Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 • masih trauma

Mungkin, seperti inilah wujudku di masa lalu. Teguh, bodoh, dan tulus. Binar mata dan senyum itu … sungguh, siapa pun tak akan berani menyakitinya. Entah aku yang beruntung atau dia yang terlewat sial. Berurusan dengan kaum sepuluh persen sepertiku tak akan bertahan lama.

Sungguh, tak ada yang memuakkan kala seseorang menghantuimu sepanjang hari. Namun, suara manja yang menghampiri gendang ini mengusir segala ego yang membendung. Sekuat apa pun aku mencoba pergi, dia selalu punya cara untuk menarik, menyusul, dan berdiri di sampingku kesekian kali.

Aku bukan ketagihan, kan? Hanya karena menghawatirkan sosok itu mengundurkan diri. Serumit apa pun masa yang ia tinggalkan, bukanlah urusanku. Kini dan nantilah yang harus kutanyakan. Apakah ia masih tetap sama?

Apakah ini ego? Aku kembali ego dalam dimensi lain? Argh ….

"Nda?"

Pemilik nama itu belum tersentak dari lamunannya hingga Caroline tetap bergeming. Sedikit saja gadis itu bergeser, jantungnya bisa jatuh begitu saja. Durasi saling tatap yang cukup lama ini hanya diantar oleh satu kalimat, lalu hening pun menyusul. Ia sungguh berharap Nanda lekas melepasnya, sebelum ia lupa cara bernapas dengan benar.

"Nda?" panggil Caroline sekali lagi.

Lelaki itu lantas tersadar diri dan melonggarkan pelukannya. Ia mengusap wajah dan mengalihkan pandangan. Caroline pun berdeham beberapa kali untuk mengusir rasa canggung.

"Ehm, haus."

Dengan tangan bergetar, Caroline mengambil gelas yang ada di atas nakas. Ia segera beranjak untuk mengambil air di dispenser. Namun, Nanda menahannya.

Caroline pun terpaku. Ia tak berani sedikit pun menatap Nanda. Hatinya kembali menjerit dan bertanya-tanya, mengapa peran mereka hari ini bak tertukar, tak seperti biasanya.

"Duduk dulu."

"Ada apa?"

"Gue serius."

Caroline menelan ludah. "Maksud lo?"

"Lo belum bosan, kan?"

"Tergantung."

"Gimana?"

"Iya, tergantung. Gue bakal tetep ngelakuin itu," ucap Caroline seraya mengangkat tangannya yang masih digenggam erat oleh Nanda, "asal lo nggak lupa buat gue tangkap."

Nanda berkedip pelan, mengamati kejujuran gadis yang suaranya tak bergetar, begitu pula tatapan dan senyumannya. Ia pun mengembuskan napas panjang dan tersenyum. Ia juga mengangguk, kemudian melepaskan tangan Caroline.

"Makasih, ya."

"Iya, sama-sama. Gue keluar dulu."

Setelah itu, Caroline pamit. Ia masih punya segudang aktivitas yang mencekik. Berurusan dengan Nanda bukan satu-satunya yang harus ia lakukan.

Keesokan hari, saat menunggu jam perkuliahan masuk, ia menemui Bena di kantin FISIP. Tepat di kedai favoritnya, ia mengaduk nasi campur yang belum dimakan sesuap pun. Raut mukanya masih merah padam setelah berurusan dengan bagian Kemahasiswaan.

"Gimana, Lin?" Bena mengambil tempat duduk di depan sahabatnya seraya membawa semangkuk bakso.

"Dia di-DO."

"Hah? Siapa? Si Ramsi?"

Caroline mengangguk. Ia meneguk segelas es teh hingga tandas, lalu menggebrak meja dengan brutal. Sontak mahasiswa di sekeliling mereka melihatnya risi.

"He'em. Dia emang pantas dapetin itu."

"Kalau dia tambah ngadi-ngadi, gimana?"

"Nggak, sih. Dia pasti kapok. Sebagai anak FH, punya catatan kriminal kayak gini bisa bikin susah masuk firma hukum. Kalau masih niat nambah, itu namanya bunuh diri."

"Tapi, Lin--"

"Udahlah, Ben. Badan gue gatel-gatel kalau ngomongin dia. Alergi."

Bena pun menggeleng dan menggidikkan bahu. Berteman dengan Caroline memang butuh ekstra sabar bin telaten.

Meski baru seumur embrio dalam menempuh hidup di ilmu komunikasi, Caroline tetap memiliki jiwa-jiwa yang diwariskan. Gadis itu dengan lihai merekam semua obrolannya dengan Bas dan menjadikannya ancaman untuk diadukan ke kemahasiswaan. Akhirnya, dua seniornya itu mau diajak bekerja sama untuk mengurus kasus ini. Relungnya berteriak puas kala kata drop out menjadi solusi.

"Udah!" seru Caroline saat piring dan gelasnya bersih tak bersisa. "Gue cabut dulu."

"Oke, ketemu di kos."

Hanya lambaian tangan yang Caroline berikan sebagai jawaban. Gadis itu terus berjalan sebelum lift fakultasnya penuh sesak akan mahasiswa yang terlambat. Kelas yang berada di lantai enam membuatnya berpikir dua kali untuk menaiki tangga.

Mata kuliah dari dosen kesayangan Caroline memang masih setengah jam lagi. Namun, semangatnya menggebu-gebu untuk segera sampai. Alasannya sederhana, hari ini hanya berupa pengumpulan tugas dan tidak ada kegiatan pembelajaran.

Langkah Caroline seketika terhenti saat dua pasang sepatu mengadangnya. Ia lekas mendongak dan bersiap mengumpat. Namun, matanya lebih dulu terbelalak dan berkedip konstan.

"Kak?" Gadis itu menelan ludah. Ia segera melanjutkan langkah lewat sisi kanan, tetapi tangannya ditahan dan ditarik kembali ke tempat semula dengan kasar.

"Kenapa buru-buru? Kita cuma mau ngomong sebentar dan secara baik-baik tentunya," ucap Fazran sambil mendekati Caroline. Tangannya tergerak untuk mengusap kepala gadis itu. "Lo nggak perlu takut kayak gini."

Percayalah, kalimat itu justru membuatnya lebih menakutkan. Caroline lekas menjauhkan kepalanya dari sentuhan Fazran dan melangkah mundur. Sorot matanya berubah jijik saat milik ia terus ditatap seolah-olah ingin dimakan hidup-hidup.

Bas menarik tangan sahabatnya dan menghempasnya kuat-kuat. "Udah, Zran! Lo malah bikin dia tambah takut."

"Ck, main bentar aja nggak boleh."

"Maaf, Kak. Olin ada kelas."

"Tunggu!"

"Iya?" jawab Caroline datar.

"Makasih."

"Buat?"

Bas menatap Caroline yang jauh lebih pendek darinya. "Karena udah bantuin jelasin ke kemahasiswaan. Berkat lo, kita masih bisa nyari toga di sini."

"Anggap aja itu bayar utang karena Kakak udah mau ngaku dan bawa Nanda ke rumah sakit."

Tanpa pamit, Caroline melaju pesat. Kakinya melangkah lebar dan cepat sebisa mungkin. Kesal dan takut yang tengah adu jotos di dalam tubuhnya sukses membakar energi.

Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah rumah sakit tempat Nanda dirawat. Ia sudah terbiasa untuk mampir ke sana sebelum beristirahat di indekos.

Sementara itu, sosok yang hendak ditemui masih memainkan ponselnya. Entah sudah berapa kali ia mendengkus kesal. Semua permainan aplikasi telah ia jajaki sejak pagi. Baterai yang semula seratus persen sampai harus di-charge sebanyak tiga kali. Namun, tetap saja tidak memuaskan. Dibanding karena lupus, Nanda bisa lenyap karena bosan.

Tak ingin mengakui, tetapi ia memang mengharapkan seorang gadis setinggi bahunya membuka pintu sambil meneriakkan salam. Langit yang berubah jingga seakan turut bertanya padanya, di mana agaknya Caroline berada saat ini.

"Sepeda!"

Seakan umurnya diperpanjang, gadis itu menampakkan diri di ambang pintu dengan pose mengangkang. Jangan lupa dengan kedua tangan yang terangkat dan tampang cengar-cengir seperti kejatuhan undian lotre. Nanda berhitung sampai tiga dan Caroline pun berjalan menuju wastafel.

"Olin bawain es krim dari kafe biasanya, lho!" ujarnya girang saat mencuci tangan. "Mau sekarang apa entar?"

"Sekarang aja."

Caroline amat antusias menarik kursi di sebelah ranjang Nanda. Senyumnya merekah saat suapan pertama yang ia berikan mendapat sambutan yang hangat. Meski dingin sikap Nanda masih setara dengan es yang ia bawa, setidaknya lelaki itu tak lagi menolak.

"Udah jam segini, kok, tokonya masih buka?"

"Ya, masih, lah. Kan cuma hati Nanda aja yang lagi tutup. Ak lagi?"

Nanda menerima suapan itu dengan pipi yang memerah. Bukan karena ruam, melainkan rasa malu yang perlahan muncul. Kalimat sindiran yang terucap terang-terangan itu kembali menohoknya.

"G-gue nggak gitu."

"Hem, gitu gimana?" respons Caroline yang masih menyendok es krim.

"Gue nggak nutup hati gitu aja. Cuma …."

"Cuma apa?"

"Gue masih trauma."

Caroline berhenti. Meski mata Nanda menghindarinya, ia bisa merasakan kesungguhan yang mendalam. Tanpa sadar, ia meletakkan es krimnya ke atas nakas dan beralih menggenggam tangan Nanda.

"Dulu, gue suka sama dua cewek. Sayangnya, mereka juga disukai orang lain. Nasibnya lagi, satu dari mereka disukai Mas Dian, dan satunya lagi disukai Alm. Bari, sahabat gue."

Caroline menyimak kalimat Nanda dengan teliti. Ia tak ingin melewatkan kesempatan seberharga ini.

"Gue nggak berani dan nggak bisa nyalahin siapa pun. Entah Mas Dian, sahabat gue, atau bahkan dua cewek itu. Karena bagaimanapun juga, gue yang salah. Gue yang nggak berani ngungkapin apa pun. Dan sungguh, gue juga nggak ngerti kenapa nyiksa diri begini."

Nanda mendengkus. Ia memejamkan mata beberapa detik, lalu membukanya kembali. Ia menggeser duduknya hingga berhadapan dengan Caroline. Tangan kiri yang terpasang infus ia paksa untuk membalas genggaman gadis itu.

"Lin, gue nggak pernah bermaksud untuk menutup apa pun, apalagi hati. Gue cuma pinter nyimpen itu semua."

Gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro