Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 • kok bisa

Nanda masih dengan posisi favoritnya. Tengkurap. Tak lupa dengan guling kecil di bawah perut dan bantal Hello Kitty di atas pinggang. Kedua kakinya menari--naik turun secara bergantian--menikmati alunan melodi dari gitar sahabatnya.

Sudah lama ia tak menikmati sensasi ini. Bertatap muka melalui video, ditenangkan dengan suara bak radio rusak, dan tertawa atas jokes bapak-bapak yang super-receh. Hanya Feri yang bisa melakukannya.

"Gantian, Nda. Pecah, nih!" ucap sahabat karibnya itu sambil menunjukkan jari-jarinya.

"Ogah! Males bangun. Udah PW."

Feri mendengkus. Lagi-lagi Nanda seenaknya sendiri. Ia lekas menyimpan gitarnya dan bersedekap. Tak lupa memanyunkan bibir dan bersungut-sungut.

Nanda bergidik geli. Ia lantas mengetuk layar ponselnya. "Sumpah, nggak usah ngambek. Kagak ada cocok-cocoknya."

"Ck, resek banget, temennya siapa, sih?"

"Nah iya, siapa, ya?"

"Sontoloyo!"

Nanda kembali tertawa. Melihat Feri mengumpat mesra seperti ini merupakan salah satu obat mujarabnya. Ia tak pernah berpikir dua kali untuk menelepon lelaki itu saat gundah. Sepatah kalimat saja akan menggugurkan aura kelamnya.

"Btw, kamu nggak mungkin telpon cuma buat dengerin aku main gitar, kan, Nda?"

Nanda mengangkat bahunya. "Bisa jadi."

"Njir, jangan gitu, lah. Aku udah punya Mayang, Nda. Istigfar!"

"Aku juga udah punya Olin, kok, Fer."

Feri sontak melongo. Begitu pula dengan mata bundarnya yang makin membulat. Ia bahkan tak berkedip setelahnya.

Sadar, ia segera menggeleng dan memukul pipinya sendiri. Lelaki itu lekas maju ke kamera hingga memenuhi layar ponsel. Ia bahkan sampai menelan ludah saking terkejutnya.

"Bentar, bentar, ini aku yang ketinggalan atau--"

"Sori, baru sempet cerita."

Feri bertepuk tangan sambil membusungkan dada. Ia refleks menyeringai dan dagunya sedikit terangkat. Lelaki itu tersenyum bangga sambil mengangguk-angguk. Akhirnya, akhirnya, dan akhirnya. Hanya itu yang ia batinkan.

"Gila, gila, udah nembak? Kapan? Gimana? Kok bisa? Terus--"

"Aish," potong Nanda cepat. Ia sudah menduga kompor meleduk satu ini akan meletup-letup antusias. "Aku nggak 'nembak' apa pun ke dia."

"Lah!" Feri mengernyit heran. "Terus?"

"Menjalin hubungan itu dimulai dengan saling mengenal, lalu mengerti, dan berakhir memahami. Bukan dengan 'gue cinta sama lo' dan 'mau enggak jadi pacar gue?' "

Lagi-lagi Feri bertepuk tangan. Bahkan, ia sampai spontan berdiri. Kini layar ponselnya dipenuhi gelambir polisi tidur pada perut yang tertangkap kamera.

"Super sekali Bapak Nanda kita ini, Pemirsa," ucapnya dengan nada bak berpidato.

Nanda memutar bola matanya malas. Masih Feri dan sudah seperti ini. Ia tak membayangkan jika Dian mengetahuinya. Terlebih kakaknya itu sungguh gencar menjodohkan mereka berdua. Atau bisa jadi, Caroline sudah bercerita terlebih dulu, mengingat Dian adalah salah satu tim sukses gadis itu. Entahlah, Nanda hanya bisa menebak-nebak.

"Jadi, sekarang ceritanya kamu sama dia nggak butuh status, asal tau hati milik siapa, gitu?"

Nanda mengangguk pelan.

"Beuh, beuh, beuh," lanjut Feri. "Ngeri-ngeri sadap!"

Nanda pun tersenyum, menampakkan lesung pipi yang akhir-akhir ini jarang keluar dari persembunyiannya. Hanya dengan memikirkan saja ia malu sendiri. Ia lekas mengalihkan pandangan.

"Kamu yakin, Nda, sama dia?"

"Em." Nanda berpikir sebentar. "Emang belum keliatan yakin, ya?"

"Ya, nggak gitu, sih."

"Terus?" Nanda makin penasaran. Pasalnya, Caroline pun pernah mempertanyakan hal yang sama, seakan-akan raut wajahnya itu jauh dari kata 'sungguh-sungguh'.

"Kalau dulu, kan, kamu yang ngejar, sedangkan sekarang dikejar. Saat dulu gencar memberi, sekarang sibuk menerima. Perlu dipertanyakan, sih, kamu beneran jatuh cinta atau sekedar nyaman diperlakukan demikian."

Lubang nan dalam di area pipi itu kembali karam. Dahi Nanda berkerut dan matanya pun liar. Jari-jarinya menekan paha selayaknya bermain piano.

"Tapi, Fer, bukannya nyaman juga salah satu bagian dari cinta itu sendiri?" tanya Nanda sangat serius.

"Aku bilang 'sekedar', Nda."

Berarti kalau nggak 'sekadar', aman, dong?"

"Mungkin."

Nanda mendengkus. Ia harus berpikir sendiri. Meski begitu, omongan Feri ada benarnya.

Berbeda dengan Caroline. Gadis itu memang juga berbunga-bunga. Akan tetapi, benih yang bersemi di hati dan otaknya seperti kelebihan dosis hingga Bena tak dapat menangkalnya lagi.

Saat di kampus, tepatnya pas istirahat siang, Caroline masih saja menceritakan segala hal tentang Nanda. Seharusnya Bena sudah terbiasa, tetapi kali ini lain, sebab sahabatnya itu sudah mengoceh sedari kemarin. Kedua telinganya lelah, seolah-olah meminta untuk dijauhkan.

"Terus, ya, dia nyium pipi gue …."

Caroline merem-melek sambil memeluk tubuhnya sendiri. Senyumnya merekah sempurna, seperti siap dipanen kapan saja. Raut wajahnya sungguh berbinar cerah, lebih dari apa pun. Bukan karena blush baru yang ia beli di e-commerce langganannya, melainkan memori manis sepulang dari kedai es krim. Sudah kedua kali Bena mendengarnya. Dari pesan WhatsApp dan sekarang ini.

"Terus, dia nanya ke lo, mau enggak kalau jadi pacar dia, gitu?" ucap Bena tak mau berlama-lama.

"Dia nggak bilang gitu, sih."

"Gubrak!"

"Tapi, tapi, dia, kan, bilang mau mengenal gue lebih jauh. Itu berarti--"

"Dia pengen serius ke lo?"

Caroline mengangguk ragu.

"Ini antara lo sama dia sepemikiran, atau lo-nya aja yang terlalu PD," lanjutnya.

"Ya-ya, ta-tapi, kan, ini udah kemajuan. Iya, kan?"

Bena mengangkat bahunya. Ia tak mau mengiakan, juga tak mau berkata tidak. 'Iya' hanya akan melambungkan harapan Caroline, sedangkan 'tidak' hanya akan menjatuhkannya.

"Selamat aja, deh," ucap Bena akhirnya.

Caroline kembali berbinar-binar, lalu beranjak dari duduknya. Ia buru-buru?menghampiri sahabatnya itu dan memeluk erat dari belakang. Bena lantas mengusap punggung tangan Caroline.

"Jaga baik-baik tokoh utama lo. Jangan dimatiin. Kalau kambuh, jangan dinikmatin, tapi kasih pertolongan."

"Iya, iya, bawel."

Caroline mengecup pipi Bena, lalu mengeratkan dekapannya. Tak ada pelukan yang lebih hangat dari dukungan orang terdekat. Ia pun mengucap syukur dalam hati.

"Eh, Lin, Lin, Lin." Bena memukul lengan Caroline berulang kali.

"Apa?"

Refleks, gadis itu mendongak dan terbelalak. Ia menelan ludah gugup, lalu melepas pelukannya. Caroline segera berdiri tegap dan merapikan bajunya. Tak lupa ia menata poni dan menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari.

Nanda dengan dua teman sekelasnya berjalan mendekati meja mereka. Kedua mata sejoli itu bertemu tanpa direncanakan. Caroline pun melempar senyum yang disambut baik oleh sang pacar.

Nanda mempercepat langkah dan berhenti tepat di samping meja dua gadis tersebut. Ia melambaikan tangan pada kedua kawannya yang melaju lebih dulu. Dengan sopan, ia membungkukkan badan--memberi salam--pada Bena.

"Ke perpus, yuk. Nyari jurnal buat referensi IBD. Belum ngerjain, kan?" tanya Nanda fasih.

Caroline menggeleng sungguh pelan. Jantungnya berdegup tak karuan dan lidahnya ikut kelu. Ia tak mampu berkata-kata. Begitu pula dengan Bena. Mereka hanya bertukar pandang, lalu memasang senyum bodoh.

"Ayo, biar cepet."

Ragu, Caroline mengusapkan tangannya pada rok sebelum menyambut uluran tangan Nanda. Namun, lelaki itu lekas meralatnya.

"Ck, bukan tangan lo, tapi itu!" Nanda melirik tas Caroline. "Sini, gue bawain."

Caroline tersenyum malu, lalu memberikan sling bag-nya. "Ini."

"Yuk!" Nanda mengalungkan tas tersebut ke samping kiri. "Olin gue pinjem dulu, ya," pamitnya.

Tanpa berbasa-basi lagi, lelaki itu melenggang terlebih dulu, meninggalkan tangan kosong Caroline yang ingin digenggam dan diayun. Sang gadis hanya tersenyum kecut dan melambaikan tangan pada sahabatnya. Ia segera berlari-lari kecil mengikuti langkah jenjang Nanda.

Sesekali Nanda melirik, memastikan bahwa gadis mungilnya tak hilang dari jangkauan, sedangkan Caroline masih setia menunduk, mengabsen jalanan kampus yang dipenuhi daun jatuh. Iseng, Nanda pun berhenti mendadak.

"Aduh!" seru Caroline saat hidungnya menabrak punggung Nanda.

Nanda berbalik dan menatap Caroline. "Makanya, kalau jalan jangan nunduk mulu."

"Sori." Caroline berujar sambil memegang hidungnya.

Nanda terkekeh-kekeh, kemudian mendekat. Ia merunduk agar bisa setara dengan tinggi Caroline. Ia lantas turut mengusap hidung gadis itu di area yang sama.

"Gitu aja sakit? Fuh." Nanda meniup pelan. "Udah, enggak pa-pa. Ayo!"

Nanda meraih tangan Caroline dan menariknya. Ia terus menatap lurus ke depan sampai tidak sadar bahwa raga gadis di sampingnya sudah mengapung di rawa-rawa. Kalau mau yang lebih hiperbola lagi, hati Caroline mungkin sudah menyuguhkan pertunjukan reog.

Lin, masih hidup, kan? batinnya memastikan diri.

Salam Sayang,

Carolinda

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro