20 • lo nggak capek?
Nanda berjongkok di atas tanah. Kepalanya dilindungi sebuah payung yang dipegang oleh sahabatnya, Feri. Masker dan kacamata juga lengkap menutupi wajah.
Ia mengusap sebuah papan bertuliskan nama 'Albari Syafii'. Lesung pipinya mulai muncul guna menghalau air mata yang hendak menetes. Sendu, lelaki itu menatap tempat peristirahatan terakhir yang masih basah dan dipenuhi bunga. Apa yang ada di hadapannya cukup membuktikan bahwa mimpi buruk tak selamanya mimpi dan kenyataan indah tak selamanya nyata.
"Gimana di sana, Bar?"
Tangan Feri sontak bergetar saat Nanda mengucapkan kalimat tersebut. Hatinya seperti tergores luka yang tak tampak dan tak ada pula obatnya. Ia ingin berlari menjauh, tetapi ada Nanda yang masih terdiam di depannya.
Tidak ada hal lain yang kawannya itu lakukan. Nanda hanya mengusap papan di hadapannya secara terus-menerus. Pandangannya tak terlepas dari nama Bari dan pikirannya entah terisi apa.
"Goblok, ya? Ngapain juga aku ngomong sendiri sama papan," ucapnya diselingi tawa.
"Nda …."
Sang empunya nama itu lekas mendongak dan menurunkan maskernya. Ia tersenyum ke arah Feri seakan-akan tengah baik-baik saja. Nanda kembali menatap nisan Bari dan menyiapkan diri untuk pamit--salah satu tujuan awal mengapa ia datang kemari.
"Bar, aku berangkat ke Jakarta lagi, ya," ucapnya pelan. "Bulan depan, aku ke sini lagi … kalau belum nyusul."
"Nda!"
Suara Feri meninggi. Ia paling tidak suka jika sahabatnya itu mulai mengungkit kematian. Sebagai satu-satunya manusia sehat di dalam pertemanan ini, ia merasa dihantui akan kehilangan. Setelah hemofilia berhasil merenggut Bari, ia tak mau lupus turut serta mengikuti jejak tersebut. Feri tidak akan pernah siap. Kapan pun itu.
Nanda lekas berdiri dan menepuk pundak sahabatnya. "Becanda, Fer."
"Nggak lucu, tau."
"Maaf."
Feri menurunkan payung yang sejak tadi ia pegang. Ia meletakkan benda itu begitu saja dan lekas memeluk Nanda. Ia mendekapnya seerat mungkin, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir merasakan hawa hangat dari tubuhnya.
"Jaga diri baik-baik di sana."
"Iya."
"Kalau ada apa-apa, cepet bilang."
"Iya."
"Aku bakal langsung otw dari Jogja."
"Iya."
Feri melepas pelukan itu dan menatap Nanda serius. "Please, jangan iya-iya aja dan yakinin aku kalau kamu bakal beneran baik-baik saja, Nda."
"Gimana caranya? Gimana caranya, Fer?"
Feri terdiam. Ia seketika kehabisan kata-kata. Lidahnya kelu dan otaknya mengirim sinyal pada hati bahwa ia telah salah meminta.
"Nda--"
"Aku bakal berusaha buat baik-baik aja. Buat Mas Dian, Mbak Dina, kamu, dan tentu buatku sendiri," Nanda mencengkeram pundak sahabatnya dengan kuat, "tapi nasib tubuh ini di luar kendali kita, kan? Kecelakaan yang menimpa Bari udah cukup jadi bukti, Fer."
Nanda menelan ludah. Ia menjeda kalimatnya dan mengalihkan pandangan. Hal itu membuat Feri mulai berkaca-kaca dan tetap tak berkutik.
"Nda--"
"Sebesar apa pun usaha kita, rencana yang di atas terlalu abu-abu untuk diprediksi."
Feri mengangguk. Mereka akhirnya berpelukan untuk terakhir kali, lalu berangkat ke bandara. Tidak hanya sang sahabat yang mengantar, tetapi kedua kakaknya juga berada di sana.
"Inget kata dokter, apa yang boleh dan apa yang nggak boleh."
"Iya, Mbak."
"Jangan telat minum obat. Olahraga juga jangan absen."
"Iya, Mas."
Bungsu dari tiga bersaudara itu mengangguk saja. Baik Dina maupun Dian tidak ada yang ikut mengantar adiknya ke Jakarta. Bukan karena tidak bisa, melainkan Nanda sendiri yang tak mengizinkan. Banyak alasan dan perdebatan yang terjadi. Pada akhirnya, si kecil yang menang.
"Nanti kamu nggak perlu pesen ojek online, Mas udah minta tolong orang lain buat jemput di bandara," ucap Dian lagi.
"Iya."
"Nanti sampai sana--"
"Ck, udah dong, Mas," Nanda menatap Dian tak santai, "mau sampai kapan ngocehnya?"
"Oke."
Dian tak lagi bersuara. Terkadang rasa cinta pada adiknya itu terlalu membludak sampai membuat pihak yang bersangkutan jijik sendiri. Ia benar-benar langsung terdiam kalau Nanda melayangkan protes seperti itu.
Denting informasi untuk para penumpang menggema melalui speaker. Nanda mengambil alih tasnya dari sang kakak dan berpamitan. Ia memeluk Dian dan Dina dengan erat. Tak lupa juga mencium tangan dan pipi seperti biasa. Feri hanya menyaksikan dengan senyum manisnya.
"Nanda pergi dulu."
"Bukan pergi, Nda. Berangkat," ralat Dian. Ia sedikit sensitif dengan kata itu.
Nanda lekas tersenyum dan melambaikan tangan. "Iya, Nanda berangkat dulu, ya."
Sementara itu, di bandara, seorang gadis tak hentinya menyemprotkan parfum. Mulai dari leher, pergelangan tangan, lalu menyebar ke badan hingga paha. Ia tak peduli dengan banyaknya tatapan aneh ke arahnya. Mungkin dalam hati mereka berpikir, siapa yang masih sempat melakukan hal itu di tengah keramaian seperti ini? Hanya Caroline.
Gadis itu sesekali merapikan rambut. Ia juga mengusap-usap poninya agar tetap bertahan sesuai posisi. Sungguh klimis dan tertata indah di dekat telinga.
Namun, hal itu tak membuat pegal di kakinya mereda. Ia sudah berdiri setengah jam lamanya. Bukan salah siapa-siapa, Caroline sendiri yang berbuat ulah. Entah dapat ilham dari mana, gadis itu datang lebih awal sebelum jadwalnya.
Tangannya juga turut kesemutan. Aksi memegang papan yang sebenarnya tak berat-berat amat itu cukup membuatnya ingin mengumpat. Caroline terus berdoa dalam hati agar cobaannya kali ini cepat berakhir.
"Dah keluar, Pa. Udah keluar!" seru gadis kecil di sampingnya.
Sontak Caroline menghadap depan dan mencari sosok yang telah dititipkan padanya. Matanya tajam meneliti satu per satu penumpang yang muncul dari pintu keluar.
Tidak begitu sulit. Ia hanya harus mencari lelaki pemilik ruam malar dan lesung pipi. Sayangnya, semua akan sangat tak terduga kalau ternyata sebuah masker menutupinya. Namun, Caroline tetap tenang. Toh, dari radius satu kilo meter pun, ia dapat mengenali pangerannya dengan lihai.
"Nanda!"
Caroline segera mengangkat tangannya bangga, menunjukkan papan bertuliskan 'Welcome back, Honey!' yang dihiasi coretan warna-warni. Ia bahkan menambahkan foto Nanda dan dirinya sendiri di sana.
Gadis yang mengenakan setelan pastel itu tak dapat menahan antusiasnya saat Nanda berjalan mendekat. Ia terus tersenyum manis. Hatinya mulai berdegup kencang saat lelaki yang dinanti melepas kacamata dan menurunkan maskernya.
"Jadi lo orang suruhan Mas Dian?"
Caroline mengangguk cepat.
"Gue pikir siapa."
"Lo nggak seneng, ya, gue jemput?"
Wajah Caroline berubah murung. Ia menunduk dan tak lagi memancarkan aura positif seperti tadi. Ia merasa tak diinginkan untuk pertama kali dan itu cukup membuatnya terluka.
Nanda tersenyum tipis dan menggeleng. Ia mengangkat dagu Caroline dan menatapnya teduh. Rona gadis yang jauh lebih pendek darinya itu mulai bersemu. Ia juga terbelalak.
"Seneng, kok. Ayo, pulang."
Binar harapan Caroline mulai memancar kembali. Ekspresi Nanda saat mengucap kata 'senang' berhasil membangkitkannya dari kegelapan. Gadis itu tersenyum dan lekas mengiakan. Ia lekas berjalan mendahului Nanda dengan kaki yang mengentak-entak tanpa permisi. Ia sungguh gemas dengan momennya sendiri.
"Nggak ada kuliah hari ini?" tanya Nanda berbasa-basi. Hening yang mengiringi langkah keduanya terasa tidak enak jika dipertahankan.
"Lo, kan, sekelas ama gue, harusnya tau kalau hari ini ada tiga matkul."
"Terus kenapa malah ke sini?"
"Ketemu sama lo lebih menarik daripada ketemu dosen."
Nanda tertawa. "Jujur amat jadi cewek."
Caroline berhenti melangkah dan berbalik badan. Matanya beradu dengan milik Nanda dengan berani. Namun, agaknya lelaki itu malah enggan dan memilih menatap bumi. Mungkin lantai bandara lebih menarik dibanding Caroline.
"Kalau gue ikut-ikutan nggak jujur kayak lo, sampai kapan pun kita nggak bakal jadian," ucapnya percaya diri.
Nanda pun menelan ludah. Baru saja menapakkan kaki di Jakarta, ia sudah disuguhi gombalan seperti ini. Meski receh dan tak tepat waktunya, ia masih bisa tersenyum. Sebagai lelaki yang baik, ia tetap menghargai usaha gadis itu.
"Lo nggak capek?"
Caroline mundur dua langkah. "Capek? Lumayan. Gue udah sejam di sini."
Nanda lekas menggeleng. "Bukan, bukan itu."
"Terus?"
"Lo nggak capek ngejar gue?"
Caroline terdiam. Matanya berkedip bingung. Ini bukan pertanyaan yang ia duga sebelumnya. Terlebih aura Nanda tidak seperti sedang bercanda. Ia seketika jatuh lagi.
Jatuh hati.
Yeay, 20 chapter 🎊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro