28 • cemburu ya
Caroline menopang dagu dan tersenyum manis. Buku berisi sekelumit teori sosial tak menarik sama sekali. Ia lebih memilih menatap sang pujaan hati yang untuk kali pertama mengenakan kacamata bulat dan bertali.
Perlahan, gadis itu meraba-raba isi tas, mencari ponsel yang tertimpa compact powder dan juga liptint. Dengan cepat ia mengubah mode diam dan mengarahkan kamera pada lelaki di depannya. Satu, dua, tiga, lebih dari lima jepretan ia ambil dengan sudut pandang yang berbeda. Yes, serunya dalam hati.
Nanda mendongak, merasa ada yang tidak beres. Caroline dengan jurus seribu bayangan segera menyembunyikan ponsel di sela pahanya. Tangan kirinya mengecoh situasi dengan menunjuk barisan kata yang tak ia baca sebelumnya. Gadis itu tampak sibuk membaca dari ujung ke ujung, berusaha senatural mungkin.
Seketika Nanda membenahi letak kacamatanya yang sengaja diturunkan. Persis seperti kakek-kakek saat membaca koran sambil meminum kopi. Tentu Nanda membawa minuman tak konsisten--susu merek beruang--favoritnya. Sekali ia memandang Caroline yang masih menunjuk paragraf yang sama, lalu memalingkan pandangan.
"Permisi," ucap seorang gadis tiba-tiba, ditemani kawannya yang bersembunyi di balik punggung.
"Iya?" Nanda-lah yang menjawab.
Caroline menatap pengganggu momen mereka dari bawah sampai atas. Gadis pertama mengenakan sneakers kualitas buy one get one free, rok pendek yang nanggung, kaus kuning bergambar smile di atas dada yang super-cringe dan tak sesuai dengan raut wajahnya mendekati bengis. Lain hal dengan kawannya yang tak seberapa parah. Hanya gaya rambut yang dicepol terlalu tinggi dan celana tahun 90-an yang tak lagi diproduksi. Caroline pun memutar bola matanya malas dan bergidik. Dari mana zaman mana mereka datang?
"Kakak, Kak Nanda, kan? Aktivis KOI yang ngisi seminar di acara YLI bulan kemarin?"
Lubang hidung Caroline merekah. Alisnya membentuk jembatan seiring dengan dahinya yang berkerut. Ia lekas menatap manusia bersuara manja nan menggoda itu dengan tajam. Setelahnya, ia pun mengepalkan tangan.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?"
Caroline lekas menoleh tak percaya. Jawaban macam apa itu? Mengapa Nanda mau menanggapi dua gadis kecentilan ini? Ia makin bersungut-sungut.
"Boleh minta fotonya, Kak? Saya Eka, dan ini teman saya, Nana. Kami followers Kakak sejak SMA."
Nanda mengangguk. "Bo--"
Caroline buru-buru mendekati wajah Nanda dan mencium pipi lelaki itu samar. Sontak semua mata terbelalak. Milik Nanda dan juga dua gadis yang melihatnya. Bahkan, mulut mereka ikut terbuka lebar. Caroline dengan santai menyeringai, lalu tersenyum hingga mata sipitnya hilang dari peradaban. Sebuah kecupan itu berhasil membekukan waktu. Ajaib.
"Masih mau foto bareng?" tanyanya separuh meremehkan.
Kedua gadis itu lekas menggeleng dan lari terbirit-birit. Caroline tersenyum puas dan duduk di tempatnya kembali. Misi berhasil, batinnya.
Nanda menyentuh pipi kirinya perlahan. Ruam-ruam itu baru saja bertemu dengan bibir si ratu gombal. Ia masih terkejut dengan aksi yang membuat dua fans-nya pergi tanpa pamit.
Sadar, ia beralih menatap Caroline. Gadis itu sudah bersedekap dengan raut merah padam. Ponsel yang terapit di kedua pahanya telah tergeletak manis di samping buku.
"Kenapa, Lin?"
"Apanya yang kenapa? Enggak boleh?" Caroline memanyunkan bibirnya.
Nanda mendengkus. Ia tak mungkin berkata tidak karena itu akan menjadi bumerang baginya kelak. Ia lantas mengusap wajah, lalu memajukan kursi agar lebih dekat.
"Nggak gitu, tapi, kan--"
"Ya, berarti boleh, dong?"
"Mereka, kan, cuma--"
"Olin aja belum foto bareng sama Nanda," selanya cepat.
Skak. Alasan yang bagus. Nanda cukup tertohok dan semburat rasa bersalah tertoreh di relungnya. Ia pun menghela napas panjang.
Nanda berusaha menarik tangan Caroline. Ia tak menyerah sampai berhasil menggenggam dan membawa tangan itu lebih dekat dengannya. Caroline mengalah. Meski begitu, pandangannya masih setia berpaling, mencari perhatian.
"Lo cemburu, ya?"
Ya, iyalah, batin Caroline. Dagunya separuh terangkat dan matanya sesekali melirik.
"Sori, gue masih adaptasi," Nanda menjeda kalimatnya, "atas adanya orang baru kayak lo di hidup gue."
Orang baru?
Caroline makin terbakar. Apakah hanya sebatas itu gelarnya di hadapan Nanda? Sia-siakah kebanggaan yang selama ini ia gembar-gemborkan?
Gadis itu menelan ludah. Tangannya yang bergetar mulai terasa di genggaman Nanda. Susah payah ia berusaha menarik, tetapi tak berhasil. Kenapa Nanda kuat sekali hari ini?
"Jangan salah paham dulu. Lo emang orang baru, tapi …."
Nanda lagi-lagi mengulur kalimatnya. Caroline langsung menoleh karena lelah menunggu. Mata keduanya pun bertemu sendu.
"Dengan status yang berbeda," sambungnya.
Refleks segala macam hal di perut Caroline seolah-olah terbang dan menari-nari, menggelitik dan memberikan sensasi mulas yang berbeda. Ia tersipu. Bodoh. Aksi ngambek-nya runtuh seketika.
"Gitu, dong," seru Nanda saat Caroline tak lagi kuasa menahan senyumnya.
"Resek!"
Nanda terkekeh-kekeh. Ia kemudian melepas tangan Caroline yang mulai lembap.
"Ma-makanya," ucap Caroline terbata. "Jangan imut-imut jadi orang. Bikin panas aja."
Nanda menghela napas. "Lo harusnya juga sadar."
"Sadar apa?"
"Lo juga imut."
Detik itu juga Caroline ingin pingsan--andai bisa request tepar kapan saja pasti sudah ia lakukan. Entah apa yang harus ia perbuat kalau setiap hari Nanda seperti ini. Bisa gila. Mereka pun memutuskan keluar perpustakaan dan pergi ke bioskop setelah insiden kecil tadi. Katanya, hitung-hitung permintaan maaf.
Saat Caroline antre di kasir, Nanda menunggu sambil mengecek ponselnya. Ternyata, Dian telah menelepon berulang kali. Ia pun buru-buru menghubungi balik, takut ada apa-apa. Namun, nyatanya, yang kakaknya mau hanya update-an terbaru dari hubungannya dengan Caroline.
"Kamu nggak bakal cerita, kan, kalau Mas nggak nanya duluan?"
"Bukan gitu--"
"Udah, udah. Mas paham, kok. Masih doyan main rahasia-rahasiaan, kan? Tenang, kali ini kita nggak perang."
"Mas--"
"Salam aja, deh, buat adik ipar. Kalian mau nonton, kan, sekarang?"
Alih-alih menjawab, Nanda malah menatap Caroline yang dengan girang membawa dua tiket yang baru dipesan. Tak lupa dengan popcorn rasa manis dan dua botol cola.
"Nda?"
"I-iya, Mas." Lamunannya terusik.
"Jaga baik-baik, ya. Anaknya polos. Gemesin lagi. Mas suka."
"Hah?"
"Suka sebagai kakak ipar. Jangan suuzon dulu, ah."
Nanda mengelus dada dan mengembuskan napas lega. "Ya udah, Nanda tutup dulu."
Tanpa menunggu jawaban, ia lekas mematikan ponsel dan menyimpannya dalam saku. Kemudian ia bergegas menghampiri Caroline dan mengambil alih dua gelas cola di tangan kirinya.
"Makasih," ucapnya pelan.
Caroline dengan antusias mengangguk dan memamerkan tiketnya. "Dapet! Yeay!"
"Nonton apa?"
"Five Feet Apart. Keren, deh, pokoknya. Olin udah nunggu dari tahun kemarin. Ih, nggak sabar."
Sejoli itu berjalan menuju sofa kosong yang disediakan untuk menunggu pemutaran film. Sedikit-sedikit Caroline mengambil popcorn di hadapannya tanpa sadar. Matanya masih merem melek membayangkan trailer yang sudah ia tonton lebih dari sepuluh kali. Akhirnya hari ini tiba juga.
"Emang tentang apa?" tanya Nanda lagi. Ia cenderung aktif hari ini.
"Penderita fibrosis kistik." Caroline menyamankan duduknya sambil menatap pintu teater. "Udah nggak sabar liat tokoh Will disiksa. Pasti asik banget liat dia pake selang terus batuk-batuk gitu. Oh my God, mana dia cakep lagi."
Nanda tertegun. Siksa? Selang? Batuk? Apa yang tengah gadis ini katakan? Matanya berkedip konstan saat mendengar rangkaian kalimat itu terlontar.
"Eh?"
Caroline sadar. Ia menutup mulutnya yang dipenuhi jagung. Dengan cepat ia memandang Nanda yang terpaku di tempatnya, masih dengan tatapan hangat yang sama.
"Maaf, Nda, Olin, Olin, duh …." Gadis itu bingung bagaimana menyampaikannya.
"Kenapa? Kok minta maaf?"
Caroline menggigit bibir bawahnya kuat. Ia keceplosan. Fatal. Ia pasti melukai perasaan Nanda.
"Maaf, Olin nggak bermaksud …."
"Bermaksud gimana?"
Caroline mengambil napas dalam-dalam, lalu menjelaskan, "Caroline cuma suka nonton ginian di layar, kok. Bukan berarti kalau--"
"Kalau gue yang pake selang oksigennya lo juga suka?" potong Nanda.
Gadis yang merasa bersalah itu mengangguk, sedangkan sang kekasih justru menggeleng sambil mengacak rambutnya. Nanda juga mengusap wajah Caroline dari samping kening hingga bawah dagu.
"Nggak apa-apa."
"Bener?"
Nanda mengangguk. "Kan kemarin udah bilang, gue nggak tau apa pun tentang lo, tapi gue pengen mengenal lo lebih dekat."
Meski belum lega karena ia tetap salah, perasaan Caroline sedikit lebih baik. "Makasih, ya, Nda."
Kemarin cuma tamat sampai 30 bab. Setelah ini dikembangkan sampai 80an 🔥
Masih dengan Carolinda
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro