Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 • nggak usah halu

Semilir angin yang datang dari pegunungan membuat bulu kuduk berdiri tanpa permisi. Walaupun berbenteng jaket tebal, embusan itu kuat menembus sampai membuat setiap insan mendekap tubuhnya sendiri. Tak sedikit dari mereka yang menggosok-gosokkan tangan, mencari kehangatan. Hanya satu orang yang lebih memilih untuk sibuk mengurus hal lain, seperti merapatkan selimut, menyeka keringat, menata rambut basah yang menutup seperempat wajah, ada-ada saja pokoknya.

Tidak hanya bibir, mata Caroline pun seolah-olah ikut tersenyum. Ia tidak bersyukur atas apa yang terjadi. Hanya saja, entahlah apa namanya. Hatinya menghangat ketika bisa duduk bersanding dengan Nanda yang masih setia terlelap.

Setelah sempat siuman dan meminum obat yang dibawanya sendiri, Nanda kembali tertidur dan mengabaikan agenda apa pun. Caroline dengan seribu jurus rayuan meminta panitia dan petugas KSR-PMI untuk ikut menemani. Tentu tidak boleh, tetapi siapa yang peduli? Jelas, bukan Caroline.

Kobaran api unggun dari tengah lapang memancar sampai ke tenda. Gadis yang sejak tadi jarang berkedip itu lekas menoleh. Teriakan kawan-kawannya saat malam keakraban dimulai cukup menggelegar.

"Hah ... syukurlah."

Caroline tersentak dan spontan kembali menatap Nanda. Ia mengelus dada ketika mendapati si lelaki pucat tengah melakukan peregangan dengan mata terpejam. Sebuah tawa tipis pun lolos dari mulutnya. Ia tidak tahan menahan keimutan yang membuncah dari sosok itu.

Perlahan, Nanda duduk. Namun, belum sampai bergerak dan membuka mata lebar-lebar, ia terperanjat kaget. "Astaga!"

Lelaki itu refleks mundur dan menarik selimut sampai menutupi dada. Ia menelan ludah saat menyadari kehadiran gadis sekelas penunggu Ancol sedang duduk manis di depannya.

"Ketemu cewek cakep begini, kok, malah nyebut, sih?" heran Caroline.

"Lo ngapain di sini?"

"Jagain lo, lah."

Bola mata Nanda berputar malas, berpikir dan mengingat keras. Ia mengembuskan napas panjang saat berhasil mendapatkan memori sebelum ia berakhir di sini. Lelaki itu menurunkan selimutnya dan menegapkan tubuh.

"Makasih," ucapnya pelan.

"Apa?"

"Makasih." Kali ini dengan suara cukup lantang.

"Nggak denger, ih." Caroline mendekat. Tangannya sudah bertengger di telinga kiri dan menanti Nanda mengucapkan kata itu kembali.

"Ma-ka-sih, Caroline!"

Akhirnya, bunga-bunga di hati Caroline merekah. Kemudian ia menoleh ke arah Nanda dan tanpa diduga, lelaki itu benar-benar dekat dengannya.

Bibir Caroline bertemu dengan pipi Nanda tanpa diperhitungkan. Kedua pasang mata itu beradu sejenak, otak ikut berpikir beberapa detik dan tubuh lekas menarik diri setelah sadar akan kekonyolan yang baru saja terjadi.

Nanda tak sempat mundur saat gadis itu tiba-tiba menoleh. Semuanya terjadi begitu saja dan ... cukup, jangan diteruskan. Alasan ini dan itu hanya membuatnya takut sendiri.

"Ehm, g-gue cabut ke api unggun dulu."

Lelaki itu lekas berdiri dan beranjak. Kakinya bergetar, antara masih sakit atau menahan malu. Matanya liar, mencari-cari sandal mana yang ia pakai tadi sore. Setelahnya, ia segera enyah, meninggalkan sosok yang masih terpaku dan sibuk menutup mulut.

Caroline menelan ludah. Tangannya terangkat dan menyentuh bibirnya sendiri. Ia menggigit bagian bawahnya guna menahan teriakan yang ingin lolos dari kerongkongan.

"Aaa, bisa gila gue!"

Nanda terus berjalan mendekati pusat perkemahan. Ia tersenyum tipis saat salah satu anggota kelompoknya melambaikan tangan. Segera ia mengangguk dan mempercepat langkah untuk lekas duduk.

"Udah enakan?"

Nanda membalas dengan anggukan. "Udah ngapain aja?"

"Nggak ada. Cuma nyanyi-nyanyi aja dari tadi. Kata Kak Fazran, kalau jam segini cuma buat makrab."

Nanda mengangguk tanpa protes. Ia dapat melihat jelas bagaimana para seniornya memainkan gitar dengan lihai. Sedikit tebar pesona pada gadis-gadis yang ada di sebelah kiri mereka. Cukup tak adil memang, memisahkan para lelaki di seberang tempat. Suara melodi itu cukup jauh dari mereka.

"Oiya, lo sama Caroline ada--"

"Enggak," pangkas Nanda cepat.

"Belum juga kelar, Nda."

"Gue ngerti lo bakal ngomong ke mana, Bib."

Arah mata Nanda masih lurus ke depan. Tepat memandang sosok gadis yang baru saja melakukan ... tak perlu dipertegas lagi. Dengan berani laki-laki itu tak berkedip dan terus beradu. Cukup membuat sosok di seberang sana salah tingkah, tak tahu harus bersembunyi di mana.

"Lo harus tau betapa paniknya dia tadi pas lo pingsan."

Nanda menoleh. "Iya?"

Lelaki bernama Habib itu mengangguk. Tidak hanya dirinya, tetapi puluhan orang juga dapat menjadi saksi, betapa kencangnya gadis itu saat berteriak meminta tolong. Caroline bahkan sempat membopong Nanda, sebelum dua orang senior mereka mengambil alih.

"Nggak kehitung berapa kali dia mondar-mandir ke tenda. Dari nganter lo, ngambil obat, terus balik lagi. Dia bahkan sempet nangis tadi."

"Hah?" Nanda cukup terheran-heran. Ia berhenti memandang Caroline dan beralih menatap Habib dengan serius. "Kenapa?"

"Entah, mungkin karena ada senior yang ngelarang buat jagain lo."

Nanda menepuk jidatnya. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Caroline. Tentu pantas bila para seniornya melarang, toh petugas KSR-PMI berada di sana bukan tanpa alasan. Malah, sekarang ia dibuat makin bingung, mengapa gadis itu terobsesi sekali padanya? Katakanlah Nanda terlalu percaya diri kali ini, tetapi memang begitu, kan?

"Dia kayaknya sesuka itu sama lo. Enak banget. Baru berapa hari masuk kampus, udah dapet kembang angkatan. Keliatan banget kalau anak itu perhatian sama lo. Nggak niat mepetin, Nda? Olin termasuk banyak yang ngincer."

"Nggak usah halu, dia cuma khawatir. Nggak lebih."

"Hilih, emang yang sakit lo doang? Lagian kalau emang nggak ada rasa, ngapain ditangisin?"

Nanda mendengkus. "Anggap aja dia lagi males beres-beres, jadi lebih pilih duduk diem di tenda."

"Ngeles mulu. Lo harusnya berterima kasih sama dia. Itung-itung karena udah dijagain."

Terlalu banyak bicara, sorot sinis Nanda pun muncul, membuat lawan bicaranya mundur perlahan dan tak lagi bersuara. Ia pun kembali fokus menikmati petikan gitar yang tak berjeda sejak tadi. Tatapannya tak lain mencuri pandang pada gadis yang sedang bernyanyi bersama ketua himpunannya. Caroline cukup menghayati duet tersebut.

Tangan Nanda tergerak ke bagian dada. Ia tidak sedang merasa sesak atau mendapat serangan apa pun itu. Rasanya hanya aneh. Seperti resah, tetapi tak tahu apa yang tengah diresahkan. Ludahnya tertelan kasar saat otaknya mencoba berkomunikasi dengan hati.

Nggak mungkin semudah ini, kan?

Sementara itu, setelah agenda keakraban disudahi, Caroline berniat langsung istirahat ke tendanya. Namun, seseorang memanggil dari belakang dan menghentikan langkah.

"Olin!"

Sang empunya nama itu menoleh. Ia memamerkan senyum tipis saat Bas berjalan ke arahnya. Sekian banyak peserta berlalu lalang agar segera beristirahat, tetapi seniornya satu ini malah menahannya.

"Iya, Kak?"

"Suara lo bagus. Gue suka."

Caroline mengembuskan napas panjang. "Ah, iya. Makasih, Kak. Kalau gitu, saya permisi dulu."

"Eh, bentar!"

Lelaki itu menahan tangan kiri Caroline. Genggamannya cukup erat sampai gadis itu berhenti seketika.

"Ada perlu apa, Kak?" Mata Caroline menatap tangan dan mata Bas bergantian, seakan-akan memberi isyarat agar sang kakak tingkat lekas menyudahi aksinya.

"Sori, sori." Peka, Bas segera melepaskan tangan Caroline. "Nggak pa-pa, kok. Nice dream, ya."

Caroline mengangguk. Ia tak lagi pamit dan langsung meneruskan langkah. Sekali ia menoleh ke belakang dan mendapati Bas masih menatapnya. Kikuk, ia kembali membungkuk dan berjalan cepat.

Jika berurusan dengan senior tahun ketiga, nyali Caroline cukup ciut. Ia masih menghindari tatapan Bas. Langkahnya yang tergesa-gesa diganggu begitu saja saat teradang sosok yang berdiri tegak di tempatnya.

"Aw! Kalau berhenti jangan di tengah ja--eh, Nanda?"

Lelaki yang disebut namanya itu menatap Caroline dengan dingin. Ia tak segera menyingkir dan berdiam di posisinya. Caroline kembali menunduk dan berjalan ke samping. Namun sial, lelaki itu mengikutinya dan kembali mengadang tanpa henti.

"Nda ...."

"Kenapa buru-buru banget? Tumben. Lagi nggak mau deket-deket?"

"Hm, a-anu. I-itu ...."

"Gue cuma mau ngomong makasih sama lo."

"Hah?" Caroline mendongak. "Makasih buat?"

Jangan bilang karena ci ....

"Makasih karena lo udah nolongin gue dan makasih juga karena lo selalu bikin gue lupa, sama masalah di rumah."

Caroline masih terdiam dengan matanya yang terus berkedip. Ia makin deg-degan saat Nanda menunduk, menatap wajahnya dari atas, dan mengusap rambutnya lembut.

"Jangan bosen, ya."

Kayaknya saya kena kualat 🤣
Nggak, lah. Nasib doang.

See you tomorrow 😚

Kira-kira scene terakhir itu mirip yang di mulmed, tapi kurang deket lagi. Posisi Nanda bener-bener minta dijedotin biar bisa cium kening Olin. Argh! Authornya gila.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro