26 • kalau lo gimana
Caroline tidak bisa tenang. Saat berbaring, ia miring ke kiri, ke kanan, lalu kembali ke kiri lagi, begitu seterusnya selama satu jam terakhir. Matanya setengah menyipit dan senyumnya pun memenuhi pipi. Guling panjang yang ia dekap sampai lusuh dan tak berbentuk.
Salahkan Nanda yang telah membuatnya seperti ini. Setiap kata dalam untaian kalimat mesra yang terucap dari lelaki itu menyihir relungnya, membuat Caroline makin jatuh dalam jurang cinta.
Sungguh, ia tak bisa melupakan bagaimana teduh mata Nanda saat mengucapkan kalimat-kalimat manis. Rasanya seperti meluapkan kesungguhan yang tak pernah ia jumpai. Setiap kedipan dari lelaki itu layaknya berbicara bahwa ia tak sedang memainkan hati Caroline.
"Bucin itu dosa nggak, sih? Kalau iya, gue tebus, deh. Maaf, ya, Tuhan."
Caroline kembali bertanya-tanya. Ia lantas memejamkan mata dan mulai merapal mantra. Seperti biasa, mulutnya lekas bermonolog. Ia menengadahkan tangan dan mendongak, ke arah langit-langit kamar.
"Ya Tuhan, sebagai penyandang psikopat yang menyukai penyiksaan laki-laki dalam bacaan dan tontonan, Olin mohon jangan ngasih karma yang aneh-aneh. Amin."
Keesokan harinya, ia pergi menjemput Nanda ke rumah sakit. Lelaki itu sudah diperbolehkan pulang dan tampak tengah mengemas bajunya ke dalam tas yang Caroline bawa dari indekos.
Meski lebam di dadanya masih terlihat, setidaknya Nanda sudah bisa menjalani aktivitas ringan seperti biasa. Lagi pula, terlalu lama menghabiskan waktu di ruang rawat hanya akan menyulitkan dirinya sendiri. Sudah uang saku tersita, tugas pun turut mendera.
"Nda?" panggil Caroline.
"Hem?"
Caroline tak tega untuk meneruskan kalimatnya. "A-anu."
"Apa?"
Nanda masih sibuk melipat bajunya sendiri, sedangkan Caroline tengah duduk manis melihatnya. Tangan gadis itu tak diizinkan untuk menyentuh baju-baju Nanda sedikit pun. Lelaki itu takut kalau-kalau kadar kehaluan Caroline makin brutal.
"Itu ...."
"Buruan, deh. Keburu Pak Sugeng nambah bini," gurau Nanda.
"M-maaf," ucap Caroline pelan. "Gue laporin kasus lo ke kemahasiswaan."
Sontak Nanda menatap Caroline sinis. "Kok lo ambil tindakan sendiri, sih?"
"Ha-habisnya--"
"Terus pacar lo gimana?"
"Mantan," ralat Caroline. "Dikeluarin."
Nanda menepuk jidatnya. Ia langsung duduk dan menunduk. Kini ia menyesal karena telah menceritakan kronologi kejadian yang ia alami sebelumnya pada gadis itu. Sungguh, ia tak ingin memperpanjang masalah, apalagi ini urusan pribadi.
"Harusnya lo ijin dulu ke gue."
"Lo nggak bakal bilang 'iya' sebagai jawaban."
Caroline mengangkat wajahnya. Ia menelan ludah sambil mengabsen garis wajah Nanda yang kurus, tetapi tetap menggemaskan--baginya. Detik berikutnya ia berdeham dan mengalihkan pandangan saat Nanda bangkit. Gadis itu tiba-tiba mengusap tangannya pada rok yang ia kenakan. Tak lupa merapikan rambut ke belakang telinga. Rasa gugup makin datang saat Nanda berjalan mendekat.
"Ayo pulang," ucap lelaki itu.
Eh? Gitu aja? batin Caroline.
"Oke. Mau mampir ke mana dulu gitu, nggak?"
"Boleh?"
"Ya, kenapa enggak."
"Oke."
Mereka pun memutuskan untuk pergi ke kedai es krim. Satu contong rasa cheese blueberry akhirnya berhasil digenggam. Dengan gembira Caroline berjalan sambil melompat-lompat kecil. Matanya liar menatap Nanda dan ramainya jalan raya bergantian. Senyumnya tak luntur sejak lelaki itu mengajaknya mampir ke sini, sebelum memutuskan pulang ke indekos.
"Lo kesambet apa beliin ginian, Nda?" tanya Caroline penasaran. Ia menjilat esnya penuh sayang. Ia tak mau pemberian berharga itu cepat lenyap dari peradaban dunia.
"Emang harus kesambet dulu buat beliin lo es krim?"
"Ya enggak, sih."
"Lagian, kan, gue udah janji kemarin."
Caroline terheran-heran dan sontak menoleh. "Janji apaan?"
"Pas selesai matkul. Sebelum dibonyokin mantan lo."
Caroline tersipu. Ia tak menyangka Nanda mengingatnya, bahkan menepati ucapannya setelah berhasil enyah dari rumah sakit. Percaya diri atau bukan, ia serasa dilambungkan sekarang. Kalau saja Nanda tak berada di sampingnya, Caroline pasti sudah berlayar di langit bersama awan pembawa harapan.
Gadis itu kembali mengabsen garis manis wajah Nanda yang tak bermasker. "Makasih, ya. Jadi tambah sayang, deh, sama Nanda."
Nanda menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyeringai dan menjauhkan tatapannya dari gadis itu. "Ck, lo bucin banget, ya? Es krim doang, lho, ini."
"Hmm, kalau bucin itu punya wajah, pasti mirip gue. Dan kalau dia punya mata, pasti tatapannya sama kayak cara gue liat lo sekarang," jelas Caroline dengan tak mengalihkan fokusnya ke mana pun.
Mendengar hal itu, Nanda pun berhenti. Ia sedikit terseret dalam diksi yang membutakan kewarasannya. Kalau dipikir-pikir, itu kalimat dan suara termanis yang pernah menawarkan diri untuk dimiliki.
Ia pun berjalan ke pinggir, tepatnya di kursi trotoar. Bingung, Caroline turut berhenti bersama pergulatannya dengan es krim. Ia mengikuti Nanda dan duduk di sampingnya.
"Sebelum kadar bucin lo kadaluwarsa, gue mau ngomong dan ini serius."
Caroline tertegun. Tiba-tiba ia gugup sebelum mengetahui penyebabnya. Ia lekas menghabiskan es krimnya dan mengelap tangan menggunakan tisu.
"Jangan serius-serius, please. Otak Olin cuma segede ebi. Beneran, deh."
Nanda tertawa sambil menutup wajahnya. Baru saja raut serius ia suguhkan, Caroline sudah mengacak-acak hal itu. Ia lekas menoleh dan menatap Caroline lekat-lekat.
"Walaupun se-ebi, tetep punya, kan?"
Caroline mengangguk. "Iya, deh. Ya udah apaan?"
Nanda mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Jantungnya berdegup tak normal, serasa ingin melompat dari tempatnya. Ia menggeleng pelan sebelum melanjutkan pembahasan.
"Lin, lo tau, kan, kalau gue sakit?"
"Hah?" Caroline mengerutkan kening. Kalimat Nanda terlalu sulit ditebak.
"Udah, jawab aja."
Caroline mengangguk. "Iya, tau."
"Lo tau, kalau gue bisa memburuk sewaktu-waktu."
"Hus, kok, lo ngomong gitu, sih?"
Nanda menatapnya sinis, seakan-akan ingin Caroline segera menjawab dan tak banyak bicara.
"Iya, deh. Iya, gue tau."
"Gue juga bisa ninggalin lo kapan aja."
Caroline terdiam. Ia sungguh tak tahu mau dibawa ke mana percakapan ini. Mendadak, kupu-kupu di perutnya beterbangan.
"Gue nggak ngerti apa yang bakal terjadi di depan nanti dan gue nggak peduli, yang jelas sekarang gue pengen sama lo. Di samping lo. Udah itu aja, Nda."
Nanda mengangguk. Matanya kini menghindari tatapan gadis di sampingnya. Ia kemudian melanjutkan, "Tapi gue anaknya nggak peka, keras kepala, dan suka semaunya."
"Iya, gue ngerti," jawab Caroline dengan nada yang panjang.
"Lo tau itu dan masih mau sama gue?"
"Iya." Caroline menjawabnya tanpa ragu.
Perut Nanda mendadak linu dan bergejolak. Rasa tak nyaman ini kembali hadir setelah lama tak menyerang. Sedikit sentuhan itu cukup membuat Nanda merasa istimewa.
"Kalau lo gimana?" Caroline tak mau kalah dan bertanya balik. "Mau, nggak, nerima gue?"
Nanda mencuri pandang pada gadis itu dan mata mereka pun bertemu. "Gue belum ngerti apa pun tentang lo, Lin."
Raut kecewa perlahan hadir di wajah manis Caroline.
"Tapi, gue bisa meluangkan waktu buat lo dan nyari tau tentang itu," lanjut Nanda.
Caroline menetapkan duduknya dan beralih menghadap Nanda. "Maksudnya?"
Nanda kembali menghirup oksigen guna mengisi keberanian di hati. Ia memejamkan mata dan mengecup pipi Caroline dengan kecepatan kilat. Ia lekas menghadap ke depan dan berdiri dari duduknya. Jantungnya bermaraton, tetapi rasa malu-lah pemenangnya. Pipi lelaki itu memerah.
Refleks Caroline menyentuh pipi yang baru saja mendapat hadiah. Otaknya masih separuh bekerja dalam mencerna ini semua. Semburat merah kembali muncul dan mengembang di wajah. Ia lekas menahan tangan Nanda yang hendak berjalan lebih dulu.
"Bentar, nggak jelas gue dengernya. Gimana gimana? Ulangi, dong."
Nanda melepaskan genggaman Caroline dan melanjutkan langkah. "Ogah!"
"Kok buru-buru banget, sih."
"Sanaan, gih." Nanda mendorong Caroline menjauh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap keren.
"Nda ...."
"Jangan deket-deket!"
Keduanya pun bertukar pandang dan menyembunyikan senyuman masing-masing. Jarak yang tercipta di antara kaki mereka tidaklah sama dengan hati yang kini bersatu. Semilir angin yang perlahan menyapa pun menjadi saksi pertukaran rasa tersebut.
Hayoo, siapa yang bucin?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro