24 • tetap mengejar
Langkah Caroline kian dipercepat. Amarahnya mendidih dan meletup-letup. Ia tak sabar untuk segera menendang pintu kontrakan milik sang mantan yang berani-beraninya menyakiti Nanda.
"Lo kenal Ramsi?"
Gadis itu terus menggeleng, mengusir ingatan yang makin membuatnya meluap-luap. Paras cantiknya sontak dihiasi kerutan pada kening, alis bertaut, dan mulut yang mengerucut sempurna. Entah setan apa yang tengah merasuki dirinya saat ini.
"Dia … mantan lo, bukan?"
Awan menggelap, meninggalkan bintik-bintik bintang yang mempercantik langit. Jalanan yang biasanya ramai akan lalu-lalang mahasiswa terlihat sepi dan cukup membuat bulu kuduk bergidik. Namun, Caroline tetap setia menjajaki gang kecil yang minim penerangan.
"Gue nggak mau pede atau apa pun itu, tapi lo paham maksudnya, kan, Lin?"
Caroline mengatur napas, seiring dengan kaki yang mengentak-entak. Ia mengetuk pintu dengan brutal tanpa mengucap salam. Gadis itu sudah masa bodo. Lagi pula, tetangga sekitar sana sudah menutup pintu rapat-rapat dan dapat dipastikan telah jauh terlelap.
"Buka, Ram! Brengsek! Tai! Buka, tolol!"
Tak pantang menyerah, Caroline mengintip lewat jendela di samping pintu. Benda bening itu tak banyak membantu karena banyaknya debu yang bertebaran.
"Sial!" Caroline menggedor pintu lagi. "Ramsi!"
Gadis itu kehilangan kesabaran. Ia benar-benar ingin meluruskan segala hal sebelum rasa kantuk datang dan memaksanya pulang. Ia merelakan kaki mungilnya untuk menendang pintu tak berdosa.
Namun, seorang lelaki setengah sadar tengah membuka pintu. Tangannya masih sibuk memegang kenop dan satunya lagi mengusap wajah.
Caroline seketika tertegun. "Kak Bas?"
Peristiwa itu membuat Caroline syok luar dalam. Saat kembali ke indekos, Bena tak berhenti mengusap rambutnya, berusaha menenangkan. Hampir semalaman ia begadang demi menemani sang sahabat yang bergulat dengan air matanya sendiri.
"Udah, dong, Lin. Mau jam empat lo ini."
Caroline masih sesenggukan. Tatapannya sayu dan penuh rasa bersalah. Binar lucu yang biasa terpancar di sana lenyap seketika.
"Gue udah pernah bilang, kan, kalau putus dengan cara gini, tuh, pilihan konyol. Lo, sih, nggak bisa dibilangin."
Caroline pun bangkit. Tatapannya kosong, membuat Bena menelan ludah. Aura gadis di depannya ini tidaklah baik-baik saja.
"Sori, Lin. Gue nggak bermak--"
"Nggak pa-pa. Gue sadar diri aja," potong Caroline.
"Lin--"
"Lo mau ceramah apa lagi?"
Bena menggeleng. "Nggak. Gue cuma mau tau, apa yang bakal lo lakuin sekarang?"
Caroline terdiam. Berat rasanya ketika otak sebesar udang itu dipaksa untuk berputar normal. Ingatan demi ingatan saat di kontrakan Ramsi hanya menuntunnya pada satu kata, ketidakpercayaan.
"Kak Bas ngapain di sini?" tanyanya waktu itu.
Bas refleks terbelalak sempurna. Ia segera menarik tangan Caroline dan membawanya menjauh dari kontrakan Ramsi. Segala urusan bisa makin kacau bila sang penyewa rumah terbangun dan mendapati bidadarinya tengah berubah wujud--makin liar.
"Lepasin!"
Caroline tidak rela tangannya digenggam dan ditarik begitu saja. Berkali-kali ia mencoba berhenti, tetapi dayanya kalah jauh dari lelaki itu.
"Lepas, Kak!"
Caroline menghempaskan tangannya. Ia menelan ludah dan mundur perlahan saat Bas berbalik dan menatap tajam. Gelap dan sunyi di sekitar situ cukup membuatnya mawas diri.
"Kalau lo mau tau apa yang terjadi sama Nanda, diem dan ikutin gue."
"Oke."
Ingatan Caroline terputus. Ia lekas mengacak rambutnya kesal. Kakinya menendang angin dengan brutal.
"Lo kenapa, sih?" tanya Bena heran. Ia memang belum mendengarkan cerita yang sebenarnya secara runtut.
"Nanda masuk rumah sakit gara-gara Ramsi."
"Hah?"
"Orang yang ngeroyok Nanda itu Ramsi. Dia--"
"Nggak terima kalau kalian putus? Dan nganggap Nanda adalah biangnya?"
Gadis yang rambutnya acak-acakan itu pun mengangguk. Ia kembali mengingat kalimat yang diucapkan senior jurusannya.
"Sumpah, Lin. Gue nggak nyangka kalau Ramsi bakal senekat itu. Pas gue dan Fazran balik, Nanda udah bonyok, nggak sadar dan kita langsung bawa dia ke rumah sakit. Gue dan Fazran minta maaf karena udah ngikutin lo selama ini, tapi jujur Lin, gue nggak pernah pengen ada di pihak siapa pun. Cuma, Ramsi itu temen gue, dan gue tau betapa hancurnya dia putus dari lo."
Caroline merentangkan kedua tangannya. Sontak Bena mendekat dan mendekap sahabatnya itu erat-erat.
"Lo tau, kan, kenapa gue putus dari Ramsi? Nggak ada Nanda pun, gue udah muak jadi putri yang diatur-atur."
Bena hanya mengangguk dan mengusap punggung Caroline.
"Dan saat ada Nanda, gue makin berani buat bilang 'udah' ke Ramsi. Bukan karena semata-mata gue ada gebetan baru, tapi karena ada yang lebih berharga buat dikejar."
"Gue paham, cuma mungkin waktunya yang nggak tepat, Lin."
"Gue cukup sadar, kok. Terlalu terlambat buat menyudahi dan terlalu cepat buat memulai. Cuma--"
"Sstt, udah dong." Bena membawa kepala Caroline ke bahunya. "Nggak ada kata 'terlalu' untuk perasaan."
Suara azan subuh mulai menggema, menginterupsi sahabat karib yang belum menyelami alam bawah tidur sama sekali itu. Mereka hanya saling pandang dan menjatuhkan diri di kasur yang tak seberapa lebar. Caroline kembali menatap langit-langit kamar saat Bena sibuk memandangnya.
"Sekarang apa yang bakal lo lakuin, Lin?"
Sang empunya nama itu tak lekas menjawab. Meski jawaban telah ia kantongi, matanya masih liar di hamparan atap kamar. Bayangan kondisi Nanda yang membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan kembali hadir dan menanyakan hal yang sama.
"Olin yang cantik ini bakal tetep ngejar Nanda. Jagain plus ngerawat dia, kayak film yang gue tonton dan novel yang gue baca."
"Soal Ramsi?"
Caroline menatap sahabatnya bergantian. "Liat aja nanti."
Keesokan harinya di rumah sakit, mata Nanda terbuka lebar saat orang yang pergi tanpa pamit kemarin malam kembali hadir dengan sebuah bingkisan. Raut wajah Caroline kembali bercahaya setelah sebelumnya sempat merah padam. Bulu kuduk Nanda dibuat berdiri saat gadis itu mendekat dan memamerkan senyuman manis.
"Pagi, Calon Pacar!" sapanya manja.
Nanda bergeser ke samping dan memundurkan tubuhnya. "Lo nggak lagi kesambet, kan, Lin?"
Caroline menggeleng yakin. "Nggak, dong. Udah makan, belum? Olin suapin, ya."
Tanpa menunggu jawaban Nanda, gadis berpakaian pink-pastel itu mengambil jatah sarapan di atas nakas. Ia lantas mengipasi bubur, sebelum menawarkannya pada Nanda. "Aak?"
"Wait!"
"Ayo, ak?"
"Tunggu, Lin!" Nanda mendorong sendok yang ditawarkan padanya, lalu mengambil alih piring yang Caroline pegang. "Lo nggak pengin cerita apa dulu gitu? Setelah semalem kabur nggak jelas."
Raut muka Caroline berubah murung. Tangannya gemetaran. Ia refleks menarik selimut Nanda pelan. Di saat-saat seperti ini, ia butuh sesuatu untuk digenggam guna menetralisir rasa gugup.
"Sori, gara-gara gue lo jadi kayak gini," ujarnya pelan, masih menunduk.
"Bukan itu yang gue minta."
"Sori, gara-gara mantan gue lo jadi kagak gini," ralat Caroline sedikit.
Nanda mendengkus. "Bukan, Lin." Ia mengangkat dagu Caroline dan keduanya pun bertukar pandang. "Gue nggak minta lo buat minta maaf. Semua itu klise kalau baik lo dan dia nggak ada perubahan sama sekali."
"Terus?"
Nanda tak hentinya menatap Caroline. Sesakit apa pun Ramsi menendangnya waktu itu, ia masih bisa merasakan hawa posesif yang keluar. Semua itu membawanya pada sebuah konklusi bahwa penekanan yang terjadi dapat membuat siapa pun menjauh tanpa berpikir dua kali. Mungkin, Caroline pergi karena kondisi yang tak memihaknya.
Setelah menyentuh lengan Caroline dan memberi anggukan, Nanda membawa gadis itu ke pelukannya. "Gue cuma mau lo cerita kalau semuanya baik-baik aja. Dia nggak nyakitin lo, nggak ngapa-ngapain lo, dan lo tetap jadi Olin yang gue kenal."
Caroline terpaku. Hatinya berdegup laju tak terkontrol. Tangannya seketika kaku dan tak kuasa membalas pelukan tersebut. Air mata yang telah habis kemarin serasa berkumpul untuk kembali jatuh. Hanya telinganya yang merasa bahagia bak dimanja kalimat surgawi.
"Makasih, ya."
Kembali lagi bersama Olin dan kadar bucinnya yang semakin terbalas.
Semoga kalian tetap baik-baik saja, ya. Sehat jasmani, rohani, dan kantongni.
See you, and love you guys 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro