15 • hati lo nggak sempit
Kamu gak perlu pulang, Nda.
Semuanya baik-baik saja.
Aku akan tetap pulang setelah acara ini selesai. Feri juga. Mas Dian dilarang protes.
Nanda mengirim pesan secepat kilat sebelum ada senior yang menegurnya. Ia segera mengantongi ponsel dan kembali ke rombongan. Langkahnya terhenti saat gadis familier tengah menunduk dan menunggunya sambil mengentak-entak rerumputan.
"Lo lagi, ada apa?"
Caroline mendongak. Ia tersenyum dan berjalan menghampiri Nanda. "Tadi gue nggak liat lo di kelompok, jadi gue cari, deh. Ternyata lo di sini," ucapnya seraya menata rambut ke belakang telinga, tanpa alasan.
"Ngapain nyari gue?"
"Hem?"
"Lo ngapain nyari gue?" tekan Nanda lagi.
Iya, juga, ya, batin Caroline.
"Nggak pa-pa, takut lo hilang aja."
Shit!
Caroline mengumpat dalam hati. Dari sekian banyak kata di dunia ini, mengapa alasan bodoh itu keluar dari mulutnya? Rasanya ia ingin buru-buru bersembunyi kali ini. Pipinya sontak merona ketika tawa Nanda datang. Ah, bikin malu saja.
"Gue udah gede kali, Lin."
"Emang cuma anak kecil doang yang boleh?"
Nanda menggeleng. "Seenggaknya gue udah tau jalan pulang ke rombongan."
"Kalau jalan ke hati gue tau, nggak?"
Nanda memutar bola matanya malas. "Kumat."
Lelaki itu melanjutkan langkah, melewati Caroline yang masih terpaku di tempatnya. Gadis itu hanya tersenyum dan mengikuti dari belakang. Langkah kecilnya dibuat seirama dengan milik Nanda. Kiri dengan kiri, kanan dengan kanan, kurang kerjaan sekali.
"Jangan ... berdiri di depanku, karena 'ku bukan ... pengikut yang baik."
Caroline mulai menyanyikan lagu Sebagai Kawan dari Banda Neira. Tangannya mengayun, mengiringi melodi yang ia lantunkan sendiri. Sesekali ia melompat, menikmati perjalanan berdua bersama Nanda. Tiba-tiba ia berharap bahwa pusat rombongan terletak jauh sampai berkilo-kilo meter, dan membutuhkan waktu yang lama untuk tiba.
Nanda mengangguk lemah. Ia mengeluarkan senyuman yang sejak tadi ia tahan. Caroline selalu bisa membuatnya mengubah mood, dari super-kesal hingga geleng-geleng. Entah berapa stok gombal yang gadis itu simpan untuk menaikkan perasaannya, yang jelas lebih banyak dari yang ia miliki dulu.
"Jangan ... berdiri di belakangku, karena 'ku bukan ... pemimpin yang baik." Tanpa Nanda sadari, mulutnya ikut bersuara menjawab lirik yang Caroline lempar.
Sontak gadis itu berlari mendahului Nanda dan berdiri tepat di depannya. "Jadi nggak pa-pa kalau jalan di samping? Kalau paket hemat sama gandengan tangan boleh juga, nggak?" tanyanya lancang dan tidak sabar seperti biasa.
Mata Nanda bertemu dengan milik Caroline. Tubuhnya otomatis kikuk. Ia cukup salah tingkah sampai harus mengalihkan pandangan.
"Hah? E-enggak. Apaan, g-gue cuma nyanyi."
"Nyanyi apa ngejawab? Hayoo … ngaku, deh, sama Caroline."
Gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda. Ia rela berjinjit karena laki-laki tersebut jauh lebih tinggi darinya. Senyum dan aura percaya diri yang Caroline miliki cukup membuat Nanda kehilangan kendali. Ia bingung dan tak tahu harus bagaimana.
Ia pun menggeleng lagi--entah sudah ke berapa kali--dan lekas menoyor dahi Caroline. "Jangan ngimpi."
Nanda kemudian berlari tanpa pamit. Caroline mendengkus kesal dan menendang angin yang tak berdosa. Bibirnya menggerutu tanpa henti.
"Nih kucing minta dipancing apa, sih? Heran gue!"
Di lain tempat, Bas sedang mengerutkan kening berkat panggilan dadakan yang mengusik keasyikan pengawasan. Sesekali ia menghela napas, menunggu sang lawan bicara menuntaskan rasa ingin tahunya.
"Jadi gimana?"
"Belum pacaran. Masih PDKT. Lo gimana?"
"Nggak ngerti. Awasin aja dulu. Gue masih usaha dengan cara gue sendiri. Thanks, Bro!"
Bas pun segera mengucapkan kata "Oke" sebelum menutup panggilan. Ia lalu kembali fokus pada junior-junior yang berlarian membawa gelas berlubang. Tangan mereka sibuk menutupinya agar air tak lekas surut. Sebagian lagi menyumbat lubang-lubang yang ada di pipa.
"Ayo! Ayo! Waktu kurang 15 menit lagi!"
Fazran menikmati pemandangan yang disuguhkan. Jelas masih teringat betapa basah kuyupnya ia saat memainkan permainan itu. Anggota kelompoknya cukup sadis. Bukannya mengisi pipa yang sudah dijaga mati-matian, mereka malah mengguyur kepala kawan di bawahnya satu per satu. Lihat, peserta diklat itu melakukan hal yang sama.
"Kalem, Zran. Bisa abis suara lo," tegur Bas.
"Asik, njir. Eh, btw, siapa yang telpon?"
"Biasa," Bas kembali duduk di samping Fazran, "Pak Bos."
"Masih nanyain Tuan Putri?"
Bas mengangguk. "Begitulah."
"Bucin banget kayaknya, ya."
"Kalau ceweknya secantik Caroline, gue juga bakal bucin, sih."
Fazran buru-buru menoleh ke arah Bas dan mendekatkan wajahnya, memandang dari bawah. "Jangan bilang lo--"
"Gue nggak makan temen sendiri."
Fazran menelan ludah. "Oh, kirain. Lagian kalimat lo aneh-aneh aja."
"Kan 'kalau', Zran."
"Nggak pa-pa juga kali, Bas. Kan doi udah free."
"Nggak. Gue cuma ngelakuin apa yang dia minta, nggak berniat ikut campur."
Fazran manggut-manggut. "Oke, lah."
Sementara itu, setelah bergulat dengan air dan matahari cukup lama, para mahasiswa baru mengeluh dan bersyukur secara bersamaan. Peluh yang mereka hasilkan telah selesai beradu dengan dingin yang mengguyur badan. Mereka segera menuju tenda untuk berganti pakaian.
Lain halnya dengan Nanda. Lelaki itu memilih duduk di atas batu dan menjemur diri. Bajunya tak seberapa basah, mengingat lokasi duduknya lumayan jauh dari posisi pipa. Ia cukup pandai dalam mengambil kesempatan.
Terlebih Caroline, ia benar-benar kering. Gadis itu cukup pintar dengan selalu menghindar saat kawannya datang membawa gelas penuh. Alhasil, lubang yang harusnya tertutup tentu terbuka begitu saja. Ia memang suka seenaknya sendiri.
Kali ini Caroline cukup sabar dengan memandang Nanda dari jauh. Lumayan, matanya dimanjakan dengan tenangnya lelaki itu saat menikmati angin semilir yang melintas. Senyumnya mengembang sebelum masanya, apalagi saat Nanda tetap menjadi Nanda. Lelaki tampan yang memiliki ruam merah bak kepiting rebus.
Keadaan sudah cukup sepi. Sebagian berlari ke kamar mandi terdekat--yang lokasinya tetap jauh, sebagian memilih tidur dan sebagian lagi mengabadikan diri bersama alam. Caroline memberanikan diri untuk beranjak dan menghampiri Nanda. Gadis itu sudah lihai dalam menjemput rezekinya sendiri.
Kini mereka berhadapan. Tinggi Caroline yang minimalis menjadi sejajar dengan lelaki yang tengah duduk di atas batu besar tersebut. Ia sedikit mengernyit saat hawa panas menjalar di punggungnya.
"Kenapa, Lin? Nggak ada kerjaan lagi?"
Caroline menggeleng. "Ya ini kerjaan gue, Nda."
"Hah?" Alis Nanda bertaut heran.
"Liatin lo ... termasuk kerjaan gue," ucap Caroline lalu tertawa.
Nanda kembali mendengkus. "Bisa, nggak, lo sehari aja nggak gombalin gue?"
"Habisnya Nanda nggak peka, sih. Minta dikejar mulu. Padahal sebagai cewek, Olin juga mau dikejar."
Nanda menggeleng saat mendengar kalimat manja itu. Mau bagaimana lagi? Menghadapi jenis perempuan seperti ini merupakan hal baru baginya. Yah, sedikit tantangan untuk kehidupan hati yang biasa saja sejak beberapa waktu lalu.
"Gue udah capek ngejar cewek mulu. Nggak pernah dapet."
"Kalau ngejar Olin pasti dapet kok, Nda," timpal Caroline penuh antusias.
Nanda mengembuskan napas panjang. Ia merasa berdosa karena telah salah menjawab. Matanya tak lagi berani menatap Caroline. Binar yang dimiliki gadis itu terlalu polos dan rentan untuk tersakiti.
"Ck, minggir, gih. Nggak panas emang?" tanya Nanda, berusaha mengalihkan perhatian.
"Ya panas, sih, tapi nggak pa-pa, deh."
Tak mau menambah budi, Nanda segera menarik tangan Caroline dan mendudukkan gadis itu tepat di sampingnya. Caroline cukup tersentak dan termangu. Lidahnya kelu sampai tak bisa berkata-kata. Hatinya lekas berdebar hanya karena disentuh demikian.
Caroline menutup mulutnya rapat. Terbuka sedikit saja bisa langsung berteriak. Ia pun menunduk malu, menyembunyikan rupa yang mungkin telah berganti warna--bersemu dan bersaing dengan merahnya ruam Nanda.
"Lo jangan main-main ke hati gue deh, Lin. Sempit."
Lelaki berkulit pucat itu mulai jujur, meski pandangan matanya lurus ke depan--memandang Caroline saat mengatakan hal itu hanya akan menciutkan nyalinya. Ia mematangkan diri untuk berbicara lebih awal, sebelum Caroline jatuh terlalu dalam dan ia ikut tertarik dalam permainan yang tercipta.
Caroline hanya tersenyum memandang langit. Kakinya terangkat dan mengayun tanpa sadar. Ia lekas menoleh saat Nanda juga melakukan hal yang sama. Kedua mata mereka kembali bertemu. Auranya mirip dengan peristiwa sore kemarin. Manis.
"Hati lo nggak sempit, Nda. Perasaan lo aja yang kurang lapang."
Yeay, Happy 15!
Masih jauh dari perjalanan euy
(rencana 85 bab) 🤣
See you next chapter ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro