroline tertegun. Hatinya berdesir saat melihat Nanda berbuat demikian. Matanya bagai dimanja tontonan baru yang lebih menarik. Suatu mahakarya yang nyata.
Gadis itu lekas menggeleng, mengusir jiwa-jiwa psikopat-nya yang datang tiba-tiba. Ia harus mengingat pesan Bena. Ini adalah saat untuk berubah haluan. Menjadi sosok yang lebih normal, meski sang pendamping kebalikannya.
"Lo nggak apa-apa?"
"Udah jadwalnya." Nanda tak sepenuhnya berbohong karena hanya lewat sepuluh menit. "Lo emang suka nonton ginian, ya?"
"Hem?"
"Ya yang lo bilang tadi. Adegan sakit, batuk-batuk sampek sesak napas, terus pakai selang oksigen."
"Be-begitulah." Caroline takut-takut saat menjawab.
Nanda tertawa kecil. "Selera lo aneh."
"Nanda belum tau aja sensasinya," bela Caroline.
"Sensasi batuk sampai sesak napas? Udah hafal, Lin. Kan, lo udah pernah liat."
Gadis itu terpaku. Ia mengutuk dirinya sendiri. Lagi-lagi lidahnya tak pandai bersilat. Sudah berapa kali dalam sehari ia menyinggung Nanda? Tak ayal Caroline pun menunduk.
Sadar akan perubahan sang gadis, Nanda mengangkat dagu Caroline. Ia menatapnya lembut dan mengulas senyum. "Kenapa?"
"Maaf."
"Salah paham lagi," ucap Nanda lirih, lalu menghela napas. "Jadi lo beneran suka liat adegan begini?"
Caroline kembali mengiakan. "Tapi ke cowok doang. Kalau cewek … berasa menyiksa kaum sendiri."
"Jadi …." Nanda menggantung kalimatnya.
"Jadi?"
"Jadi, lo deketin gue karena hal ini juga?"
Argh!
Lamunan Nanda berantakan. Ia kemudian membawa tubuhnya bergeser ke kanan, mendekati kasur. Sikunya tak lagi kuat terangkat, sebab rasa ngilu yang tak terdefinisi. Ia pasrahkan semuanya pada jari-jari yang bergetar.
Lelaki itu berusaha meraih ujung sprei yang menjuntai ke bawah. Ia menarik sebisa mungkin sampai benda yang ia butuhkan segera jatuh. Sebuah ponsel.
"Aw!"
Nahas, pendaratan itu tidaklah sempurna. Kini pelipis Nanda berubah merah dan berdenyut hebat. Ia kembali mengumpat dan segera beristigfar untuk menebus dosa.
Namun, Tuhan tidak sekejam ibu tiri dalam sebuah kisah. Meski terkesan menyakiti, Ia tetap membantu hamba-Nya. Setelah sukses menimpa kepala Nanda, ponsel itu tergeletak di dekat sang empunya.
Nanda membuka kunci lewat sidik jari. Ia sedikit melongok sampai menemukan yang dicari-cari. Nomor telepon Caroline.
Napasnya tinggal satu-satu. Matanya memerah. Panas dan lengket. Nanda merapal doa dalam hati, berharap gadis itu masih terjaga dan dapat menolongnya.
"Halo, Nda?"
"O-O-lin …."
"Nda?"
Sang penelepon tak bersuara lagi.
"Gue ke sana!"
Setelah mendapat panggilan itu, Caroline bergegas ke indekos Nanda, tidak peduli dengan jam malam yang ditetapkan. Hal yang ia pikirkan hanya dua, apa yang terjadi pada lelaki itu? Apakah kencan hari ini menjadi salah satu penyebabnya?
"Ayo, Pak, cepat!" seru Caroline saat satpam yang pernah ia temui sebelumnya susah diajak bernegosiasi.
"Tapi Neng--"
"Pacar saya sekarat di dalem. Bapak mau nanggung, hah!"
Caroline memeluk tubuhnya erat. Baju tidur Hello Kitty-nya tak dibalut jaket sama sekali. Bahkan, sandalnya pun beda sebelah entah bagaimana bisa dan milik siapa pula. Satu merah maroon, satunya lagi hijau pekat.
"Ayo, dong, Pak! Cepetan!"
Gadis itu terus menggoyang gerbang yang terkunci. Hari sudah memasuki sepertiga malam. Tentu bukan waktu yang wajar untuk seorang gadis datang berkunjung. Satpam bertubuh tambun itu sulit mempercayainya.
"Bapak periksa sendiri saja, ya? Nomor kamarnya berapa?"
Caroline mengacak rambutnya gusar. Tentu otak ebinya tak memperhatikan nomor kamar sang pujaan. Info dari Fazran juga sudah ia buang.
"Saya lupa, Pak, tapi saya hafal rutenya. Bapak bisa sita KTP, ATM, KTM, SIM, atau apa pun itu. Izinkan saya masuk!" pintanya memelas. Ia tak lagi dapat membendung tangisnya.
"Buka aja, Bos. Ganggu orang nonton bola!" seru satpam lain dari dalam posko.
"Baik, mari!"
Caroline tersenyum girang. Ia lekas lari tunggang langgang, meninggalkan satpam yang tidak memiliki kapasitas untuk mengikutinya.
Langkah gadis itu hampir tersandung beberapa kali, berkat jalanan yang tak diindahkan dan bentuk alas kaki yang berbeda pula. Fokus Caroline hanya menatap ke depan, pada sisi-sisi yang ia tandai saat kemari beberapa waktu lalu.
Bapak yang ikut dengannya refleks bertumpu lutut. Napasnya ngos-ngosan. Ia menggeleng, lalu kembali mengikuti gadis di hadapannya.
"Ini, Pak!" tunjuk Caroline saat tepat di depan kamar Nanda.
Sang satpam lekas mengetuk pintu.
"Duh, Pak. Dobrak aja!" Caroline dibuat geram saat sang satpam hanya berbuat demikian
"Tapi Neng--"
" 'Tapi' lagi."
Caroline muak. Ia mengambil ancang-ancang dan mendorong sebisanya. Sakit. Lengan kurusnya meronta-ronta saat beradu dengan pintu.
"Hadeh."
Tak tega, satpam tersebut lekas membantu. Perlu lebih dari tiga kali hingga mereka dapat membuka kamar Nanda. Mereka pun menutup mulut saat melihatnya tak sadarkan diri di lantai.
"Nda!"
Terima kasih dukungannya ya, teman-teman 😙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro