Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 • es krim

"Siang! Gue abis jalan dan beli es krim, nih, sama Nanda. Say hi dong, Nda," ucap Caroline di siaran langsung Instagram-nya.

"Halo." Nanda menjawabnya dengan malu-malu. Fokusnya masih melayang ke depan dan memegang contong es krim yang mulai lengket.

"Enak, nggak?"

Nanda mengangguk. "Enak, kok."

Caroline tersenyum tipis dan membaca beberapa komentar yang bermunculan. "Menurut Kak Nanda, Kak Olin itu mirip hewan apa? Ditanya tuh, Nda."

"Hewan, ya?"

"He'eh. Jawabannya nggak boleh ngasal. Kudu romantis pokoknya," pintanya macam-macam.

"Em, Olin, kan, ajaib. Apa pun bisa jadi mungkin dan nyata."

"Iya."

"Ke mana pun dia pergi, pasti auranya berbinar kebahagiaan."

"He'eh, terus?" Caroline makin tak sabar.

"She's awesome and wonderful like …. "

"Like?"

"Unicorn!" ucap Nanda seraya menancapkan es krimnya ke kepala Caroline. Hal yang membuat gadis itu semakin mirip dengan kuda berponi yang ia sebutkan.

"Nda!" Caroline bersungut-sungut manja. Ia tak dapat menahan tawa yang bercampur dengan rasa kesal tersebut.

"Imut banget, sih."

Nanda mencubit pipi Caroline dengan gemas. Ia tersenyum menatap kamera yang membuat komentar di dalam sana makin berdatangan. Mayoritas dari mereka meraung dan merontakan rasa iri karena terlalu lama jomlo.

"Ih, kan, jadi cemong."

Nanda tertawa kecil. "Uluh-uluh, sini-sini dibersihin."

Lelaki itu dengan telaten mengusap sisa-sisa es krim yang ada di dahi Caroline. Ia membiarkan tangan bersihnya beradu dengan lengketnya es krim. Caroline lantas cengar-cengir.

"Jalan lagi, yuk."

Sang gadis pun mengangguk. Tangannya lekas meraih uluran tangan Nanda yang selangkah lebih maju darinya. Ia berjalan pelan seraya memandangi sosok di sampingnya.

Hingga tanpa sadar, batu sebesar kepalan tangan menghalangi jalan dan mengenai kaki Caroline. Namun, Gadis itu lalai sampai akhirnya ia pun tersungkur.

"Sstt, aw!"

Caroline mengusap pantatnya yang mendarat tak sempurna dan membentur lantai. Mulutnya mengaduh dan ingin mengeluarkan umpatan. Namun, ia lekas membuka mata dan menyadari sinar mentari telah berhasil menembus gorden kamar.

Gadis itu mengusap wajahnya gusar. "Sial, cuma mimpi!"

Semua hanya imajinasi Caroline. Sayang sekali. Getaran ponsel dari atas nakas lantas membuatnya beranjak. Meski enggan bangun dan ingin kembali merebahkan diri, gadis itu tetap semangat karena jam pertama perkuliahannya telah menanti. Terlebih jika sang pujaan ikut masuk, kadar niatnya bisa bertambah lima kali lipat.

Pengumuman untuk kelas A
Mata kuliah Pengantar Ilmu Antropologi dimajukan pada pukul 07.30 WIB.

TTD
Sugeng W. S. Ikom, M. Si.

"Hah? Setengah delapan!"

Caroline segera bergegas ke kamar mandi, sementara mahasiswa IKOM A banyak yang telah memasuki kelas, termasuk Nanda. Materi perkuliahan mereka dimulai dengan penjelasan dosen yang sebenarnya sudah terpampang jelas dalam slide powerpoint.

Satu jam lamanya, layar proyektor masih saja menyala. Entah berapa poin lagi yang belum disajikan. Suara dosen dalam menjelaskan materi cenderung monoton dan seakan-akan menggiring mereka ke alam bawah sadar. Sungguh membosankan.

Nanda pun mendengkus. Jari-jarinya mulai lelah mencatat seluruh teori-teori itu. Ia berkali-kali memijat lehernya yang terasa linu tak karuan. Tiga SKS yang setara dua setengah jam itu cukup menyita tenaganya. Ternyata duduk sambil mendengarkan dan menulis dapat membuatnya mati rasa seperti ini.

Fokus Nanda beralih pada seseorang yang mengendap-endap di ambang pintu. Gadis itu membungkuk dan menapakkan kaki sepelan mungkin, agar dosen berambut putih yang memantau layar laptop tak menyadari keberadaannya. Ia mempercepat kakinya dan segera duduk di kursi terdekat. Mungkin sengaja atau memang kebetulan, tetapi tempat itu tepat di sebelah Nanda.

"Yes, selamat!"

Nanda menggeleng. Ia berusaha tak peduli. Namun, aksi konyol Caroline tetap membuatnya tertinggal beberapa poin.

"Em, Den," panggil Nanda pada kawan di sebelah kirinya. "Boleh liat pokok bahasan yang sebelum ini, nggak?"

"Gue juga ketinggalan, Nda. Pak Sugeng cepet banget ganti slide-nya."

"Oh, oke, deh. Makasih, ya."

Caroline mengintip catatan Nanda dan berdecak kagum. Tulisan lelaki itu sungguh rapi dan enak dibaca. Sangat bertentangan dengan hasil karyanya selama ini. Alasan Caroline tak pernah membawa buku dan memilih mencatat di ponsel karena kerap kali tak memahami maksud tulisannya sendiri. Payah.

"Kenapa liat-liat?" tanya Nanda yang membuat fokus Caroline pecah.

"Kaget, Nda. Pelan bisa kali."

"Udah pelan ini, lo aja yang bengong."

"Iya juga, sih."

Nanda menggeleng dan kembali menulis.

"Kok lo mau sih capek-capek begitu?"

"Kalau nggak gini, lo nyimpen materinya di mana?"

"Gini, lah." Caroline mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto materi pada slide powerpoint. "Selesai, kan, urusannya?"

"Serah, deh."

Caroline tersenyum. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya, yakni mengambil gambar setiap slide, lalu memandangi wajah Nanda setelahnya. Ia tak peduli meski lelaki itu kerap mengalihkan pandangan. Toh, sisi samping Nanda tetaplah tampan dan menarik.

"Hm, abis mata kuliah ini, kan, jeda sampai jam sepuluh, beli es krim, yuk?" ajak Caroline.

"Nggak bisa."

"Lah, kenapa? Bisa aja, dong." Caroline mulai merengek dengan mode bisik-bisik.

"Udah ada janji sama senior."

"Batalin aja, please," pinta gadis itu dengan mata yang berbinar. Besar hasratnya untuk melanjutkan mimpi tadi pagi.

"Nggak bisa, Lin. Besok aja."

"Serius?"

Sstt!

Puluhan mata menatap Caroline tajam. Ucapannya cukup menggelar dan menginterupsi pemaparan materi dari Pak Sugeng. Maklum, orang tua seperti beliau tak lagi memiliki suara yang lantang.

"Kamu kenapa?" tanya dosen itu datar.

"Nggak pa-pa, Pak. Maaf."

Sekuat tenaga Nanda menahan tawanya. Ia menutup mulut dengan tangan kiri, sedangkan tangan lainnya masih setia menulis. Ia terus menatap buku dan tak berani menoleh. Memandang Caroline hanya akan memperparah situasi. Ekspresi gadis itu saat menjadi perhatian satu kelas sangatlah lucu. Jujur, Nanda ingin mencubit pipinya karena terlalu gemas.

Caroline sontak sedikit membungkuk. Ia kembali menatap Nanda dan kali ini, ia pastikan akan berbicara selirih mungkin. "Janji, ya?"

"Iya."

Setelah perkuliahan selesai, Nanda dan Caroline berpisah. Lelaki itu tidaklah berbohong. Ia benar-benar menemui kakak tingkat mereka yang kini sudah berada di hadapannya.

"Udah enakan, Nda?"

"Udah, Kak."

"Syukurlah. Semester pertama nggak begitu berat, sih. Paling banyak makalah aja."

Nanda hanya mengangguk, turut mengikuti ke mana pun seniornya melangkah. Ia tak tahu menahu akan tempat yang dituju. Mulutnya cukup pasif dalam bertanya dan membiarkan semuanya terjawab dengan sendirinya. Bagi Nanda, hal itu hanya masalah waktu.

"Udah ada rencana masuk UKM mana?"

Nanda menggaruk belakang telinganya. "Fokus di komunitas aja, Kak. Takut nggak bisa bagi waktu kalau ikut dua atau lebih."

"Komunitas odapus itu?"

"Iya, Kak."

"Keren. Konsisten. Pantes fans lo banyak, ya."

"Enggak kok, Kak. Biasa aja. Masih kalah sama Kak Bas."

"Bisa aja lo."

Keduanya terus berjalan hingga melewati kantin FISIP. Nanda pun heran karena ia sempat berpikir bahwa tujuan mereka adalah ke sana.

"Karena lo nggak nanya, jadi gue kasih tau aja. Ada temen dari Fakultas Hukum yang mau kenalan sama lo. Ini kita mau ke sana."

Nanda pun menjawab dengan anggukan. Ia tak sedang berselera untuk menimpali. Lagi pula, bukan hal baru kalau ada seseorang ingin bertemu dengannya. Percaya diri atau bukan, Nanda memang terkenal, bukan?

Setelah sekian gedung terlewati, langkah kaki Bas berhenti di sebuah ruangan semacam sekretariat. Tak banyak orang di sana, hanya tiga lelaki yang Nanda ketahui salah satunya, yaitu Fazran--kakak pendampingnya selama OSPEK. Dengan canggung, ia berdiri dan menanti instruksi.

"Lo santai aja dulu di sini. Gue sama Fazran mau ke koperasi sebelah buat beli minum," ucap Bas.

"Iya, Kak."

Bas beranjak pergi dan Fazran pun mengikutinya dari belakang. Lelaki itu juga menepuk pundak Nanda saat melintas, persis seperti yang Bas lakukan. Hal itu membuat Nanda merasa aneh dan tidak nyaman. Sekelilingnya menjadi asing, seolah-olah tak layak untuk dihampiri. Seketika ia menelan ludah dan jantungnya mulai berdegup cepat.

"Sini, lo!" panggil lelaki yang duduk di atas meja.

Nanda pun mendekat, meski enggan. Ia tersenyum tipis ketika kakak tingkat itu melambaikan tangan padanya. Makin dekat, ia bisa melihat sebuah senyuman yang diberikan, mungkin untuknya. Nanda merasa sedikit santai sekarang.

"Nama lo Nanda, kan?" ucap lelaki itu seraya mengulurkan tangan. "Gue Ramsi."

"Iya. Salam kenal, Kak."

Mulai panas ya? Entar malem (16 Juni jam 7 WIB) ada vote cover n give away di akun IG-ku @pena.rien 💃🏻 stay tune yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro