19 • ngomong apa?
Pagi hari ini dimulai dengan desahan napas kesal bertubi-tubi. Caroline dilanda bosan, tersiksa sebab mengantuk level tinggi. Begadang yang ia lakukan tadi malam sangatlah ekstra, sampai-sampai alarm pun pun ia abaikan. Alhasil, ia tak mandi terlebih dulu sebelum berangkat ke kampus.
Persetan, semangatnya memang sudah kehilangan sejak kemarin. Hasrat hati ingin membolos, tetapi ia urungkan seketika setelah sahabatnya mengoceh tanpa henti. Ia hanya bisa menunduk pasrah sambil memainkan permainan cacing yang tengah viral. Sesekali ia menghadap depan, berlagak memperhatikan petuah dosen.
"Tugas minggu depan …."
Hah? Tugas?
Gadis yang semula fokus mencari makan untuk cacingnya itu segera menutup aplikasi game dan beralih ke note. Tentu saja tetap di ponsel. Tasnya hanya berisi lipstik, kaca, dan bedak padat. Tak ada satu pun buku di sana. Setidaknya, ia masih memiliki bolpoin untuk mengisi presensi.
"Resume salah satu bab dari buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar karya Prof. Deddy Mulyana …."
Resume lagi.
Caroline menenggelamkan wajahnya di atas meja. Bisa-bisa ia mabuk resume kalau begini caranya. Ia sekarang paham mengapa para seniornya meminta mereka untuk melakukan resume saat OSPEK dulu. Mungkin, hitung-hitung pemanasan dan langkah awal untuk membiasakan diri.
"Baik, pertemuan kita kali ini sampai di sini …."
Akhirnya penantian Caroline tiba. Ia tak peduli dengan sisa kalimat yang dosennya katakan. Cukup dengan penutup tersebut, ia bergegas memasukkan ponsel ke tas dan bersiap untuk enyah dari ruangan super-padat ini.
Langkahnya tergesa-gesa. Ia sampai mendorong salah satu kawan kelas yang menghalanginya di ambang pintu. Sungguh, gadis itu tak menoleh sedikit pun untuk meminta maaf.
Setelah mendapat pesan dari Bena di grup WhatsApp, Caroline lantas mempercepat langkah menuju kantin. Solusi ketika bosan seperti ini hanyalah meluapkan emosi pada sahabatnya. Teman memang tempat pembuangan kesal paling pas di dunia ini.
Cepetan!
Kalau masih lama, gue tinggal balik ke kelas.
Langkah gadis itu makin dipercepat. Sebuah ancaman klasik membuatnya panik sendiri. Fokusnya lantas tertuju pada ponsel, jari tak henti mengetik kalimat rayuan agar kawannya itu tak buru-buru kabur.
"Eh! Sat!"
Caroline mengumpat saat sesosok lelaki menghalangi jalan. Ia melangkah mundur setelah kepalanya berhasil menghantam dada bidang milik orang itu. Ia segera mendongak untuk melihat siapa gerangan yang berdiri di tengah jalan tanpa dosa tersebut.
"Ramsi?"
Gadis berpita ungu itu segera beranjak pergi. Namun, Ramsi tentu menahan tangannya bak siaran FTV di siang hari. Lelaki itu menatap 'mantan' gadisnya dengan lekat dan sangat mengintimidasi.
"Jadi, dia Nanda?"
Caroline membalas tatapan Ramsi dengan sorot yang sama. "Apa maksud lo?"
"Nanda, kan, yang bikin lo putusin gue?"
Caroline berdecak dan menggeleng. "Nggak usah nyalahin orang lain atas kesalahan lo sendiri. Lepas, nggak?"
Ramsi mendekati Caroline dan mengusap pipi gadis itu lembut. "Jangan galak-galak gitu, dong."
Tangan lelaki itu tergerak untuk menyentuh dagu yang beberapa waktu lalu masih menjadi miliknya. Ia tanpa segan mengangkat wajah Caroline dan menatapnya dengan jarak sekitar lima senti.
"Gue tau apa yang selama ini lo lakuin sama dia. Sebelum jauh, stop di sini. Gue masih maafin," tambahnya dengan tersenyum.
Caroline tertawa remeh. "Sori, cukup terlambat kalau gue harus berhenti di sini. Makasih, tapi lo nggak perlu repot-repot maafin gue."
Setelah itu, ia menghempaskan tangan Ramsi dengan kasar. Caroline juga mengusap dagu dan pipinya bergantian, lalu melanjutkan langkah. Matanya terus menatap ke belakang, berjaga kalau saja lelaki itu mengikutinya. Ia pun berlari saat jarak mereka sudah makin jauh.
Di tempat lain, Feri dengan telaten menyuapkan sesendok teh air putih pada Nanda. Pelan-pelan ia ulangi beberapa kali sampai sahabatnya itu berkata puas.
"Mas Dian ke mana?"
"Ada urusan mendadak. Tadi Mbak Dina juga ke sini, tapi pamit buat cek pasien lain."
Nanda mengangguk. Ia lalu membuka mulutnya untuk meminta air lagi. Pikirannya masih kosong dan tak tahu harus bercakap apa pada Feri. Cukup aneh, biasanya hal tak penting pun akan keluar dari mulut keduanya tanpa diperintah.
"Hm, Nda."
"Fer--"
Kedua laki-laki itu memulai pembahasan secara bersamaan.
"Kamu dulu," ucap Feri akhirnya.
Nanda menelan ludah. "Axela … gimana?"
Feri menghentikan tangannya. Ia lekas menunduk dan mengalihkan pandangan. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya tanpa sebab. Tiba-tiba otaknya maju-mundur, haruskah kali ini ia bercerita? Atau tidak?
"Fer?"
"Hem?" Laki-laki itu terkesiap. "Oh, Axela. A-anu, dia … dirawat juga."
"Hah?" Nanda tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seketika ia mencoba bangun, tetapi dadanya lekas berdenyut. "Sk, aw!"
"Diem dulu. Dia nggak pa-pa. Cuma kecapekan."
"Kok sampek dirawat?"
"Dia nggak bisa tidur, nggak mau makan juga, jadi orang tuanya bawa dia ke RS buat diinfus. Biar ada nutrisi, katanya."
Kalimat itu cukup membuat Nanda terdiam. Ia tak mampu berkata-kata setelah melihat kenyataan kepergian Bari dapat membuat Axela terpuruk. Ia tak menduga gadis setegar itu dapat serapuh demikian.
Nanda mencengkeram selimutnya kuat-kuat. Pandangan yang entah ke mana itu sontak menajam dan bergetar, seakan-akan mengkhawatirkan hal-hal yang belum diketahui.
Feri lekas menarik tangan sahabatnya dan menggenggam erat. Sontak Nanda pun menoleh.
"Mikir apa? Axela nggak pa-pa, Nda."
Nanda menggeleng. "Bukan apa-apa."
"Nggak usah disembunyiin. Di jidatmu udah ketulis 'lagi mikir mode ON'. Cerita aja."
Nanda lagi-lagi menggeleng. Ia lantas memandang gorden yang terbuka sempurna, menampakkan penampakan langit yang tak sebiru hatinya.
Segala momen yang ia lakukan sebelum datang kemari terpanggil begitu saja. Wajah seorang gadis yang hampir setiap hari mengikutinya itu tertoreh jelas, lengkap dengan senyum manis dan rambutnya yang dikucir satu.
Seketika sebuah senyuman hadir di bibirnya. Ia mengingat bagaimana usaha sang gadis saat mencoba mendapatkan perhatiannya. Ternyata cukup menenangkan. Binar mata yang kerap merayunya itu selalu sukses membuat Nanda salah tingkah, meski dalam hati sedikit geli dan tak tahu harus berbuat apa.
Namun, senyuman itu lekas luntur saat petir kalimat Feri mulai teringat. Senyuman gadis tersebut lekas sirna dan berganti dengan tangis yang dimiliki gadis lain. Semuanya terngiang-ngiang dan berlomba-lomba untuk menjadi juara pada keputusannya.
"Orang kayak aku gini … nggak layak punya pasangan ya, Fer?"
"Maksudmu?"
Nanda menoleh ke arah Feri. "Orang yang masa depannya abu-abu begini, nggak selayaknya terjun ke hati orang, kan, ya?"
"Ngomong apa sih, Nda?"
"Liat Axela, dia begitu rapuh saat Bari nggak ada dan ...."
Laki-laki itu menjeda kalimatnya. Cukup lama, sampai Feri tak kuasa ingin mendengar kelanjutannya. "Dan apaan?"
"Aku nggak mau siapa pun rapuh saat aku nggak ada nanti."
Di saat Feri tercengang dengan jawaban Nanda, Bena pun sama. Ia cukup terkejut dengan tampang amburadul sahabatnya. Es teh yang ia pesan langsung tawar rasanya karena aura masam Caroline.
"Jadi gimana?" tanyanya.
"Kata Mas Dian, Nanda masih dirawat sekarang."
Nada Caroline terdengar melemah dan tak bergairah. Aneh, bukan? Mengingat, gadis itu biasanya selalu berapi-api ketika menceritakan tokoh lelaki mana pun saat sedang kambuh.
"Ini beneran temen gue?"
Caroline mendengkus. "Lo pikir siapa? Jin Iprit? Jin Komang? Jin--"
"Iya, kali. Kesambet lo?"
"Lo nggak asik, ih. Gue khawatir."
Caroline berteriak kesal dan menenggelamkan wajahnya pada meja kantin. Kedua tangannya menutup kepala rapat, layaknya benteng yang menahan segala jenis gangguan. Hal itu membuat Bena mendengkus, lalu mengunyah baksonya malas.
"Tumben lo nggak bilang 'kupu-kupu di perut gue beterbangan' gitu?" tanya Bena dengan nada semirip mungkin dengan milik sahabatnya.
Perlahan Caroline mengangkat wajahnya. "Tadinya, sih, gitu."
"Gitu gimana?"
"Pas Mas Dian bales chat dan bilang kalau Nanda di rumah sakit, gue agak gemes. Tiba-tiba geli gitu di perut gue. Tapi, pas Mas Dian bilang kalau Nanda baru saja operasi, gue jadi deg-degan nggak karuan. Kenapa, ya?"
"Ya, mana gue tau. Tanya yang satu spesies sama lo sana."
"Hih! Nyebelin!"
Bena tak lekas menjawab. Ia juga tak menertawakan Caroline, meski ingin. Ia membiarkan gadis itu bersungut-sungut sampai puas.
Setelah dirasa cukup tenang, ia lekas menepuk punggung tangan Caroline. Gadis itu pun tersentak dan lekas beradu tatap.
"Apaan?"
Bena tersenyum. "Sekarang, gue mau serius."
"Iya, apa?"
"Cuma lo yang tau jawabannya, Lin. Kadang seseorang tau apa yang terjadi dengan dirinya, hanya saja mereka belum ingin menerima kenyataan."
Love you, guys 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro