2 • jangan keliatan bego
Kepala Nanda masih berat dan berputar-putar, terasa seperti tertimpa karung beras berkilo-kilo. Matanya panas dan enggan terbuka dengan mudah, padahal ia yakin sudah berada di tempat redup dan menenangkan.
Lelaki pucat itu berkali-kali mengatur napas. Ia sudah sadar, tetapi entah kenapa masih enggan bangkit untuk meneruskan segala rentetan acara OSPEK yang belum selesai. Dadanya masih nyeri dan sesak secara bersamaan. Ingatan tentang sarapan belumlah hilang. Obat juga tidak pernah absen. Lantas, mengapa hasrat ingin muntah terus mendesak perut dan tenggorokannya? Sial!
Sekuat tenaga Nanda mencoba membuka mata. Air matanya mulai mengering dan meninggalkan bercak putih yang menjijikkan. Pandangannya liar, mencari-cari siapa yang dapat membantunya saat ini.
"Pe-permisi ...." Suara Nanda terbata-bata.
Seorang gadis berseragam KSR-PMI mendekatinya dengan tergopoh-gopoh.
"Kamu sudah sadar?"
Pakai nanya lagi. "Ma-maaf, mau ...."
Nanda memiringkan tubuh dan membekap mulutnya erat. Gadis itu terlampau peka dan segera mengambil nierbeken. Ia menaruh benda tersebut tepat di bawah mulut Nanda, sebelum laki-laki itu mengeluarkan isi perutnya.
"Hoek!"
Shit! Pahit, pahit, pahit!
Seketika tubuh Nanda melemas. Ia mulai menikmati pijatan di area tengkuk yang sedikit membantu. Gadis yang sudah ia pastikan adalah senior--entah dari jurusan apa--itu membuatnya nyaman sampai lupa diri. Nanda kembali merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Jam dinding baru menunjukkan pukul sebelas, berarti ia masih punya waktu sampai istirahat siang usai.
"Udah?"
"Sudah, makasih, Kak. Maaf merepotkan."
Gadis itu mengangguk. "Suhu tubuhmu lumayan tinggi. Dokter klinik nyaranin buat periksa ke rumah sakit. Kalau nggak kuat, kamu izin aja ke panitia, minta pulang gitu. Nanti kita bisa buatin suratnya."
Sungguh tawaran yang menggiurkan. Pulang di saat yang lain menikmati penderitaan, siapa yang tidak mau? Namun, Nanda hanya tersenyum dan menggeleng.
"Saya lanjut kegiatan aja, Kak. Tanggung, udah nugas juga. Masih istirahat, kan?"
Gadis itu mengangguk lagi. "Iya. Kamu bisa istirahat dulu di sini. Aku tinggal nggak apa-apa, ya?"
Tentu saja Nanda mengiakan. Ia tidak mungkin menahan siapa-siapa. Namanya saja ia tak tahu, apalagi itu. Ia lantas menarik sudut bibirnya seraya membungkukkan badan saat sang penolong hilang dari pandangan.
Lelaki yang rona wajahnya bak kepiting rebus itu menumpuk bantal agar lebih tinggi. Hal ini membuatnya nyaman dan tak lagi merasa mual. Tangannya beralih pada ponsel yang sejak tadi menyala. Ia sengaja mematikan suara dan getarannya agar tak mengganggu.
Dari: Mas Dian
Makan siang sama apa?
Nanda mendengkus. Kakaknya sama sekali tidak kreatif. Tiga kali sehari ia bertanya apakah Nanda sudah makan, hampir lima kali sehari ia bertanya Nanda sedang apa, dan lebih dari sepuluh kali sehari ia bertanya apakah Nanda baik-baik saja.
Belum.
Basa-basi bukanlah style-nya. Nanda juga bukan tipe penanya dalam percakapan. Lelaki itu segera bangkit saat Dian tiba-tiba melakukan video call. Ia merapikan rambut yang acak-acakan dan berkaca sebentar pada layar ponsel. Ia berdeham tiga kali untuk menjernihkan kerongkongan.
"Selamat siang, saudara-saudara!"
Nanda berdecak. "Apaan?"
"Eh, lagi di mana, Nda? Nggak ke kantin? Katanya belum makan? Bukannya ini udah jam istirahat?"
Nanda menelan ludah kasar. Ia bingung mau menjawab apa. Sebisa mungkin ia mencari latar yang polos, agar tak terlihat seperti klinik kampus.
"Em, ya, ini mau ke kantin. Iya, mau ke kantin," jawab Nanda kikuk. "Makanya jangan telpon dulu. Nanti aja kalau udah di kos."
"Oke, deh. Jangan makan gula banyak-banyak, garam juga. Makan sayur dan buah jangan irit. Inget, minimal sehari--"
"Iya, iya, cerewet!"
Nanda menutup telepon secara sepihak tanpa mendengarkan tanggapan Dian. Ia sudah terbiasa bertindak semena-mena demikian.
Kakinya tak lagi linu. Perutnya juga sudah bisa diajak kompromi. Pening yang sejak tadi menyiksanya turut enyah entah ke mana.
Nanda menyibak selimut, lalu turun dari ranjang. Ia meraih sepatunya yang disimpan tepat di bawah kasur. Punggungnya lama-lama panas kalau harus terus berbaring. Lagi pula, cacing peliharaannya mulai meronta-ronta meminta makanan.
Di lain empat, tepatnya di depan klinik, Caroline terus bernyanyi dengan agak sumbang karena senior di depannya bermesraan tanpa permisi. Otak udangnya terus memaki, bahkan alis dan dahinya berkerut. Apa-apaan ini? Zaman sekarang tempat menuntut ilmu juga menjadi ajang cari jodoh? Oh, Man. Ini bahkan lebih dari itu, sekilas mirip pemberhentian di motel. Ia tidak suka. Andai pangeran yang ia temukan tidak berada di sekitar sini, ia sudah minggat sedari tadi.
Caroline tidak peduli dengan sekian banyak mata yang menatapnya. Ambil sisi positif saja, mungkin mereka tengah menikmati keindahan visualnya. Kapan lagi bisa melihat gadis cantik dengan suara semerdu ini, bukan? Caroline terus tersenyum sambil berkacak pinggang.
Gadis itu menendang angin ke sana kemari. Ia lelah menunggu sosok yang pingsan di lapangan beberapa waktu lalu. Seharusnya, lelaki itu sudah sadar dan kembali ke barisan. Atau jangan-jangan, ia menderita penyakit mematikan dan Caroline baru saja menyelamatkannya? Ah, berkhayal saja bisa membuatnya cengar-cengir tak jelas. Dasar! Caroline mulai berpikir, mungkin semua ini sudah takdir. Tuhan telah mengirimkan tontonan yang jauh lebih menarik dari film semalam.
Perut kosongnya tiba-tiba berbunyi cukup keras. Spontan Caroline menekan area tersebut dan menggigit bibir bawahnya. Ia mengembuskan napas lega karena tidak ada yang lewat dan mendengar kekonyolan itu.
Caroline lekas menoleh tanpa diperintah saat mendengar suara pintu yang terbuka. Senyumnya mengembang saat orang yang ia nanti keluar dari klinik, dengan tampang yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Masih tampan, gumamnya dalam hati.
Lelaki itu berjalan melewati Caroline yang tak berkedip sedikit pun saat memandangnya. Tak lama tangannya sedikit ditarik agar mau berhenti. Karena masih lemas, ia tidak bisa melawan dan langsung berbalik, menatap Caroline tak suka.
"Apa?" tanyanya kesal.
"Wuih!" Caroline justru terkagum-kagum.
Selain ruam kemerahan yang melintang di bawah mata dan sekitar pipi, lelaki ini sangatlah putih. Kulitnya terlihat bersinar di bawah sinar matahari. Bahkan, sepertinya jauh lebih terang dari masa depan Caroline. Gadis itu sontak menelan ludah saat mengamati indahnya ciptaan Tuhan di depannya.
Lanjut, alisnya tidak tebal, juga tidak tipis. Matanya ideal, tidak minimalis seperti miliknya dan tidak berlebihan. Hidungnya mancung dan bibirnya ranum. Oh My God! Bahkan, rona pucat di bibirnya menambah kenikmatan sendiri untuk dipandang. Caroline bisa mati berdiri jika terlalu lama menatapnya.
"Ada apa?" ulangnya lagi.
Gadis yang terlalu lama menganga itu terkesiap. Ia lekas menggeleng, lalu memukul jidatnya sendiri. Sadar, sadar, jangan keliatan bego di depan orang ganteng, Lin, batinnya. Ia segera melempar senyum dan merapikan rambutnya ke belakang telinga.
"Lo udah nggak apa-apa?"
"Hah?"
"Hm, anu, gue yang tadi bawa lo dari lapangan ke klinik."
"Oh, sori. Gue nggak tau. Makasih, ya. Sori sekali lagi, belum apa-apa udah ngerepotin."
Haha, nggak apa-apa, kok. Kalau direpotin sama cowok ganteng plus sakit kayak lo, mah, gue rela sepenuh hati. Tentu Caroline masih waras dengan tidak mengucapkan pemikirannya ini.
"Hm, santai aja. Kan, kita sekelompok. Oiya, gue Caroline, panggil aja Olin." Dengan berani Caroline mengulurkan tangan. Matanya berbinar antusias menunggu balasan.
"Nanda."
Batin Caroline berteriak, menjeritkan kemenangan. Tangannya pun mulai bergetar tak karuan. Hatinya bergemuruh, seakan-akan ingin keluar dari tempatnya.
Kehangatan lelaki itu menjalar memasuki relung hati. Ah, sudah lama Caroline tak merasakan sensasi seperti ini. Tanpa sadar, ia tersenyum lebar dan terus menunduk, cara tepat untuk menyembunyikan rona pipinya yang berubah warna.
"Udah kenalannya? Boleh dilepas?"
Caroline buru-buru berdeham, lalu menarik tangannya. Ia tertawa kecil dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Nanda hanya menatap dengan senyuman tipis dan lesung pipi yang sedikit muncul.
"Sori," ucap Caroline kikuk.
"Nggak apa-apa. Lo udah makan?"
Caroline menggeleng. "Belum."
Ia tidak berbohong sama sekali. Setelah selesai dengan rangkaian kegiatan, kakinya berlari secepat kilat menuju klinik. Namun, ia memilih menunggu di luar dan membiarkan pujaan barunya menikmati alam mimpi dengan lelap.
"Kebetulan gue mau ke kantin. Mau bareng?"
Mata Caroline terbelalak begitu saja. Telinganya terangkat, memastikan apa yang baru saja ia dengar tidaklah salah. Suara batinnya kembali berteriak, ingin pula Caroline melompat setinggi langit.
Makan bareng?
Makan?
Bareng?
Apa yang Caroline perbuat di masa lalu hingga begitu beruntung di masa sekarang? Ia masih tak habis pikir dengan kalimat yang menggetarkan sel-sel kebucinannya itu. Tak menunggu lama, ia langsung mengangguk, sebelum Nanda berubah pikiran.
"Ayo!"
Ayo pakai banget! Gandeng tangan juga boleh.
Makasih ya atas antusias kalian di part pertama 😍
Follow IG-ku yuk. Nanti bakal banyak konten tentang Slow Motion, salah satunya film/series sicklit favorit Olin.
See you tomorrow 😚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro