Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 • jangan kayak gini

Gadis yang mengerucutkan bibir masih berguling ke sana kemari. Ratusan notifikasi di ponselnya tak membangkitkan selera. Tentu saja karena tak ada satu pun yang berasal dari sang pujaan. Ia sengaja memasang ringtone lain untuk membedakannya.

"Hah …."

Caroline mendesah kesal. Ia benar-benar bosan. Perkuliahan tengah libur, jadi tidak ada aktivitas yang berarti. Punggungnya sampai panas karena berbaring seharian. Ia bahkan telah menamatkan dua serial sekaligus. Kantung matanya kini telah memiliki kantung lagi.

Gadis itu beranjak duduk, meregangkan otot tubuhnya yang lelah tertindas. Pandangannya kosong menatap cermin panjang yang ia pajang di atas meja belajar. Sungguh, penampilannya sangat tak berperikeputrian. Rambutnya acak-acakan dan iler-nya di mana-mana. Maklum, ia belum mandi sejak kemarin sore.

Ia lantas meraih ponselnya dan membuka akun Instagram. Sayangnya, benar-benar tidak ada notifikasi apa pun dari Nanda. Pemberitahuan bahwa ia akan off selama tiga hari bukanlah main-main.

"Ah, sial! Gue kangen!" teriak Caroline kencang.

Gadis itu kembali melempar tubuhnya. Punggung yang masih panas itu harus beradu dengan kasur setelah kurang dari lima menit dipisahkan. Mata Caroline fokus pada objek favoritnya untuk kesekian kali, yakni langit-langit kamar.

"Nanda lagi apa, ya?"

Lagi-lagi ia bermonolog. Berbicara dengan diri sendiri merupakan keahliannya. Ia hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Menghubungi Nanda pun percuma, ia tak akan mendapat balasan apa pun.

Mulai dari pesan WhatsApp, Instagram, Facebook, SMS, semua hal ia lakukan. Namun, hasil tengah mengkhianati usahanya. Selain hati Nanda yang belum bisa ia raih, panggilan telepon pada lelaki itu pun berada di luar jangkauan. Nasib mulus memang tak selamanya hadir.

Kemudian ia mendengkus, meratapi alasan nasibnya harus seperti ini. Di saat ia memiliki waktu luang yang luas, sahabatnya malah disibukkan dengan kemah jurusan. Lelaki yang ia kejar mati-matian juga enyah ke antah berantah. Hanya kumpulan oppa Korea yang menemani hari liburnya.

Caroline kembali duduk. Bagian belakang tubuhnya kembali terasa terbakar. Dengan malas ia membuka pesan di grup satu per satu--melakukan scroll tanpa membacanya. Toh, hanya kumpulan curhat para kaum yang baru saja keluar dari kandang senior.

"Eh? Masih ada nggak, ya?"

Gadis itu tiba-tiba mengingat sesuatu. Senyumnya merekah dan ibu jarinya sontak bergerak antusias. Ia lekas bersyukur karena otaknya sudah mulai bekerja dan membuahkan hasil.

"Ketemu!"

Suaranya keluar dengan sangat lantang. Caroline lekas memeluk ponselnya erat dan menciumnya berulang kali. Sebuah kontak yang terendap di permukaan berhasil membuatnya senyam-senyum sendiri. Tanpa perlu berlama-lama, Caroline segera mengetikkan sesuatu. Matanya berbinar-binar. Akhirnya ia menemukan titik terang.

Assalamualaikum, Mas Dian, calon kakak ipar Olin, hehe.

Sementara itu, sosok yang sedang dirindukan masih mengumpulkan kesadarannya. Nanda bangun dari mimpi yang sebenarnya cukup menenangkan, tetapi terlihat mengkhawatirkan bagi Dian. Lelaki itu tak berpaling sedikit pun saat sang adik menyinggung tentang almarhumah ibu mereka.

"Kamu tadi ketemu Ibu?"

Dian mengusap rambut Nanda dengan sayang. Suara lembutnya ditemani sebuah senyuman manis. Ia berusaha tetap tenang untuk menjaga kondisi Nanda.

"I-iya."

Meski lehernya kaku, lelaki itu masih bisa berkomunikasi. Nanda hanya lelah, yang ia butuhkan cukup istirahat dan banyaknya dukungan. Kesehatan fisik dan mental harus sama-sama diperhatikan.

"Ibu bilang apa?" tanya Dian seakan-akan antusias.

Nanda terdiam. Mata yang semula menatap kakaknya itu kini beralih memandang atap. Ia merenung, setengah mengingat-ingat atas mimpinya hari ini. Samar-samar ia dapat melihat kedamaian wajah ibu mereka yang mendekat dan mendekap tubuhnya. Nanda juga melihat sang ayah yang tersenyum dari kejauhan. Ingatan itu kembali datang dan membuatnya tersenyum.

"Kok malah senyum-senyum, bukannya dijawab."

Bagi Dian, melihat Nanda seperti ini sedikit membuatnya senang. Namun, ia lebih diselimuti rasa takut. Ia khawatir adiknya sedang berhalusinasi dan berujung pada hal yang tak ia inginkan.

Nanda lantas menggeleng, lalu menatap kakaknya lagi. Walaupun telah mengingat pertemuan semu dengan orang tuanya, ia tak kuasa untuk bercerita. Bukan karena takut, melainkan tenaganya tak kuasa. Bercerita panjang lebar hanya akan menguras energi. Ia hanya bisa memamerkan senyum dan lesung pipi yang juga Dian miliki.

"Oke, kalau nggak bisa cerita, nggak pa-pa." Dian terus memainkan rambut adiknya. "Kamu puasa hari ini. Kata Mbak Dina, besok pagi ada operasi kecil."

Nanda mengangguk. Ia tak menduga hari ini akan datang lebih awal. Memang cepat atau lambat, cairan di perikardiumnya pasti menumpuk dan tak ada cara lain untuk mengatasinya, selain melakukan pericardiocentesis.

"Bari udah dimakamin, Mas?" tanya Nanda memecah keheningan. Wajahnya datar, sedatar suaranya saat ini.

Dian mengangguk. "Udah, dua atau tiga jam yang lalu. Kamu, sih, tidurnya lama banget."

"Feri--"

"Setelah kamu dibawa ke sini, dia ikut ke makam. Sama kayak kamu, dia juga pingsan di sana."

Nanda masih terdiam. Ia menelan ludahnya kasar. Kenyataan yang mengguncang itu mampu merobohkan sahabat paling tegar yang ia punya. Tak terasa air matanya menetes tanpa permisi. Ia buru-buru mengusapnya sebelum Dian berubah panik.

"Aku--"

"Nggak usah mikir macem-macem dulu."

Tangan Nanda terangkat. Ia berusaha melepas masker oksigen yang membekap mulutnya. Ia menoleh ke Dian dan memegang tangannya, seolah-olah memberi isyarat. Sekuat tenaga Nanda ingin bangkit, tetapi dayanya belum dapat diajak bekerja sama. Dian dengan sigap memeluk dan mendudukkan adiknya.

Perlahan, Nanda melepas dekapan Dian. Hanya tangannya yang masih bertengger di pundak lelaki itu. "Nanda mau ketemu Bari."

Dian menggeleng cepat. "Enggak, Mas nggak bakal izinin. Seenggaknya sampai kamu kuat dulu."

"Tapi, Mas--"

"Nda, please! Jangan kayak gini. Mas tau kamu terpukul, kamu terluka, kamu kehilangan. Mas cuma mohon, tahan sampai kamu benar-benar kuat--"

"Kapan?" ucap Nanda memotong kalimat Dian. "Kapan aku kuat? Mas pikir dengan operasi besok pagi, Nanda akan baik-baik saja? Gitu?"

"Maksud, Mas--"

"Maksud Mas nggak sama dengan maksudku. Nanda nggak lagi mikirin macem-macem, kok. Nanda cuma mau ke makam sahabat Nanda sendiri. Salah?"

"Iya!" Dian tak lagi dapat menahan intonasinya. "Salah, Nda. Salah kalau kamu memikirkan Bari kali ini. Mau sekarang atau nanti, nggak bakal ada yang berubah. Sekali-kali pentingkan dirimu dulu."

Mendengar hal itu, Nanda pun menunduk. Tangannya mulai bergetar dan mencengkeram pundak Dian dengan kuat. Air mata yang ia tahan sedari tadi pun tumpah begitu saja. Suaranya yang parau makin menjadi-jadi ketika tangisnya datang.

"Argh!"

Tangan kiri Nanda beralih memukul dada. Semuanya teramat sesak berkat terlalu berat menahan amarah. Nanda tak berhenti melakukan itu sampai Dian menahan tangannya. Sang kakak membawakan ke dalam dekapan dengan erat. Sangat erat hingga enggan melepaskan.

"Udah, cukup, Nda."

"Nanda salah, Mas."

"Enggak." Dian mengusap rambut adiknya. Ia meniup telinga kanan Nanda. Sebuah kebiasaan saat ia berusaha menenangkan laki-laki tersebut.

"Nanda nyesel, Mas. Nanda nyesel milih kuliah di Jakarta dan ninggalin dia sendiri di sini. Nanda nyesel karena nggak bisa peluk Bari waktu di Bandara. Nanda nyesel karena nggak langsung pulang pas tau Bari dirawat. Andai Nanda tau, pasti--"

"Sstt, nggak ada yang perlu disesali." Dian melepas pelukannya. Ia menghapus air mata adiknya dan memegang pipi Nanda dengan lembut. "Umur manusia hanya Tuhan yang tau, Nda."

Kedua pasang mata itu masih beradu. Air yang tertahan di pelupuk mata Nanda tengah berusaha untuk jatuh. Dengan cepat laki-laki itu mengusapnya dan kembali memeluk Dian. Ia tak lagi peduli dengan infus yang tertarik sampai-sampai sedikit terbuka itu. Nanda memejamkan matanya dan menikmati pelukan Dian cukup lama. Ia memerintahkan otaknya untuk merekam memori ini dengan jelas.

Nanda hanya tak mau mengulangi kesalahannya lagi.

"Udah, ya? Jangan nangis terus. Nanti sesek, lho."

Nanda mengangguk. Ia lantas menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Dian. Ia meresapi belaian yang tak henti lelaki itu berikan pada punggungnya. Sensasi nyaman mulai menjalar dari tulang sampai ke hati. Tubuhnya menghangat dan ringan. Nanda sudah cukup tenang.

Kalau nanti Mas ada di posisiku, Nanda harap Mas Dian memiliki sosok seperti Mas saat ini.

Bagi pendatang, mungkin bingung detailnya siapa tokoh Bari, Feri, Axela.
Kalau mau tau boleh baca Housepital dulu. Kalau nggak juga nggak apa-apa. Setelah ini fokus ke Olin lagi, kok.

Bagi pembaca setia Nanda dan pengin tahu Bari kenapa, nanti ada sendiri di spin off-nya, ya. See you (⁠ ⁠˘⁠ ⁠³⁠˘⁠)⁠♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro