Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 • tumben

Caroline mengatupkan bibirnya rapat. Lelah mengejar Nanda? Sama sekali tak terlintas di otaknya. Stereotip tentang anti-mengejar lelaki bagi seorang gadis memang ada. Namun, Caroline? Sudah membabat hal itu sejak lama.

"Hm, a-ayo pulang. Keburu hujan," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Nanda.

Kedua tangan gadis itu bertautan. Ia melangkah terlebih dahulu di depan Nanda. Sesekali Caroline mencuri pandang dan melirik ke belakang. Lelaki yang beberapa hari tak ia jumpai itu masih setia mengikutinya seraya menjinjing ransel.

"Tumben."

"Tumben apa?"

"Jalan duluan gitu. Biasanya minta di samping, terus digandeng," ucap Nanda yang terkesan menggoda, tetapi dengan nada dan ekspresi yang datar.

Caroline mendengkus. Ia gemas melihat betapa tidak sinkronnya kalimat dan raut wajah lelaki itu. Ia beralih menatap tajam--hal yang biasa dilakukan padanya. Kaki pun melangkah mundur dan kembali ke titik Nanda tengah berhenti.

Tangannya lekas meraih tangan kanan Nanda yang kosong. "Kalau mau minta digandeng tuh bilang, nggak perlu ngode 'tumben' segala."

"Eh!" Nanda menarik tangan Caroline saat ia hendak melangkah.

"Apa lagi?"

Baru kali ini Nanda mendapati sisi kesal Caroline. Mata dan bibir minimalis milik gadis itu memancarkan aura yang berbeda. Dahi yang mengernyit dan alis yang mengerut juga turut terhias di sana. Dalam beberapa detik, Nanda terhipnotis. Ia lekas menggeleng, berusaha untuk sadar kembali.

"Nda?" Caroline mengentakkan tangannya.

Lelaki tersebut terkesiap. "Hem?"

"Ayo! Nunggu apa lagi?"

"Nggak ada," jawab Nanda akhirnya.

Caroline hanya mengangguk. Sindrom pra menstruasi kali ini cukup mengganggu mood-nya. Ia bisa berubah bentuk dari terlalu gembira, mudah marah, sampai air matanya pun sensitif. Semua harinya tak akan terlewati dengan mudah.

Kedua insan itu meneruskan langkah sampai ke parkiran. Cukup jauh memang, tetapi apa boleh buat. Dibanding memesan taksi atau ojek daring yang harganya berlipat ganda, Caroline memilih membawa motor bebek andalannya.

Sepanjang perjalanan, Caroline tak sedikit pun melepaskan genggamannya. Walaupun tangan Nanda sedikit basah, sebisa mungkin ia tahan dan menyamankan diri. Ia cukup terkejut karena lelaki itu sungguh jinak hari ini. Entah setan apa yang merasukinya saat di Malang, ia harus mengucapkan terima kasih.

"Sampai!"

Nanda lagi-lagi tersentak. Caroline kembali berubah mode menjadi gadis barbar. Ia mendengkus pasrah dan meletakkan ranselnya di bagian depan motor.

"Mana kuncinya?" tanya Nanda.

"Buat apa?"

"Ya buat nyalain motor, lah."

"Oo." Caroline mengangguk polos dan merogoh sakunya.

Namun, belum sampai kunci itu beralih tangan, ia terkaget dan mengundurkan diri. "Eh, mau ngapain lo? Nggak ada! Gue yang nyetir."

"Hah?"

"Gue yang nyetir. Titik."

"Tapi, kan--"

"Nggak pakek 'tapi', ini semua sesuai mandat Mas Calon Kakak Ipar," terangnya panjang lebar.

Nanda memicingkan mata. "Mas Dian?"

Caroline mengangguk. "Udah, ini dipakek helmnya."

Hah … Mas Dian!

Sementara sejoli itu pulang dengan nyaman, tiga lelaki yang cukup akrab tampak duduk intens di ujung kanan sebuah kafe. Salah satu dari mereka memanggil waiters dan meminta buku menu.

"Satu americano dengan sedikit es, satu inverted cappuccino, dan satu latte macchiato. Benar, Kak?"

"Iya, Mbak. Terima kasih."

"Baik."

Tak butuh waktu lama--mengingat siang ini kafe masih sepi, pesanan itu datang. Setelah memastikan semuanya sudah sesuai, mereka bertiga ditinggal sendiri dan berbicara sepuasnya.

"Gimana kemarin? Jadi?" tanya Bas. Ia menuangkan satu sachet gula ke dalam minumannya.

"Jadi. Gue tungguin sampek kelasnya kelar."

"Terus-terus? Dia ngomong apa?" Fazran tak kalah antusias.

"Nggak ada. Sama kayak yang kalian bilang kemarin. Dia tutup mulut."

Sial, Ramsi mengumpat dalam hati. Segala cara ia lakukan untuk kembali meraih hati Caroline. Namun, ia belum menemukan titik terang. Jomlo seperti sekarang bukanlah style-nya, apalagi sang gadislah yang memutuskan hubungan tersebut. Harga diri Ramsi seakan dikoyak habis-habisan.

Firasat menuntunnya bahwa gadis itu memiliki mangsa baru. Ia berusaha menggali informasi lebih dalam akan apa saja kegiatan Caroline. Bahkan, ia rela mengemis dan meminta bantuan pada kawan klubnya ini, yang semula tak ia kenal sama sekali. Perasaan segan dan sungkan membuat Bas dan Fazran tak berkutik. Terlebih dengan iming-iming materi yang tak sedikit, mereka pun berakhir mengiakan segala permintaannya.

"Udah gue duga," ucap Bas sambil menyalakan korek. Caroline memang tidak mengakui kedekatannya dengan lelaki mana pun saat ia bertanya.

Suasana canggung membuat Fazran mengaduk kopinya tanpa henti. Mulutnya dan Bas sama-sama dalam mode hati-hati. Mereka memilih menunggu Ramsi bertanya atau sekadar menyelesaikan cerita.

"Sekelas Caroline nggak mungkin mutusin gue gitu aja. Jaman SMA dulu, dia yang ngejar gue abis-abisan. Adek tingkat kalian pasti penyebabnya." Lelaki itu mulai bersuara.

"Lo seyakin itu?"

Ramsi meneguk americano miliknya. "Apa lagi? Kita pacaran nggak cuma hitungan bulan, Bas. Kalau nggak ada orang lain, terus apa masalahnya?"

Bas menggeleng. "Nggak tau. Nggak ada yang tau isi kepala cewek. 'Iya' bisa jadi 'enggak'. 'Mau' bisa jadi 'ilfil'. Macem-macem, Ram."

"Tapi gue yakin, Bas. Anak itu masalahnya."

"Oke." Fazran berusaha menengahi. "Sekarang mau lo gimana?"

"Caroline nggak curiga, kan, sama kalian?"

Bas lagi-lagi menggeleng, begitu pula dengan Fazran.

Ramsi mendekatkan kepalanya. Hal itu sontak membuat Bas dan Fazran melakukan hal yang sama. Mahasiswa tahun ketiga itu melanjutkan pertukaran suara mereka dalam bisikan.

"Tapi, Ram--"

"Aman, Bas. Gue nggak sebodoh itu buat mainin anak orang."

Bas dan Fazran beradu pandang, lalu mengangguk dan mengedipkan mata. "Oke."

Seiring dengan selesainya percakapan itu, Caroline juga tiba di indekosnya Nanda. Kali ini ia menurut di belakang. Maklum, ia belum tahu letak kamar lelaki itu. Ia bersikeras hendak mengantar sampai depan pintu. Alasan 'mandat dari Dian' lagi-lagi menjadi jurusnya. Memang begitu, kok.

Hening pun mengambil alih. Sejak di parkiran sampai dua kali menjelajahi lorong, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Caroline memilih diam dan menikmati waktu yang terbuang. Lagi pula, perutnya cukup melilit dan pinggangnya mulai meronta-ronta. Menjadi perempuan memang tak seenak ini.

Kaki Nanda berbelok ke sebuah lorong kecil lagi. Langkah itu berubah pelan dan seketika berhenti. Ia berbalik dan mendekati Caroline yang berjalan menatap lantai.

"Aw!"

Ketidaktahuan gadis itu membuat mereka kembali bertubrukan. Caroline lekas mengusap kepalanya yang tak sengaja menghantam dada Nanda.

"Duh, Nda! Kenapa suka berhenti tiba-tiba, sih?"

"Mau sampai kapan lo ngikutin gue?"

"Ya sampai ke kamar, lah!"

"Tuh!" Lelaki pucat dan berkeringat itu menunjuk sebuah kamar yang terletak di ujung, "itu kamar gue. Lo bisa pulang sekarang."

Caroline lekas menggeleng, lalu menggandeng lengan Nanda. "No, no, no. Ayo, jalan lagi."

Sekuat tenaga Caroline menarik pangerannya. Nanda hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Ia sudah lelah dan tak memiliki daya untuk mencegah genggaman gadis itu.

Nanda sesekali menatap dan kembali tak acuh. Meski terkadang menyebalkan, ia cukup salut dengan tingkat kesabaran Caroline dalam menghadapinya. Ia juga takjub pada manajemen diri Caroline yang teguh menahan kekepoan atas peristiwa yang baru saja ia alami.

Walaupun Caroline sempat blak-blakan menanyakan penyakitnya, kini ia tak lagi melakukan hal serupa. Bisa dikatakan, sekarang gadis itu lebih menghargai posisinya.

Nanda lekas melepaskan genggamannya saat sampai di depan kamar. Dengan telaten Caroline menunggunya yang tengah berusaha mencari kunci. Nanda segera masuk saat pintu berhasil terbuka. Refleks, Caroline pun mengikutinya.

"Eh, eh. Mau ngapain lo?"

"Mau masuk."

"Ngawur! Ini kos cowok."

"Iya juga, ya. Hehe."

Nanda mendengkus pasrah dan berusaha menutup pintu. Namun, kaki Caroline menghalanginya.

"Wait!"

"Apa lagi? Kan udah nganter di depan kamar."

"Nggak ada goodbye kiss … gitu? Biar kayak di tipi-tipi," ucap Caroline pelan. Sungguh pelan.

Sekian detik terdiam, Nanda sontak tertawa receh. Ia lantas mencium tiga jari kanannya, lalu meletakkan di dahi Caroline. Setelah menekan cukup lama layaknya memberi stempel, ia kemudian menoyor kepala gadis itu.

"Udah, sana buruan pulang. Hati-hati di jalan. Makasih, ya."

Lelaki itu lekas menutup pintu secepat kilat. Ia tak peduli dengan gadis yang dibuat mabuk kepayang atas perlakuannya. Mulut Caroline masih menganga dan matanya tak lepas dari pintu bertuliskan 'Area Manusia Fobia Desahan Tetangga' tersebut.

"Nikmat mana yang kaudustakan, Lin?"

Absen dong, siapa yang rajin vomment?
Luv you guys 😚

Bonus 💓

Baby, take my hand. I want you to be my … (Isi sendiri aja, ya.)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro