Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 • halu berujung doa

Pandangan Nanda memburam dan berganda. Kepalanya pening dan dadanya sesak. Ia ingin berteriak, memanggil nama siapa pun yang terlintas. Namun, suaranya tertahan di kerongkongan. Hasrat hati ingin memejamkan mata, tetapi seolah-olah ada burung bersarang di otaknya yang kian berputar, membuat rasa sakitnya makin menghujam.

Napasnya makin pendek dan berat. Sungguh, apakah Tuhan akan mengirimkan seseorang untuk menolongnya hari ini? Tempat ini terlalu jauh dari kawasan mana pun. Semua pergi meninggalkan dan membiarkannya tergeletak begitu saja. Harus kepada siapa Nanda mengadu? Andai saja tangan Tuhan bisa diraih dan membawanya pergi dari sini, ia tak akan tersiksa seperti ini.

Tangan lemas itu bergerak, mencoba menggapai tas yang telah dilempar entah ke mana. Bunyi ponsel yang berdering tanpa henti meningkatkan rasa pusingnya. Nanda mengumpat dan memohon ampun di saat yang bersamaan.

"To-long …."

Lirih sekali. Mungkin semut yang berderap di sampingnya pun tak dapat mendengar. Susah payah tangan kiri Nanda merayap untuk meraih ponselnya sendiri.

Dapat!

Lelaki itu berhasil. Sayang, siku dan pergelangannya terlalu kaku untuk ditekuk. Ia hanya bisa meraba layar mana yang harus ia tekan.

"Argh …."

Suara lelaki itu makin tertahan. Kepalanya mendongak seiring minimnya oksigen yang dapat masuk ke jalur pernapasan. Bola matanya kian naik ke atas, sebelum benar-benar lelah dan menutup.

Dalam gelap itu, Nanda mengingat peristiwa sebelumnya, saat perutnya ditendang habis-habisan tanpa persiapan. Seringai kepuasan tertoreh di wajah lelaki yang menghajarnya di tempat sepi itu. Setelah melihat lawannya terkapar, ia lekas melakukan seremoni bersama kawannya yang menjaga di kedua sisi.

"Mau lo apa, Kak?"

Lelaki itu tertawa kencang tanpa menjawab apa pun. Ia menghempas tubuh Nanda dan menendang dadanya untuk terakhir kali sebelum beranjak. "Hari ini segini dulu. Kalau lo terus lanjut, besok-besok bakal jauh lebih menarik."

Nanda tergeletak bukan tanpa alasan. Ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan pembalasan. Kini matanya benar-benar terpejam, entah berapa lama.

"Nda …."

Sayup-sayup suara tak bertuan datang setelah sekian lama. Mata yang merekat berjam-jam belum terbuka untuk mencari tahu. Nanda menajamkan pendengarannya, berusaha mendeteksi siapa gerangan yang memanggilnya.

"Bangun, Nda. Jangan bikin gue khawatir."

Suara itu kian jelas. Sedikit bergetar dan diiringi isakan yang telah usai. Tangan kanannya sedikit kaku, tetapi masih dapat merasakan sentuhan lembut. Sensasi menggelitik dari helaian rambut memastikan bahwa seorang gadis-lah yang menjaganya kali ini.

Nanda berusaha mengangkat tangan. Masih sangat berat, ia pun beralih ke jari-jemari. Dapat, meski lemah dan sekadarnya. Perlahan, ia memaksa matanya untuk terbuka, meski perih masih mendera dan sesak tetap bersemayam. Setidaknya, kali ini ia tak lagi bersusah payah mencari udara.

"Nanda?"

Gadis itu menyadari sinyal-sinyal yang berusaha dikirimkan. Ia lekas mendongak menatap Nanda untuk memastikan. Senyumnya merekah saat lelaki pujaannya telah bangun dan memamerkan lesung pipi yang terhalang masker oksigen.

"Olin panggil dokter dulu, ya," ucapnya.

Namun, dengan cepat Nanda menggeleng. Ia berusaha meraih dan menarik lengan Caroline untuk duduk kembali.

Gadis itu pun menurut. Ia lekas duduk sembari mengusap air matanya.

Tanpa permisi, Caroline menggenggam Nanda erat, lalu mengecup punggung tangannya lembut dan tulus. Ia juga mengusapnya tanpa henti.

"Makasih, makasih karena lo mau bangun."

Nanda hanya bisa tersenyum agar gadis itu berhenti mengkhawatirkannya. Tubuhnya masih lemas dan lidahnya pun kelu.

"Apa gue bilang? Harusnya kita beli es krim aja, kan? Rasain. Salah sendiri nggak mau makan es krim bareng Olin."

Kalau saja energi Nanda terkumpul seratus persen, ia pasti sudah menggetok kepala Caroline. Namun, niatnya pudar saat mendapati kantung mata gadis itu amatlah sembap dan kehitaman (maskaranya luntur). Senyum candaan yang diiringi beberapa tetes air mata itu membuat relung Nanda menghangat. Hingga tanpa ia sadari, detak jantungnya lebih stabil dari sebelumnya.

"Ma-ka-sih, ya."

Caroline berinisiatif mendekatkan telinganya ke wajah lelaki itu. "Lo ngomong apa?"

"Makasih. Makasih karena hari ini Tuhan udah ngirim lo buat gue."

Caroline tersenyum manis. Hatinya sungguh senang mendengar hal itu. Ia tak berhenti mengingatnya, bahkan saat keluar ruangan pun ia masih cengar-cengir.

Setelah Nanda sadar dan diperiksa, ia izin pamit untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri terlebih dulu. Tangannya lantas dipenuhi dua keresek belanjaan berisi makanan ringan dari kantin. Di saat itu, ia juga sibuk menjawab telepon dari kakak lelaki Nanda. Tak terhitung berapa kali ia mendengkus sebab Dian terus-terusan meragukan segala hal.

"Mas, tenang. Beneran nggak apa-apa, kok. Mas Dian tenang aja, kan, ada adik ipar. Nanti kalau Nanda udah enakan, Olin chat Mas lagi. Abis itu mau video call-an lima jam juga nggak apa-apa, deh."

Berulang kali Caroline menawarkan diri untuk menjaga Nanda. Ia rela bolos kuliah demi menebus dosa. Ia terus berpikir, kejadian ini berkat rasa halu-nya yang berujung doa dan dikabulkan. Ada sedikit rasa tidak enak yang membuatnya resah dan deg-degan tak karuan. Lagi pula, sudah pasti Nanda tidak ingin melihat kakaknya lari dari jam kerja hanya untuk kemari.

"Iya, Mas. Olin tutup, ya. Hati-hati, Kakak Ipar."

Caroline menutup panggilan sebelum membuka pintu rawat Nanda. Ia lekas mengantongi ponselnya dan mengatur napas sebaik-baiknya.

"Hai, udah enakan?" sapa Caroline saat mendapati Nanda tengah duduk bersandar sambil menatap jendela. Lelaki itu telah melepas masker oksigennya.

"Kenapa gue bisa di sini, Lin?"

Caroline masih tersenyum dan meletakkan belanjaannya di atas nakas. Ia segera duduk di hadapan Nanda dan mengambil jatah makan malam yang telah disediakan. Lelaki itu tak sedetik pun beralih memandangnya. Jelas terlihat raut kekesalan dan penuh tanya di sana.

"Nggak tau. Dari sore, gue berkali-kali telpon lo. Terus pas diangkat, perawat rumah sakit yang ngomong. Dia yang ngasih kabar kalau lo ada di emergency," jawabnya sambil mengaduk nasi dan lauk.

"Mereka nggak bilang siapa yang bawa gue ke sini?"

Caroline menggeleng, lalu berniat menyuapi Nanda. "Aak?"

"Gue nggak laper."

"Lo tetep harus makan biar bisa minum obat."

"Nanti aja."

"Lebih baik makan atau gue cepuin ke Mas Dian?"

Nanda menatap sinis, sedangkan Caroline justru menantangnya dengan menaikkan alis. Kesal, ia lekas melahap suapan tersebut dengan bersungut-sungut.

"Nah, kalau gini, kan, pinter."

Lelaki itu mengunyah makanannya sambil menggerutu di dalam hati. Ia sudah sepenuhnya mengingat, bagaimana tangan dan kaki para senior itu mendarat di perut, dada, bahkan rasa-rasanya seperti sekujur tubuh. Mood-nya berantakan sampai-sampai mau makan pun tak bergairah.

"Aak lagi?"

Caroline terus menyuapi Nanda tanpa bertanya ini-itu. Ia belajar bahwa ketika dirinya dapat dikatakan penting, Nanda akan senang hati menceritakan segalanya, meski tak diminta. Kini, ia memilih menunggu waktu dan jawaban. Berharap tatapan tulusnya dapat mengirimkan sinyal tersebut.

"Lo nggak ngabarin Mas Dian, kan?"

Caroline sontak menelan ludah. "E-enggak. Enggak, kok."

"Bagus, lah, jangan bikin dia khawatir. Gue bisa jaga diri sendiri."

"Ck, gaya banget. Makan aja masih disuapin."

Nanda beralih menatap Caroline. "Ya udah sini."

"Eits!" Caroline menjauhkan piring yang ia pegang. "Nggak ada, gue yang suapin. Jangan banyak gerak."

Nanda memutar bola matanya malas. Ia berdecak saat gadis itu kembali tak konsisten dengan kalimatnya. "Orang mana, sih, lo? Plin-plan banget."

"Orang Jawa, dong," jawab Caroline antusias.

"Mana ada orang Jawa bentukannya kayak lo begini."

Caroline pun menggeleng. Dengan santai ia mendekatkan wajahnya, yang seketika membuat sosok di depannya mundur beberapa senti.

"Olin emang Jawa, kok. Jawaban atas doa Nanda selama ini."

"Hah …." Nanda refleks mengusap wajahnya gusar. "Dasar!"

Maaf ya kalau adegannya masih terkesan lompat-lompat. Hope you like it ❤️

Jangan lupa ikut vote cover dan give away di akun IG-ku @pena.rien yaa 😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro